Rezeki Sudah Dijamin jangan Cari yang Haram

ALLAH Taala adalah (Ar-Razzaq [Yang Banyak Memberi rezeqi]) karena merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata (Pemberi rezeki), maka ini menunjukkan kepada makna banyak. Yaitu menunjukkan banyaknya rezeki yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan juga menunjukkan banyaknya hamba-hamba-Nya yang mendapatkan rezeki tersebut.

Sehingga (Ar-Razzaq) artinya Yang Banyak Memberi rezeqi. Dia memberi rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak untuk seluruh makhluk-Nya.

Setiap makhluk yang berjalan di muka bumi ini pasti diberi rezeki, sebagaimana firman Allah Taala,

Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya (Huud: 6).

Syaikh Abdur Rahman As-Sadi rahimahullah berkata,

Maksudnya, seluruh yang berjalan di muka bumi ini, baik dari kalangan manusia (keturunan Nabi Adam alaihis salam), maupun binatang, baik binatang darat maupun laut, maka Allah Taala telah menjamin rezeki dan makanan mereka. Jadi, rezeki mereka dijamin oleh Allah (Tafsir As-Sadi, hal. 422).

Berarti kita harus meyakini bahwa rezeki kita sudah dijamin oleh Allah Taala. Bahkan rezeki kita telah ditulis sebelum kita terlahir di dunia ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Rezeki yang telah ditulis untuk kita pasti akan sampai ke kita. Tidaklah mungkin satu suap makanan yang sudah menjadi jatah kita akan masuk ke mulut orang lain. Seseorang tidaklah akan mati jika masih ada satu butir nasi saja yang menjadi jatahnya belum ia makan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram (HR. Ibnu Majah, dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya).

Seandainya sekarang seluruh manusia bersepakat untuk menghalangi rezeki yang yang telah Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka akan gagal. Sebaliknya, sekarang seandainya seluruh manusia bersepakat untuk memberi Anda sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka tidak akan mampu melakukannya.

Ya Allah, tidak ada satupun yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak pula ada satupun yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta yang lainnya).

Jatah rezeki Anda sudah ditetapkan, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk merasa kekurangan. Bukankah tidak ada satu pun dari makhluk yang mampu mengurangi jatah rezeki Anda? Jika demikian, maka tidak mungkin jatah Anda bisa berkurang. Mengapa harus merasa kekurangan?

Jika Anda mengatakan Tapi, rezeki yang saya dapatkan sedikit, jadi saya merasa kurang, cari rezeki halal sulit dan lama kayanya! Saya ingin cepat kaya! Rezeki haram lebih cepat dan mudah didapat, apa boleh buat! Maka kami katakan kepada Anda Mengapa harus menerjang yang haram padahal rezeki telah dijatah?

Ketahuilah! Bahwa orang yang merasa tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya selama ini dan merasa kurang, lalu mencarinya dengan cara yang haram, ini setidaknya ada tiga kemungkinan:

Ia malas mencari rezeki dengan cara yang halal atau kurang sungguh-sungguh dalam bekerja.

Ia sudah bekerja maksimal dalam mencari rezeki yang halal, tapi masih merasa kurang.

Ia sudah kaya, tapi masih pula merasa kurang.

Nasihat untuk orang yang pertama, hakikatnya ia sangatlah tidak pantas merasa kekurangan, karena ia belum berusaha dengan maksimal. Adapun untuk orang yang kedua dan ketiga, maka setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:

-Ia sudah tahu sikap dan prinsip hidup seorang muslim yang benar dalam masalah rezeki, lalu nekad melanggarnya.

-Kurang atau tidak tahu sama sekali tentang sikap dan prinsip itu, sehingga ia terjatuh kedalam pelanggaran.

-Wabillaahi nastaiin, penjelasan berikut, semoga bisa menjadi obatnya.

Sikap yang benar terhadap rezeki

1. Rezeki atas kehendak Allah Azza wa Jalla

Sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim terhadap rezeki adalah Allah-lah satu-satunya Sang Pemilik dan Pemberi rezeki hamba-hamba-Nya. Maka di dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah memberi sebagian makhluk dan mencegah pemberian untuk sebagian yang lain sesuai dengan ilmu, hikmah (kebijaksanaan), dan keadilan-Nya. Demikian juga masalah banyaknya rezeki yang diberikan kepada para hamba-Nya, Allah memberikan kepada sebagian mereka rezeki yang banyak, sedangkan kepada sebagian yang lain sedikit saja.

Semua terserah Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, Allah tidak akan pernah zalim kepada mereka. Karena semuanya sesuai dengan ilmu,hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman,

Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas (Al-Baqarah: 212).

Syaikh Abdur Rahmn bin Nashir as-Sadi rahimahullah menjelaskan,

Tatkala rezeki duniawi maupun rizki akhirat tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan takdir Allah dan tidak bisa didapatkan kecuali dengan kehendak Allah, maka Allah pun berfirman {} (Tafsir As-Sadi, hal. 95).

Allah Maha Mengetahui tentang orang yang jika dikayakan, maka kekayaannya membuatnya melupakan Allah. Dan Allah pun Maha Mengetahui bahwa ada orang yang jika dijadikan miskin, ia mampu bersabar dan beribadah kepada-Nya.

Jika ini dipahami, maka seorang hamba tidak protes terhadap jatah rezekinya, bahkan qonaah (menerima dan rela) atas jatah rezekinya sembari meyakini bahwa hal ini adalah pilihan Allah yang terbaik baginya. Ia meyakini juga bahwa Allah lebih mengetahui dan lebih sayang terhadap diri hamba-Nya daripada hamba itu sendiri. Dengan demikian ia tidak nekad menerjang yang haram. Walaupun rezeki halal yang diperolehnya sedikit, namun itu adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Tujuan penciptaan (tujuan hidup) dan tujuan pemberian rezeki

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hanya untuk beribadah kepada-Nya dan Allah menciptakan rezeki untuk mereka semata-mata agar mereka gunakan rezeki tersebut untuk beribadah kepada-Nya (Majmuul Fatawa Imam Ibnu Taimiyyah, kitabul Iman, dari http://madrasato-mohammed.com/book232.htm).

Jika seseorang tahu tujuan hidupnya dan tujuan Allah memberinya rezeki, maka ia akan membenci rezeki haram dan tidak mau mencari rezeki haram, karena rezeki haram tidak bisa ia gunakan untuk beribadah kepada Rabbnya, bahkan menyebabkan datangnya siksa Allah. Jika memperoleh rezeki yang halal pun ia tidak gunakan secara berlebihan, sehingga ia merasa cukup dengan rezeki yang halal dan tidak membutuhkan rezeki yang haram.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa sikap seorang mukmin yang benar berbeda dengan sikap hidup orang-orang kafir:

Lain halnya dengan seorang mukmin, meskipun mendapatkan perolehan dunia (yang halal) dan kesenangannya, namun tidak akan ia pergunakan untuk bersenang-senang semata, dan tidak akan ia pergunakan untuk menghilangkan kebaikan-kebaikannya selama hidup di dunia. Tetapi akan ia pergunakan perolehan dunia (yang halal) itu untuk memperkuat diri dalam mencari bekal di akhiratnya kelak (Miftahu Daris Saadah, Ibnul Qoyyim, hal. 197).

Jadi, profil seorang mukmin adalah boro-boro mencari rezeki yang haram, memperoleh rezeki yang halal saja, ia pergunakan dengan baik untuk beribadah kepada Allah.

3. Memahami hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki

Orang yang tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya, padahal ia sudah berusaha mencarinya dengan maksimal, lalu ia mengikuti hawa nafsunya dengan mencari rezeki dengan cara yang haram, maka hakikatnya ia tidak memahami hakikat perbuatan Allah memberi dan mencegah rezeki. Ketahuilah, bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, Allah berfirman:

Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia (Asy-Syuuraa:11).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki,

Demikianlah Ar-Rabb (Allah) Subhanahu, tidaklah mencegah hamba-Nya yang beriman mendapatkan sesuatu dari dunia, melainkan memberinya rezeki yang lebih utama dan lebih bermanfaat, dan hal itu tidaklah didapatkan oleh selain Mukmin. Karena sesungguhnya, Allah mencegah seorang mukmin dari mendapatkan suatu jatah rezeki yang rendah dan sepele dan tidak meridhoi itu untuknya dengan tujuan untuk memberinya bagian rezeki yang lebih tinggi dan mahal. Sedangkan seorang hamba, disebabkan ketidaktahuannya terhadap perkara yang bermanfaat bagi dirinya dan terhadap kedermawanan, kebijaksanaan dan kelembutan Rabb nya, maka ia tidak mengetahui perbedaan antara sesuatu yang ia tercegah dari mendapatkannya, dengan sesuatu yang disimpan untuknya, bahkan ia sangat tergiur dengan kenikmatan (duniawi) yang disegerakan walaupun rendah nilainya, dan (sebaliknya) begitu rendahnya kecintaannya kepada kenikmatan (abadi/pahala) yang ditunda walaupun tinggi nilainya. Kalau seandainya, seorang hamba itu bersikap adil dalam memandang Rabb nya -namun, kapankah ia bisa bersikap demikian?- tentu ia akan mengetahui bahwa karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pencegahan-Nya (kepadanya) dari (mendapatkan) dunia dan kelezatannya serta kenikmatannya hakikatnya lebih agung daripada karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pemberian-Nya berupa dunia tersebut. Jadi, tidaklah Allah mencegah hamba tersebut (dari mendapatkan sebagian dari dunia) kecuali untuk memberinya (rezeki yang lebih tinggi), tidaklah menimpakan kepadanya cobaan kecuali untuk menjaganya (dari keburukan), tidaklah mengujinya kecuali untuk mensucikannya (dari dosa), tidaklah mematikannya (di dunia) kecuali untuk menghidupkannya (di Surga) (Fawaidul Fawaid , libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, hal. 83).

4. Jenis rezeki yang terpenting

Dalam artikel Macam-macam rezeki dan Faidah dari mengimani Nama (Ar-Razzaaq), telah disebutkan perbedaan antara rezeki umum dengan yang khusus, sebagai berikut kesimpulannya:

Rezeki Allah terbagi dua umum dan khusus.

Rezeki umum terbagi dua, halal dan haram. Berarti orang kafir atau muslim yang fasik, yang mencari atau memakan rezeki yang haram, ia dikatakan telah terpenuhi jatah rezekinya, namun ia tetap dikatakan berdosa karena mencari atau memakan rezeki yang haram.

Rezeki khusus terbagi dua, rezeki hati (ilmu dan amal) dan badan (rezeki dunia yang halal).

Rezeki hati adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan adalah sarana menuju kepada tujuan terbesar tersebut, maka jangan terlena dengan sarana dan lupa tujuan.

Barangsiapa diberi dua macam rezeki khusus sekaligus, berarti kebutuhannya telah tercukupi dengan sempurna, baik kebutuhan beragama Islam maupun kebutuhan jasmaninya. Dia menjadi hamba Allah yang berbahagia di dunia dan Akhirat.

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa rezeki hati, berupa ilmu dan amal adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan, berupa rezeki dunia yang halal adalah sarana tercapainya tujuan terbesar itu, maka harusnya,

-Yang menjadi perhatian utama seorang hamba adalah mendapatkan rizki hati berupa ilmu, petunjuk,iman dan amal.

-Mencari rezeki badan (duniawi) bagi seorang mukmin, tidak lepas dari konteks mencari rezeki yang terpenting, yaitu rezeki hati (ilmu dan amal), karena rezeki badan sarana bagi rezeki hati, ditambah lagi bahwa tujuan pemberian rezeki adalah untuk digunakan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

-Tidak mencari rezeki yang haram, karena terdapat ancaman yang keras bagi pelakunya.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang akibat pekerjaan yang haram, silahkan Anda membaca tulisan Al-Ustadz Muhammad Tausikal hafizhahullah di http://rumaysho.com/muamalah/mencari-pekerjaan-yang-halal-9616.

[Ustaz Said Abu Ukasyah]

INILAH MOZAIK

Wasiat 7: Tidak Meminta-minta

MEMINTA-MINTA adalah sikap yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Demikian juga para nabi dan rasul sebelum beliau, tidak ada yang mengajarkan untuk meminta-minta kepada manusia. Para utusan Allah Swt justru memberikan keteladanan berupa kemandirian.

Sejak belia, Nabi Muhammad Saw sudah bekerja sebagai penggembala. Saat beranjak dewasa, beliau bekerja sebagai pedagang. Bagaimana dengan nabi-nabi sebelumnya? Nabi Nuh AS. adalah seorang tukang kayu, Nabi Musa AS adalah penggembala, dan Nabi Daud AS adalah seorang pandai besi. Ini adalah sebagian keteladanan yang dicontohkan oleh para utusan Allah Swt dimana mereka mengajarkan kepada kita untuk tidak hidup dari meminta-minta kepada manusia.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya”.[HR. Bukhari]

Saudaraku yang dirahmati Allah, sesungguhnya meminta-minta itu bukanlah perbuatan yang diajarkan dalam Islam. Bahkan, hukum asalnya pun adalah haram. Meminta-minta hanya dibolehkan untuk keperluan yang berkenaan dengan kepentingan umum umat Islam, seperti untuk pembangunan sarana peribadatan, pendidikan, bantuan untuk fakir-miskin dan anak-anak yatim.

Namun, untuk kepentingan seperti tersebut di atas pun, tetap harus diperhatikan cara melakukannya. Yaitu, dengan cara mendatangi orang-orang yang memiliki kelebihan harta kekayaan kemudian membicarakan keperluan-keperluan itu dengan baik. Atau dengan mengumumkan keperluan-keperluan itu di masjid, atau cara lain yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Fenomena meminta-minta yang seringkali kita temukan saat ini di mana banyak sekali bagian dari umat ini yang meminta-minta di jalanan, itu bukanlah hal yang patut dilakukan. Karena, selain tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw, tata cara seperti itu juga bisa menimbulkan citra yang kurang baik bagi Islam dan kaum muslimin.

Namun, apakah umat Islam dilarang secara total dari perbuatan meminta-minta atau adakah golongan yang dikecualikan? Salah seorang sahabat Rasulullah Saw yaitu Qabishah bin Mukhariq al Hilali RA meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw pernah berkata kepadanya,

“Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan “Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan,” ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[HR. Muslim]

Betapa tidak terhormatnya sikap meminta-minta ini hingga Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”.[HR. Bukhari]

Dalam hadits ini Rasulullah Saw bermaksud untuk menegaskan betapa buruknya perilaku kebiasaan meminta-minta kepada manusia. Dengan hadits tersebut di atas, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa di akhirat kelak, wajah orang-orang yang terbiasa meminta-minta kepada manusia selama hidup di dunia, tidak akan terdapat daging pada wajahnya, yang nampak hanyalah bagian tengkoraknya saja.

Kondisi ini adalah hukuman bagi orang-orang yang enggan melepaskan diri dari kebiasan untuk meminta-minta tanpa sedikitpun ada rasa malu di dalam dirinya.

Islam mensyariatkan kepada para pemeluknya dari sikap mental peminta-minta. Maksud sikap meminta-minta ini adalah ketika seseorang terbiasa hidup dari meminta-minta kepada orang lain, baik uang ataupun hal-hal lainnya, meski sebenarnya hal-hal yang dia pinta itu bukanlah sesuatu yang ia butuhkan secara mendesak.

Di dalam Al Quran Allah Swt. berfirman: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 273).

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir menerangkan bahwa di dalam ayat ini Allah Swt. berkehendak agar umat-Nya tidak memelas dalam meminta-minta kepada manusia dan juga supaya mereka tidak meminta dengan memaksa kepada manusia, meminta sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Karena, orang yang meminta-minta padahal sebenarnya dia memiliki sesuatu yang bisa mencegahnya dari meminta-minta, maka sungguh orang itu termasuk yang meminta-minta kepada manusia secara paksa.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA, Rasululah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminta-minta harta orang lain untuk dikumpulkannya maka sungguh dia telah meminta barak api jahannam, maka hendaklah dia mempersedikitkannya atau memperbanyakannya”. [HR. Muslim]

Untuk memperkuat penjelasan tentang jeleknya sikap meminta-minta, mari kita simak ulasan Abu Hamid Al Ghazali.Ia memaparkan, “Pada dasarnya meminta-minta itu adalah haram, namun dibolehkan karena adanya tuntutan atau kebutuhan yang mendesak yang mengarah kepada tuntutan, sebab meminta-minta berarti mengeluh terhadap Allah, dan di dalamnya terkandung makna remehnya nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamabaNya dan itulah keluhan yang sebenarnya. Pada meminta-minta terkandung makna bahwa peminta-minta menghinakan dirinya kepada selain Allah Taala dan biasanya dia tidak akan terlepas dari hinaan orang yang dipinta-pinta, dan terkadang dia diberikan oleh orang lain karena faktor malu atau riya, dan ini adalah haram bagi orang yang mengambilnya”.

Dari Samuroh bin Jundub RA. bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta itu sama seperti seseorang menggores wajahnya sendiri kecuali jika dia meminta kepada penguasa atau meminta karena darurat”. [HR. At Tirmidzi]

Di dalam kehidupan kita saat ini, kita menemukan bahwa meminta-minta tidak lagi hanya didasarkan karena keterpaksaan belaka. Ada orang-orang yang menjadikan cara meminta-minta kepada manusia sebagai cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka meminta-minta dalam keadaan yang tidak terpaksa karena sebenarnya mereka tidak sedang benar-benar membutuhkan apa yang mereka pinta. Bahkan, ada juga yang menjadi peminta-minta padahal kehidupannya tidak terkategori sebagai orang yang kekurangan.

Dalam salah satu haditsnya, Nabi Muhammad Saw. telah menjelaskan standar kaya yang mengharamkan seseorang untuk meminta-minta. Hadits ini diriwayatkan oleh Sahl bin Hanzhalah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Barangiapa yang meminta-minta padahal dia memiliki apa yang membuatnya berkecukupan maka sesungguhnya dia memperbanyak meminta neraka jahannam. Para sahabat bertanya, “Apakah ukuran yang menjadikan seseorang dikatakan berkecukupan?” Rasulullah Saw. menjawab, “Apa yang bisa membuat dia makan dan menyambung hidupnya”.

Sahabatku yang mulia, sesungguhnya panutan kita, Muhammad Saw sangat menghargai dan menyukai pekerjaan seseorang meskipun hanya menghasilkan upah yang sedikit, ketimbang orang yang hanya menengadahkan tangannya kepada orang lain. Meskipun pekerjaan seseorang itu hanya pedagang asongan, buruh bangunan, atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menurut sebahagian pandangan masyarakat kita dinilai sebagai pekerjaan yang remeh, itu adalah sebuah kebaikan yang teramat besar dibandingkan orang yang hanya mengandalkan hidupnya dari meminta-minta kepada orang lain.

Dalam sebuah keterangan dari Zubair bin Awwam RA. Disebutkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Seandainya salah seorang dari kalian mencari kayu bakar dan memanggulnya di atas punggungnya, sehingga dengannya ia dapat bersedekah dan mencukupi kebutuhannya (sehingga tidak meminta kepada) orang lain, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik ia memberinya atau menolak permintaannya. Karena tangan yang di atas itu lebih utama dibanding tangan yang di bawah. Dan mulailah (nafkahmu dengan) orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu.” [HR. Muttafaqun alaih].

Saudara-saudaraku yang dicintai Allah, demikianlah ketujuh wasiat yang disampaikan oleh suri teladan kita Muhammad Saw kepada sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA. Meskipun wasiat atau nasehat ini ditujukan kepada Abu Dzar RA, akan tetapi yang dimaksud Rasulullah Saw adalah seluruh umatnya hingga masa kini dan masa nanti. Termasuk kita, termasuk anda, termasuk saya.

Segala yang diwasiatkan Rasulullah Saw tiada lain dan tiada bukan adalah sebagai pedoman bagi kita untuk bisa meraih kebahagiaan hidup baik di dunia dan di akhirat. Tak ada satupun wasiat yang beliau sampaikan dengan tanpa tujuan apalagi dengan kesia-siaan. Semoga kita bisa mengamalkan ke-tujuh wasiat Rasulullah Saw. ini sehingga kita menjadi bagian dari golongan orang-orang yang oleh Allah Swt. diberi kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. [smstauhiid/habis]

 

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

Wasiat 6: Tidak Takut Celaan Ketika Berdakwah di Jalan Allah

SAUDARAKU yang dimuliakan Allah, tentu kita masih tahu bagaimana tantangan dan rintangan yang menimpa Muhammad Saw ketika beliau melakukan dakwahnya. Rintangan dakwah seperti tidak hanya dihadapi oleh Rasulullah Saw, melainkan juga oleh para nabi dan rasul sebelum beliau.

Sejatinya, dakwah memang selalu menemui rintangan dan tantangan, bagaimanapun bentuknya, dari mulai cibiran, gunjingan, hinaan, celaan hingga rintangan-rintangan yang bersifat fisik. Rintangan dan tantangan itu terutama datang dari mereka yang tidak berkenan melihat dakwah Islam berlangsung dengan baik dan lancar.

Meski begitu, Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk tetap bersikap berani menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dakwah. Keberanian ini beliai contohkan dengan sikap tidak pantang mundur dalam melakukan dakwahnya yang beliau jalani dengan dakwah secara rahasia kemudian dilanjutkan dengan dakwah secara terbuka.

Di dalam Al Qur`n, Allah Swt menyinggung tentang orang-orang yang menyampaikan risalah Allah tanpa ada rasa takut di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan“. (QS. Al Ahzaab [33]: 39].

Allah Swt juga menyampaikan bahwa orang-orang yang tidak takut dicela hanya karena mengutarakan suatu kebenaran dari ajaran-Nya, merupakan orang yang dicintai oleh-Nya. Allah Swt. berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [QS. Al Midah [5]: 54].

Apabila celaan-celaan menyerang kita karena aktifitas dakwah yang kita lakukan, maka Allah Swt sudah secara lugas memberikan petunjuk-Nya supaya kita bisa menghadapi situasi seperti ini. Allah Swt berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl [16]: 125). [smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Wasiat 5: Berani Berkata Benar Meskipun Pahit

SAUDARAKU yang dirahmati Allah, seringkali manusia, bahkan mungkin termasuk kita sendiri, bertemu dengan situasi di mana sulit sekali untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu kebenaran dan ini adalah suatu kesalahan. Latar belakangnya bisa macam-macam. Bisa karena ada rasa sungkan, atau rasa segan karena yang sedang kita hadapi adalah orang yang kita hormati atau jabatan atau kedudukannya berada di atas kita.

Padahal semestinya, sepahit apapun kebenaran, ia tetap haruslah diungkap baik ditujukan kepada diri sediri maupun orang lain.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa. Banyak sekali terjadi di sekitar kita, di mana seseorang, bahkan sekali lagi mungkin termasuk diri kita sendiri, yang tiba-tiba seolah bisu ketika harus menyatakan kebenaran kepada atasan atau pemimpin kita. Padahal Rasulullah Saw di dalam salah satu haditsnya bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim”. [HR. Ahmad].

Lantas, bagaimanakah cara menyampaikan suatu kebenaran kepada atasan, pemimpin atau penguasa? Caranya adalah dengan mengunjungi mereka dan memberi nasehat kepada mereka dengan cara yang baik. Jika cara ini tidak bisa dilakukan, maka dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka. Bila cara ini bisa dilakukan, maka tidak perlu menyampaikannya dengan mengadakan orasi, provokasi dan demonstrasi. Apalagi, penyampaian masukan secara persuasif biasanya jauh lebih efektif dibandingkan menyampaikannya dengan cara berteriak-teriak di jalanan.

Islam adalah agama yang paripurna, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana aturan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Termasuk di dalamnya petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan nasehat kepada seorang pemimpin, atasan atau penguasa.

Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad].[smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Wasiat 4: Perbanyak La Haula Walaa Quwwata Illa Billah

SAUDARAKU yang berbahagia, mengapakah dalam wasiat Rasulullah Saw kepada Abu Dzar RA ini beliau menyebutkan kalimat La haula wa la quwwata illa billah? Hal ini tiada lain adalah untuk mengingatkan kita bahwasanya sudah semestinya kita meyakini bahwa apa yang kita lakukan semata-mata terjadi adalah karena kehendak Allah Swt.

Tiada hal apapun juga, besar ataupun kecil, yang terjadi di alam raya ini tanpa kehendak-Nya. Sehingga sungguh tiadalah pantas bagi siapapun untuk merasa sombong dan tinggi hati atas apa yang telah dilakukannya.

Kalimat ini juga untuk meneguhkan kepada kita semua bahwasanya hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang Maha Kuasa memberikan pertolongan kepada seluruh makhluk-Nya. Inilah makna kalimat yang kita ucapan setiap kali melakukan shalat, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan“. [QS. Al Ftihah [1]: 5].

Tanpa kehendak dan pertolongan Allah Swt tentulah kita tidak akan pernah bisa mencapai segala apa yang kita rencanakan dan kita upayakan. Bahkan, suatu upaya yang kita lakukan pun sesungguhnya terjadi berkat pertolongan-Nya. Seorang penuntut ilmu tidak akan bisa mencapai dan duduk di suatu majelis keilmuan jika tidak ada pertolongan Allah Swt yang menyampaikannya ke tempat itu. Demikian pula dengan seorang guru atau pendidik, ia tidak akan bisa memainkan perannya secara baik jika tanpa adanya pertolongan dari Allah Swt.

Oleh karena itu, apapun peran dan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manusia, tidak selayaknya ia merasa sombong. Tidak seharusnya ia merasa bahwa apa yang berhasil diraihnya semata-mata adalah murni hasil kerja keras dan jerih payahnya. Sesungguhnya selalu ada Allah Swt. di balik setiap peristiwa yang terjadi pada diri manusia.

Artinya, ketika seseorang mengucapkan kalimat, “La Haula Walaa Quwwata Illa Billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),” dengan sepenuh hati, maka sesungguhnya ia telah mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan dirinya di hadapan Allah Swt.. Selain itu, ia juga menunjukkan bahwa sesungguhnya dirinya adalah benar-benar senantiasa membutuhkan pertolongan dari Allah Swt. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Wasiat 3: Menyambung Tali Silaturahmi

SILATURAHMI adalah ibadah yang teramat agung, mulia lagi mudah dan memberikan banyak berkah bagi yang melakukannya. Kita hendaknya tidak melalaikan ibadah yang satu ini. Apalagi kita merupakan makhluk yang senantiasa tidak bisa luput dari keterikatan dengan manusia lainnya.

Di dalam Al Quran, Allah Swt berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa [4]: 1).

Selain itu, Rasulullah Saw bersabda di dalam salah satu haditsnya, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, memberi orang makan, sambungkanlah silaturahim, solatlah ketika manusia sedang tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat.” [HR. At Tirmidzi].

Saudaraku, silaturahmi merupakan fitrah manusia. Karena silaturahmi dapat menyempurnakan kebutuhan manusia akan interaksi sosial di antara sesama mereka. Bahkan, sebagaimana hadits di atas, silaturahmi itu memiliki banyak sekali manfaat bagi orang yang melakukannya, salah satunya dapat mengantarkan orang yang melakukannya menuju surga dengan selamat.

Terlebih lagi kita hidup di tengah zaman yang sudah sedemikian canggih dan maju. Berbagai moda transportasi sudah ditemukan dan semakin dikembangkan. Demikian halnya dengan alat-alat komunikasi yang kian hari kian canggih saja. Berbagai moda transportasi dan alat-alat komunikasi sebenarnya bisa semakin memberi kemudahan untuk kita menjalin silaturahmi dengan teman, sahabat, saudara dan karib kerabat tanpa terhalang jarak dan waktu.

Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi ini benar-benar sudah membantah kesulitan kita untuk menyambung jalinan tali silaturahmi. Sudah semestinya, kita justru semakin giat menjalin dan memperkuat silaturahmi kita dengan saudara-saudara kita. Apalagi Allah Swt menjanjikan ganjaran kebaikan yang besar bagi kita yang melakukannya.

Lebih jauh, Allah Swt memperingatkan orang yang memutuskan silaturahmi dan mengancam orang seperti ini dengan laknat dan adzab-Nya. Tentang peringatan dan ancaman ini Allah Swt. berfirman,

Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad [47]: 22-23).

Sahabatku yang dimuliakan Allah, masih tentang manfaat dari silaturahim, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.” [HR. Bukhari].

Barangkali kita sempat bertanya-tanya, bagaimana mungkin ajal bisa diakhirkan, atau bagaimana mungkin umur seseorang bisa ditambahkan. Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firman-Nya, “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al Araf [7]: 34).

Para ulama memberikan penjelasan tentang masalah ini. Di antaranya,

Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.

Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahmi ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Taala , “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS. Ar Rad [13]: 39).

Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan atau penambahan usia.

Dan, yang ketiga. Maksudnya bahwa namanya akan tetap diingat dan disanjung. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dhaif (lemah) atau bathil. Wallahu alam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathiatiha (16/114)].

Namun, di luar penjelasan tersebut di atas, Ibnu Hajar RA. memberikan tanggapannya tentang permasalahan ini, “Berkata Ibnu Tin, Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan firman Allah, “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al Araf [7]: 34).

Untuk mencari titik temu kedua dalil tersebut di atas, dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, tambahan umur yang dimaksud merupakan kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat untuk di akhirat kelak, serta menjaga waktunya dari kesia-siaan.

Kesimpulannya, silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan, sehingga nama orang yang melakukan silaturahim itu akan tetap dikenang dengan mulia. Seolah-olah orang itu tidak pernah mati.

Kedua, tambahan itu secara hakiki atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Taala . Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100 tahun jika ia menyambung silaturahim, dan 60 tahun jika ia memutuskannya.

Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturahmi, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman Allah Swt, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS. Ar Rad [13]: 39).

Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, keberkahan. Pendapat kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama setelah meninggalnya.

Akhirnya, hal terpenting yang wajib kita jadikan jalan keluar dari perbedaan makna memanjangkan umur baik bermakna hakikat ataupun majazi (kiasan) ini, yaitu memperpanjang umur tersebut dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi.

Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam dalam banyak hadits. Di antaranya ialah: Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah RA., beliau bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahim.” (HR. Mutafaq alaihi).

Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Taala . Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Allah menciptakan makhluk-Nya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata, “Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,”Ya, wahai Rabb.” (HR. Mutafaqun alaihi).

Ibnu Abi Jamrah berkata,”Kata Allah menyambung, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”

Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau, “Para ulama berkata, hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata Allah menyambung adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329].

Ketiga. Silaturahim adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau Shallallahualaihi Wasallam menjawab, “Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahim.” [Diriwayatkan oleh Jamaah].

silaturahmi adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Taala, serta tanda ketundukkan seorang hamba kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Taala, “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Ar Rad [13]: 21).

Demikianlah sebagian keutamaan silaturahmi. Setelah mengetahui berbagai macam keutamaannya dan juga ancaman Allah Swt. terhadap orang yang memutuskan silaturahim, sungguh tak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak menggiatkan diri menyambungkan tali silaturahmi.[smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

INILAH MOZAIK

Wasiat 2: Melihat Orang yang Lebih Rendah dalam Hal Materi

WASIAT kedua dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Dzar Al Ghifari RA adalah melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita agar senantiasa melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu adalah supaya kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu” . [HR. Bukhari].

Melalui hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya untuk tidak menengadahkan pandangan kepada mereka yang kehidupannya berada pada tempat lebih tinggi dalam segi keduniawian. Orang-orang yang dimaksud ini adalah orang-orang yang hidup di dalam gelimang harta kekayaan yang melimpah, posisi atau kedudukan atau jabatan yang tinggi, dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, kita seringkali lupa untuk mengikuti perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini. Kita seringkali melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Padahal ini merupakan salah satu jebakan syaitan yang bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kerugian. Bagaimana hal itu terjadi? Yaitu ketika kita silau melihat mereka yang hidupnya menurut kita jauh lebih enak, nyaman dan tentram, sehingga kita pun lupa untuk mensyukuri segala karunia Allah Swt yang sudah kita miliki.

Ketika kita tinggal di rumah kontrakan dan terpukau melihat mereka yang tinggal di rumah sendiri yang megah nan mewah, maka ingatlah selalu bahwa di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang hidup tidak lebih baik dari kita. Yaitu, mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan dan di emperan pertokoan.

Atau, ketika kita melihat orang lain yang memiliki penghasilan lebih besar daripada kita kemudian timbul rasa iri hati pada diri kita, maka ingatlah bahwa di luar sana masih begitu banyak orang-orang yang bekerja serabutan, orang-orang tidak memiliki pekerjaan, dan orang-orang yang tidak tahu darimana dan bagaimana ia dapat uang esok hari.

Akan tetapi lain halnya apabila kita berbicara dalam urusan agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah Swt. Dalam urusan ini sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, para sahabat, para syuhada, dan orang-orang shaleh. Mengapa? Supaya kita termotivasi untuk meneladani kesungguhan dan kegigihan mereka dalam meningkatkan kualitas ibadah terhadap Allah Swt. Bahkan, sudah semestinya kita berlomba-lomba untuk melakukannya. Allah Swt. berfirman, “Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba“. (QS. Al Muthaffifn [83]: 26).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia. Hal ini dimaksudkan agar kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur dan qanaah. Yaitu, orang yang senantiasa merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tanpa perasaan iri dan dengki terhadap manusia.

Abu Dzar RA adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya. Adapun untuk keesokan harinya beliau akan mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah Swt. meridhai beliau. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAHMOZAIK

Isyarat Kematian

Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut, salah satunya soal kematian.

 

Dalam kitab Irsyadul Ibad dikisahkan, Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut. Di antara perbincangan itu membahas mengenai kematian.

Nabi Ya’qub berkata, “Aku tahu tugasmu sebagai pencabut nyawa. Alangkah baiknya, jika engkau mengabari aku terlebih dahulu sebelum menjemput ajalku nanti.” Malaikat Maut pun berkata, “Baiklah, nanti akan kukirimkan kepadamu dua atau tiga utusan.”

Selang beberapa lama, datanglah Malaikat Maut menemui Nabi Ya’qub AS. Bertanyalah Nabi Ya’kub, “Apa kedatangan Saudara sekadar bertamu seperti biasanya?” Malaikat Maut menjawab, “Tidak, aku mau mencabut nyawamu.”

Nabi Ya’qub berkata, “Bukankah aku pernah berpesan padamu agar mengingatkan aku sebelum kau mencabut nyawaku?” Malaikat Maut menjawab, “Aku sudah kirimkan kepadamu pesan itu, tidak hanya satu bahkan tiga: pertama, rambutmu yang mulai memutih; kedua, badanmu yang mulai melemah; dan ketiga badanmu yang mulai membungkuk. Itulah pesan yang kukirimkan kepada semua manusia sebelum aku mendatangi mereka.”

Begitulah sejatinya Allah SWT telah memberikan peringatan kepada segenap manusia akan datangnya kematian. Karena, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati (QS al-Anbiya’ [21] :35). Akan tetapi, manusia lebih suka berpura-pura melupakannya.

Manusia itu sering kali mengakui tiga hal, tetapi sesering itu pula mereka menyalahinya dengan perbuatannya. Mereka mengaku sebagai hamba Allah, tetapi kelakukannya sangat tercela. Mereka berkata bahwa Allahlah yang mencukupi kehidupannya, tetapi perhatian dan hati mereka terborgol dengan keduniawian. Mereka mengetahui bahwa kematian itu pasti, tetapi mereka beramal seolah-olah tidak akan pernah mati.

Betapa banyak orang yang mengaku bahwa ia adalah hamba Allah, tetapi perbuatannya justru mencerminkan bahwa dirinya adalah hamba dunia, hamba harta, hamba jabatan, dan sebagainya. Lisannya bisa saja berkata, “Aku adalah hamba Allah,” tetapi tangannya masih saja mengambil yang bukan haknya, melakukan tindakan korupsi yang merugikan orang banyak, atau menerima sesuatu yang tidak seharusnya.

Oleh karena itu, semoga kita memiliki komitmen yang kuat untuk menata kembali kehidupan kita dengan lebih baik sehingga sisa-sisa umur kita ini dapat kita gunakan dengan sebaik-baiknya, sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah SAW.

Dengan bertambahnya umur, semoga bertambah pula ketaatan dan ibadah kita kepada Allah dan bukan justru bertambah dosa-dosa kita kepada-Nya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh berbahagia bagi orang yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.” (HR Thabrani). Wallahu’alam.

 

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

KHAZANAH REPUBLIKA

Wasiat 1: Mencintai Orang Miskin

DI DALAM Al Quran Allah Swt berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. Al Maauun [107] : 1-3).

Tentang penjelasan ayat-ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan: “Bila keimanan seseorang benar-benar meresap kuat dalam dada, ia tidak akan menghardik anak yatim, dan tidak akan membiarkan orang-orang miskin kelaparan. Masalah keimanan bukanlah hanya semboyan dan ucapan, melainkan perubahan dalam hati yang melahirkan kebaikan dalam hidup bersama dengan manusia yang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Allah tidak ingin keimanan hamba-Nya hanya kalimat yang diucapkan, melainkan harus diterjemahkan dalam perbuatan nyata. Bila tidak, keimanan itu menjadi sekedar buih yang tidak bermakna dan tidak berpengaruh apa-apa.” (Fi dzilalil Quran, vol.6, hal. 3985).

Wasiat yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tujukan kepada Abu Dzar ini hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai umat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau ini tertuju kepada kita semua.

Orang-orang miskin yang dimaksud adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”

Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkumpul bersama orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka, masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Taala. Lalu turunlah ayat:

Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya“. (QS. Al-Anm [6]: 52).

Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekadar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita bagi dan kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Taala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit utang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Dalam haditsnya yang diriwayatkan Abi Hurairah RA, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”. [HR. Bukhari dan Muslim].

Semasa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu berkumpul berdampingan dengan orang-orang miskin. Bahkan beliau memohon kepada Allah agar dihidupkan dalam keadaan tawadhu, yang beliau ucapkan dengan kata “miskin”. Sebagaimana hadits sabda beliau,

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin”. [HR. Ibnu Majah].

Ini adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar Allah Taala memberinya sifat tawadhu` dan kerendahan hati, serta agar beliau tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim apalagi menjadi termasuk kalangan orang-orang kaya yang melampaui batas. Hadits ini tidaklah bermakna bahwa beliau meminta untuk dijadikan manusia yang miskin. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atsir RA., bahwa kata “miskin” dalam hadits di atas bermakna tawadhu (An Nihyah f Gharbil Hadts (II/385), Imam Ibnul-Atsir RA).

Hal ini diperkuat dengan hadits lain di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah Swt dari kefakiran.

Permohonan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini bukanlah tanpa alasan. Sesungguhnya beliau telah mengetahui bahwa terdapat perbedaan jarak waktu antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya dari kalangan kaum muslimin ketika memasuki surga. Di mana orang-orang miskin akan setengah hari lebih cepat memasuki surga dibandingkan orang-orang kaya. Kadar waktu setengah hari ini adalah lima ratus tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun”. [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Mengapa bisa seperti ini, dan orang-orang miskin seperti apakah yang akan masuk surga dengan lebih cepat itu? Hal ini terjadi karena orang-orang kaya akan terlebih dahulu menghadapi perhitungan dan pertanggungjawaban tentang bagaimanakah harta kekayaan mereka itu dipergunakan, dimanakah harta kekayaan mereka itu dibelanjakan. Apakah mereka mempergunakannya untuk beribadah kepada Allah Swt., ataukah untuk bermaksiat terhadap-Nya.

Adapun orang-orang miskin yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang senantiasa berupaya dengan segenap kemampuan untuk melakukan amal perbuatan yang merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah Swt. Mereka adalah orang-orang miskin yang meskipun dengan keadaan mereka yang serba kekurangan, akan tetapi kekurangan mereka itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berpegang kepada Sunnah dan menghindari perbuatan-perbuatan bidah. Keterbatasan mereka tidak lantas membuat mereka terjerumus kepada perbuatan munkar. Mereka tetap berkomitmen menunaikan perbuatan maruf.

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. agar beliau dijadikan orang yang mencintai orang-orang miskin. Beliau bersabda,

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu”. [HR. Ahmad].

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menginformaskan kepada kita semua bahwasanya Allah Swt akan melimpahkan rezeki-Nya kepada kita apabila kita memberikan pertolongan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Rasulullah Saw bersabda, “Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian”. (HR. Bukhari).

Bahkan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahukan bahwa betapa besar peran yang diberikan oleh orang-orang yang hidup dalam keterbatasan, terhadap umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka”. (HR. An Nasai)

Sepanjang usianya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tak pernah luput untuk berempati kepada kaum miskin. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam teramat mencintai mereka. Maka tak heran apabila beliau senantiasa berwasiat kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa mencintai mereka yang kekurangan secara ekonomi. Wasiat Rasulullah Saw. itu sebagaimana yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar RA, salah seorang sahabatnya.

Besarnya perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kaum papa ini menginspirasi Ibn Majah untuk membuat bab khusus yang membahas keutamaan orang-orang miskin, yaitu bab Fadlul Faqr (keutamaan kefakiran), bab Manzilatul Fuqara (derajat orang-orang miskin), dan bab Mujalasatul Fuqara (bergaul dengan orang-orang miskin) di dalam kitab karyanya.

Dalam suatu riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa pada suatu ketika sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang miskin dari kalangan kaum muhajirin menceritakan betapa beruntungnya sahabat-sahabat mereka yang kaya, di mana mereka memiliki kesempatan yang lebih lapang untuk melakukan kebajikan sehingga bisa memperoleh pahala lebih banyak dibandingkan mereka.

Mendengar hal itu, Rasulullah Saw langsung bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj [22] : 47).

Lantas, bagaimanakah dengan kehidupan Rasulullah Saw. sendiri. Apakah beliau termasuk orang-orang yang hidup di dalam kemiskinan ataukah bergelimang harta kekayaan? Rasulullah Saw hidup di dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan, isteri beliau yaitu Aisyah RA pernah menceritakan bahwa di rumah mereka pernah tidak mengepul asap (tidak memasak) selama satu bulan lamanya. Aisyah RA menceritakan bahwa ketika itu ia dan sang suami tercinta hanya meminum air dan makan beberapa butir kurma.

Ada salah satu doa Rasulullah Saw yang berbunyi, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah). Maksud dari “miskin” dalam hadits ini bukanlah keadaan tidak memiliki apa-apa, melarat, sengsara atau maksud lainnya yang dipahami sebagian orang terhadap kata “miskin”. Miskin dalam hadits ini seperti yang dijelaskan Imam Baihaqi bahwa maksudnya adalah khusyu dan tawadlu.

Jadi, dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. supaya beliau dijadikan sebagai orang yang senantiasa hidup di dalam keadaan yang menjadikan diri beliau sebagai orang yang khusyu dan tawadlu.

Kepada sahabat-sahabatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu menceritakan bahwa diri dan keluarganya tidak pernah mempunyai harta yang jumlahnya mencapai satu Sha (3751 gram) biji-bijian atau kurma. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau hanya mempunyai harta sebanyak satu Mud (938 gram) makanan (Sunan Ibnu Majah:4147-8).

Mencintai orang-orang miskin adalah bukti dari keimanan kita kepada Sang Khaliq. Apabila ajaran mulia dari Rasulullah Saw. ini sudah benar-benar dipahami dan diamalkan oleh kita semua, tentulah kita tidak akan menyaksikan bayi yang ditahan rumah sakit hanya karena orang tuanya tidak bisa menebus biaya persalinan. Tentulah juga kita tidak akan menyaksikan orang-orang miskin yang akhirnya meregang nyawa karena ditolak berobat oleh rumah sakit sebab kendala biaya.

Mari kita perhatikan, ternyata fenomena-fenomena sosial tersebut hampir setiap hari kita temukan baik di hadapan mata kita secara langsung, maupun informasi melalui media-media. Semoga kita termasuk umat Rasulullah Saw. yang senantiasa meneladani beliau dalam mencintai orang-orang miskin dan kaum lemah. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

Tujuh Wasiat Rasulullah

SEGALA puji hanya milik Allah Swt yang telah mengirimkan utusan-Nya bernama Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai suri teladan untuk seluruh umat manusia. Seorang insan yang telah memberikan contoh berperikehidupan mulia bagi seluruh alam.

Saudaraku, melalui ribuan haditsnya, Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabadikan wasiat tentang nilai-nilai kebajikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya dan juga bagi seluruh manusia. Salah satunya adalah wasiat yang beliau sampaikan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA.

Dari Abu Dzar RA, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:

1. Supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,

2. Beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,

3. Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,

4. Aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan l haul wal quwwata ill billh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),

5. Aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,

6. Beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan

7. Beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia.

Hadits ini diriwayatkan oleh imam-imam ahli hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Ath Thabrani, Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Nuaim, dan Imam Al Baihaqi.

InsyaAllah pembahasan satu-persatu 7 wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan dilanjutkan pada posting berikutnya. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK