Ternyata Dapat Dua Pahala, Puasa Syawal Digabungkan dengan Puasa Senin Kamis

Ternyata dapat dua pahala puasa jika kita mengerjakan puasa Syawal bertepatan dengan Senin – Kamis, yaitu mendapatkan pahala puasa Syawal enam hari dan puasa Senin – Kamis.

 

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah ditanya, “Apakah puasa enam hari di bulan Syawal boleh dilakukan pada hari Senin dan Kamis lantas mendapatkan pahala puasa Senin dan Kamis?”

Jawab beliau, “Boleh seperti itu dan tidaklah masalah. Pahala yang diperoleh adalah pahala puasa Syawal enam hari dan puasa Senin Kamis.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

” إِذَا اتَّفَقَ أَنْ يَكُوْنَ صِيَامُ هَذِهِ الأَيَّامِ السِّتَّةِ فِي يَوْمِ الاِثْنَيْنِ أَوِ الخَمِيْسِ فَإِنَّهُ يَحْصُلُ عَلَى أَجْرِ الاِثْنَيْنِ بِنِيَّةِ أَجْرِ الأَيَّامِ السِّتَّةِ ، وَبِنِيَّةِ أَجْرِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ أَوِ الخَمِيْسِ ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى)” انتهى.

“Jika puasa enam hari Syawal bertepatan dengan puasa Senin atau Kamis, maka puasa Syawal juga akan mendapatkan pahala puasa Senin, begitu pula puasa Senin atau Kamis akan mendapatkan ganjaran puasa Syawal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan pahala yang ia niatkan.” Demikian fatwa dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah, 2:154.”

 

Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.

Sumber https://rumaysho.com/20662-ternyata-dapat-dua-pahala-puasa-syawal-digabungkan-dengan-puasa-senin-kamis.html

 

Para Rasul dan Pasar

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari karunia yang Allah berikan kepada umat manusia, Allah mengutus para nabi dan rasul dari kalangan mereka. Sehingga mereka bisa berinteraksi secara baik dengan para utusan Allah. Mereka manusia, beraktifitas sebagaimana manusia, berbahasa dengan bahasa manusia, dst. Ini akan memudahkan mereka untuk meniru para utusan itu.

Allah berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164).

Sayangnya, keberadaan rasul dari kalangan manusia, justru dijadikan celah bagi orang kafir untuk menghina sang rasul, yang tentu saja celaan ini menjadi tidak nyambung. Diantaranya, mereka mencela para rasul karena sang rasul beraktifitas di pasar.

Allah berfirman,

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا

Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia.” (QS. al-Furqan: 7)

Ada dua pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat ini,

Pertama, celaan yang diberikan orang kafir kepada Nabi ﷺ. Menurut mereka, seharusnya rasul itu berasal dari kalangan malaikat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di pasar, menyampaikan dan mengajak manusia untuk mengikuti kebenaran, mereka menganggap, Muhammad seperti para penguasa yang ingin menguasai pasar. Kemudian hal ini dibantah oleh Allah, bahwa para rasul di masa silam juga melakukan yang sama. Mereka berdakwah di pasar.

Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

“Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar..” (QS. al-Furqan: 20).

Kedua, bahwa masuk pasar hukum asalnya mubah, dalam rangka berdagang, atau mencari nafkah. Dan ada tugas mulia yang dilakukan oleh para rasul ketika di pasar, disamping melakukan transaksi di pasar, mereka juga berdakwah menyampaikan kebenaran, mengajak para kabilah untuk kembali kepada kebenarn.

Atha’ bin Yasar pernah ketemu Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau meminta,

‘Tolong sampaikan kepadaku mengenai sifat Rasulullah ﷺ dalam Taurat?’

Abdullah mengatakan,

أَجَلْ ، وَاللَّهِ إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِى التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ صِفَتِهِ فِى الْقُرْآنِ

Baik, demi Allah, sifat beliau yang disebutkan dalam taurat, merupakan sebagian dari sifat beliau yang disebutkan di al-Quran…

Diantara yang beliau sebutkan,

لَيْسَ بِفَظٍّ وَلاَ غَلِيظٍ وَلاَ سَخَّابٍ فِى الأَسْوَاقِ

Beliau kalau bicara tidak kasar, hatinya tidak keras, dan tidak suka teriak-teriak di pasar. (HR. Bukhari 2125).

Karena itu, diantara sikap ideal bagi mukmin ketika di pasar, disamping berdagang adalah mendulang pahala di pasar. Seperti menebar senyum, menebar salam, berdakwah, mengajak masyarakat agar kembali kepada kebenaran, dst.

Seperti yang dilakukan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

إِنْ كُنْت لأَخْرُجُ إلَى السُّوقِ وَمَا لِي حَاجَةٌ إلاَّ أَنْ أُسَلِّمَ وَيُسَلَّمَ عَلَيَّ

“Aku pernah datang ke pasar, padahal aku tidak memiliki kebutuhan apapun, selain untuk menyampaikan salam atau menjawab salam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 26260).

Terkadang para sahabat masuk pasar, hanya untuk mengajak masyarakat untuk banyak takbiran ketika masuk sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Imam Bukhari menyebutkan,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

“Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Bukhari, bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

Demikian, Allahu a’lam.

 

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://pengusahamuslim.com/6647-para-rasul-dan-pasar.html

Tidak Shalat Selama Bertahun-tahun, Apakah Harus Mengganti?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:
Aku pernah tidak shalat sama sekali selama tiga tahun, karena aku berada dalam kondisi akhlak yang paling bejat ketika itu. Belum lama ini, Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya kepadaku untuk bertaubat, dan aku berharap ini adalah taubat nasuha. Aku mulai shalat berjamaah di masjid, dan aku tinggalkan semua hal yang bisa merusak agamaku, serta semua hal yang bisa merusak akhlak dan perilakuku.

Untuk shalat yang tidak aku kerjakan selama tiga tahun tersebut, apakah aku harus menggantinya (qadha’)? Lalu, bagaimanakah (qadha’-nya)?

Jawaban:
Tidak ada kewajiban qadha’ untukmu dengan dua alasan:

Pertama: Meninggalkan shalat adalah perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, sehingga status orang tersebut adalah kafir, menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Berdasarkan hal ini, kembalinya dirimu ke dalam Islam (dengan melaksanakan shalat, pen.), telah menghapus (dosa) yang telah lalu, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS. Al-Anfal [8]: 38).

Kedua: Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis ibadah yang sudah ditentukan waktunya, sampai keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut (sampai batas waktunya berahir, pen.), tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i), kemudian dia bertaubat, maka dia tidak perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia tinggalkan tersebut.

Hal ini karena ibadah yang ditentukan waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Hal ini juga tidak bisa disanggah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang lupa (tidak) mengerjakan shalat (sampai waktunya habis, pen.), maka shalatlah ketika sudah ingat” (HR. Bukhari no. 597).

(Tidak pula bisa disanggah) dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Karena penundaan (qadha’) pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut (sehingga dilaksanakan di luar waktu yang sudah ditentukan, pen.) adalah karena udzur syar’i. Mengganti (qadha’) ibadah di luar waktunya karena ada udzur syar’i itu dinilai sama dengan melaksanakan ibadah tersebut pada waktunya dalam hal ganjaran dan pahala.

Berdasarkan penjelasan ini, Engkau tidak perlu mengganti shalat yang telah ditinggalkan selama tiga tahun tersebut, sebagaimana yang telah Engkau sebutkan.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40369-tidak-shalat-selama-bertahun-tahun-apakah-harus-mengganti.html

Wahai Pengusaha Muslim, Jangan Sampai Hartamu Melalaikanmu

Bagi seorang manusia, pada umumnya harta adalah tujuan utama hidup dan kehidupan mereka. Sejak bangun tidur hingga tidur kembali, banyak di antara manusia yang menjadikan pokok pikirannya adalah harta semata. Tentang bagaimana cara mendapatkan harta, tentang bagaimana cara menjaga harta yang sudah dipunya, tentang bagaimana cara mengembangkan harta yang sudah ada di tangan. Dan demikian seterusnya dari berbagai cabang pikiran tentang harta. Sehingga seluruh gerak-gerik kehidupan mereka hanya berpusat untuk harta dan harta.

Tidak terkecuali kita yang mengaku sebagai pengusaha muslim, seringkali kita pun terbawa arus pemikiran seperti itu. Bahkan walaupun kita tahu bahwa hidup kita hanya sementara dan tidak akan membawa harta, tetap saja hati kita seringkali berpusat pada salah satu perhiasan dunia tersebut. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah, …

Wahai saudaraku sesama pengusaha muslim, … Mungkin sudah waktunya kita sebagai pengusaha muslim kembali memikirkan kembali apa tujuan hidup kita?

Apakah benar murni untuk menjalankan tugas sebagai sebagai hamba Allah? Ataukah sudah berubah menjadi hamba harta dan perhiasan dunia? Apakah harta yang kita dapat bisa menjadi perantara kita mendapat syurga, atau sudah berubah menjadi tujuan utama hidup dan kehidupan kita? Apakah harta menjadi budak kita, ataukah kita yang menjadi budak dunia?

Mari kita berintrospeksi. Lihatlah diri kita. Apakah ibadah kita menjadi terhalang karena kesibuka mencari harta dunia? Apakah waktu untuk menuntut ilmu menjadi terhapus dan tergantikan dengan segala macam kegiatan mencari penghidupan? Dan seterusnya, … Tanyakanlah ke diri kita masingmasing.

Dan jika jawabannya adalah “iya”, demikian, maka renungkanlah peringatan Allah dalam al-Qur’an:

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [QS al-Munafiqun ayat 9]

Allah telah memperingatkan kita agar tidak lalai karena mengejar harta dunia. Yang sesungguhnya akan kita tinggalkan, tidak akan kita bawa satu sen pun bersama kita ke liang lahad. Maka sisihkan waktu kita untuk ibadah, jangan sampai menjadi hamba yang lalai dari mengingat Allah dikarenakan mencari harta. Lalu setelahnya, kita ikutilah petunjuk rabbani dalam ayat selanjutnya:

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” [QS al-Munafiqun ayat 10]

Setelah kita sisihkan waktu kita untuk beribadah, mengerjakan segala kewajiban dan menambahi dengan berbagai sunnah yang dianjurkan, sisihkan pula sebagian dari harta yang telah kita dapatkan sebagai bekal kembali. Jangan sampai kita pelit, kikir, bakhil, untuk membelanjakan sebagian dari nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang disebutkan di dalam ayat di atas tersebut, yakni menjadi orang yang menyesal saat ajal datang, dikarenakan jarangnya dia bersedekah selama hidupnya di dunia, dan menyesal karena jarangnya dia berbuat kebaikan, padahal kesempatan tersebut telah dia dapatkan semasa hidupnya.

Karena ingat saudaraku, waktu kita terbatas, … maka jangan sampai kita menyesal saat waktu kita telah habis, jangan sampai di akhirat kita menangis dengan keras, …

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan. [QS al-Munafiqun ayat 11]

Moga Allah selalu mudahkan dan berkahi perniagaan kita, serta seluruh kehidupan kita.

Read more https://pengusahamuslim.com/6687-wahai-pengusaha-muslim-jangan-sampai-hartamu-melalaikanmu.html

Antara Pragmatis dan Idealis dalam Mencari Nafkah di Zaman Now

Suatu hari saya pesan ojol untuk mengantar kita sekeluarga ke kantor travel, kita mau mudik.

Beberapa menit datanglah mobil, dan kita masuk..

Sayapun ambil duduk di dekat sopir.. maklum kita mau basa-basi menghilangkan kebisuan didalam perjalanan. Dan obrolan ini tentu sudah jama’ bagi pengguna ojol, dan tentu saja driver udah kesekian kali menjawab pertanyaan yg sama dari para penumpang.

Saya rangkumkan obrolan kita kali ini:

Saya: “Sudah berapa tahun nyopir ginian?”

Sopir: “Yah udah setahunan…”

Saya: “Ini sampingan atau utama?”

Sopir: “Dulu sampingan, sekarang utama.”

Saya: “Loh..emang dulu kerja apa mas?”

Sopir: “Saya itu dulu sebenarnya programer, kuliah jurusan komputer.. ya kita bikin script-script atau program apalah..fleelancer gitu.”

Saya: “Loh kenapa g diterusin..”

Sopir: “Makin hari ke hari..setelah punya anak saya baru paham bagaimana memperjuangkan kebutuhan mereka…dulu saya sempat idealis kuliah komputer dah lama, dan terjun lama juga di dunia IT, tapi kok gitu-gitu aja. Sementara saya lihat teman-teman yang nggak punya ijazah, asal bisa nyopir aja penghasilannya sudah berlipat-li[at daripada profesi saya..

Saya sudah tinggalkan itu dunia IT, saya menikmati seperti ini.. nyantai dan yang penting kebutuhan keluarga terpenuhi.”

Saya: “Tapi itu apa tidak eman-eman skillnya mas.. diganti aja skill IT nya buat sampingan, driver jadi pekerjaan utama?”

Sopi: “Kalau sudah berkaitan dengan ekonomi keluarga tentu kita harus realistis mas..apalagi sekarang saingan udah banyak, anak-anak SMK aja udah jago-jago..
Saya hanya memikirkan bagaimana anak-anak saya bisa mendapat pendidikan yang layak..dan dapur bisa mengepul.”

Saya: “Ehhm begitu…sekarang menikmati pekerjaan ini?

Sopir: “Bener.. idealis itu perlu, tapi pragmatis itu juga solusi ketika menghadapi masa sulit.. selama halalwhy not?

Dari obrolan ini kita bisa menyimpulkan bahwanya ada banyak jalan kita mencari rejeki. Dan tentu saja Anda bisa lihat pada akhir dialog, dimana ada kata yang yang saya bold yaitu Halal. Disinilah kita akan bermain untuk mencari rejeki demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Oleh: Abu Najmah Minanurrohman

Read more https://pengusahamuslim.com/6739-antara-pragmatis-dan-idealis-dalam-mencari-nafkah-di-zaman-now.html

Orang Tua Tidak Pernah Menafkahi, Wajibkah Anak Tetap Berbakti?

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

 

Soal:

Seorang lelaki menceraikan istrinya ketika hamil. Setelah melahirkan, Allah berikan rezeki kepada sang Ibu sehingga ia merawat anaknya, mendidiknya dan membesarkannya hingga sang anak menikah, tanpa sepeser pun bantuan dari bapak sang anak tersebut. Apakah sang anak tetap wajib berbuat baik kepada ayah kandungnya dan berbakti kepadanya? Padahal ia tidak pernah merawat sang anak dan sang anak tidak pernah merasakan kehangatan seorang ayah di sisinya.

 

Jawab:

Iya, tetap wajib bagi seorang anak untuk menunaikan hak orang tuanya. Walaupun sang orang tua lalai dalam pemenuhan kewajibannya berupa pendidikan dan nafkah. Karena anak maupun orang tua memiliki hak yang wajib ditunaikan kepada satu-sama-lain. Jika orang tua lalai dalam pemenuhan hak terhadap anak, maka ia berdosa. Namun ini tidak mengugurkan pemenuhan hak orang tua dari sang anak, yaitu dengan berbakti kepadanya dan berbuat baik kepadanya.

Dan hendaknya setiap Muslim membalas kebaikan kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, walaupun terhadap selain orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik” (QS. Fushilat: 34).

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” (QS. Asy Syura: 40).

Setiap Muslim dituntut untuk membalas keburukan orang lain dengan kebaikan. Maka bagaimana lagi jika ia orang tua kita? Maka lebih ditekankan lagi untuk berbuat demikian.

 

Sumber: Majmu Fatawa Syaikh Shalih Al Fauzan, 2/583, Asy Syamilah

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39028-orang-tua-tidak-pernah-menafkahi-wajibkah-anak-tetap-berbakti.html

Pulang Kampung Kesempatan Berbakti dan Berdakwah Kepada Orang Tua

Kaum muslimin di Indonesia umumnya mengenal istilah pulang kampung, terutama di saat lebaran. Setelah sekian lama tidak berjumpa dengan orang tua. Saat pulang kampung adalah saat yang paling baik dan kesempatan emas untuk berbaik kepada orang tua.

Pintu surga yang paling mudah dimasuki adalah pintu yang paling tengah yaitu berbakti kepada orang tua.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya.” [HR. Ahmad, Hasan).

Jika ada di depan kita beberapa pintu, tentu yang mudah dan nyaman bagi kita, memasuki pintu yang tengah daripada masuk pintu yang di pinggir.

Al-Baidhawi menjelaskan,

إﻥ ﻟﻠﺠﻨﺔ ﺃﺑﻮﺍﺑﺎ ﻭﺃﺣﺴﻨﻬﺎ ﺩﺧﻮﻻ ﺃﻭﺳﻄﻬﺎ

“Sesungguhnya di surga banyak pintu, yang paling baik (nyaman) untuk memasukinya adalah pintu paling tengah (berbakti kepada orang tua).” [Tuhfatul Ahwadzi  6/21]

Saat bertemu orang tua segera tanya kabarnya, lakukan apa yang bisa dibantu untuk orang tua. Lihatlah rumah orang tua, mungkin perlu diperbaiki atau sedikit diperindah. Ajak ngobrol mereka berdua dengan pembicaraan yang membuat mereka senang, seperti kenangan masa kecil atau minta pendapat mereka berdua tentang kehidupan kita walaupun kita sudah tahu solusinya. Lakukan apa yang membuat mereka senang dan gembira karena mereka berdua telah membuat kalian banyak tersenyum ketika kecil.

Berikut beberapa keutamaan dan motivasi berbakti kepada orang tua:

1. Perintah berbakti urutan kedua setelah perintah bertauhid kepada Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa’ : 23-24]

2. Ridha Allah tergantung ridha orang tua, selama itu dalam ketaatan

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” (HR. Bukhari dalam adabul Mufrad)

3. Berbakti kepada orang tua bisa menghilangkan kesusahan hidup atas izin Allah

Sebagaimana kisah dalam hadits tiga orang yang terjebak dalam gua, salah satu dari mereka bertawassul dengan amal baik sangat berbakti kepada orang tua (Lihat HR. Bukhari dan Muslim)

4. Durhaka kepada orang tua adalah dosa terbesar kedua setelah syirik mempersekutukan Allah

Abu Bakrah radhiallahu a’nhu berkata,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ؟) ثَلاَثًا، قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : ( الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ ) وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا ( أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرُ ) مَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتىَّ قُلْتُ لَيْتَهُ سَكَتَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mau kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.”Beliau lalu bersabda, “(Dosa terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan [pada tangannya]. (Tiba-tiba beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.” Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai, seandainya beliau diam.”(HR. Bukhari dan Muslim)

5. Celaka bagi anak yang mendapati orang tuanya masih hidup tetapi ia tidak bisa masuk surga karena tidak berbakti

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

« رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ »

“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.”(HR. Muslim)

Mengapa bisa celaka? Karena memang benar-benar (maaf) “keterlaluan”, karena berbakti kepada orang tua yang sudah usia tua dan usia lanjut adalah CUKUP MUDAH dan pahalanya sangat besar. Mereka hanya minta kabar dari kita dan umumnya tidak minta hal-hal yang memberatkan anaknya.

Perhatikan hal yang cukup penting, yaitu bentuk berbakti terbaik kepada orang tua adalah mendakwahkan mereka berdua dan mengingatkan mereka berdua akan akhirat. Dakwahkan ajaran Islam yang benar kepada mereka berdua dan tunjukkan indahnya ajaran Islam kepada mereka melalui akhlak kita yang baik kepada mereka berdua. Terlebih usia mereka berdua sudah hampir-hampir di ujung usia manusia dan siap-siap akan kembali ke kampung halaman menghadapi kematian yang tentunya butuh bekal amal yang banyak.

Semoga kita  selalu bisa berbakti kepada orang tua dan sebagai orang tua bisa mendidik anak dengan pendidikan terbaik

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40675-pulang-kampung-kesempatan-berbakti-dan-berdakwah-kepada-orang-tua.html

Tidak Boleh Sujud Kepada Manusia dan Selain

Sangat jelas dalam pelajaran TAUHID kita bahwa manusia tidak boleh sujud kepada selain Allah, baik itu kepada sesama manusia ataupun kepada selain manusia baik itu berupa batu, pohon, matahari, bulan dan sebagainya. Masalah sujud ini masalah yang sangat penting akan tetapi masih ada yang belum tahu atau belum paham. Hukum sujud kepada selain Allah dirinci sebagai berikut:

1. Sujud kepada manusia, hukumnya dirinci:
a) Sujud kepada manusia untuk penghormatan dan memuliakan, hukumnya haram dan dosa besar
b) Sujud kepada manusia untuk ibadah, hukumnya adalah syirik yang bisa mengeluarkan dari Islam

2. Sujud kepada selain manusia, hukumnya adalah syirik yang bisa mengeluarkan dari Islam karena manusia tidak menghormati benda mati dengan sujud

Berikut pembahasan dan dalilnya:
Manusia tidak boleh sujud kepada manusia karena dalilnya cukup tegas. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya” [HR. Tirmidzi]

Sujud kepada manusia untuk menghormati dan memuliakan hukumnya adalah dosa besar. An-Nawawi menjelaskan,

وأما ما يفعله عوام الفقراء وشبههم من سجودهم بين يدي المشايخ – وربما كانوا محدثين – فهو حرام بإجماع المسلمين

“Adapun yang dilakukan oleh orang awam dan semisal mereka yaitu sujud kepada syaikh mereka –bisa jadi mereka ahli hadits” maka hukumnya haram dengan ijma’ kaum muslimin.” [Al-Majmu’ 2/79]

Adapun sujud kepada manusia untuk ibadah jelas hukumnya syirik yang bisa mengeluarkan dari Islam. Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,

ومنها ما يفعله كثيرون من الجهلة من السجود بين يدي المشايخ إذا قصدوا عبادتهم أو التـقـرب إليهم.لا إن قصدوا تعظيمهم أو أطلقوا فلا يكون كفراً بل هو حراماً قطعاً

“Di antaranya (pembatal keislaman) adalah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang bodoh yaitu sujud kepada syaikh mereka dengan tujuan ibadah atau taqarrub. Apabila tujuannya untuk memuliakan atau tidak jelas tujuannya, hukumnya tidak kafir akan tetapi hukumnya jelas haram.” [Al-I’lam bi Qawathi’il Islam].

Sujud kepada selain manusia hukumnya syirik. Allah melarang manusia sujud kepada matahari dan bulan, dua ciptaan Allah yang sangat besar. Apabila pada dua benda mati yang sangat besar saja dilarang, maka apalagi pada batu kecil atau pohon kecil? Perhatikan ayat berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.” [Fussilat: 37]

Ibadah sujud hanya kepada Allah saja diperuntukkan, bahkan semua makhluk sujud kepada Allah dengan caranya masing-masing. Allah berfirman,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya.” [Quran Al-Hajj: 18]

Catatan:
Syariat nabi sebelumnya membolehkan sujud kepada makhluk dalam rangka menghormati. Ini bukan dalil bahwa kita sekarang boleh sujud kepada manusia karena syariat kita ada yang berbeda dengan syariat nabi sebelumnya. Nabi Yusuf mendapatkan penghormatan berupa sujud. Perhatikan ayat berikut:

فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَىٰ يُوسُفَ آوَىٰ إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا

“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman”. Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” [Yusuf: 99-100]

Adi bin Hatim menjelaskan tafsir ayat di atas,

كانت تحية من كان قبلكم، فأعطاكم الله السلام مكانها

“ini (sujud) adalah penghormatan sebelum kalian (umat Islam), kemudian Allah gantikan (sujud) dengan ucapan salam.” [Tafsit Ibnu Abi Hatim hal. 2202]

Demikian semoga bermanfaat

@ Lombok, Pulau seribu masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47149-tidak-boleh-sujud-kepada-manusia-dan-selain-manusia.html

Bolehkah Puasa Enam Hari Syawwal Setelah Bulan Syawwal?

Bisa jadi seseorang tidak bisa berpuasa 6 hari di bulan Syawwal karena ada udzur, misalnya seseorang yang sakit selama bulan Syawwal, wanita yang nifas, wanita yang mendapatkan haid ketika akan puasa Syawwal. Ada juga mereka yang hanya sempat puasa Syawwal 3 atau 4 hari, apakah bisa menggenapkan puasanya (qadha) di bulan setelah syawwal yaitu Dzulqa’dah dan seterusnya?

Ulama membahas apakah bisa puasa 6 hari Syawwal bisa diqadha pada bulan selain Syawwal misalnya bulan Dzulqa’dah, baik dengan adanya udzur atau tidak. Ada tiga pendapat ulama mengenai hal ini:

1. Puasa enam hari Syawwal setelah bulan Syawwal (misalnya Dzulqa’dah) memiliki keutamaan yang sama dengan puasa enam hari bulan Syawwal

Ini pendapat mayoritas mazhab Maliki dan sebagian Hambali. Penyebutan bulan Syawwal agar memudahkan karena puasa setelah Ramadhan lebih mudah setelahnya yaitu pada bulan Syawwal.

Al-Adawi berkata,

وإنما قال الشارع : ( من شوال ) للتخفيف باعتبار الصوم ، لا تخصيص حكمها بذلك الوقت

Pembuat syariat menyebutkan kata “Syawwal” dalam rangka meringankan bukan mengkhususkan hukumnya.” (Syarh Al-Kharsy 2/243)

2. Puasa enam hari Syawwal bisa di qadha setelahnya, akan tetapi pahalanya tidak sebagaimana keutamaan puasa enam hari Syawwal. Artinya boleh kita puasa enam hari setelah bulan Syawwal dan ada sunnahnya

Ini adalah pendapat mayoritas mazhab Syafi’i

3. Keutamaan puasa enam hari Syawwal hanya pada bulan Syawwal saja, tidak bisa diqadha pada bulan setelahnya.

Ini adalah pendapat mayoritas mazhab Hambali

ولا تحصل الفضيلة بصيامها أي : الستة أيام في غير شوال ، لظاهر الأخبا

Tidak mendapatkan keutamaan puasa enam hari Syawwal pada bulan selain Syawwal, ini adalah dzahir dalil.” (Kasyful Qina’, 2/338).

Namun jika seseorang tidak bisa sempurna mengerjakan puasa 6 hari di bulan Syawwal karena udzur syar’i, semoga di sisi Allah balasan pahalanya sebagaimana puasa 6 hari sempurna. Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata,

فيمن صامت أربعة أيام من شوال ولم تكمل الست لبعض الظروف..، فلك أجر ما صمت منها ، ويرجى لك أجرها كاملة إذا كان المانع لك من إكمالها عذراً شرعياً ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم إذا مرض العبد أو سافر كتب الله له ما كان يعمل مقيماً صحيحاً

“Barang siapa yang puasa empat hari Syawwal dan belum menyempurnakannya karena udzur, maka baginya pahala puasa yang sudah ia kerjakan tersebut dan diharapkan mendapatkan pahala yang sempurna sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا

Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.”. (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 15/385).

Jika menggenapkan puasa Syawwal di bulan berikutnya, itu hal yang baik

Terlepas dari perselisihan ulama yang ada, jika seseorang tidak bisa menyempurnakan puasa 6 hari di bulan Syawwal karena udzur syar’i, maka ada baiknya jika tetap menggenapkannya di bulan Dzulqa’dah. Ketika ditanya oleh seorang Muslimah mengenai hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid menyatakan,

وفضل الله واسع ، وعطاؤه لا منتهى له ، فلو أن هذه الأخت صامت يومين من ذي القعدة عوضا عما فاتها من شوال ، كان ذلك حسنا ، ويرجى لها الثواب والأجر إن شاء الله

“karunia dari Allah itu luas dan pemberian Allah itu tidak berujung. Andaikan saudari ini berpuasa dua hari di bulan Dzulqa’dah untuk mengganti yang terluput di bulan Syawal maka itu hal yang baik. Dan semoga ia mendapatkan pahala dan ganjaran (puasa Syawwal dengan sempurna), insya Allah

Misalnya sudah puasa empat hari Syawwal, kemudian karena udzur (misalnya sakit, haid atau nifas) ia tidak bisa menggenapkannya menjadi enam hari, karena Syawwal sudah selesai. Maka lebih baik lagi jika ia menggenapkan puasanya dan puasa dua hari di bulan Dzulqa’dah dengan berharap pahalanya.

Jadi, pada kasus tersebut sebaiknya ia sempurnakan puasa yang terluput selama bulan Syawwal pada bulan berikutnya dan tetap berharap pahalanya.

Banyak mengambil faidah dari situs syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid: http://islamqa.info/ar/83292

@Markaz YPIA Yogyakarta

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/26090-bolehkah-puasa-enam-hari-syawwal-setelah-bulan-syawwal.html

Minum Membatalkan Wudhu?

Pertanyaan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Saya masih dalam keadaan wudhu terutama pada waktu maghrib ke isya,akan tetapi suatu ketika haus lalu minum, apakah wudhu saya batal bagaimana juga bila makan, apakah batal?

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

(Dari Anggota Grup WA Bimbingan Islam N04-G19 di jakarta barat )

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Makan dan minum tidak membatalkan wudhu’ kecuali makan daging onta, sebagian ulamaberpendapat batalnya wudhu karena makan daging onta. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa:

سُئِلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْوُضُوْءِ مِنْ لُحُومِ اْلإِبِلِ فَقَالَ تَوَضَّئُوا مِنْهَا وَسُئِلَ عَنْ لُحُومِ الْغَنَمِ فَقَالَ لاَ تَوَضَّئُواْ مِنْهَا

“Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang wudhu dari (makan) daging onta, maka beliau menjawab, “Berwudhulah darinya”. Beliau juga ditanya tentang wudhu dari (makan) daging kambing, maka beliau menjawab, “Janganlah kamu berwudhulah darinya”.(HR. Abu Dawud no. 184 dan At-Tirmidzi no. 81).

Referensi: https://bimbinganislam.com/setelah-wudhu-minum-air/