Cara Menyikapi Atribut Bertuliskan Kalimat Tauhid

Bagaimana cara menyikapi atribut bertuliskan kalimat tauhid? Apakah boleh digunakan atau bagaimana? Simak penjelasannya pada artikel berikut ini! Semoga bermanfaat.

Cara Menyikapi Atribut Bertuliskan Kalimat Tauhid

Tanya Jawab Grup WA Akhawat Bimbingan Islam

Pertanyaan:

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Afwan,ada titipan pertanyaan dari Sahabat BiAS,

Ustadz, berkaitan dengan banyaknya baju / topi yang bertuliskan kalimat tauhid bagaimana kita menyikapinya? Apakah memang di perbolehkan kita memakai seperti itu?

Jazaakallaahu Khoyron

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

(Disampaikan oleh Admin BiAS)

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh

Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Sebelum kita jawab, perlu ditelusuri dulu apa niat dan latar belakang memakai atribut tauhid itu? sebagai pertanda keimanan? atau untuk syiar islam?

Jika tujuannya sebagai pertanda keimanan, maka tidak perlu. Kenapa? Memakai atribut tauhid tidak menunjukkan level keimanan seseorang, tidak berbanding lurus dengan kualitas keimanan seseorang. Walaupun ia memakai atribut tauhid mulai dari kaos, rompi, syal, sampai topi, tidak akan otomatis membuatnya jadi ahli tauhid. Lebih baik ia buktikan kualitas keimanannya dengan memahami atau mempelajari tentang tauhid dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun jika mengenakan atribut untuk syiar, ini juga tidak perlu. Kenapa? Walaupun disana ada sisi positifnya, namun banyak diantara kita yang masih belum tau batasan-batasannya. Bisa jadi saat ia berusaha mensyiarkannya pada khalayak, yang ada justru merendahkannya.

Sejatinya memakai atribut tauhid dapat mempersempit ruang gerak, atau malah berpotensi melakukan kesalahan. Misal para pemakai atribut tauhid jika akan menunaikan buang hajat, masuk kamar mandi harus dilepas, dan ini tentu saja merepotkan. Kalau sekedar topi mungkin tidak masalah, tapi kalau kaos? Saat sedang jalan ke mall dan butuh ke kamar mandi, maka ia pun harus melepas kaosnya sebelum masuk kamar mandi, repot kan? Dan andai ia terlanjur masuk kamar mandi dengan memakai atribut tauhid ‘Laa Ilaaha Illallah’, tercatat baginya dosa karena merendahkan kalimat tauhid. Karenanya, lebih baik hal ini dihindari.

Apakah lantas dilarang memakai antribut secara mutlak?

Berarti tidak boleh kita pakai atribut tauhid apapun tujuannya? Boleh, tapi harus paham konsekuensinya dan ada hal lain yang harus lebih diprioritaskan. Dan ini harus dipahami bukan dari sisi konsumen atribut tauhid saja, tapi juga produsennya. Ia harus memahami bahwa kalimat tauhid adalah kalimat yang mulia, sebagaimana mulianya Al-Quran. Maka tidak boleh ia meremehkan dan merendahkannya, bahkan terlarang pula baginya untuk melakukan sesuatu yang berpotensi merendahkan kalimat mulia tersebut.

Para ulama telah menjelaskan tentang hal ini,

قال الإما فخر الدين الزيلعي الحنفي رحمه الله : وَيُكْرَهُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى على ما يُفْرَشُ ، لِمَا فيه من تَرْكِ التَّعْظِيمِ ، وَكَذَا على الْمَحَارِيبِ وَالْجُدْرَانِ ، لِمَا يُخَافُ من سُقُوطِ الْكِتَابَةِ ، وَكَذَا على الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ

Imam Fakhruddin Az-Zaila’i Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Dimakruhkan menulis Al-Qur’an dan Nama-nama Allah Ta’ala (lafadz Allah) di sesuatu yang dihamparkan. Karena hal itu termasuk meninggalkan pengagungan terhadapnya (meremehkan atau merendahkan). Begitu juga (menulis) di mihrab dan dinding. Karena dikhawatirkan tulisannya jatuh. Begitu juga di koin dirham dan dinar.” (Tabyinul Haqaiq, 1/58) .

وقال الشيخ محمد بن عليش المالكي رحمه الله : وينبغي حُرمة نقش القرآن ، وأسماء الله تعالى مطلقاً ، لتأديته إلى الامتهان ، وكذا نقشها على الحيطان

Syaikh Muhammad bin Ulaisy Al-Maliky rahimahullah berkata, “Seyogyanya diharamkan mengukir Al-Qur’an dan Nama-nama Allah secara mutlak. Karena bisa menuju penghinaan, begitu juga mengukir di dinding.” (Minahul Jalil, 1/517-518).

Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah yang mewakili pendapat Syafi’iyyah juga mengatakan hal yang sama,

قال الإمام النووي رحمه الله : وتكره كتابته على الجدران عندنا

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dan dimakruhkan menulisnya di dinding menurut (madzhab) kami.” (At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal 110)

Cara memuliakan lafal Tauhid adalah dengan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari

Nah, jika kalimat mulia seperti Lafal Allah, Kalimat Tauhid, atau bahkan Al-Quran saja tidak dianjurkan untuk diletakkan/ditulis di sembarang tempat karena khawatir adanya potensi diremehkan, apalagi jika mengenakannya. Jangan sampai saat mengenakan pakaian beratribut tauhid namun dibarengi dengan maksiat, dibarengi dengan merokok, dan aktivitas maksiat lainnya. Kecuali jika ia bisa menjaga adab-adabnya dan paham batasan-batasannya. Dan kecuali pula jika itu untuk hal yang sifatnya syiar dan urgent, seperti lafal mulia yang terpampang pada bendera suatu negara (Saudi Arabia), karena memang sifatnya sebagai lambang identitas dan pembeda dengan yang lain, atau pada bendera perang di zaman dahulu. Karena memang tidak ada kita dapati dalam literatur-literatur sejarah, bahwa para sahabat menuliskan lafal tauhid di pakaian mereka, di kain jubah atau gamis mereka. Justru dengan tidak menuliskan dan meletakkan di sembarang tempat itulah yang dikatakan sebagai bentuk pemuliaan lafal tauhid. Sebab para salafus sholeh telah paham, bahwa yang terpenting bukan mengenakan atribut berlafalkan tauhid, tapi memahami, memuliakan, dan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.

Wallahu A’lam

Wabillahittaufiq.

BIMBINGAN ISLAM

Pengaruh Penting Mengimani Sifat Khabariyyah

Sifat khabariyyah yaitu sifat yang penetapannya berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah saja. Jika tidak ada dalil yang menyebutkannya, akal kita tidak mampu menetapkan sifat tersebut. Di antara sifa-sifat khabariyyah adalah wajah (الوجه), tangan (اليدين), jari-jemari (الاصابع), telapak kaki (القدمين), betis (الساق), dan yang lainnya. Semua sifat-sifat ini terdapat penetapannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Bagaimana Cara Mengimani Sifat Khabariyyah ?

Keimanan yang benar terhadap seluruh sifat-sifat Allah adalah sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah,

“Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan Rasulullah tetapkan untuk Allah tanpa melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif.“

Tahrif artinya menyelewengkan makna dari makna yang seharusnya. Ta’thil maksudnya menolak dan mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, baik mengingkari keseluruhan maupun sebagian. Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik) suatu sifat. Adapun yang dimaksud tamtsil  yaitu menyamakan nama dan sifat Allah dengan makhluk. Semuanya ini terlarang dalam mengimani sifat-sifat Allah. [1]

Kewajiban kita terhadap setiap penyebutan ayat-ayat sifat dalam Al Qur’an dan As Sunnah -termasuk juga terhadap sifat khabariyyah– adalah mengimani dan menetapkannya untuk Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala serta tidak menyerupakannya dengan makhluk.

Pengaruh Penting Mengimani Sifat Khabariyah Bagi Seorang Hamba

Barangsiapa mengimani dan membenarkannya sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah tanpa melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif  maka sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan. Sebaliknya, barangsiapa yang lebih mengedepankan akalnya yang rusak daripada dalil shahih kemudian menolak sifat-sifat tersebut, atau menyelewengkan maknanya, atau menganggapnya sebagai majaz, maka dia sungguh telah melakukan kesalahan fatal dan merugi. Mengapa? Karena dengan demikan berarti dia telah membedakan antara sebagian sifat Allah dengan sifat-sifat yang lain. Dia juga berarti telah mendustakan Allah mengenai sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya yang disebutkan dalam Al Qur’an. Demikian pula, berarti dia telah mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai sifat-sifat Allah yang telah beliau tetapkan untuk Allah melalui hadits-hadits yang shahih.

Seandainya tidak ada buah manis mengimani sifat-sifat ini kecuali menjadikan orang yang mengimaninya termasuk ke dalam golongan orang beriman dan bertauhid, maka ini sudah cukup. Seandainya tidak ada pengaruh mengimani sifat-sifat tersebut kecuali hal ini menjadi menjadi pembeda antara orang yang jujur dalam keimanan dan tauhidnya dengan orang-orang yang berdusta dan menyelewengkan makna firman Allah dan sabda rasul-Nya, maka ini pun sudah cukup.

Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah

Namun ternyata, masih ada pengaruh penting yang lain dalam mengimani sifat-sifat khabariyyah tersebut, di antaranya:

  • Jika Engkau mengimani bahwasanya Allah memiliki wajah yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah, dan melihat wajah-Nya adalah di antara nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya di hari kiamat, niscaya hal ini akan menjadi motivasi besar bagi hamba untuk beramal dan meminta kepada Allah agar kelak bisa melihat wajah-Nya yang mulia.
  • Jika Engkau beriman bahwa Allah memiliki tangan dan seluruh kebaikan berada di tangan-Nya, maka Engkau pun akan termotivasi untuk hanya meminta kepada Allah, yang segala sesuatu berada di tangan-Nya.
  • Jika Engkau mengetahui dan mengimani bahwa hatimu berada di antara jari-jemari Allah, niscaya Engkau akan terus meminta kepada Allah agar meneguhkan hatimu di atasa agama Islam. [2]

Demikian pula seterusnya untuk sifat-sifat yang lain. Hal ini hanya akan didapatkan oleh seorang mukmin yang benar keimanannya terhadap sifat-sifat Allah di atas. Duhai sungguh merugi, bagi orang-orang yang menolak sifat tersebut sehingga tidak ada motivasi baginya untuk beramal dan mendapatkan berbagai kebaikan.

Masih banyak sifat-sifat Allah yang lain. Tidak ada satu pun sifat Allah kecuali bagi orang yang mengimaninya pasti akan mendapat buah yang manis dan pengaruh positif dari keimanannya tersebut. Sungguh nikmat yang agung bagi Ahlus sunnah wal jamaah yang beriman dengan benar terhadap setiap sifat-sifat Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.

– – –

Penulis : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Buah dari Istiqomah

Secara hukum akal, Istiqomah dalam segala sesuatu pasti akan membuahkan hasil yang besar. Dalam urusan dunia saja Istiqomah dan ketelatenan akan menghasilkan hasil yang luar biasa, apalagi dalam urusan akhirat.

Amalan kecil yang terus dilakukan secara Istiqomah lebih baik daripada amal besar yang dilakukan sekali dua kali saja.

Istiqomah akan membuahkan hasil yang beragam dan tak pernah terputus. Istiqomah adalah salah satu pintu dari pintu-pintu kebaikan yang membawa keberkahan bagi yang melaksanakannya.

Kita seringkali bersemangat dalam melakukan kebaikan, tapi yang sangat sulit adalah ber-istiqomah dalam menjalankannya. Bila kita ingin bahagia di dunia dan akhirat, maka Istiqomah adalah jalan terbaik untuk meraihnya.

Adapun buah yang akan dihasilkan oleh Istiqomah antara lain :

1. Melimpahnya kebaikan.

Yakni melimpahkan kenikmatan materi untuk ciptaan Allah secara umum. Seperi yang disebutkan dalam Surat Jin :

وَأَلَّوِ ٱسۡتَقَٰمُواْ عَلَى ٱلطَّرِيقَةِ لَأَسۡقَيۡنَٰهُم مَّآءً غَدَقٗا

“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.” (QS.Al-Jinn:16)

2. Keamanan di hari kiamat.

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqomah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati.” (QS.Al-Ahqaf:13)

Selamatnya seseorang dari rasa takut dan kesedihan di akhirat adalah termasuk berkah teragung di hari kiamat.

3. Menjadi sebab kecintaan Malaikat kepada seorang hamba sehingga ia mendapatkan bantuan dan kekuatan dari Malaikat tersebut.

نَحْنُ أَوْلِيَآؤُكُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS.Fushilat:31)

4. Kabar gembira berupa surga.

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushilat:30)

5. Kesuksesan dan keberuntungan.

Sebenarnya poin kelima ini memiliki satu makna dengan poin sebelumnya, karena Surga adalah kesuksesan terbesar.

Rasulullah Saw bersabda :

إِن تَستَقِيمُوا تُفلِحُوا

“Bila engkau ber-istiqomah maka engkau akan beruntung (berhasil).”

6. Keselamatan.

Karena Istiqomah adalah tempat perlindungan seorang mukmin dari jebakan kesalahan.

Sayyidina Ali bin Abi tholib berkata :

من لزم الإستقامة لزمته السلامة

“Siapa yang menjalankan Istiqomah maka ia pasti akan selamat.”

7. Kemuliaan di dunia dan akhirat.

Sayyidina Ali bin Abi tholib berkata :

عَلَيكَ بِمَنهَجِ الإستِقَامَة فَإِنَّهُ يكسبك الكَرَامة و يكفيك الملامة

“Hendaknya engkau ber-istiqomah, karena hal itu akan mendatangkan kemuliaan dan akan menghindarkanmu dari cercaan.”

8. Kebahagiaan.

Sayyidina Ali bin Abi tholib berkata :

أَفضَلُ السَّعَادَة اِستِقَامَة الدِّين

“Sebaik-baik kebahagiaan adalah Istiqomah dalam agama.”

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Salah Kaprah Istilah “Khalifah”

Syaikh Shalih bin Abdillah Al Ushaimi –hafizhahullah

Amir adalah nama untuk orang yang mengurusi urusan manusia dalam hal kekuasaan dan hukum. Ada beberapa nama lain untuk makna ini, dia bisa disebut hakim, sultan, khalifah, dan imam. Nama-nama ini meskipun berbeda-beda, tapi maknanya sama. Nama-nama tersebut dalam syariat dipakai sebagai julukan untuk setiap orang yang mengurusi urusan manusia dalam pengaturan kekuasaan dan hukum.

Dan termasuk KESALAHAN, persangkaan bahwa nama khalifah itu (hanya) untuk orang yang mengumpulkan seluruh manusia dalam kekuasaannya, bahwa hanya dia yang berhak dibaiat secara syar’i, bahwa tidak ada baiat kecuali untuk seorang khalifah!

Karena istilah khalifah dalam syariat dan bahasa adalah julukan untuk setiap orang yang mengurusi urusan makhluk dalam hal hukum (kekuasaan), baik mereka (yang berada di bawahnya) itu seluruh kaum muslimin, atau sebagiannya. Dia dinamakan khalifah (penerus), karena dia meneruskan kekuasaan orang sebelumnya.

Maka siapapun yang telah sah kekuasaannya atas kaum muslimin, untuk semua kaum muslimin (di seluruh dunia) atau hanya di sebagian negeri; dia bisa disebut sebagai khalifah, karena dia telah didahului oleh orang sebelumnya yang mendahuluinya (dalam kekuasaan).

Dia juga -sebagaimana telah disebutkan tadi- disebut sebagai amir, hakim, sultan, dan imam. Nama-nama ini memiliki konsekuensi kewajiban yang sama dalam syariat, karena maknanya sama, yaitu orang yang mengurusi urusan manusia dalam hal kekuasaan dan hukum. Maka seorang yang hari ini disebut malik (raja) atau sultan atau amir, dia adalah khalifah secara syariat dan urf (pandangan masyarakat).

Sunnahnya orang yang menjadi pengatur (tertinggi) urusan seluruh kaum muslimin itu satu orang, namun apabila sunnah ini tidak bisa ditegakkan, maka tetap sah kekuasaan setiap orang yang telah diakui kekuasaan dan hukumnya di negeri yang dikuasainya.

Dan inilah yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin berabad-abad lamanya, dari sejak abad pertama (Islam) hingga sekarang ini. Dan telah ada IJMA’ (dari para ulama Islam) akan sahnya kekuasaan mereka, meskipun wilayah mereka terpisah-pisah. Ijma’ para ulama Islam dalam masalah ini telah disebutkan oleh sekelompok ulama, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, dan beberapa ulama yang lainnya.

***

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=RmgbSCEqc-Y

Penerjemah: Ust. Musyaffa’ Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (5)

Khilafah, Hadiah untuk Hamba-Nya yang Bertauhid

Dengan kembali kepada ajaran tauhid-lah, umat Islam ini akan kembali menemukan kejayaannya sebagaimana yang pernah diraih oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya dahulu. Allah Ta’ala telah berjanji kepada hamba-Nya, bahwa Allah akan memberikan kejayaan kepada ahli tauhid. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka menjelaskan hal ini,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia akan benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.” (QS. An-Nuur [24]: 55).

Di dalam ayat ini terdapat sesuatu yang dijanjikan, orang yang mendapat janji, dan kondisi (syarat) dimana janji tersebut dipenuhi. Adapun orang yang mendapat janji, mereka adalah orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih”, mereka adalah orang-orang yang mendapat janji.

Adapun sesuatu yang dijanjikan adalah tiga hal:

  1. Sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi”. Maksudnya, jika mereka tidak memiliki kekuasaan, maka dalam jangka waktu yang panjang atau pendek, Allah Ta’ala akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Allah Ta’ala telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa.
  2. Kemudian Allah Ta’ala berfirman tentang janji yang kedua yang artinya,“Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka”. Masalah terbesar yang diusahakan dan diinginkan oleh orang-orang yang beriman adalah mereka dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keteguhan. Mereka tidak takut dan tidak merasa lemah di dalam melaksanakan agama Allah Ta’ala. Bahkan mereka adalah orang-orang yang dihormati. Itu semua sesuai dengan janji Allah Ta’ala.
  3. Adapun janji yang ketiga adalah firman-Nya yang artinya,“Dan Dia akan benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa”. Setelah mereka merasakan sedikit ketakutan serta setelah Allah Ta’ala memenangkan dan meneguhkan agama mereka, maka setelah adanya ketakutan itu mereka menjadi aman sentosa. Mereka merasa aman terkait diri mereka sendiri, agamanya, anak-anak mereka, kehormatan mereka, dan terkait harta-harta mereka semua. Semua ini adalah karunia dan janji dari Allah Ta’ala.

Sedangkan kondisi (syarat) orang yang mendapat janji dijelaskan oleh kalimat berikutnya dalam firman Allah Ta’ala yang artinya,”Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku”. Maksudnya, ketika Allah menjadikan mereka berkuasa di bumi,meneguhkan bagi mereka agama merekadanmenukar keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, bagaimana kondisi mereka ketika itu dan sebelumnya? Yaitu bahwa mereka tetap menyembah Allah dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah Ta’ala.

Ini adalah pengaruh tauhid yang terbesar bagi manusia dalam konteks masyarakat dan negara. Yaitu kalau mereka menyembah Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, meyakini kebenaran tauhid dan menjauhi kesyirikan, maka mereka dijanjikan akan dibukakan anugerah dari Allah Ta’ala untuk mereka dengan ketiga hal ini. Demikian pula, akan dibukakan berkah untuk mereka dari langit dan dari bumi. Allah pun akan meluaskan rizki mereka. Sehingga mereka berada dalam kehidupan yang baik dan damai. [1]

Ayat ini seharusnya menjadi renungan bagi para da’i dan seluruh aktivis dakwah dan tokoh-tokoh Islam, bahwa kejayaan Islam yang mereka impi-impikan itu dapat diraih jika kaum muslimin mentauhidkan Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan kondisi kaum muslimin yang seperti itu tidaklah mungkin dapat diraih kecuali dengan memberikan perhatian serius terhadap dakwah tauhid, membina kaum muslimin dengan aqidah tauhid, serta membentengi umat ini dari segala hal yang menjadi lawan dari tauhid tersebut.

Hal ini pun telah terbukti pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak awal beliau berdakwah, beliau tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bahkan hanya sebagai sarana dakwah pun tidak. Namun, beliau tetap konsisten membina sahabatnya di atas aqidah tauhid selama bertahun-tahun di kota Mekah. Bahkan beliau rela hijrah ke Madinah karena kejahatan luar biasa kaum Quraisy Mekah terhadap beliau dan para sahabatnya demi menyelamatkan aqidah tauhid yang ada dalam hati mereka.

Pada saat itu, beliau tidak menyerukan untuk berjihad dan lebih memilih hijrah karena kondisi kaum muslimin yang memang masih lemah. Dengan penuh ketekunan, keuletan, dan kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-tarbiyah (membina) sahabatnya di atas tauhid sehingga semakin kuatlah tauhid tersebut menancap dalam dada kaum muslimin saat itu. Dan pada saat itulah, Allah Ta’ala membuktikan janji-Nya dengan membukakan kemenangan demi kemenangan kepada kaum muslimin sehingga mereka menjadi umat yang disegani di muka bumi ini. Kekuasaan mereka pun meluas dari jazirah Arab sampai Andalusia (Spanyol). Siapakah yang mengingkari fakta sejarah ini?

Sekarang, marilah kita melihat kondisi kaum muslimin saat ini. Ketika mereka meninggalkan ajaran agama mereka, dan yang paling penting adalah meninggalkan ajaran tauhid, maka kehinaanlah yang mereka alami saat ini. Kaum muslimin saat ini menjadi kaum yang terhinakan, harta-harta negeri kaum muslimin dirampas, nyawa mereka seolah tidak ada harganya, martabat mereka diinjak-injak, dan kehinaan demi kehinaan lain yang terus menimpa kaum muslimin saat ini. Semua ini adalah akibat dari berpalingnya mereka dari ajaran tauhid dan tersebarnya berbagai bentuk kesyirikan. Kehinaan ini tidak akan Allah Ta’ala cabut sampai kita semua kembali kepada agama Allah Ta’ala.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ »

Jika Engkau melakukan jual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), Engkau memegangi ekor-ekor sapi, Engkau merasa puas terhadap pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [2] [3]

[Selesai]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Disarikan dari ceramah Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah yang berjudul Fadhlu Tauhid wa Takfiiruhu li Dzunuub.

[2] HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 11.

[3] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (4)

Memulai dari Perbaikan Tauhid, atau Perbaikan Politik, Sosial, dan Ekonomi?

Kalaulah kita mau meneliti sejenak dakwah para Rasul, maka kita akan mendapati bahwa para Rasul semuanya memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Padahal, kondisi umat para Rasul tersebut berbeda-beda satu sama lain.

Di antara para Rasul tersebut ada yang menghadapi problem ekonomi sebagaimana yang dialami Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam. Salah satu problematika yang terjadi pada umat Nabi Syu’aib adalah masalah di bidang ekonomi. Karena umat beliau suka berbuat curang dalam jual beli dengan mengurangi takaran timbangan. Meskipun demikian, Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah tauhid sebelum memperbaiki kecurangan tersebut. AllahTa’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-A’raf [7]: 85).

Di antara para Rasul juga ada yang mengahadapi problematika kebobrokan moral, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam tergolong masyarakat yang moralnya sangat rusak. Mereka mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelum atau semasa mereka. Kaum laki-laki menggauli kaum laki-laki dan kaum perempuan menggauli kaum perempuan (kaum gay dan lesbian). Meskipun demikian, Nabi Luth ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah menuju perbaikan aqidah umatnya tersebut.

Demikian pula, seluruh Rasul menghadapi problem politik dan hukum karena umat mereka semua tentu tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Salah satu contohnya adalah sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Yusuf ‘alaihis salaam. Di antara kerusakan kaum beliau adalah menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadah dan berhukum sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Dalam kondisi tersebut, beliau ‘alaihis salaam tetap berdakwah kepada tauhid terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman ketika menceritakan kisah Nabi Yusuf,

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (40)

“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 39-40).

Demikianlah kondisi para Rasul. Meskipun umat-umat mereka berbeda dan berbeda pula problematika yang mereka hadapi, namun dakwah dan seruan kepada tauhid tetap menjadi prioritas utama.

Sekarang, marilah kita berfikir sejenak. Taruhlah kita menghadapi kerusakan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan hukum, di samping juga menghadapi kerusakan di bidang aqidah pada masyarakat kita sekarang ini. Pertanyaannya, apakah sama timbangannya di sisi Allah kemudian para Rasul-Nya antara kerusakan yang paling parah di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum dengan kerusakan di bidang aqidah? Atau apakah di antara keduanya ada yang lebih berbahaya, lebih membinasakan, dan lebih parah akibatnya?

Di dalam timbangan Allah Ta’ala dan timbangan para Nabi, tentu kerusakan yang lebih berat bahayanya adalah kerusakan di bidang aqidah berupa kesyirikan dengan segala macam bentuknya. Kalau kita tidak meyakini hal ini, dan tetap meyakini bahwa kerusakan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum itu lebih penting untuk diatasi, maka konsekuensinya kita menganggap bahwa seluruh Nabi dan Rasul adalah kumpulan orang-orang bodoh karena mereka tidak mengetahui prioritas dalam berdakwah dengan mendahulukan perbaikan aqidah sebelum perbaikan politik, ekonomi, sosial, dan hukum! [1,2] [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 105.

[2] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

___

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (3)

Rasulullah Menolak untuk Menjadi Raja dan Tetap Konsisten Memegang Dakwah Tauhid

Setiap orang yang hendak meneliti jejak dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa Rasulullah tidak pernah menjadikan kekuasaan atau mendirikan negara sebagai sarana atau bahkan sebagai tujuan utama dakwahnya. Buktinya, ketika ditawarkan kepada beliau untuk memegang kekuasaan sebagai seorang Raja, beliau tetap menolaknya. Beliau tetap konsisten memegang teguh metode dakwah yang telah ditempuh oleh seluruh Rasul yang pernah diutus, yaitu memulai dari aqidah tauhid serta memerangi berbagai bentuk kesyirikan. Berikut ini penulis sampaikan beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut.

Hadits pertama, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا مَلَكٌ يَنْزِلُ فَقَالَ جِبْرِيلُ إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ خُلِقَ قَبْلَ السَّاعَةِ فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَرْسَلَنِى إِلَيْكَ رَبُّكَ أَفَمَلَكاً نَبِيًّا يَجْعَلُكَ أَوْ عَبْداً رَسُولاً قَالَ جِبْرِيلُ تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ « بَلْ عَبْداً رَسُولاً »

Malaikat Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun. Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’”[1]

Hadits ke dua, ketika dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai merisaukan hati orang-orang kafir Quraisy, maka mereka mengutus ‘Utbah bin Rabi’ah untuk memberikan beberapa penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Utbah bin Rabi’ah berkata,

يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ

Wahai keponakanku! Jika yang Engkau inginkan dari dakwahmu ini adalah harta, maka akan kami kumpulkan harta-harta yang kami miliki untukmu sehingga Engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika yang Engkau inginkan adalah kemuliaan, maka akan kami serahkan kemuliaan itu untukmu, sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu perkara tanpa dirimu. Jika yang Engkau inginkan adalah menjadi Raja, maka akan kami angkat Engkau menjadi Raja atas kami. Apabila Engkau terkena jin yang dapat Engkau lihat namun Engkau tidak dapat menolaknya dari dirimu, maka akan kami carikan pengobatan untukmu. Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mengobatimu, karena seseorang terkadang dikalahkan oleh jin yang mengikutinya sampai dia diobati darinya”. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Utbah, sampai dia menyelesaikan perkataannya.

Setelah ‘Utbah selesai berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membacakan surat Fushshilat, dan ketika sampai ke ayat as-sajdah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersujud. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ

Wahai Abul Walid! Sungguh Engkau telah mendengar apa yang telah kau dengar. Maka terserah padamu.” [2]

Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَا بِي مَا تَقُولُونَ مَا جِئْتُ بِمَا جِئْتُكُمْ بِهِ أَطْلُبُ أَمْوَالَكُمْ وَلَا الشّرَفَ فِيكُمْ وَلَا الْمُلْكَ عَلَيْكُمْ وَلَكِنّ اللّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ رَسُولًا ، وَأَنْزَلَ عَلَيّ كِتَابًا ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَكُونَ لَكُمْ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ، فَبَلّغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبّي ، وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَإِنْ تَقْبَلُوا مِنّي مَا جِئْتُكُمْ بِهِ فَهُوَ حَظّكُمْ فِي الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَإِنّ تَرُدّوهُ عَلَيّ أَصْبِرْ لِأَمْرِ اللّهِ حَتّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ

Aku tidak menginginkan tawaran kalian. Aku tidaklah datang dengan membawa misi-misi itu. Aku tidak meminta harta-harta kalian, tidak pula kemuliaan di tengah-tengah kalian, dan tidak pula meminta tahta kerajaan atas kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada kalian. Aku telah menyampaikan risalah Rabb-ku kepada kalian dan telah menasihati kalian. Jika kalian menerima apa yang aku bawa, maka itulah keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika kalian menolaknya, maka kewajibanku adalah bersabar atas urusan Allah tersebut sampai Allah memutuskan (perkara) antara aku dengan kalian.” [3]

Kesimpulan dan faidah yang bisa kita ambil dari kisah-kisah ini adalah para Nabi tidaklah diutus untuk menghancurkan sebuah negara kemudian mendirikan negara yang baru, tidak pula untuk meminta kekuasaan, atau mendirikan partai-partai untuk meraih kekuasaan tersebut. Akan tetapi, mereka datang untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kesyirikan, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan juga memberikan peringatan kepada mereka dengan janji Allah Ta’ala.

Meskipun ditawarkan kepada mereka tahta kerajaan, sungguh mereka pasti menolaknya. Mereka tetap konsisten menempuh metode dakwah mereka. Kaum kafir Quraisy telah menawarkan tahta sebagai raja kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tetap menolaknya. Bahkan, ketika Allah Ta’ala sendiri yang menawarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat-Nya, apakah memilih menjadi seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul, maka beliau lebih memilih menjadi seorang hamba sekaligus seorang Rasul. [4]

Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.

Maka kita sampaikan kepada mereka, kalaulah benar pemikiran dan logika mereka itu, maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan lebih memilih menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja daripada seorang Rasul namun statusnya hanya sebagai seorang hamba biasa yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Kalau merebut kekuasaan dan mendirikan negara merupakan suatu jalan yang mulia dan berfaidah, niscaya beliau akan menempuhnya tanpa terlambat sedetik pun.

Beliau akan menerima tawaran dari Allah Ta’ala untuk menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja. Karena logikanya, dengan menjadi seorang raja sekaligus Rasul, tentu dakwah akan menjadi lebih mudah dan akan lebih cepat mendatangkan hasil yang diinginkan. Tentu tidak akan ada orang kafir Quraisy yang berani menyakiti dan merintangi dakwah beliau, karena beliau adalah seorang Raja yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Tentu dengan menjadi seorang Raja, beliau lebih mudah menjalankan misi-misi kerasulan untuk menghancurkan berhala-berhala sejak awal periode kerasulan beliau di Mekah, serta lebih mudah pula untuk memaksa orang Quraisy agar beragama tauhid. Beliau pun dapat melindungi sahabatnya dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Dan beliau pun tidak perlu diliputi ketakutan sehingga harus repot-repot berhijrah ke Madinah. Akan tetapi, beliau tetap memegang teguh manhaj dakwah tauhid sebagaimana para Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah tidak memulai dakwahnya dengan ambisi merebut kekuasaan, maka beliau juga tidak mengawali dakwahnya dengan perbaikan ekonomi atau perbaikan sosial budaya. [5]

[Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]HR. Ahmad dalam Musnad no. 7359 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6365. Syaikh Syu’aib Arnauth berkata dalam tahqiq beliau terhadap Shahih Ibnu Hibban,”Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1002.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/292 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Kisah ini mempunyai penguat dalam hadits Jabir yang dikeluarkan oleh ‘Abdu bin Humaid dan Abu Ya’la. Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya (hal. 96) [dan beliau menyatakan bahwa sanadnya tsiqoh, pen.sehingga kisah ini menjadi kuat dan kokoh”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 113.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/295 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Hadits ini menjadi penguat hadits sebelumnya [yaitu hadits ke dua di atas, pen.] dan masing-masing di antara keduanya saling menguatkan”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 114.

[4] Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 115.

[5] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (2)

Rasulullah Memulai Dakwahnya dengan Tauhid

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya sama persis dengan para Nabi sebelum beliau, yaitu memulai dari aqidah tauhid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali dakwahnya dengan menyeru umatnya agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang merupakan inti dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”. Tidak pernah terlintas dalam pikiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memulai dakwahnya dengan selain dasar yang agung tersebut. Beliau terus-menerus menyerukan dakwah tauhid ini sepanjang periode kerasulan beliau selama 13 tahun di kota Mekah. Beliau tidak pernah merasa lelah dan bosan, beliau senantiasa bersabar terhadap setiap gangguan dan rintangan di jalan dakwah tauhid tersebut. Selama di Mekah, beliau tidaklah mewajibkan syari’at-syari’at dan rukun Islam kecuali shalat pada tahun ke sepuluh dari periode kerasulan. Meskipun beliau juga menyerukan kepada umatnya kepada akhlak yang mulia, menyambung tali persaudaraan, jujur, dan memelihara kehormatan diri, akan tetapi yang menjadi sentral dakwah dan titik perselisihan antara beliau dengan umatnya adalah dakwah kepada aqidah tauhid.

Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan dasar tauhid yang agung ini. Hal ini dapat kita cermati dari beberapa ayat berikut ini.

Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Sesunguhnya kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).(QS. Az-Zumar [39]: 2-3).

Ayat ke dua, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (11) وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ (12) قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (13) قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14)

Katakanlah,’Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri’. Katakanlah,’Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabb-ku’. Katakanlah,’Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.(QS. Az-Zumar [39]: 11-14).

Ayat ke tiga, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)

Katakanlah,’Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ ” (QS. Al-An’am [6]: 162-163).

Adapun dari As-Sunnah, maka banyak kita dapatkan keterangan yang menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, dan menutup dakwahnya dengan tauhid pula. Beliau terus-menerus memegang teguh dakwah tauhid tersebut di sepanjang kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara hadits yang menunjukkan hal itu adalah:

Hadits pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada umatnya,

« يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تُفْلِحُوا »

“Wahai manusia, katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, niscaya kalian akan beruntung.” [1]

Hadits ke dua, dari ‘Amr bin ‘Abasah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,”Saat aku di masa jahiliyyah, aku menyangka bahwa manusia berada dalam kesesatan. Mereka tidaklah memiliki sesuatu apa pun, mereka menyembah berhala. Aku pun mendengar ada seorang laki-laki di Mekah yang menyampaikan berita-berita. Maka aku pun pergi ke sana dan mendatanginya. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersembunyi dari kejahatan kaumnya. Aku pun berjalan perlahan sampai bisa menemuinya di Mekah. Kemudian aku bertanya kepada beliau,’Siapakah Engkau?’ Beliau berkata,’Aku seorang Nabi’. Aku bertanya,’Apakah Nabi itu?’ Beliau menjawab,’Aku diutus oleh Allah’. Aku bertanya lagi,’Dengan apa Engkau diutus?’ Maka beliau menjawab,

« أَرْسَلَنِى بِصِلَةِ الأَرْحَامِ وَكَسْرِ الأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ لاَ يُشْرَكُ بِهِ شَىْءٌ »

Aku diutus untuk menyambung tali persaudaraan, menghancurkan berhala, dan agar mentauhidkan Allah serta tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun.” [2]

Hadits ke tiga, dalam beberapa pertanyaan Raja Heraklius kepada Abu Sufyan ketika masa perjanjian Hudaibiyah. Heraklius menanyakan tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Apa yang diperintahkan kepada kalian?” Aku (Abu Sufyan) berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ

Sembahlah Allah semata, dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah perkataan nenek moyang kalian! Beliau memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat, jujur, menjaga kehormatan diri, dan menyambung persaudaraan.” [3]

Betapa kokohnya pengaruh dakwah tauhid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hati Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Sehingga yang pertama kali beliau sebutkan adalah inti dakwah tauhid yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan, sebelum menyebutkan perintah-perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya semacam shalat dan menyambung persaudaraan.

Tauhid inilah yang menjadi perhatian serius Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan penuh kesabaran Rasulullah mendakwahkan tauhid dan membina para sahabatnya di atas aqidah tauhid tersebut. Dakwah beliau bukanlah untuk mendapatkan kekuasaan atau untuk tujuan-tujuan rendah lainnya. Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menjadikan kekuasaan sebagai sarana atau alat untuk berdakwah. Padahal saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari kaum kafir Quraisy agar menghentikan dakwahnya. [4, 5]

[Bersambung]

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

***

Catatan kaki:

[1]HR. Ahmad no. 16066. Syaikh Syu’aib Arnauth dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad (3/492) menyatakan bahwa status hadits ini adalah shahih li ghairihi.

[2] HR. Muslim no. 1967, hadits di atas adalah potongan dari hadits yang panjang.

[3] HR. Bukhari no. 7, hadits ini adalah potongan dari hadits yang panjang.

[4] Diringkas dari Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 72-77.

[5] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (1)

Dakwah Tauhid, Jalan Hidup Rasulullah dan Sahabatnya

Dakwah tauhid, mungkin dianggap sebagai sesuatu yang usang dan kuno bagi sebagian kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa pemahaman dan praktik tauhid di masyarakat kaum muslimin saat ini sudah baik, sehingga “tidak perlu diusik”. Tidak perlu lagi meributkan praktik dan “ritual” keagamaan sebagian kaum muslimin yang menjurus ke arah kesyirikan karena hanya akan memecah belah persatuan mereka. Yang penting bagi sebagian orang saat ini, bagaimana caranya agar kaum muslimin bersatu demi tegaknya sebuah negara Islam (khilafah) tanpa mau mempedulikan kaum muslimin model apa yang mereka persatukan dalam negara tersebut. Padahal, kalau kita mau melihat sejenak sejarah dan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjadikan dakwah tauhid sebagai prioritas utama dalam dakwah. Beliau memulai dakwah dengan tauhid, membina umatnya di atas tauhid, dan menutup dakwah beliau dengan dakwah tauhid.

Dakwah Tauhid adalah Jalan Hidup Rasulullah dan Pengikutnya

Dakwah tauhid adalah jalan hidup yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula para pengikutnya yang merupakan generasi terbaik umat ini dari kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Siapapun yang mengaku menjadi pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka sudah semestinya jika dia juga berdakwah kepada manusia menuju Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin seseorang mengaku sebagai pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dia tidak mau atau tidak memiliki keinginan untuk menempuh jalan hidup yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, ’Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (QS. Yusuf [12]: 108)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini,

يقول الله تعالى لعبد ورسوله إلى الثقلين: الإنس والجن، آمرًا له أن يخبر الناس: أن هذه سبيله، أي طريقه ومسلكه وسنته، وهي الدعوة إلى شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، يدعو إلى الله بها على بَصِيرة من ذلك، ويقين وبرهان، هو وكلّ من اتبعه، يدعو إلى ما دعا إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم على بصيرة ويقين وبرهان شرعي وعقلي.

“Allah Ta’ala berfirman kepada hamba dan Rasul-Nya bagi jin dan manusia (yaitu kepada Muhammad, pen.) dalam rangka memerintahkannya agar mengabarkan kepada manusia, bahwa inilah jalan dan sunnahnya, yaitu berdakwah kepada syahadat ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu baginya’. Mengajak manusia kepada Allah di atas hujjah yang nyata serta di atas keyakinan dan petunjuk. Dia (Muhammad) dan setiap orang yang mengikutinya, semuanya berdakwah kepada apa yang didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hujjah yang nyata, keyakinan, dan petunjuk syariat dan petunjuk akal.” [1]

Terdapat dua faidah yang bisa kita ambil dari kalimat (أَدْعُو إِلَى اللَّه) [mengajak kamu kepada Allah], yaitu:

  1. Maksud dari berdakwah kepada Allah Ta’ala adalah mendakwahkan tauhid dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala.
  2. Peringatan untuk ikhlas dalam berdakwah. Barangsiapa yang ingin mendakwahkan Islam, maka dia sangat membutuhkan keikhlasan. Tidak ada tujuan lain dalam berdakwah kecuali untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala dan memahamkan umat terhadap urusan agamanya. Dia tidak bertujuan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya, mencari popularitas, mencari uang, atau bahkan untuk mencari kekuasaan. [2]

Ketika menjelaskan kalimat (إِلَى اللَّه) [kepada Allah], Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok da’i (juru dakwah).

Pertama, seorang da’i yang berdakwah kepada Allah Ta’ala. Dialah da’i yang mukhlis (da’i yang ikhlas) yang menginginkan agar manusia sampai kepada Allah Ta’ala.

Kedua, seorang da’i yang berdakwah kepada selain Allah Ta’ala terkadang berdakwah kepada dirinya sendiri, agar banyak orang menjadi pengikutnya. Dia mendakwahkan kebenaran agar dirinya diagung-agungkan oleh masyarakat dan agar masyarakat menghormati dan memuliakannya. [3]

Demikianlah, jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap orang yang mengikuti jalan beliau adalah mendakwahkan tauhid, mendakwahkan syahadat laa ilaaha illallah. Dakwah ini, sebagaimana ibadah yang lainnya, sangatlah membutuhkan keikhlasan. Inilah ujian terbesar bagi seorang da’i ketika berdakwah. Apakah dia betul-betul berdakwah mengajak masyarakat kepada Allah Ta’ala? Apakah dia benar-benar berdakwah agar masyarakat mentauhidkan Allah? Atau apakah dia berdakwah mengajak masyarakat kepada dirinya? Kepada organisasi atau partai yang dipimpinnya? Atau dakwah untuk tujuan-tujuan rendah lainnya?

Setelah kita memahami bahwa dakwah tauhid adalah jalan hidup yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bukti-bukti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah pun menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memprioritaskan dakwah tauhid sejak awal sampai akhir beliau berdakwah, sebagaimana yang akan kami tunjukkan di bagian kedua tulisan ini. Beliau tidaklah berdakwah dengan merebut kekuasaan terlebih dahulu, atau dengan mendirikan negara, dan tidak pula dengan mendirikan partai politik. Akan tetapi, beliau memulai dakwah perbaikan masyarakat dengan dakwah tauhid.

Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaklah memperhatikan bagaimanakah metode yang ditempuh oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam jalan dakwah tersebut. Jangan sampai kita berdakwah dengan menempuh jalan yang tidak ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hak ini karena dakwah adalah salah satu bentuk ibadah, dan salah satu syarat diterimanya ibadah adalah ittiba’, yaitu mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4] [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4/422.

[2] Lihat At-Tamhiid, hal. 65.

[3] Lihat Al-Qoulul Mufiid, 1/128-129.

[4] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Sejarah Penamaan “Muhammad” untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Tentang penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut  berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟

“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,

أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض

“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”

“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan,

ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب

“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili,  “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,

فشق له من اسمه ليجله

فذو العرش محمود وهذا محمد

Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya

Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).

Wallahu a’lam bis showab.

__

Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.

***

Penulis: Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.Or.Id