Hukum Memajang Hewan yang Diawetkan di Rumah

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Apa hukum memajang hewan yang asli yang sudah diawetkan, baik di rumah atau di tempat lainnya?

Jawaban:

Memajang hewan yang diawetkan itu perbuatan yang tidak dibenarkan. Telah dikeluarkan fatwa oleh Haiah al-Ifta’ tentang terlarangnya melakukan hal tersebut. Karena dua alasan:

Pertama, termasuk menyia-nyiakan harta

Kedua, ini merupakan sarana yang membawa kepada keburukan lain yang lebih besar. Bisa jadi pemiliknya akan meyakini bahwa binatang tersebut akan menjaga rumahnya dari jin atau dari perkara keburukan lainnya. Atau bisa jadi akan menjadi sarana yang membawa kepada memajang gambar atau patung makhluk bernyawa di rumah. Sehingga ini menjadi wasilah kepada salah satu perkara tersebut atau bahkan keduanya.

Karena adanya potensi keyakinan bahwa binatang yang diawetkan ini dipajang di rumah atau di kamar atau di tembok atau di tempat lain, menjadi sebab terjaganya rumah dari keburukan-keburukan. Atau menjadi sarana yang membawa kepada dipajangnya gambar atau patung makhluk bernyawa.

Karena ketika ada orang yang melihat binatang yang diawetkan tersebut, ia akan berkata, “si Fulan memajang patung di rumahnya.” Sehingga yang dilakukan si Fulan itu menjadi contoh yang ditiru oleh orang lain. Maka yang kami pandang dan kami fatwakan adalah terlarangnya perbuatan ini.

Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/6066

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66482-hukum-memajang-hewan-yang-diawetkan-di-rumah.html

Hukum Menganggap Lunas Hutang dengan Niat Zakat

Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan:

Saya punya piutang yang wajib ditunaikan oleh seseorang. Sudah berlalu waktu yang lama, ia belum bisa membayarkannya kepada saya sama sekali. Ia tidak mampu untuk membayar hutangnya. Lalu saya ingin menganggap lunas hutangnya dengan niat sebagai zakat mal dari saya. Karena orang tersebut termasuk fakir, sehingga ia tidak mampu untuk membayar hutangnya. Dan saya tahu betul bahwa ia tidak punya penghasilan kecuali sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Apakah yang saya lakukan ini dibolehkan? Mohon beri kami faidah, semoga Allah Ta’ala membalas Anda dengan pahala.

Jawaban:

Orang yang sulit membayar hutang maka wajib untuk diberi kelonggaran dan ditunggu sampai Allah mudahkan ia untuk membayarnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Jika ia kesulitan untuk membayar hutang, maka tunggulah hingga ia dimudahkan” (QS. Al-Baqarah: 280).

Dan dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

مَن أنظر مُعْسِرًا أظلَّه الله في ظلِّه يوم لا ظلَّ إلا ظله

“Siapa yang memberi tangguh pembayaran hutang bagi orang yang kesulitan membayar, Allah akan memberikannya naungan di hari dimana tidak ada naungan kecuali dari Allah” (HR. Ahmad no. 532).

Adapun menganggap lunas zakat dengan niat hutang, maka ini tidak diperbolehkan. Para ulama tidak membolehkannya. Karena zakat itu harus ada unsur i’tha (memberi harta) dan iitaa’ (mengeluarkan harta). Adapun perbuatan di atas, dilakukan untuk melindungi hartanya (agar tidak berkurang). Dan alasan lainnya, harta berupa piutang tersebut terkadang akan didapatkan dan terkadang tidak didapatkan. Dan tidak ada unsur iitaa’ (mengeluarkan harta), yang ada adalah ibraa’ (menganggap lunas). Maka tidak sah sebagai zakat.

Sehingga wajib bagi Anda untuk membayar zakat dari harta yang ada pada perbendaharaan anda sekarang.

Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/6110

Penerjemah: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66480-hukum-menganggap-lunas-hutang-dengan-niat-zakat.html

Makna Sakinah Mawaddah dan Rahmah Menurut Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi

Setiap individu yang akan menaiki jenjang pernikahan pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin ia capai. Tujuan ini begitu penting agar ikatan yang akan dilalui penuh dengan makna dan tidak hampa. Tujuan ini harus terpelihara dan tidak boleh pupus serta memudar. Sebab kondisi tersebut riskan membuat biduk rumah tangga menjadi berantakan dan landas di tengah jalan. Kehidupan rumah tangga yang ideal hanya akan menjadi fatamorgana di tengah padang sahara, malah hanya menjadi tempat kekerasan, depresi, serta stress. Oleh karena itu, tujuan yang jelas akan menjadi kompas arah dalam mengarungi bahtera rumah tangga agar tercipta keluarga sakinah mawaddah dan rahmah. Apa makna sakinah mawaddah dan rahmah?

Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang tujuan dari pernikahan adalah sebagai berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya lah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-Qur’an, ar-Rum (30): 21)

Merujuk pada ayat di atas, maka tujuan sebenarnya dalam membangun rumah tangga ialah ketenangan (sakinah), rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Barangkali berangkat dari ayat ini muncullah ungkapan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” yang acapkali didengungkan sebagai ucapan doa untuk kedua mempelai pengantin yang sedang berbahagia.

Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi dalam buku tafsirnya (Tafsir Al-Sya’rawi, 18/11359) mengejawantahkan makna sakinah mawaddah dan rahmah. Sebelumnya beliau menegaskan bahwa ayat ini memiliki semangat keadilan gender, dalam arti baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan memiliki perbedaan. Dan dengan perbedaan tersebut masing-masing harus saling melengkapi satu sama lain, bukan saling mengunggulkan diri apalagi mendiskriminasi. Masing-masing pihak memiliki tugasnya masing-masing dan bila tugas tersebut dilakukan secara baik, maka suatu pasangan akan memiliki kehidupan pernikahan yang ideal paripurna.

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa pondasi pertama, yaitu sakinah (ketenangan), merupakan alasan pokok dalam pernikahan.Setiap individu dalam suatu ikatan, baik laki-laki maupun perempuan, harus menjadi tempat menemukan ketenangan bagi pasangannya. Suami yang lelah bekerja akan mendapatkan moodnya kembali saat pulang ke rumah, begitupun sebaliknya. Ketenangan ini bisa dicapai apabila setiap pasangan saling memahami dan saling melengkapi tugasnya masing-masing.

Tak cukup dengan ketenangan saja, diperlukan juga rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Syekh Asy-Sya’rawi mengartikan mawaddah sebagai rasa saling mencintai (al-hubb al-mutabādil) sepanjang menjalani hidup.Setiap pasangan menjalani tugasnya masing-masing dalam bingkai kesalingan dalam cinta dan kasih sayang.

Sebagai penutup, sifat kasih sayang (rahmah) menjadi benteng terakhir yang berdiri kokoh dalam menjaga pertahanan rumah tangga. Sebab, bagaimanapun sikap dan kondisi manusia adakalanya mengalami perubahan; yang asalnya kuat menjadi lemah, kaya menjadi miskin dan penampilan fisik pun tak luput dari perubahan. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyebut sifat rahmah di bagian paling akhir sebagai perekat terakhir bagi suatu ikatan saat kedua sifat sebelumnya (sakinah & mawaddah) menjadi retak diakibatkan oleh riuhnya warna-warni kehidupan.

Walhasil, sebagaimana yang dikatakan oleh Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya qirā’ah mubādalah, kedua pihak–baik suami maupun istri–dituntut aktif untuk saling membahagiakan pasangannya dengan dorongan rahmah, sekaligus memperoleh kebahagiaan dari pasangannya dengan modal mawaddah, sehingga sakinah sebagai salah satu tujuan pernikahan juga bisa dirasakan oleh kedua pihak.

Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Sudahlah Maafkanlah Dia Agar Allah Memaafkan Kita

Maafkanlah dia agar Allah memaafkan kita. Semoga kita bisa menghilangkan dendam, kesalahan orang lain tak perlu kita tuntut di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)

Penjelasan ayat

Disebutkan oleh Aisyah saat ujian yang menimpanya ketika difitnah berselingkuh, ia mengatakan,

“Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan sepuluh ayat (terbebasnya Aisyah dari tuduhan selingkuh), maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu–beliau adalah orang yang memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anhu karena masih ada hubungan kerabat dan karena ia orang fakir–berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.’ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat berikut (yang artinya), “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

“Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.’ Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai persoalanku. Beliau berkata, ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Dialah di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha bertentangan dengannya. Maka, binasalah orang-orang yang binasa.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)

Pelajaran penting yang bisa dipetik dari ayat di atas tentang memaafkan:

  1. Memaafkan orang lain adalah sebab Allah memberikan ampunan kepada kita.
  2. Wajibnya memberikan maaf ketika ada yang mau bertaubat dan memperbaiki diri.
  3. Kejelekan tidaklah dibalas dengan kejelekan, balaslah kejelekan dengan kebaikan. Berikanlah maaf kepada orang yang berbuat jelek kepada kita. Inilah ayat-ayat dan hadits yang memerintahkan untuk memaafkan yang lain walau berat untuk memaafkan.

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asyu-Syura: 40)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin membuatnya mulia. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588)

  1. Memaafkan yang salah berlaku jika yang salah tersebut tahu akan kesalahan dan kezalimannya, ini dianjurkan. Begitu pula ketika dengan memaafkannya, maka akan lebih menyelesaikan masalah dan kita yang mengalah. Hal ini tidak berlaku jika yang berbuat zalim terus menerus zalim dan melampaui batas. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS. Asy-Syura: 39)

Baca kisah berikut, keutamaan orang yang tidak hasad dan dendam

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun berkata, ‘Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga.’ Maka munculah seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Maka orang tersebut menjawab, “Silakan.”

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya,

“Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah bertutur, ‘Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.’

Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka aku pun berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali bahwa akan muncul kala itu kepada kami seorang penduduk surga. Lantas engkaulah yang muncul, maka aku pun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku teladani. Namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Lantas apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat.’ Abdullah bertutur,

فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad, 3: 166. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Maafkan dan Hapuslah Dendam

Kesimpulan mudahnya dari ayat yang kita bahas, maafkanlah orang yang berbuat salah kepada kita, semoga Allah memaafkan kesalahan kita pula. Tak perlu kita menuntut balasan kesalahan dia di akhirat, karena kita juga belum tentu selamat. Kalau kita masih kurang puas dengan alasan ini, ingat saja bahwa Allah itu Maha Pengampun. Semua dosa kita itu dimaafkan oleh Allah ketika kita mau bertaubat nashuha walaupun itu dosa syirik dan dosa besar. Lantas kenapa kita sebagai manusia tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, padahal bisa jadi itu hanya kesalahan kecil atau kesalahan yang hanya sekali atau itu kesalahan yang bisa dimaafkan agar tidak membuat hati kita sakit.

Semoga kita bisa memaafkan dan menghilangkan rasa dendam, walaupun sebagian kita merasakan berat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Tonton video bahasan memaafkan di sini:

https://youtube.com/watch?v=yvhEbeNlAg8%E2%80%94

Catatan 22 Syawal 1442 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul DIY

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28515-sudahlah-maafkanlah-dia-agar-allah-memaafkan-kita.html

Orang Sakit Yang Tidak Bisa Ke Tempat Wudhu, Bagaimana Wudhunya?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal

Ada orang yang sakit dan ia tidak mampu untuk pergi ke tempat wudhu. Maka cara wudhunya? Apakah ia boleh tayamum padahal masih mungkin ia meminta seseorang untuk membawakan air untuknya?

Syaikh menjawab

من لا يستطيع الوصول إلى دورة المياه فإنه يحضر له الماء ويتوضأ في مكانه؛ لقول الله تعالى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن:16] وهو إذا لم يستطع الوصول إلى الحمام يستطيع أن يحضر له الماء ويتوضأ منه، ولا يجوز التهاون في هذا.

Orang yang tidak mampu untuk pergi ke tempat wudhu, maka hendaknya dibawakan air kepadanya untuk berwudhu di tempatnya. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16). Sehingga jika ia tidak mampu untuk pergi ke kamar mandi, maka dibawakan kepadanya air untuk berwudhu. Dan tidak boleh bermudah-mudah (untuk tayammum) dalam keadaan ini.

فأما إذا كان يشق عليه نفس الوضوء سواء ذهب إلى الحمام أو توضأ في مكانه فحينئذٍ يتيمم.

Adapun jika ia sangat sulit untuk pergi ke kamar mandi dan sulit untuk wudhu di tempatnya, maka ketika itu baru boleh tayammum.

Sumber: Fatawa Liqa asy Syahri no. 30

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66464-orang-sakit-yang-tidak-bisa-ke-tempat-wudhu-bagaimana-wudhunya.html

Mengenal Syafa’at Rasulullah SAW pada Hari Kiamat

Syafa’at secara bahasa artinya pertolongan. Di Akhirat kelak, Rasulullah SAW akan memberikan syafaatnya kepada seluruh makhluk termasuk kepada umatnya. Ada banyak macam-macam syafaat. Ada syafaat umum dan syafaat khusus.

Berikut macam-macam Syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW) sebagaimana dijelaskan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan.

1. Syafaat khusus oleh Nabi Muhammad, tidak ada sebab makhluk lainnya.
Ini juga ada dua macam: Pertama. Ini berupa Syafaat Al-Uzhma atau Syafaat Al-Kubra artinya syafaat terbesar, yaitu saat manusia diberikan tempat yang terpuji.

Hakikat syafaat ini adalah syafaat untuk seluruh makhluk di saat mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar begitu lama, manusia begitu susah, sedih, dan berat, sampai-sampai mengatakan: “Siapa yang akan menolong kita?” Lalu mereka mendatangi para Nabi satu persatu lalu para Nabi menjawab: “Bukan aku orangnya”. Hingga akhirnya mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Beliau menjawab: “Ana laha, ana laha – Akulah yang memberikan syafaat.”

Ini adalah syafaat spesial dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -dengan izin Allah Ta’ala. Hadisnya banyak, termasuk dalam Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim).

Salah satunya dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

إِنَّ النَّاسَ يَصِيرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جُثًا كُلُّ أُمَّةٍ تَتْبَعُ نَبِيَّهَا يَقُولُونَ يَا فُلَانُ اشْفَعْ يَا فُلَانُ اشْفَعْ حَتَّى تَنْتَهِيَ الشَّفَاعَةُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ يَوْمَ يَبْعَثُهُ اللَّهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ

“Sesungguhnya pada hari Kiamat kelak manusia akan menjadi bangkai. Setiap umat akan mengikuti Nabinya hingga mereka saling berkata; ‘Ya Fulan, berilah aku syafaat. Ya fulan, berilah aku syafaat.’ Sampai akhirnya mereka mendatangi Nabi Muhammad. Itulah hari ketika Allah membangkitkan Nabi Muhammad pada kedudukan yang terpuji.” (HR. Al-Bukhari No 4718)

2. Syafaat Rasulullah kepada Ahlul Jannah untuk Memasuki Surga.
Hal ini berdasarkan hadis berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آتِي بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ فَيَقُولُ الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ فَأَقُولُ مُحَمَّدٌ فَيَقُولُ بِكَ أُمِرْتُ لَا أَفْتَحُ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ

“Dari Anas bin Malik dia berkata, “Rasulullah bersabda: “Saya mendatangi pintu surga pada hari Kiamat, lalu saya meminta dibukakan. Lalu seorang penjaga (Malaikat) bertanya, ‘Siapa kamu? ‘ Maka aku menjawab, ‘Muhammad’. Lalu ia berkata, “Khusus untukmu, aku diperintahkan untuk tidak membukakan pintu untuk siapapun, sebelum kamu masuk.” (HR. Muslim No 179)

Dalam hadits lainnya:

أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا أَوَّلُ شَفِيعٍ فِي الْجَنَّةِ لَمْ يُصَدَّقْ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ مَا صُدِّقْتُ وَإِنَّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ نَبِيًّا مَا يُصَدِّقُهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلَّا رَجُلٌ وَاحِدٌ

“Anas bin Malik berkata, Nabi bersabda, “Aku adalah pemberi syafaat pertama (untuk masuk) ke dalam surga. Tidaklah seorang nabi dibenarkan (oleh umatnya) sebagaimana aku dibenarkan. Dan sungguh, di antara para nabi ada yang tidak dibenarkan oleh umatnya sama sekali, kecuali hanya seorang laki-laki.” (HR. Muslim No 196)

3. Syafaat Rasulullah Khusus Bagi Umatnya yang Masuk Surga Tanpa Hisab.
Berikut dalilnya:

ثُمَّ يُقَالُ يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ فَأَرْفَعُ رَأْسِي فَأَقُولُ أُمَّتِي يَا رَبِّ أُمَّتِي يَا رَبِّ أُمَّتِي يَا رَبِّ فَيُقَالُ يَا مُحَمَّدُ أَدْخِلْ مِنْ أُمَّتِكَ مَنْ لا حِسَابَ عَلَيْهِمْ مِنْ الْبَابِ الْأَيْمَنِ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ وَهُمْ شُرَكَاءُ النَّاسِ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ الْأَبْوَابِ

“Kemudian dikatakan: Hai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah pasti kau diberi, berilah syafaat nicaya kau diizinkan untuk memberi syafaat. Maka aku mengangkat kepalaku, aku berkata, Wahai Rabb, umatku, wahai Rabb, umatku, wahai Rabb, umatku. Dia berkata, Hai Muhammad, masukkan orang yang tidak dihisab dari umatmu melalui pintu-pintu surga sebelah kanan dan mereka adalah sekutu semua manusia selain pintu-pintu itu.” (HR Al-Bukhari No 4343)

4. Syafaat Rasulullah Khusus untuk Pamannya, Abu Thalib.
Dalilnya:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذُكِرَ عِنْدَهُ عَمُّهُ أَبُو طَالِبٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ

“Dari Abu Sa’id Al-Khudzri radhiyallahu’anhu, ia mendengar Rasulullah yang ketika paman beliau, Abu Thalib, sedang diperbincangkan. Maka beliau bersabda, “Semoga syafaatku berguna baginya, sehingga ia tidak diletakkan dalam neraka yang dalam, yang tingginya sebatas kedua mata kakinya, namun itu pun menjadikan ubun-ubun kepalanya mendidih.” (HR Al-Bukhari No 6564)

Selain Syafaat Khusus, Rasulullah SAW memiliki Syafaat Umum. Yaitu syafaat kepada manusia dengan sebab yang lebih umum seperti Al-Qur’an, para Malaikat, orang-orang saleh. Ini juga dalilnya begitu banyak dan sahih.

Demikian keagungan Syafaat Rasulullah SAW yang perlu diketahui umat Islam. Semoga kelak kita termasuk orang-orang yang mendapat Syafaat Nabi Muhammad. Aamiin..

Wallahu A’lam

KALAM SINDONEWS

Keutamaan Suami Istri yang Saling Mengingatkan untuk Ibadah

Islam adalah agama yang sangat menekankan ibadah kepada Allah. Dalam satu firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Secara bahasa, ibadah adalah ketundukan, ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Ibadah juga diartikan segala hal atau perbuatan/sikap yang mendatangkan ridha Allah. Berikut keutamaan suami istri yang saling mengingatkan untuk ibadah.

Salah satu bentuk ketaatan yang didorong untuk bisa dilakukan suami istri adalah saling membangunkan untuk ibadah bersama, sholat berjamaah dan sholat Tahajjud. Jika hal ini bisa dilakukan, ada keutamaan yang menanti suami istri.

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ رَشَّ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى رَشَّتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah memberi rahmat seorang laki-laki yang bangun malam kemudian shalat, lalu membangunkan istrinya kemudian sholat. Jika istrinya enggan ia memercikkan air di wajahnya. Dan semoga Allah memberi rahmat seorang wanita yang bangun malam kemudian sholat, lalu membangunkan suaminya kemudian sholat. Jika suaminya enggan ia memercikkan air di wajahnya.” (HR. Ibnu Majah)

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Allah akan merahmati seseorang yang bangun malam kemudian sholat lalu membangunkan istrinya. Apabila istrinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya, dan Allah akan merahmati seorang istri yang bangun malam lalu sholat, kemudian dia membangunkan suaminya, apabila suaminya enggan, maka istrinya akan memercikkan air ke wajah suaminya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Kedua hadis ini sangat mirip sama-sama dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Intinya kedua hadis sama-sama menjelaskan keutamaan suami istri yang saling membangunkan untuk sholat malam akan mendapatkan rahmat (kasih sayang) dari Allah.

Keutamaan lainnya diterangkan dalam hadis berikut:

مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Barangsiapa yang bangun malam dan membangunkan istrinya kemudian mereka berdua melaksanakan shalat dua rakaat secara bersama, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu mengingat Allah Ta’ala.” (HR. Abu Daud)

Wallahu A’lam

KALAM SINDO

Rabithah Alawiyah: Jangan Benturkan Alquran dan Pancasila

Ketua Umum Rabithah Alawiyah menyatakan Indonesia patut bersyukur punya Pancasila

Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zein Umar bin Smith menyatakan bangsa Indonesia patut bersyukur karena memiliki falsafah negara, Pancasila.  

“Pendiri negara ini telah membuat Pancasila sebagai falsafah negara dan dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia,”ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (1/6). 

Pancasila diawali dengan Ketuhanan yang Maha-Esa, sehingga sudah selayaknya bangsa ini didirikan untuk orang yang beragama apapun agamanya tidak hanya Islam saja. Sebagai umat Islam tentu Pancasila sudah sewajarnya dijadikan pedoman hidup (way of life) karena isi sila pertama itu sama dengan bunyi ayat pertama Al Ikhlas  قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha-Esa.

“Ketika orang itu hidup berdasarkan ajaran ketuhanan maka dia akan menjadi manusia yang adil dan beradab,”ujar dia.  

Mereka akan saling tolong-menolong karena memiliki sikap ikhwanul basyariyah. Disinilah persatuan bangsa Indonesia terbentuk. Demikian juga adanya musyawarah jika ada satu masalah, ini merupakan turunan dari sila pertama.  

Bangsa Indonesia harus memahami sila pertama ini dengan baik dan bukan sekadar dijadikan slogan semata, karena pendiri negara telah sepakat dan juga menjadi mukadimah UUD 1945. 

Hanya saja hal yang patuti diperhatikan adalah saat ini ada oknum elite politik yang alegi terhadap agama, tentu bukan mewakili rakyat. Mereka yang terkontaminasi bahaya sosialis berusaha untuk merubah Pancasila menjadi trisila bahkan ekasila.  

“Saya harap bangsa Indonesia jangan terpancing bahkan jika ada oknum yang membenturkan Alquran dengan Pancasila. Karena Alquran sudah sejalan dengan isi Pancasila, meski tetap berbeda asal muasalnya,”jelas dia. 

Habib Zein juga mengingatkan jangan pernah mempertanyakan rakyat untuk memilih antara kitab suci dan Pancasila. Karena mereka yang beragama apapun akan mendahulukan kitab sucinya karena kitab suci tidak hanya pedoman hidup di dunia, tetapi hingga akhirat. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Serial Doa: Do’a Menolak Firasat Buruk

اَللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَـهَ غَيْرُكَ

ALLAAHUMMA LAA THOIRO ILLAA THOIRUKA
WA LAA KHOIRO ILLAA KHOIRUKA
WA LAA ILAAHA GHOIRUKA

“Ya Allah, Tidak ada kesialan kecuali kesialan yang Engkau tentukan, dan tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, serta tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”

HR. Ahmad

Poster Do’a Menolak Firasat Buruk

Share this:

Read more https://yufidia.com/7154-serial-doa-doa-menolak-firasat-buruk.html

Hukum Tidur saat Khutbah Jumat

Ust, apakah tertidur saat khutbah hukumnya bisa batal wudhu?

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu was salaam ‘ala Rasulillah.

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidur merupakan kondisi yang berpotensi datangnya sebab keluarnya hadas, yang merupakan pembatal wudhu. Di dalam bahasa fikih diistilahkan “Madhinnah Lil Hadats”. Diungkapkan demikian karena sebenarnya tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Wudhu orang yang tidur bisa batal jika memungkinkan keluarnya hadas, seperti tidur yang sangat nyenyak.

Dari sahabat Sofwan bin ‘Assal radhiyallahu’anhu beliau menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلا مِنْ جَنَابَةٍ ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf (kaos kaki kulit) kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, kencing, dan tidur.” (HR. Tirmizi, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Batasan Tidur yang Membatalkan Wudhu

Para ulama berbeda pendapat tentang tidur yang seperti apa, ada yang mengatakan:

Pertama, semua bentuk tidur membatalkan wudhu.

Kedua, tidak ada tidur yang membatalkan wudhu.

Ketiga, jika tidurnya sambil duduk maka wudhu tidak batal. Namun jika tidurnya tidak dalam posisi duduk, maka wudhu batal.

Keempat, semua tidur dapat membatalkan wudhu, kecuali tidur ringan, baik itu tidur dengan posisi duduk ataupun berdiri.

Batasan berat dan ringannya adalah selama seorang masih dapat merasakan jika ada hadas yang keluar, kentut misalnya, maka tidurnya disebut ringan. Namun jika tidak merasakan sama sekali, maka disebut tidur yang berat.

Pendapat yang Kuat (Rajih)

Pendapat yang kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat keempat. Bahwa yang dapat membatalkan wudhu adalah tidur berat saja. Adapun tidur ringan, tidak.

Alasannya adalah:

Karena pendapat ini dapat mengkompromikan dalil-dalil yang ada, tentang tertidur setelah bersuci apakah membatalkan wudhu atau tidak.

Karena selain hadis dari sahabat Sofwan bin ‘Assal di atas, ada hadis lain dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang tampak berbeda. Beliau menceritakan,

أن الصَّحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العِشاء على عهد رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ حتى تخفِقَ رؤوسهم ثم يُصلُّون ولا يتوضؤون

“Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menunggu sholat jama’ah isya di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sampai kepala mereka mematuk-matuk (karena ngantuk). Lalu mereka sholat tanpa mengulang wudhu.” (HR. Muslim)

Sisi komprominya adalah:

Hadis ini dimaknai tidur yang ringan, tidak membatalkan wudhu.

Lalu hadis Sofwan bin ‘Assal dimaknai tidur yang berat, mengakibatkan wudhu batal.

Di antara ulama yang menguatkan kesimpulan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah.

Pendapat ini dikuatkan oleh hadis,

العين وِكَاء السَّهِ ، فإذا نامت العينان استطلق الوكاء

“Mata adalah tutupnya dubur. Jika mata tertidur maka tutup dubur akan terlepas.” (HR. Ahmad, dinilai Hasan oleh Syaikh Al Albani)

Wallahu a’lam bis showab.

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/36915-hukum-tidur-saat-khutbah-jumat.html