Adakah Larangan Puasa di Pertengahan Akhir Syaban?

DISEBUTKAN dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika sudah masuk pertengahan Syaban, janganlah berpuasa.” (H.r. Abu Daud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiallahu anha, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam belum pernah berpuasa selama satu bulan yang lebih banyak daripada puasa bulan Syaban. Terkadang, beliau hampir berpuasa Syaban selama sebulan penuh.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Secara zahir, kedua hadis di atas bertentangan. Karena itu, ulama berbeda pendapat dalam memaknai hadis yang pertama.

Pendapat yang kuat dalam mengompromikan dua hadis di atas adalah pendapat yang disebutkan dalam Aunul Mabud, yang menukil keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwa Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertengahan Syaban dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyambung puasa Syaban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa hadis larangan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah, sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Syaban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Mabud, 6:330)

[Ustadz Ammi Nur Baits/Dewan Pembina Konsultasi Syariah]

 

INILAH MOZAIK

Ruang Jiwa Kita Butuh Cahaya Ilahi

DALAM diri kita ada ruang, yang lebih sering menjadi ruang pengap, sunyi, gelap, bahkan terkadang ruang itu berkobar membara bagai neraka. Padahal ruang-ruang itu menjadi lembah dan hamparan bagi hidupnya ruang-ruang yang lain, yang kelak menjadi kesatuan utuh bagi kepribadian kita.

Ruang-ruang itu selalu menjadi ruang rahasia, karena memang tidak nyata di kasat mata. Di relung paling dalam ruang jiwa kita ada Al-Lubb yang juga disebut dengan As-Sirr (relung paling dalam di jiwa kita, yang menjadi awal atau sumber, siapa diri kita sesungguhnya.)

Ruang-ruang jiwa kita butuh cahaya, agar senantiasa terang, cerdas dan bahagia. Cahaya itu bias diraih melalui renungan, tafakkur ketika diri kita sedang sendiri dalam khalwat dan uzlah kita sehari-hari. Cahaya itulah yang kelak bisa membedakan mana yang gelap dan buruk, bathil dan jahat, dengan yang terang, haq dan penuh limpahan kebajikan.

Namun agar cahaya-cahaya itu tetap hidup, seseorang mesti terus menghidupkan jiwanya secara mekanis melalui Dzikrullah secara langgeng terus menerus. Kelak ruang-ruang jiwa akan dipenuhi oleh khazanah ilmu pengetahuan, khazanah marifatullah, dan berbuah kesadaran terus menerus untuk mebangunkan kualitas ruhaniyah kita.

Sebagai kesatuan organis dalam ruang batin kita, masing-masing ruang haruslah hidup dengan keserasian sejati, yaitu kehidupan fungsional sesuai dengan tugas-tugas dari Allah Swt. Apa tugas tafakkur, tugas akal, tugas hati, tugas ruh dan rahasia ruh, sehingga terjadi refreshing spiritual terus menerus terhadap masa depan kita.

Pada saat yang bersamaan, adab atau etika kita dengan Sang Pencipta juga harus berserasi. Karena pertumbuhan keimanan kita mesti menjulang ke Cakrawala Ilahiyah. Sampai pada tahap keimanan yang Haqqul Yaqin. Suatu kondisi kita siap memasuki “Ruang-ruang Ilahi” yang digambarkan secara cemerlang oleh Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari sebagai “Hadhratul Quds” dan “Bisathul Uns” (Hadhirat Suci dan Hamparan Kemesraan yang membahagiakan).

Disanalah ada langkah-langkah kaki yang telah menanggalkan sandal-sandal dan sepatu alam atau segala hal selain Allah Swt. Kita memasukinya melalui :

Pintu Mufatahah (Pintu terbukanya rahasia demi rehasiaNya);

Lalu kita ber-Muwajahah (berhadapan dalam HadiratNya);

Kemudian ber-Mujalasah (bermajlis dalam Kharisma Ilahiyah penuh dengan rasa malu, Taqarrub dan Muroqobah),

Lalu ber-Muhadatsah (berdialog dengan bahasa qalbu, melalui tafakkur dalam mengarungi nuansa Jabarut, dimana kita bermunajat melalui Rahasia Batin kita).

Kemudian ber-Musyahadah (menyaksikan kebesaran dan keagunganNya dibalik Asma, Sifat dan DzatNya, kita menyaksikanNya di alam Malakut, Dia Menyaksikan di alam nyata, kita menyaksikan di KetuhananNya, Dia menyaksian kehambaan kita.)

Berakhir dengan ber-Muthalaah (terbukanya pandangan batin kita atas rahasia alam Malakut, Jabarut, Rahasia Taqdir, dan kita memandangnya dengan menuju KetuhahanNya, Dia melihat pada kehambaan kita yang menanjak mpadaNya, kita melihat fakta ketentuan dan takdirNya, lalu jiwa kita menerima penuh ridho, dan ketika Dia memandang hamparan rahasia jiwa kita, Dia pun membukakan hamparan anugerahNya, lalu kita bersimpuh di sana, Dia pun memandang kita dengan rasa Cinta yang Luhur, Penerimaan yang Agung.

 

INILAH MOZAIK

Hancurnya Kebatilan adalah Sunnatullah !

Kali ini kita akan kembali mengupas ayat-ayat pendek dari Al-Qur’an yang menyimpan pelajaran yang begitu berharga. Allah swt Berfirman,

وَقُلْ جَاء الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقاً

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (QS.al-Isra’:81)

Ayat ini begitu singkat, padat dan tegas. Sekaligus menjadi kabar gembira bagi para penyeru kebenaran dan para pengikutnya. Kiranya satu ayat ini sudah cukup menjadi pegangan bagi mereka.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah :

1. Kekalnya kebenaran dan musnahnya kebatilan adalah Sunnatullah. Bukan lagi hayalan, perkiraan atau angan-angan. Sunnatullah adalah hukum alam yang pasti terjadi.

فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلاً وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلاً

“Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Sunnah Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu.” (QS.Fathir:43)

Karena itu, sedikit banyaknya pengikut kebenaran tidaklah menjadi masalah. Karena kebenaran itu bagaikan air yang dibutuhkan seluruh manusia. Sementara kebatilan bagaikan buih yang hanya fatamorgana.

كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاء وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأَرْضِ

“Demikianlah Allah Membuat perumpamaan tentang yang benar dan yang batil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi.” (QS.ar-Ra’d:17)

Para nabi pun diutus untuk menyampaikan dengan gamblang bahwa kebenaran akan menang dan kebatilan akan sirna.

2. Kebenaran harus tampil di medan, baru kemudian kebatilan akan hancur. Para penyihir Fir’aun tampak hebat dengan tipuan-tipuan mereka, namun disaat datang tongkat Nabi Musa as seketika semua kehebatan itu hancur.

3. Ayat ini menggunakan kata ja’a dari bentuk fi’il madhi yang memiliki makna bahwa kemenangan Al-Haq dan kehancuran Al-Batil itu pasti terjadi.

4. Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah jangan pernah pesimis dan takut. Jika kita telah berada diatas jalur kebenaran, maka jangan pernah minder dengan permainan kebatilan yang tampak hebat. Jangan pernah takut dengan penampilan kebatilan yang tampak perkasa. Karena semua itu hanyalah buih yang tak memiliki kekuatan.

Apa yang hendak kita takutkan jika Sunnatullah telah menetapkan bahwa hanya kebenaran yang akan kekal dan jaya?

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bersama kebenaran.

 

KHAZANAHALQURAN

Buah Tin, Rahasia Sumpah Allah SWT dan Segudang Khasiat

Buah tin banyak beredar di Timu Tengah dan merupakan buah bermanfaat.

Tin adalah pohon yang berasal dari tanah Arab dan menjadi kebanggaan bangsa Arab karena diberkahi. Tin dianggap sebagai pohon tertua yang dikenal manusia dalam sejarah kemanusiaan.

Pada musim kemarau, buah tin dibuat untuk menu makanan yang lezat. Sedangkan pada musim hujan, buah tin diolah sebagai makanan kering yang sangat diminati.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis, orang-orang Tunisia, Paraoh (Mesir Kuno), dan Yunani mengenal buah tin sebagai makanan sekaligus obat.

Sebenarnya, pohon tin berasal dari ujung selatan Jazirah Arab, tetapi kemudian menyebar ke Asia Kecil, seperti Anatolia, Turki, dan Afghanistan, ke Eropa melalui orang-orang Tunisia dan Yunani, serta ke Timur melalui Suriah hingga sampai ke India.

Pohon yang diberkahi ini telah digunakan oleh Allah SWT sebagai kata sumpah dalam Kitab-Nya yang berbicara tentang hal-hal yang luar biasa. Dan, Allah hanya bersumpah dengan sesuatu yang agung. “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (QS at-Tin [95]:1).

Sumpah Allah tersebut adalah bukti nyata akan pentingnya pohon ini dan menjadi isyarat penting bahwa pohon tersebut memiliki banyak manfaat. Berikut ini tiga khasiat buah tin menurut penelitian medis:

  1. Menurunkan tekanan darah. Buah Tin kaya kandungan kalium, sehingga bisa membantu mengontrol tekanan darah. Banyak orang kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, tetapi mereka justru mengkonsumsi garam dalam jumlah tinggi, sehingga menyebabkan kekurangan kalium dan berujung hipertensi. Sebuah studi menemukan ketika orang memilih memakan buah dan sayuran ketimbang makanan ringan seperti permen, susu rendah lemak, maka mereka telah menurunkan tekanan darah rata-rata 5,5 poin (sistolik) lebih 3,0 poin (diastolik).
  2. Melawan kanker. Buah ini mengandung fitokimia “benzaldehida”, yaitu bahan aktif yang ditemukan melalui ekstraksi jus, yang memiliki kemampuan melawan kanker. Sebuah studi pada 2012 menemukan bahwa ara merupakan sumber senyawa bioaktif, seperti fenolat, coumarin, dan asam lemak, yang berpotensi mengobati kanker kulit non-melanoma. Selain itu, buah ini juga memiliki coumarin, yang telah digunakan untuk mengobati kulit dan kanker prostat.
  3. Melancarkan pencernaan. Buah Tin mengandung serat yang tinggi sehingga bagus untuk pencernaan dan membantu mengatur berat badan. Kandungan serat yang tinggi mampu menyerap air sehingga melembutkan tekstur tinja. Hal ini cocok untuk membantu menjaga kebiasaan buang air besar secara teratur dan menjauhkan diri dari sembelit. Selain itu, ficin, enzim dalam ara, mampu memetabolisme protein menjadi asam amino, yang dapat menyebabkan penurunan berat badan

KHAZANAH REPUBLIKA

Keluarga Sholihah dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an telah mengatur semua masalah dalam setiap sisi kehidupan kita. Dari yang hal-hal terkecil sampai masalah-masalah yang besar tidak pernah diabaikan oleh Al-Qur’an.

مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ

“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab.” (QS.Al-An’am:38)

Setiap urusan yang berkaitan dengan keselamatan dan kebahagiaan manusia telah diatur dengan rapi oleh Al-Qur’an. Tinggal pilihan berada ditangan kita untuk mau mengamalkannya atau tidak.

Salah satu pelajaran penting yang akan kita petik pada hari ini adalah ketika Allah menceritakan tentang keluarga Nabi Zakaria as.

Ketika menceritakan keluarga Nabi Zakaria as, Al-Qur’an memberi tiga poin penting yang perlu diperhatikan dalam keluarga ini.

Allah swt berfirman,

فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’:90)

Ada tiga poin penting yang perlu kita renungkan dalam keluarga ini :

1. Mereka selalu berlomba untuk melakukan kebaikan.

Apa yang dapat kita bayangkan bila setiap keluarga selalu berlomba ingin memberikan yang terbaik.

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan.”

2. Selalu menjalin hubungan dengan Allah swt.

Keluarga ini selalu memohon bimbingan kepada Allah swt dari yang hal-hal kecil hingga yang hal-hal yang besar.

Dalam keadaan senang atau susah, keluarga ini tetap selalu mengingat Allah swt.

“dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas.”

3. Keluarga ini selalu dipenuhi kekhusyu’an dan setiap perbuatannya dilakukan untuk Allah semata.

Dalam keadaan punya atau kekurangan keluarga ini selalu berada dalam sikap tawadhu’ dan menerima ketentuan Allah swt.

“Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”

Dalam ayat ini keluarga bahagia digambarkan dengan tiga syarat. Yaitu saling berlomba dalam kebaikan, tidak pernah putus hubungannya dengan Allah swt dan selalu melaksanakan perintah Allah dengan khusyu’. Ibadahnya penuh kekhusyu’an dan hatinya khusyu’ dalam menerima semua ketentuan Allah swt.

Dalam ayat lain disebutkan,

وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya.” (QS.Tha-Ha:132)

Inilah kriteria-kriteria keluarga sholihah dalam Al-Qur’an. Semoga kita memperoleh keluarga yang sakinah, sholihah dan penuh kebahagiaan dengan mengikuti tuntunan Al-Qur’an

Semoga bermanfaat

 

KHAZANAH ALQURAN

Pemerintah Cari Sumber Dana Tambahan 10 Ribu Kuota Haji

Pemerintah kini sedang mencari tambahan ruang anggaran untuk memenuhi kebutuhan tambahan 10 ribu kuota haji. Penambahan anggaran, salah satunya untuk menutup kebutuhan tambahan petugas haji yang juga harus dikirim ke Arab Saudi sebagai pendamping jamaah haji. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, dua sumber dana paling potensial adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan anggaran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

“Nanti dari Pak Menteri Agama. Kita lihat lagi dari sumber-sumbernya,” kata Sri di Istana Negara, Kamis (18/4).

Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menambahkan, selain APBN dan BPKH, Kementerian Agama juga berpotensi menggelontorkan tambahan anggaran. Asalnya, ujar Menag, dari efisiensi yang bisa dilakukan kementerian.

Meski begitu, Lukman enggan menyebut besaran anggaran yang akan disiapkan lantaran masih dikalkulasikan. Lukman berharap, pembahasan anggaran dari APBN antara pemerintah dengan DPR pun dapat segera dilaksanakan pada pekan depan.

Terkait kuota tambahan jamaah haji sebesar 10 ribu tersebut, Lukman menyebut akan didistribusikan secara proporsional kepada seluruh provinsi. Namun, kuota tersebut akan diprioritaskan bagi lansia dan para pendampingnya.

“Prioritas utamanya adalah bagi lansia dan para pendampingnya dan tentu jamaah yang lain,” katanya.

 

IHRAM.co.id

Rezeki Sudah Dijamin jangan Cari yang Haram

ALLAH Taala adalah (Ar-Razzaq [Yang Banyak Memberi rezeqi]) karena merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata (Pemberi rezeki), maka ini menunjukkan kepada makna banyak. Yaitu menunjukkan banyaknya rezeki yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan juga menunjukkan banyaknya hamba-hamba-Nya yang mendapatkan rezeki tersebut.

Sehingga (Ar-Razzaq) artinya Yang Banyak Memberi rezeqi. Dia memberi rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak untuk seluruh makhluk-Nya.

Setiap makhluk yang berjalan di muka bumi ini pasti diberi rezeki, sebagaimana firman Allah Taala,

Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya (Huud: 6).

Syaikh Abdur Rahman As-Sadi rahimahullah berkata,

Maksudnya, seluruh yang berjalan di muka bumi ini, baik dari kalangan manusia (keturunan Nabi Adam alaihis salam), maupun binatang, baik binatang darat maupun laut, maka Allah Taala telah menjamin rezeki dan makanan mereka. Jadi, rezeki mereka dijamin oleh Allah (Tafsir As-Sadi, hal. 422).

Berarti kita harus meyakini bahwa rezeki kita sudah dijamin oleh Allah Taala. Bahkan rezeki kita telah ditulis sebelum kita terlahir di dunia ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Rezeki yang telah ditulis untuk kita pasti akan sampai ke kita. Tidaklah mungkin satu suap makanan yang sudah menjadi jatah kita akan masuk ke mulut orang lain. Seseorang tidaklah akan mati jika masih ada satu butir nasi saja yang menjadi jatahnya belum ia makan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram (HR. Ibnu Majah, dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya).

Seandainya sekarang seluruh manusia bersepakat untuk menghalangi rezeki yang yang telah Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka akan gagal. Sebaliknya, sekarang seandainya seluruh manusia bersepakat untuk memberi Anda sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka tidak akan mampu melakukannya.

Ya Allah, tidak ada satupun yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak pula ada satupun yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta yang lainnya).

Jatah rezeki Anda sudah ditetapkan, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk merasa kekurangan. Bukankah tidak ada satu pun dari makhluk yang mampu mengurangi jatah rezeki Anda? Jika demikian, maka tidak mungkin jatah Anda bisa berkurang. Mengapa harus merasa kekurangan?

Jika Anda mengatakan Tapi, rezeki yang saya dapatkan sedikit, jadi saya merasa kurang, cari rezeki halal sulit dan lama kayanya! Saya ingin cepat kaya! Rezeki haram lebih cepat dan mudah didapat, apa boleh buat! Maka kami katakan kepada Anda Mengapa harus menerjang yang haram padahal rezeki telah dijatah?

Ketahuilah! Bahwa orang yang merasa tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya selama ini dan merasa kurang, lalu mencarinya dengan cara yang haram, ini setidaknya ada tiga kemungkinan:

Ia malas mencari rezeki dengan cara yang halal atau kurang sungguh-sungguh dalam bekerja.

Ia sudah bekerja maksimal dalam mencari rezeki yang halal, tapi masih merasa kurang.

Ia sudah kaya, tapi masih pula merasa kurang.

Nasihat untuk orang yang pertama, hakikatnya ia sangatlah tidak pantas merasa kekurangan, karena ia belum berusaha dengan maksimal. Adapun untuk orang yang kedua dan ketiga, maka setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:

-Ia sudah tahu sikap dan prinsip hidup seorang muslim yang benar dalam masalah rezeki, lalu nekad melanggarnya.

-Kurang atau tidak tahu sama sekali tentang sikap dan prinsip itu, sehingga ia terjatuh kedalam pelanggaran.

-Wabillaahi nastaiin, penjelasan berikut, semoga bisa menjadi obatnya.

Sikap yang benar terhadap rezeki

1. Rezeki atas kehendak Allah Azza wa Jalla

Sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim terhadap rezeki adalah Allah-lah satu-satunya Sang Pemilik dan Pemberi rezeki hamba-hamba-Nya. Maka di dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah memberi sebagian makhluk dan mencegah pemberian untuk sebagian yang lain sesuai dengan ilmu, hikmah (kebijaksanaan), dan keadilan-Nya. Demikian juga masalah banyaknya rezeki yang diberikan kepada para hamba-Nya, Allah memberikan kepada sebagian mereka rezeki yang banyak, sedangkan kepada sebagian yang lain sedikit saja.

Semua terserah Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, Allah tidak akan pernah zalim kepada mereka. Karena semuanya sesuai dengan ilmu,hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman,

Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas (Al-Baqarah: 212).

Syaikh Abdur Rahmn bin Nashir as-Sadi rahimahullah menjelaskan,

Tatkala rezeki duniawi maupun rizki akhirat tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan takdir Allah dan tidak bisa didapatkan kecuali dengan kehendak Allah, maka Allah pun berfirman {} (Tafsir As-Sadi, hal. 95).

Allah Maha Mengetahui tentang orang yang jika dikayakan, maka kekayaannya membuatnya melupakan Allah. Dan Allah pun Maha Mengetahui bahwa ada orang yang jika dijadikan miskin, ia mampu bersabar dan beribadah kepada-Nya.

Jika ini dipahami, maka seorang hamba tidak protes terhadap jatah rezekinya, bahkan qonaah (menerima dan rela) atas jatah rezekinya sembari meyakini bahwa hal ini adalah pilihan Allah yang terbaik baginya. Ia meyakini juga bahwa Allah lebih mengetahui dan lebih sayang terhadap diri hamba-Nya daripada hamba itu sendiri. Dengan demikian ia tidak nekad menerjang yang haram. Walaupun rezeki halal yang diperolehnya sedikit, namun itu adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Tujuan penciptaan (tujuan hidup) dan tujuan pemberian rezeki

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hanya untuk beribadah kepada-Nya dan Allah menciptakan rezeki untuk mereka semata-mata agar mereka gunakan rezeki tersebut untuk beribadah kepada-Nya (Majmuul Fatawa Imam Ibnu Taimiyyah, kitabul Iman, dari http://madrasato-mohammed.com/book232.htm).

Jika seseorang tahu tujuan hidupnya dan tujuan Allah memberinya rezeki, maka ia akan membenci rezeki haram dan tidak mau mencari rezeki haram, karena rezeki haram tidak bisa ia gunakan untuk beribadah kepada Rabbnya, bahkan menyebabkan datangnya siksa Allah. Jika memperoleh rezeki yang halal pun ia tidak gunakan secara berlebihan, sehingga ia merasa cukup dengan rezeki yang halal dan tidak membutuhkan rezeki yang haram.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa sikap seorang mukmin yang benar berbeda dengan sikap hidup orang-orang kafir:

Lain halnya dengan seorang mukmin, meskipun mendapatkan perolehan dunia (yang halal) dan kesenangannya, namun tidak akan ia pergunakan untuk bersenang-senang semata, dan tidak akan ia pergunakan untuk menghilangkan kebaikan-kebaikannya selama hidup di dunia. Tetapi akan ia pergunakan perolehan dunia (yang halal) itu untuk memperkuat diri dalam mencari bekal di akhiratnya kelak (Miftahu Daris Saadah, Ibnul Qoyyim, hal. 197).

Jadi, profil seorang mukmin adalah boro-boro mencari rezeki yang haram, memperoleh rezeki yang halal saja, ia pergunakan dengan baik untuk beribadah kepada Allah.

3. Memahami hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki

Orang yang tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya, padahal ia sudah berusaha mencarinya dengan maksimal, lalu ia mengikuti hawa nafsunya dengan mencari rezeki dengan cara yang haram, maka hakikatnya ia tidak memahami hakikat perbuatan Allah memberi dan mencegah rezeki. Ketahuilah, bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, Allah berfirman:

Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia (Asy-Syuuraa:11).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki,

Demikianlah Ar-Rabb (Allah) Subhanahu, tidaklah mencegah hamba-Nya yang beriman mendapatkan sesuatu dari dunia, melainkan memberinya rezeki yang lebih utama dan lebih bermanfaat, dan hal itu tidaklah didapatkan oleh selain Mukmin. Karena sesungguhnya, Allah mencegah seorang mukmin dari mendapatkan suatu jatah rezeki yang rendah dan sepele dan tidak meridhoi itu untuknya dengan tujuan untuk memberinya bagian rezeki yang lebih tinggi dan mahal. Sedangkan seorang hamba, disebabkan ketidaktahuannya terhadap perkara yang bermanfaat bagi dirinya dan terhadap kedermawanan, kebijaksanaan dan kelembutan Rabb nya, maka ia tidak mengetahui perbedaan antara sesuatu yang ia tercegah dari mendapatkannya, dengan sesuatu yang disimpan untuknya, bahkan ia sangat tergiur dengan kenikmatan (duniawi) yang disegerakan walaupun rendah nilainya, dan (sebaliknya) begitu rendahnya kecintaannya kepada kenikmatan (abadi/pahala) yang ditunda walaupun tinggi nilainya. Kalau seandainya, seorang hamba itu bersikap adil dalam memandang Rabb nya -namun, kapankah ia bisa bersikap demikian?- tentu ia akan mengetahui bahwa karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pencegahan-Nya (kepadanya) dari (mendapatkan) dunia dan kelezatannya serta kenikmatannya hakikatnya lebih agung daripada karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pemberian-Nya berupa dunia tersebut. Jadi, tidaklah Allah mencegah hamba tersebut (dari mendapatkan sebagian dari dunia) kecuali untuk memberinya (rezeki yang lebih tinggi), tidaklah menimpakan kepadanya cobaan kecuali untuk menjaganya (dari keburukan), tidaklah mengujinya kecuali untuk mensucikannya (dari dosa), tidaklah mematikannya (di dunia) kecuali untuk menghidupkannya (di Surga) (Fawaidul Fawaid , libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, hal. 83).

4. Jenis rezeki yang terpenting

Dalam artikel Macam-macam rezeki dan Faidah dari mengimani Nama (Ar-Razzaaq), telah disebutkan perbedaan antara rezeki umum dengan yang khusus, sebagai berikut kesimpulannya:

Rezeki Allah terbagi dua umum dan khusus.

Rezeki umum terbagi dua, halal dan haram. Berarti orang kafir atau muslim yang fasik, yang mencari atau memakan rezeki yang haram, ia dikatakan telah terpenuhi jatah rezekinya, namun ia tetap dikatakan berdosa karena mencari atau memakan rezeki yang haram.

Rezeki khusus terbagi dua, rezeki hati (ilmu dan amal) dan badan (rezeki dunia yang halal).

Rezeki hati adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan adalah sarana menuju kepada tujuan terbesar tersebut, maka jangan terlena dengan sarana dan lupa tujuan.

Barangsiapa diberi dua macam rezeki khusus sekaligus, berarti kebutuhannya telah tercukupi dengan sempurna, baik kebutuhan beragama Islam maupun kebutuhan jasmaninya. Dia menjadi hamba Allah yang berbahagia di dunia dan Akhirat.

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa rezeki hati, berupa ilmu dan amal adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan, berupa rezeki dunia yang halal adalah sarana tercapainya tujuan terbesar itu, maka harusnya,

-Yang menjadi perhatian utama seorang hamba adalah mendapatkan rizki hati berupa ilmu, petunjuk,iman dan amal.

-Mencari rezeki badan (duniawi) bagi seorang mukmin, tidak lepas dari konteks mencari rezeki yang terpenting, yaitu rezeki hati (ilmu dan amal), karena rezeki badan sarana bagi rezeki hati, ditambah lagi bahwa tujuan pemberian rezeki adalah untuk digunakan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

-Tidak mencari rezeki yang haram, karena terdapat ancaman yang keras bagi pelakunya.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang akibat pekerjaan yang haram, silahkan Anda membaca tulisan Al-Ustadz Muhammad Tausikal hafizhahullah di http://rumaysho.com/muamalah/mencari-pekerjaan-yang-halal-9616.

[Ustaz Said Abu Ukasyah]

INILAH MOZAIK

Wasiat 7: Tidak Meminta-minta

MEMINTA-MINTA adalah sikap yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Demikian juga para nabi dan rasul sebelum beliau, tidak ada yang mengajarkan untuk meminta-minta kepada manusia. Para utusan Allah Swt justru memberikan keteladanan berupa kemandirian.

Sejak belia, Nabi Muhammad Saw sudah bekerja sebagai penggembala. Saat beranjak dewasa, beliau bekerja sebagai pedagang. Bagaimana dengan nabi-nabi sebelumnya? Nabi Nuh AS. adalah seorang tukang kayu, Nabi Musa AS adalah penggembala, dan Nabi Daud AS adalah seorang pandai besi. Ini adalah sebagian keteladanan yang dicontohkan oleh para utusan Allah Swt dimana mereka mengajarkan kepada kita untuk tidak hidup dari meminta-minta kepada manusia.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya”.[HR. Bukhari]

Saudaraku yang dirahmati Allah, sesungguhnya meminta-minta itu bukanlah perbuatan yang diajarkan dalam Islam. Bahkan, hukum asalnya pun adalah haram. Meminta-minta hanya dibolehkan untuk keperluan yang berkenaan dengan kepentingan umum umat Islam, seperti untuk pembangunan sarana peribadatan, pendidikan, bantuan untuk fakir-miskin dan anak-anak yatim.

Namun, untuk kepentingan seperti tersebut di atas pun, tetap harus diperhatikan cara melakukannya. Yaitu, dengan cara mendatangi orang-orang yang memiliki kelebihan harta kekayaan kemudian membicarakan keperluan-keperluan itu dengan baik. Atau dengan mengumumkan keperluan-keperluan itu di masjid, atau cara lain yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Fenomena meminta-minta yang seringkali kita temukan saat ini di mana banyak sekali bagian dari umat ini yang meminta-minta di jalanan, itu bukanlah hal yang patut dilakukan. Karena, selain tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw, tata cara seperti itu juga bisa menimbulkan citra yang kurang baik bagi Islam dan kaum muslimin.

Namun, apakah umat Islam dilarang secara total dari perbuatan meminta-minta atau adakah golongan yang dikecualikan? Salah seorang sahabat Rasulullah Saw yaitu Qabishah bin Mukhariq al Hilali RA meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw pernah berkata kepadanya,

“Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan “Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan,” ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[HR. Muslim]

Betapa tidak terhormatnya sikap meminta-minta ini hingga Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”.[HR. Bukhari]

Dalam hadits ini Rasulullah Saw bermaksud untuk menegaskan betapa buruknya perilaku kebiasaan meminta-minta kepada manusia. Dengan hadits tersebut di atas, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa di akhirat kelak, wajah orang-orang yang terbiasa meminta-minta kepada manusia selama hidup di dunia, tidak akan terdapat daging pada wajahnya, yang nampak hanyalah bagian tengkoraknya saja.

Kondisi ini adalah hukuman bagi orang-orang yang enggan melepaskan diri dari kebiasan untuk meminta-minta tanpa sedikitpun ada rasa malu di dalam dirinya.

Islam mensyariatkan kepada para pemeluknya dari sikap mental peminta-minta. Maksud sikap meminta-minta ini adalah ketika seseorang terbiasa hidup dari meminta-minta kepada orang lain, baik uang ataupun hal-hal lainnya, meski sebenarnya hal-hal yang dia pinta itu bukanlah sesuatu yang ia butuhkan secara mendesak.

Di dalam Al Quran Allah Swt. berfirman: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 273).

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir menerangkan bahwa di dalam ayat ini Allah Swt. berkehendak agar umat-Nya tidak memelas dalam meminta-minta kepada manusia dan juga supaya mereka tidak meminta dengan memaksa kepada manusia, meminta sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Karena, orang yang meminta-minta padahal sebenarnya dia memiliki sesuatu yang bisa mencegahnya dari meminta-minta, maka sungguh orang itu termasuk yang meminta-minta kepada manusia secara paksa.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA, Rasululah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminta-minta harta orang lain untuk dikumpulkannya maka sungguh dia telah meminta barak api jahannam, maka hendaklah dia mempersedikitkannya atau memperbanyakannya”. [HR. Muslim]

Untuk memperkuat penjelasan tentang jeleknya sikap meminta-minta, mari kita simak ulasan Abu Hamid Al Ghazali.Ia memaparkan, “Pada dasarnya meminta-minta itu adalah haram, namun dibolehkan karena adanya tuntutan atau kebutuhan yang mendesak yang mengarah kepada tuntutan, sebab meminta-minta berarti mengeluh terhadap Allah, dan di dalamnya terkandung makna remehnya nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamabaNya dan itulah keluhan yang sebenarnya. Pada meminta-minta terkandung makna bahwa peminta-minta menghinakan dirinya kepada selain Allah Taala dan biasanya dia tidak akan terlepas dari hinaan orang yang dipinta-pinta, dan terkadang dia diberikan oleh orang lain karena faktor malu atau riya, dan ini adalah haram bagi orang yang mengambilnya”.

Dari Samuroh bin Jundub RA. bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta itu sama seperti seseorang menggores wajahnya sendiri kecuali jika dia meminta kepada penguasa atau meminta karena darurat”. [HR. At Tirmidzi]

Di dalam kehidupan kita saat ini, kita menemukan bahwa meminta-minta tidak lagi hanya didasarkan karena keterpaksaan belaka. Ada orang-orang yang menjadikan cara meminta-minta kepada manusia sebagai cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka meminta-minta dalam keadaan yang tidak terpaksa karena sebenarnya mereka tidak sedang benar-benar membutuhkan apa yang mereka pinta. Bahkan, ada juga yang menjadi peminta-minta padahal kehidupannya tidak terkategori sebagai orang yang kekurangan.

Dalam salah satu haditsnya, Nabi Muhammad Saw. telah menjelaskan standar kaya yang mengharamkan seseorang untuk meminta-minta. Hadits ini diriwayatkan oleh Sahl bin Hanzhalah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Barangiapa yang meminta-minta padahal dia memiliki apa yang membuatnya berkecukupan maka sesungguhnya dia memperbanyak meminta neraka jahannam. Para sahabat bertanya, “Apakah ukuran yang menjadikan seseorang dikatakan berkecukupan?” Rasulullah Saw. menjawab, “Apa yang bisa membuat dia makan dan menyambung hidupnya”.

Sahabatku yang mulia, sesungguhnya panutan kita, Muhammad Saw sangat menghargai dan menyukai pekerjaan seseorang meskipun hanya menghasilkan upah yang sedikit, ketimbang orang yang hanya menengadahkan tangannya kepada orang lain. Meskipun pekerjaan seseorang itu hanya pedagang asongan, buruh bangunan, atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menurut sebahagian pandangan masyarakat kita dinilai sebagai pekerjaan yang remeh, itu adalah sebuah kebaikan yang teramat besar dibandingkan orang yang hanya mengandalkan hidupnya dari meminta-minta kepada orang lain.

Dalam sebuah keterangan dari Zubair bin Awwam RA. Disebutkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Seandainya salah seorang dari kalian mencari kayu bakar dan memanggulnya di atas punggungnya, sehingga dengannya ia dapat bersedekah dan mencukupi kebutuhannya (sehingga tidak meminta kepada) orang lain, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik ia memberinya atau menolak permintaannya. Karena tangan yang di atas itu lebih utama dibanding tangan yang di bawah. Dan mulailah (nafkahmu dengan) orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu.” [HR. Muttafaqun alaih].

Saudara-saudaraku yang dicintai Allah, demikianlah ketujuh wasiat yang disampaikan oleh suri teladan kita Muhammad Saw kepada sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA. Meskipun wasiat atau nasehat ini ditujukan kepada Abu Dzar RA, akan tetapi yang dimaksud Rasulullah Saw adalah seluruh umatnya hingga masa kini dan masa nanti. Termasuk kita, termasuk anda, termasuk saya.

Segala yang diwasiatkan Rasulullah Saw tiada lain dan tiada bukan adalah sebagai pedoman bagi kita untuk bisa meraih kebahagiaan hidup baik di dunia dan di akhirat. Tak ada satupun wasiat yang beliau sampaikan dengan tanpa tujuan apalagi dengan kesia-siaan. Semoga kita bisa mengamalkan ke-tujuh wasiat Rasulullah Saw. ini sehingga kita menjadi bagian dari golongan orang-orang yang oleh Allah Swt. diberi kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. [smstauhiid/habis]

 

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

Wasiat 6: Tidak Takut Celaan Ketika Berdakwah di Jalan Allah

SAUDARAKU yang dimuliakan Allah, tentu kita masih tahu bagaimana tantangan dan rintangan yang menimpa Muhammad Saw ketika beliau melakukan dakwahnya. Rintangan dakwah seperti tidak hanya dihadapi oleh Rasulullah Saw, melainkan juga oleh para nabi dan rasul sebelum beliau.

Sejatinya, dakwah memang selalu menemui rintangan dan tantangan, bagaimanapun bentuknya, dari mulai cibiran, gunjingan, hinaan, celaan hingga rintangan-rintangan yang bersifat fisik. Rintangan dan tantangan itu terutama datang dari mereka yang tidak berkenan melihat dakwah Islam berlangsung dengan baik dan lancar.

Meski begitu, Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk tetap bersikap berani menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dakwah. Keberanian ini beliai contohkan dengan sikap tidak pantang mundur dalam melakukan dakwahnya yang beliau jalani dengan dakwah secara rahasia kemudian dilanjutkan dengan dakwah secara terbuka.

Di dalam Al Qur`n, Allah Swt menyinggung tentang orang-orang yang menyampaikan risalah Allah tanpa ada rasa takut di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan“. (QS. Al Ahzaab [33]: 39].

Allah Swt juga menyampaikan bahwa orang-orang yang tidak takut dicela hanya karena mengutarakan suatu kebenaran dari ajaran-Nya, merupakan orang yang dicintai oleh-Nya. Allah Swt. berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [QS. Al Midah [5]: 54].

Apabila celaan-celaan menyerang kita karena aktifitas dakwah yang kita lakukan, maka Allah Swt sudah secara lugas memberikan petunjuk-Nya supaya kita bisa menghadapi situasi seperti ini. Allah Swt berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl [16]: 125). [smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Wasiat 5: Berani Berkata Benar Meskipun Pahit

SAUDARAKU yang dirahmati Allah, seringkali manusia, bahkan mungkin termasuk kita sendiri, bertemu dengan situasi di mana sulit sekali untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu kebenaran dan ini adalah suatu kesalahan. Latar belakangnya bisa macam-macam. Bisa karena ada rasa sungkan, atau rasa segan karena yang sedang kita hadapi adalah orang yang kita hormati atau jabatan atau kedudukannya berada di atas kita.

Padahal semestinya, sepahit apapun kebenaran, ia tetap haruslah diungkap baik ditujukan kepada diri sediri maupun orang lain.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa. Banyak sekali terjadi di sekitar kita, di mana seseorang, bahkan sekali lagi mungkin termasuk diri kita sendiri, yang tiba-tiba seolah bisu ketika harus menyatakan kebenaran kepada atasan atau pemimpin kita. Padahal Rasulullah Saw di dalam salah satu haditsnya bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim”. [HR. Ahmad].

Lantas, bagaimanakah cara menyampaikan suatu kebenaran kepada atasan, pemimpin atau penguasa? Caranya adalah dengan mengunjungi mereka dan memberi nasehat kepada mereka dengan cara yang baik. Jika cara ini tidak bisa dilakukan, maka dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka. Bila cara ini bisa dilakukan, maka tidak perlu menyampaikannya dengan mengadakan orasi, provokasi dan demonstrasi. Apalagi, penyampaian masukan secara persuasif biasanya jauh lebih efektif dibandingkan menyampaikannya dengan cara berteriak-teriak di jalanan.

Islam adalah agama yang paripurna, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana aturan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Termasuk di dalamnya petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan nasehat kepada seorang pemimpin, atasan atau penguasa.

Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad].[smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK