Jurus Sehat Rasulullah untuk Puasa, Kiat dari Zaidul Akbar

Ramadan merupakan bulan yang sangat tepat untuk melakukan detoksifikasi terhadap tubuh. Di bulan suci ini, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa. Dengan cara menahan lapar dan haus, diharapkan sel-sel tubuh yang rusak bisa diperbaiki.

Puasa juga merangsang proses yang disebut autofagi, yakni ketika sel membersihkan diri dan menghilangkan partikel yang rusak dan berbahaya.

Alquran mengatakan manusia diciptakan untuk menjadi khalifah. Karena itu, manusia harus menjaga tubuhnya. Namun, menurut Ustaz Zaidul Akbar, banyak manusia yang tidak paham konsep sehat.

Dokter yang juga penulis Jurus Sehat Rasulullah ini mengatakan, Rasulullah hanya dua kali sakit selama seumur hidupnya, sebelum akhirnya wafat pada usia 63 tahun. Soal pola makan Rasulullah itu dia jelaskan panjang lebar dalam saluran YouTube bertema “Ramadhan Sehat dengan Jurus Sehat Rasulullah”.

Karena itu, ia menyarankan umat muslim mempelajari bagaimana cara Alquran dan Rasulullah mengajari manusia untuk makan.

“Misalnya kapan waktu makan terbaik, yakni saat mata kita melihat matahari dan sesaat ketika matahari tenggelam.”

Ia menegaskan, “Penyakit bisa diobati bila kita mengaktifkan autodetokfikasi. Misalnya sel kanker, jangan biarkan dia makan. Biarkan dia kelaparan,” ujarnya.

Zaidul mengatakan, jika kita makan makanan yang tidak dibutuhkan tubuh, maka badan akan terasa lemas. Sebab, apa yang dimakan adalah makanan sampah yang tidak dibutuhkan tubuh.

Pola Makan Saat Puasa

Untuk pola makan di bulan Ramadan, Zaidul Akbar menyarankan agar isi piring makan saat sahur dikoreksi agar tak melulu berisi karbohidrat dan miskin protein.

Ia menyarankan menu makan sahur berupa 1/3 porsi sayur dan buah, 1/3 porsi biji-bijian, dan 1/3 porsi protein.

Kemudian, untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari puasa, Zaidul Akbar menyarankan untuk mengurangi makanan yang menimbulkan masalah bagi tubuh.

“Setop masalah dengan tidak mengkonsumsi gula pasir dan turunannya, tepung dan turunannya, nasi putih, dairy product (makanan berbasis susu), serta minyak goreng dan turunannya,” ujar Zaidul Akbar.

Dengan cara ini, menurut dia, selama di bulan Ramadan, tubuh kita akan terasup dengan apa yang sebenarnya memang harus masuk.

Zaidul menekankan, “Apa yang Anda makan hari ini, akan jadi tabungan 5-10 tahun ke depan”.

Dia menyarankan untuk memakan makanan yang ditumbuhkan Allah di atas tanah dan mendapat sinar matahari. “Real food istilah sekarang,” ucapnya menegaskan.

Dalam jangka panjang, jika dilakukan dengan benar, puasa bisa meningkatkan sistem pencernaan seseorang dan metabolisme secara keseluruhan. Namun, semua itu akan sia-sia jika orang tersebut kembali ke kebiasaan makan lamanya sebelum puasa.

Untuk  berbuka puasa, Zaidul menyarankan menu berbuka puasa dengan buah dan teh rempah. Setelah tarawih, dilanjutkan makan sayur yang dikukus atau bening. Setelah itu makan kacang-kacangan.

Dengan berpuasa dan makan sesuai jurus sehat Rasulullah, Zaidul meyakinkan bahwa tubuh tak akan lemas meski berpuasa seharian. Malahan, mendapat hasil maksimal berupa kesehatan yang prima.

LIPUTAN6

Tafsir Jalalain: Makna Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin

Apa makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin?

Allah Ta’ala berfirman,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Artinya:

  1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
  4. Pemilik hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
  6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 1-7)

Kali ini adalah kajian ayat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah mengatakan,

{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } أَيْ نَخُصُّكَ بِالعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيْدٍ وَغَيْرِهِوَنَطْلُبُ المَعُوْنَةَ عَلَى العِبَادَةِ وَغَيْرِهَا .

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Maksudnya, kami hanya mengkhususkan ibadah kepada Allah dengan bertauhid dan lainnya. Kami memohon pertolongan hanya kepada Allah dalam beribadah dan untuk urusan lainnya.”

Catatan dari apa yang disampaikan dalam tafsir Jalalain

  1. Ibadah itu hanya untuk Allah semata.
  2. Bertauhid (mengesakan Allah) itulah maksud dari “iyyaka na’budu”, kepada-Mulah kami beribadah.
  3. Meminta tolong kepada Allah itulah maksud dari “wa iyyaka nasta’iin”, dan isti’anah (meminta tolong) di sini hanya dilakukan kepada Allah dalam hal yang hanya bisa diselesaikan oleh-Nya.
  4. Manusia tidak bisa lepas dari pertolongan Allah untuk dimudahkan dalam urusan dan berbagai ibadah.

Mendalami makna “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’iin”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan sebagaimana berikut ini:

Ayat tersebut maksudnya “hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah dan memohon pertolongan”. Karena mendahulukan objek (maf’ul) berfungsi untuk membatasi (hashr), yaitu menetapkan hukum yang telah disebut dan meniadakan yang lainnya. Seola-olah kita mengucapkan: Kami (hanya) beribadah kepada-Mu bukan kepada selain-Mu, kami (hanya) memohon pertolongan kepada-Mu bukan kepada selain-Mu.

Mendahulukan penyebutan ibadah sebelum isti’anah (meminta tolong) merupakan bentuk penyebutan umum sebelum khusus dan sebagai bentuk perhatian didahulukannya hak Allah atas hak hamba-Nya.

Makna ibadah mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik perbuatan dan perkataan, yang lahir maupun batin. Sedangkan isti’anah adalah penyandaran diri kepada Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak mudarat dengan didasari keyakinan kepada-Nya dalam mencapai hal tersebut.

Beribadah dan memohon pertolongan kepada-Nya merupakan dua sarana untuk menggapai kebahagiaan yang abadi dan keselamatan dari seluruh kejelekan. Maka, tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan melaksanakan kedua hal tersebut (beribadah dan meminta tolong kepada Allah). Ibadah disebut ibadah jika pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya mengharap wajah Allah semata. Dua hal ini (mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ikhlas) merupakan syarat diterimanya ibadah.

Penyebutan isti’anah diakhirkan setelah penyebutan ibadah, padahal isti’anah merupakan bagian dari ibadah, adalah untuk menunjukkan bahwa seluruh ibadah itu membutuhkan pertolongan Allah. Jika Allah tidak memberikan pertolongan dalam ibadah, niscaya tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya atau menjauhi larangan-larangan-Nya. (Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 25-26)

Ayat ini mengajarkan untuk kita agar berlepas diri dari syirik dan tidak boleh bergantung pada kekuatan sendiri

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وقدم المفعول وهو { إياك } ، وكرر؛ للاهتمام والحصر، أي: لا نعبد إلا إياك، ولا نتوكل إلا عليك، وهذا هو كمال الطاعة. والدين يرجع كله إلى هذين المعنيين

Maf’ul (objek) yaitu “iyyaka” didahulukan penyebutannya dan berulang untuk menunjukkan perhatian dan pembatasan. Maksudnya adalah tidaklah kami beribadah kecuali kepada-Mu semata, tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu. Inilah kesempurnaan ketaatan. Agama itu kembali ke kedua makna ini.

وهذا كما قال بعض السلف: الفَاتِحَةُ سِرُّ القُرْآنِ، وَسِرُّهَا هَذِهِ الكَلِمَةُ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } [الفاتحة: 5]

Inilah sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Surah Al-Fatihah itu inti Al-Qur’an. Inti dari surah Al-Fatihah adalah pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”.

فالأول تبرؤ من الشرك، والثاني تبرؤ من الحول والقوة، والتفويض إلى الله عز وجل. وهذا المعنى في غير آية من القرآن

Kalimat pertama “hanya kepada-Mu-lah kami beribadah” mengandung makna berlepas diri dari syirik. Kalimat kedua “hanya kepada-Mu-lah kami memohon pertolongan” mengandung makna berpelas diri dari usaha dan kekuatan sendiri, lalu berserah diri kepada Allah.

وهذا المعنى في غير آية من القرآن، كما قال تعالى

Makna seperti ini juga ditemukan dalam ayat lainnya seperti pada ayat.

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Maka sembahlah Allah, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123)

قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا

Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal.” (QS. Al-Mulk: 29)

رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا

“(Dialah) Rabb masyrik (yang di timur) dan maghrib (di barat), tiada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al-Muzammil: 9)

وكذلك هذه الآية الكريمة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .

Demikian pula ayat yang mulia ini “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206)

Kalam Ghaib Beralih ke Mukhathab

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وتحول الكلام من الغيبة إلى المواجهة بكاف الخطاب، وهو مناسبة  ، لأنه لما أثنى على الله فكأنه اقترب وحضر بين يدي الله تعالى؛ فلهذا قال: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }

“Penyebutan kalimat dalam bentuk pujian masih dalam bentuk ghaib (membicarakan orang ketigha), kemudian beralih pada bentuk orang kedua (di ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”), seakan-akan yang membaca itu dekat dan hadir di hadapan Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut dibaca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206)

Ibadah itu maqshudah, meminta tolong (isti’anah) itu wasilah

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وإنما قدم: { إياك نعبد } على { وإياك نستعين } لأن العبادة له هي المقصودة، والاستعانة وسيلة إليها، والاهتمام والحزم هو أن يقدم ما هو الأهم فالأهم، والله أعلم.

“Didahulukannya “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami beribadah) dari “wa iyyaka nasta’iin” (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan) karena ibadah itu maqshudah (yang jadi tujuan). Sedangkan isti’anah (meminta tolong) itu adalah wasilah pada tujuan tadi. Yang jadi perhatian dan kemantapan adalah mendahulukan yang lebih penting dahulu dari lainnya. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:207)

Menghilangkan riya’ dan sifat sombong

Kalimat “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami beribadah) ini menolak riya’. Sedangkan kalimat “wa iyyaka nasta’iin” (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan) ini menolak sifat sombong karena kita bisa melakukan ketaatan hanya dengan pertolongan dari Allah. Pernyataan seperti ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab, hlm. 51.

Faedah ayat

  1. Kita diperintahkan memurnikan ibadah hanya kepada Allah.
  2. Kita diperintahkan meminta tolong hanya kepada Allah semata (dalam perkara yang hanya Allah yang dapat menyelesaikannya).

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
  3. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar
  4. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  6. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Disusun di Darush Sholihin, 27 Ramadhan 1441 H (19 Mei 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24478-tafsir-jalalain-makna-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html

Fatwa Ulama: I’tikaf di Masa Wabah Corona

I’tikaf adalah ibadah yang sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah absen ber-i’tikaf di bulan Ramadhan sejak disyariatkan i’tikaf sampai akhir hayatnya. Dan ibadah i’tikaf itu dilakukan di masjid. 

Di tengah wabah virus corona sekarang ini, banyak masjid-masjid ditutup dan masyarakat diimbau untuk beribadah di rumah. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan i’tikaf di masa wabah seperti ini? Kita simak fatwa para ulama kontemporer berikut ini. 

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sa’ad bin Turki Al Khatslan

Beliau hafizhahullah mengatakan:

I’tikaf tidak syariatkan kecuali di masjid. Dan ini adalah pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Madzhab Hanafi membolehkan bagi wanita untuk i’tikaf di mushalla al bait (tempat shalat di rumah). Namun ini pendapat yang lemah. 

Yang rajih, i’tikaf bagi laki-laki ataupun wanita tidak disyariatkan kecuali di masjid. Inilah yang diamalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, tabi’in serta tabi’ut tabi’in.

Adapun terkait kondisi sekarang ini (wabah corona), maka orang yang sudah terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf secara sempurna, seakan-akan dia melakukan i’tikaf di tahun ini. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إذَا مَرِضَ العَبْدُ، أوْ سَافَرَ، كُتِبَ له مِثْلُ ما كانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Adapun bagi orang yang tidak terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka kita katakan, amalan kebaikan itu banyak. Karena amalan kebaikan (di 10 hari terakhir Ramadhan) itu bisa berupa i’tikaf, dan bisa juga berupa amalan selain i’tikaf yang dilakukan di rumah. Seperti, bertasbih, bertahlil dan membaca dzikir-dzikir yang lain. 

Sedangkan i’tikaf itu adalah ibadah, dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Dan ibadah i’tikaf ini disebutkan dalam dalil-dalil hanya bisa dilakukan di masjid saja. Dan tidak disyariatkan dilakukan di selain masjid”.

Fatwa Asy Syaikh Dr. Utsman bin Muhammad Al Khamis

Beliau ditanya: “apakah sah i’tikaf di rumah? Khususnya untuk kondisi sekarang ini (wabah corona). Apakah harus mengkhususkan suatu tempat tertentu di rumah jika memang dibolehkan?”. 

Beliau menjawab:

Tidak sah i’tikaf di rumah. I’tikaf itu di masjid. Allah ta’ala berfirman:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“… ketika engkau sedang i’tikaf di masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Namun jika seseorang sudah terbiasa i’tikaf, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Jika ia sudah berencana untuk i’tikaf, lalu ternyata terjadi wabah seperti sekarang ini (sehingga tidak bisa i’tikaf). Maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf. 

Agama itu mudah, dan rahmat Allah itu luas. Ini perkara yang gamblang. Allah ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al Baqarah: 261).

Allah ta’ala melipat-gandakan ganjaran. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ

“Barangsiapa siapa yang berniat melakukan satu kebaikan namun tidak jadi ia amalkan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Namun siapa yang berniat melakukan satu kebaikan lalu diamalkan, ditulis baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat” (HR. Muslim no. 130).

Allah itu Maha Pemurah.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BJPOORtTB-o

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar Ruhaili

Beliau mengatakan:

الاعتكاف للرجال يكون في المساجد بالاتفاق وكذلك للنساء عند جمهور الفقهاء وهو الراجح فلا اعتكاف للرجال ولا للنساء إلا في المساجد فقد قيد الاعتكاف في النصوص بالمساجد والعبادات مبنية على التوقيف وعليه فلا يشرع هذا العام الاعتكاف في البيوت من أجل إغلاق المساجد وتكفي النية الصالحة

“I’tikaf bagi laki-laki tempatnya di masjid berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian juga wanita, pendapat jumhur fuqaha, dan ini pendapat yang rajih, bahwa tempatnya di masjid. Maka tidak boleh bagi laki-laki atau wanita ber-i’tikaf kecuali di masjid. I’tikaf dalam nash-nash dalil dikaitkan dengan masjid. Dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Maka tidak disyariatkan di tahun ini untuk i’tikaf di rumah karena ditutupnya masjid-masjid. Cukupkah seseorang punya niat yang tulus (untuk i’tikaf)”. (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1256694658106884096)

Beliau juga mengatakan:

أحذر المؤمنين من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في المساجد في هذه الجائحة مخالفة لأمر ولي الأمر بترك هذا فلا تفعل سنة بمعصية ، كما أحذر من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في البيوت مخالفة للأدلة برأي محض ضعيف في أصل العبادة

“Saya memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan untuk tetap i’tikaf di masjid dalam kondisi sekarang ini. Yang ini bertentangan dengan perintah ulil amri untuk meninggalkan i’tikaf di masjid (karena wabah). Tidak boleh melakukan ibadah yang sunnah dengan bermaksiat. Dan aku juga memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan bolehnya i’tikaf di rumah dengan sekedar opini semata. Yang ini bertentangan dengan dalil-dalil tentang hukum asal ibadah” (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1259229549260410884).

Semoga bermanfaat.

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56571-fatwa-ulama-itikaf-di-masa-wabah-corona.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke – 25)

Allah swt Berfirman :

إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا

“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS.An-Nisa’:1)

يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (QS.Ghafir:19)

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS.Qaf:18)

وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَٰفِظِينَ – كِرَامٗا كَٰتِبِينَ

“Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatanmu).” (QS.Al-Infithar:10)

Manusia seringkali merasa dirinya bebas melakukan apapun dan menganggap tidak ada yang mengawasinya. Ia dengan penuh percaya diri melakukan segala sesuatu dan memenuhi keinginan hawa nafsunya tanpa pernah berpikir bahwa ia sedang di awasi selama 24 jam.

Ayat-ayat di atas ingin mengingatkan kembali bahwa manusia selalu di awasi dalam kehidupannya selama 24 jam dan dimanapun ia berada. Bahkan apa yang terlintas dalam pikiran kita juga tercatat dan dalam pengawasan.

يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (QS.Ghafir:19)

Apabila manusia selalu ingat bahwa dirinya sedang di awasi, maka untuk berpikiran buruk saja akan berusaha ia tinggalkan karena segala sesuatu yang terlintas di hatimu akan tercatat.

Belum lagi di tambah para Malaikat yang akan mencatat semua gerak-gerik kita selama 24 jam. Tidakkah kita malu bila berbuat buruk sementara ada yang selalu menyaksikan?

وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَٰفِظِينَ – كِرَامٗا كَٰتِبِينَ

“Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatanmu).” (QS.Al-Infithar:10)

Tak hanya para Malaikat, bahkan setiap anggota tubuh kita akan bersaksi atas setiap langkah dan setiap perbuatan yang dilakukan oleh pemiliknya di dunia.

حَتَّىٰٓ إِذَا مَا جَآءُوهَا شَهِدَ عَلَيۡهِمۡ سَمۡعُهُمۡ وَأَبۡصَٰرُهُمۡ وَجُلُودُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan.” (QS.Fushilat:20)

Bahkan lebih dari itu, bumi tempat kita berpijak dan melakukan segalanya juga akan bersaksi atas apa yang kita lakukan selama ini.

يَوۡمَئِذٖ تُحَدِّثُ أَخۡبَارَهَا

“Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.” (QS.Az-Zalzalah:4)

Maka mari kita sisihkan waktu sejenak untuk memikirkan hal ini, bahwa kita selalu di awasi dari hal yang terkecil hingga yang terbesar. Setiap langkah, perbuatan dan ucapan yang terlontar tidak pernah luput dari pengawasan Allah swt.

Tentunya kita akan malu bila berbuat buruk dihadapan manusia, namun sampai kapan kita tidak malu berbuat keburukan dihadapan Allah swt?

Bulan ini adalah momen terbaik untuk kita kembali meng-aktifkan kesadaran ini. Disaat berpuasa, kita tidak minum dan tidak makan walau tidak ada yang melihat, karena kita yakin Allah swt Maha Melihat. Maka luaskan kesadaran ini sepanjang waktu kehidupan kita, maka Insya Allah kita akan mampu mengontrol diri dari segala keburukan walau di waktu sendirian.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Mimpi Junub di Saat Puasa Ramadan Batalkah?

APAKAH seseorang boleh puasa sementara ia junub karena tidak sengaja?


DISEBUTKAN dalam sebuah hadits, bahkan pada suatu Subuh Nabi shallallahu alaihi wa sallam junub karena menggauli isterinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.

Mandi junub itu adalah sahnya salat, sehingga tidak boleh menundanya, karena melaksanakan salat Subuh itu harus pada waktunya. Tapi jika ia tertidur dalam keadaan junub dan baru bangun waktu dhuha, maka saat itu ia harus segera mandi dan salat Subuh serta melanjutkan puasanya.

Demikian juga jika ia tertidur di siang hari dalam keadaan berpuasa, lalu mimpi junub, maka ia harus mandi untuk salat Zuhur atau Ashar dan tetap melanjutkan puasanya.

Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa ash-Shiyam, disusun oleh Muhammad al-Musnad, hal. 21.

[Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI/KonsultasiSyariah]

INILAH MOZAIK

Ayah Jadi Imam Tarawih, Memimpin Keluarga Menuju Surga

Wahai para Ayah, di musim wabah di bulan Ramadhan, bisa jadi engkau menjadi imam shalat berjamaah dan imam shalat tarawih bagi keluargamu. Nampaklah engkau imam dan pemimpin yang sesungguhnya bagi keluargamu.

Engkau adalah nahkoda bahtera keluarga dengan penumpangnya istri dan anak-anak-mu. Hendak ke mana engkau bawa istri dan anakmu? Apakah ke surga? Jika ke surga, engkau harus menuntut ilmu agama agar bahtera rumah tangga tidak kandas karena fitnah dan ujian dunia seperti badai laut yang menerpa bahtera

Wahai ayah, Bagaimana mungkin engkau mengemudikan kapal dan membawa keluarga menuju surga sedangkan jalan menuju surga saja engkau tidak tahu?

Jalan menuju surga itu diketahui dengan belajar agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Ayah engkau adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya.” (Muttafaqun alaihi)

Semoga engkau menjadi nahkoda, imam dan pemimpin yang shalih, memimpin membawa keluarga dan berkumpul kembali di surga Allah kelak bersama keluarga tercinta.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIM AFIYAH

Tata Cara Bayar Zakat Fitrah

Bagaimana tata cara bayar zakat fitrah? Berikut tata cara yang kami sarikan dalam penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Insya Allah ini bahasan lengkap dan mudah dipahami.

Penyebutan zakat fitrah

Zakat fitrah adalah kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan pada saat terbenamnya matahari pada akhir hari Ramadhan dengan syarat tertentu, dikenakan bagi setiap mukallaf dan yang ditanggung nafkahnya.

Zakat fitrah ini disebutkan dengan istilah shadaqah al-fithri atau zakat al-fithroh. Para fuqaha menyebut untuk harta yang dikeluarkan zakatnya dengan sebutan fithroh.

Disebut zakat fithri karena kewajibannya dikenakan dengan masuknya Idulfitri pada akhir Ramadhan. Artinya zakat fithri adalah zakat karena berbuka dari berpuasa.

Hukum zakat fitrah

Zakat fitrah itu wajib, diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, pada tahun yang sama diwajibkan puasa Ramadhan. Hadits Ibnu ‘Umar berikut menjelaskan tentang kewajiban zakat fitrah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984)

Hikmah zakat fitrah

Waki’ bin Al-Jarrah mengatakan, “Zakat fitrah untuk bulan Ramadhan itu seperti sujud sahwi ketika shalat. Zakat fitrah itu menutup kekurangan saat puasa sebagaimana sujud sahwi menutupi kekurangan shalat.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj dan Al-Majmu’, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:96)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Waktu wajib zakat fitrah

Zakat fitrah diwajibkan dengan tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri (masuk Idulfitri). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat untuk berbuka dari Ramadhan (zakat fithri).” (HR. Muslim, no. 984)

  • Dari sini, siapa yang hidup di Ramadhan dan masih ada sampai matahari tenggelam pada malam Idulfitri, lalu ia meninggal dunia setelah itu, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Namun, jika ia meninggal dunia sebelum matahari tenggelam, tidak dikenakan wajib zakat fitrah.
  • Siapa saja yang lahir di bulan Ramadhan sebelum tenggelamnya matahari dari hari terakhir Ramadhan dan ia terus hidup hingga matahari tenggelam, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Akan tetapi, jika lahir setelah tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri, tidak ada kewajiban zakat fitrah.
  • Hal ini juga berlaku untuk orang yang masuk Islam sebelum atau sesudah tenggelamnya matahari tadi.
  • Begitu pula hal ini berlaku jika ada yang menikah di bulan Ramadhan, sampai tenggelam matahari dari akhir Ramadhan, ia masih beristri, ia menanggung zakat fitrah istrinya. Namun jika menikahnya setelah tenggelam matahari, tidak wajib baginya menanggung zakat fitrah istrinya.

Yang terkena kewajiban zakat fitrah

Hukum zakat fitrah itu wajib bagi tiap jiwa yang:

  • mukallaf (terbebani syariat: muslim, baligh, berakal),
  • mendapatkan waktu diwajibkannya zakat fitrah yaitu tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri,
  • yang mudah membayar zakat fitrah (punya harta berlebih untuk diri dan keluarga pada malam Idulfitri).

Menanggung zakat fitrah orang lain

Jika terpenuhi syarat-syarat tadi, wajib bagi mukallaf (muslim, baligh, berakal) menunaikan zakat fitrah untuk dirinya masing-masing. Ia juga wajib menunaikan zakat fitrah untuk orang yang ditanggung nafkahnya karena sebab nikah, hubungan kerabat, atau menjadi pembantu (pelayan di rumah). Kesimpulannya, seseorang menanggung zakat fitrah untuk:

  • istrinya, kedua orang tuanya, dan anak-anak yang wajib ia nafkahi (meskipun mereka telah dewasa seperti anak yang kena penyakit kronis atau gila yang tidak punya kemampuan mencari nafkah).
  • pembantunya dan pembantu istrinya jika ia membutuhkan atau yang melayani semisalnya secara umum.

Catatan:

  • Anak yang punya kelapangan nafkah hendaklah menanggung zakat fitrah untuk istri dari ayah (ibu tiri), namun hal itu bukanlah wajib.
  • Seorang ayah tidaklah wajib menanggung nafkah dan zakat fitrah untuk istri dari anak laki-lakinya (menantunya). Demikian sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu’, 6:69, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:99 (bagian catatan kaki).
  • Adapun anak yang sudah dewasa (baligh) dan mampu dalam hal nafkah tidak diwajibkan bagi ayahnya untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Zakat fitrah boleh dibayarkan, asalkan dengan ada izin anak tersebut.
  • Untuk kerabat boleh dikeluarkan zakat fitrah atas nama mereka asalkan dengan izin mereka.
  • Dalam hal mengeluarkan zakat fitrah jika akhirnya punya kelebihan makanan yang terbatas, yang menjadi urutan dalam pengeluaran zakat fitrah adalah: (1) dirinya sendiri, (2) istrinya, (3) anaknya yang paling kecil, (4) ayahnya, (5) ibunya, (6) anaknya yang besar yang tidak mampu bekerja.
  • Jika seseorang hanya mampu menunaikan zakat fitrah untuk dirinya sendiri (untuk satu orang), wajib baginya untuk menanggung dirinya sendiri. Jika dia mementingkan orang lain dalam kondisi ini, zakat fitrahnya tidaklah sah.
  • Jika istri kaya, sedangkan suami orang yang susah, istri tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, hanya disunnahkan ia mengeluarkannya, agar selamat dari khilaf (perbedaan pendapat dari para ulama).

Ukuran dan jenis zakat fitrah

  • Zakat fitrah dikeluarkan dengan makanan pokok di negeri masing-masing (misal dengan beras, kurma, gandum).
  • Besar zakat fitrah per jiwa adalah 1 sha’ (4 mud, diperkirakan sama dengan 3 Liter, sekitar 2,4 kg)—sebagaimana disebutkan pakar Syafii saat ini, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy–.
  • Membayar zakat fitrah dengan makanan yang lebih bagus, itu lebih baik karena lebih menambah kebaikan.

Waktu penunaian zakat fitrah

  • Waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.
  • Waktu yang disunnahkan untuk membayar zakat fitrah adalah sebelum shalat Id sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, “Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.”
  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Idulfitri secara keseluruhan. Jika zakat fitrah diakhirkan dari hari Idulfitri, hukumnya diharamkan dan wajib diqadha.
  • Zakat fitrah masih boleh disegerakan sejak awal Ramadhan. Dalam madzhab Syafii, zakat fitrah itu wajib karena dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) mendapati waktu berbuka dari berpuasa pada hari raya.

Pengeluaran zakat fitrah

  • Zakat fitrah disalurkan pada golongan yang termasuk pula dalam penerima zakat maal. Pendapat inilah yang dianut madzhab Syafii, disebutkan oleh Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:102.
  • Imam Syafii sangat suka menyerahkan zakat fitrah kepada kerabat yang tidak ia tanggung nafkahnya.
  • Zakat fitrah ditunaikan sendiri-sendiri. Anak-anak akan ditunaikan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Istri tidaklah menuntut suami untuk mengeluarkan zakat fitrah untuknya, ia hanya boleh mengingatkan atau menasihatinya.
  • Zakat fitrah tidak diwajibkan untuk janin kecuali kalau janin tersebut lahir sebelum matahari tenggelam pada malam Idulfitri.
  • Zakat fitrah tidak boleh disalurkan pada orang kafir.
  • Zakat fitrah disalurkan pada enam golongan dari delapan golongan yang tercantum dalam surah At-Taubah ayat 60. Yang tidak perlu disalurkan zakat fitrah adalah amil zakat dan muallafatu quluubuhum (mereka yang ingin dilembutkan hatinya).

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Dar Al-Qalam.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24448-tata-cara-bayar-zakat-fitrah-secara-lengkap-dan-mudah-dipahami.html

Pemerintah Undur Kepastian Soal Haji Jadi 1 Juni

Menteri Agama Fachrul Razi meminta jamaah haji untuk bersabar menunggu informasi dan kepastian dari Pemerintah Arab Saudi mengenai keberangkatan mereka. Setelah sebelumnya Menag memberikan tenggat waktu kepada Pemerintah Arab Saudi hingga 20 Mei untuk memberikan informasi, kini tenggat waktu itupun diundur hingga 1 Juni mendatang.

“Kalau tadinya kami buat deadline tanggal 20 Mei, kami mundur jadi 1 Juni sesuai petunjuk bapak Presiden setelah bicara dengan Raja Salman mungkin akan ada kepastian kalau di sana lebih baik,” ujar Menag saat konferensi pers, Selasa (19/5).

Menag mengatakan, Presiden telah berkomunikasi dengan Raja Salman terkait hal ini. Karena itu, Jokowi pun menyarankan agar tenggat waktu yang diberikan kepada Pemerintah Arab Saudi diundur.

Fachrul sendiri menyebut telah menyiapkan beberapa alternatif terkait pemberangkatan jamaah haji. Ketiga alternatif tersebut yakni memberangkat semua jamaah haji sesuai dengan kuota, memberangkatkan sebagian jamaah haji mengingat akan ada penerapan jaga jarak, dan membatalkan seluruh keberangkatan jamaah.

Sementara, negeri jiran Singapura memutuskan menunda pelaksanaan ibadah haji 2020 sampai tahun depan akibat pandemi wabah virus Covid-19. Hal ini disampaikan Dewan Agama Islam Singapura (MUIS) sebagaimana dilansir dari Straitstimes, Sabtu (16/5).

“Dalam konsultasi dengan Kementerian Kesehatan, (MUIS) telah memutuskan bahwa, sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab, Singapura sebaiknya menunda rencana Haji 2020 untuk semua 900 peziarah kami ke tahun berikutnya,” bunyi pernyataan MUIS.

Komite Fatwa Singapura, kumpulan cendekiawan agama senior yang mengeluarkan peraturan dan pedoman agama, juga telah melakukan pertemuan membahas persoalan ini. Komite tersebut mendukung penundaan pelaksanaan ibadah haji di tengah pandemi dengan alasan kesehatan dan keselamatan.

IHRAM

Sunnah Terlupakan, Istigfar di Waktu Sahur

[Rubrik: Sekedar Sharing]

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, ada satu sunnah yang kita dan sayapun juga lalai serta lupa, yaitu beristigfar di waktu sahur

Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang shalih.

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17).

Istigfar ini amalan yang cukup mudah tetapi berpahala besar, tentunya harus disertai dengan pemgakuan diri bahwa kita banyak bermaksiat dan lalai mengingat Allah, Rabb yang telah memberikan segalanya kepada kita . Kita harus memelas dan memohon ampun kepada Allah serta merendahkan sayap kesombongan
Makna Istigfar yaitu

Pertama: kita meminta Agar Allah menutupi dosa kita

Yang kedua: Meminta agar Allah mengampuni dan tidak menyiksa kita karena dosa kita

Mari kita isi waktu sahur kita dengan istigfar dan doa karea sahur juga waktu mustajab untuk berdoa, bukan dengan ngobrol-ngobrol, nonton TV atau youtube yang tidak bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Sungguh, Inilah Orang yang Berpuasa itu?

IMAM Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata:

Orang yang berpuasa itu adalah orang yang anggota badannya berpuasa dari perbuatan dosa. Lidahnya berpuasa dari perkataan bohong, keji dan dusta.

Perutnya berpuasa dari makan dan minum. Dan farjinya dari berhubungan badan. Jika ia berbicara, maka ia tidak berbicara dengan perkataan yang dapat merugikan puasanya.

Jika ia berbuat, maka ia tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak puasanya. Lisannya hanya mengucapannya setiap yang bermanfaat dan baik saja.

Demikian juga amalnya seperti minyak wangi yang mana setiap orang yang duduk bersamanya akan mencium wanginya. Seperti itulah siapa saja yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia dapat mengambil manfaat darinya.

Dan selamat dari kedustaan, kebohongan, kemaksiatan dan kedzaliman. Inilah puasa yang disyariatkan, tidak hanya menahan makan dan minum saja.

Maka puasa itu adalah puasanya anggota badan dari dosa. Dan puasanya perut dari makan dan minum.

Seperti halnya makanan dan minuman dapat menghancurkan dan merusaknya, begitu pula dosa dapat melenyapkan pahala dan merusak hasilnya. Sehingga menjadikannya seperti orang yang tidak berpuasa.

[Al Wabilush Sayyib: 32/31]

INILAH MOZAIK