Niat Menentukan Nilai Amal Diri Seseorang

NIAT itu membedakan amal yang satu dan amal yang lain, serta membedakan antara orang yang satu dan orang yang lain. Syekh Ibn Taymiyah telah meyakinkan kita berapa niat itu sangat menentukan nilai amal dan diri kita.

Tapi, niat sejati itu dalam hati. Lantas, apa makna ikhlas? Imam al Nawawi, di awal kitab al-Adzkar, menyajikan banyak keterangan para syekh tentang makna-makna ikhlas.

Allah swt berfirman, “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.” (al-Bayinah : 5)

Allah swt juga berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidaklah dapat mencapai Allah, melainkan ketakwaan dari kamulah yang mencapai-Nya.” (al-Hajj :37)

Ibn Abbas mengatakan, ketakwaan di sini maksudnya adalah niat (tulus).

Dari Umar ibn al-Khaththab diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Perbuatan itu bergantung pada niat. Bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Sedang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin ia kuasai atau perempuan yang ingin ia kawini, maka hijrahnya karena hal itu pula.”

Hadis ini sahih, dan termasuk salah satu hadis yang menjadi poros ajaran Islam. Kaum salaf senang sekali mengawali kitab-kitab mereka dengan hadis ini, demi memperingatkan para penelaah agar mempunyai dan memerhatikan niat yang lurus.

Ibn Abbas berkata, orang itu dihormati sepadan dengan niatnya. Yang lain berkata, manusia itu dihargai sebanding dengan niatnya.

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, meninggalkan amal karena manusia itu ria, melakukan amal karena manusia itu syirik, dan ikhlaslah yang menyembuhkan keduanya.

Banyak perbuatan biasa menjadi bernilai karena terbungkus dalam niat yang begus, sebagaimana banyak kewajiban menjadi tak bermakna lantaran niatnya yang tak lurus. Ketulusan membuat hidup semua tindakan. [Chairunnisa Dhiee]

 

INIILAH MOZAIK

Fikih Ketika Lupa

Pelajaran berikut penting sekali untuk yang suka lupa. Coba deh pelajari fikihnya.

Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,

نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْۗ

Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.”(QS. At-Taubah: 67). Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.

Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah,

عَدَمُ تَذَكَّرُ الشَّيْءِ وَقْتَ حَاجَتِهِ إِلَيْهِ

“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”

 

Pengaruh Lupa

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat shahih menurut mereka, orang yang lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.

Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:

Pertama: Hukum ukhrawi

Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman Allah,

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا مُخْطِئًا أَوْ نَاسِيًا لَمْ يُؤَاخِذْهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَحِينَئِذٍ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ إثْمٌ وَمَنْ لَا إثْمَ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ عَاصِيًا وَلَا مُرْتَكِبًا لِمَا نُهِيَ عَنْهُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ قَدْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ وَلَمْ يَفْعَلْ مَا نُهِيَ عَنْهُ . وَمِثْلُ هَذَا لَا يُبْطِلُ عِبَادَتَهُ إنَّمَا يُبْطِلُ الْعِبَادَاتِ إذَا لَمْ يَفْعَلْ مَا أُمِرَ بِهِ أَوْ فَعَلَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakuakn yang dilarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226).

Kedua: Hukum duniawi

  • Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.
  • Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.
  • Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti rugi).

 

Kaedah Membedakan Lupa dalam Perintah dan Larangan

Ibnul Qayyim rahimahullah  berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا نَاسِيًا لَمْ يَكُنْ قَدْ فَعَلَ مَنْهِيًّا عَنْهُ

“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang. ” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)

 

Beberapa Bentuk Lupa

Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah

1. Lupa membaca bismillah pada awal wudhu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish Al-Habir, 1:128).

Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.

Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.

2. Lupa mengerjakan shalat wajib

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)

Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,

وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا

فَإِنْ نَسِيَ أَوْ جَهِلَهُ أَوْ خَافَ فَوْتَ الصَّلاَةِ سَقَطَ التَّرْتِيْبُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الحَاضِرَةِ

 “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.

Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”

3. Lupa salah satu bagian shalat

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’at.

  • Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir melakukan sujud sahwi.
  • Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
  • Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.

Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:

  1. Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.
  2. Ragu mengenai jumlah rakaat.
  3. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja, akan membatalkan shalat seperti menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur karena lupa.
  4. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah ab’adh atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)

Cara melakukan sujud sahwi:

Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin melakukannya berniat untuk sujud sahwi. Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.

Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

4. Lupa membaca bismillah ketika makan

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’”(HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih).

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِذَا أَكَلَ أَحَدكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه ، فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّله فَلْيَقُلْ : بِسْمِ اللَّه فِي أَوَّله وَآخِره

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih).

 

Kedua: Lupa dengan melakukan larangan

1. Makan dan minun dalam keadaan lupa saat puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).

2. Berbicara dalam shalat dalam keadaan lupa

Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu,

وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ

“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu,

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)

Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya batal.

3. Baru mengetahui adanya najis setelah shalat

Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sandal saat shalat. Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, ‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka berkata, ‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia berkata, ‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya.” (HR. Abu Daud, no. 650. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

  1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.
  2. Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.
  3. Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
  4. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’.

Selesai disusun di Jogja, malam 4 Rabi’ul Akhir 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/19136-fikih-ketika-lupa.html

Kisah Qarun Tantang Nabi Musa Berdoa Bersama

Harta karun dalam bahasa Indonesia adalah frasa yang digunakan untuk menjelaskan harta tak bertuan dan terpendam dalam jumlah besar. Frasa tersebut tak terbentuk begitu saja, tetapi diambil dari nama seorang Yahudi, Qarun. Menurut Ibnu Ishak, Qarun adalah paman Nabi Musa.

Sementara, menurut A’masy dan lainnya, Qarun adalah sepupu Nabi Musa. Ayah Nabi Musa yang bernama Imran adalah kakak dari ayah Qarun yang bernama Yashhar. Baik Nabi Musa maupun Qarun adalah keturunan Nabi Ya’kub.

Qarun dikenal sebagai seorang yang kekayaannya sangat melimpah ruah. Namun sebelumnya, hidup Qarun sangat miskin. Dia tidak mampu menafkahi anaknya yang jumlahnya sangat banyak.

Bosan dengan keadaannya, Qarun meminta Nabi Musa untuk mendoakannya agar Allah memberikannya harta benda yang sangat banyak. Nabi Musa menyetujuinya tanpa ragu karena dia tahu bahwa Qarun adalah seorang yang sangat saleh dan pengikut ajaran Ibrahim yang sangat baik.

Allah pun mengabulkan doa Musa. Akhirnya, Qarun kemudian memiliki ribuan gudang harta yang penuh berisikan emas dan perak. Dalam surah al-Qashash ayat 76 dikisahkan bahwa Qarun pernah pamer kekayaannya. Saat itu, dia keluar dengan pakaian yang sangat mewah didampingi oleh 600 orang pelayan terdiri atas 300 laki-laki dan 300 lagi pelayan perempuan. Bukan hanya itu, ia juga dikelilingi oleh 4.000 pengawal dan diiringi 4.000 binatang ternak yang sehat, plus 60 ekor unta yang membawa kunci-kunci gudang kekayaannya.

Namun sayang, setelah keinginannya menjadi kaya raya terwujud, Qarun mempergunakan hartanya dalam kesesatan, kezaliman, dan permusuhan, sehingga membuatnya menjadi orang yang sombong. Qarun mabuk dan terlena dengan kekayaannya.

Janji Qarun untuk lebih khusyuk beribadah dan membantu sesama setelah menjadi kaya, kandas. Dia mendurhakai Allah dan memilih untuk menyembah Sobek, dewa berkepala buaya serta dewa-dewa lainnya.

Qarun tidak mengindahkan nasihat para mukmin yang memintanya untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat harta kekayaan yang diberikan. Selain itu, memanfaatkan hartanya dalam hal yang bermanfaat, kebaikan, dan kegiatan lainnya yang halal karena semua itu adalah harta Allah. Namun, ia menolak dan berkata dengan pongah, seperti dikutip dari surah al-Qashash ayat 78. ”Sesungguhnya, aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.”

Para mukmin kemudian berkata, ”Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.” Sementara, orang fakir yang melihat kejadian tersebut mendukung ucapan Qarun. ”Semoga, kiranya kita mempunyai harta seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.”

Tak hanya durhaka pada Allah, dia pun kemudian mengkhianati Nabi Musa. Alquran menyejajarkan pengkhianatan Qarun ini dengan penolakan Firaun Ramses II atas ajaran tauhid yang dibawa Musa. Seperti disebut dalam surah al-Mukmin ayat 23-24, ”Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata kepada Fir’aun, Haman, dan Qarun, maka mereka berkata, ‘(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta’.”

Suatu hari, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan Zakat. Nabi Musa lalu mengutus salah seorang pengikutnya untuk mengambil zakat dari Qarun. Begitu sampai, Qarun langsung marah dan tidak mau memberikan sedikit pun dari kekayaannya. Karena, menurut Qarun, kekayaannya itu adalah hasil kerja keras dan usaha sendiri, tidak ada kaitan dengan siapa pun, tidak ada kaitan dengan Allah, atau dewa mana pun.

Qarun pun berani memfitnah Nabi Musa. Dia mengupah seorang wanita agar mengaku telah berbuat serong dengan Nabi Musa. Ketika seluruh Bani Israil telah berkumpul, Qarun berkata, ”Wahai Bani Israil, ketahuilah, Musa yang kalian anggap sebagai Nabi dan orang baik itu, sebenarnya tidak demikian. Bahkan, dia telah menghamili wanita ini.”

Nabi Musa merasa sedih dan langsung berdoa agar Allah menampakkan kebenaran sesungguhnya. Bahwa semua yang dituduhkan tersebut adalah fitnah belaka. Allah menunjukkan kekuasannya. Lidah perempuan yang disuruh berbohong tersebut kelu dan dia pun akhirnya mengucapkan cerita yang sebenarnya, bukan kata-kata bohong yang sudah disiapkan sebelumnya.

”Musa tidak berbuat apa-apa dengan saya, dia orang baik, saya diupah oleh Qarun untuk mengatakan bahwa saya dihamili oleh Musa.” Mendengar itu, Nabi Musa segera sujud sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah. Kisah ini menjadi sebab turun dari surah al-Ahzab ayat 69.

Tidak berhenti di sana, Qarun juga menantang Nabi Musa untuk berdoa bersama. Siapa doanya yang dikabulkan, dialah yang benar dan harus diikuti. Qarun lalu berdoa, ”Wahai dewa penguasa jagat raya, matikan Musa saat ini juga.” Namun, Nabi Musa tidak meninggal, beliau tetap hidup dan berdiri tegak. Nabi Musa kemudian berdoa, ”Wahai bumi telanlah si Qarun dan seluruh kekayaannya saat ini juga!”

Tidak lama kemudian, bumi berguncang dan seketika bumi terbelah sehingga tubuh Qarun dan seluruh kekayaannya habis ditelan bumi seperti didokumentasikan dalam Surah al-Qashash ayat 81. ”Maka, Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” Tidak ada seorang pun yang dapat menolong dan menahannya dari bencana itu.

Alquran juga mengisahkan hal ini di dalam surah yang lain, yaitu al-Ankabut ayat 39-40. ”Dan (juga) Qarun, Firaun, dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi, mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, lalu di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu, kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Kemudian, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Tempat di mana Qarun dan seluruh kekayaannya dibenamkan oleh Allah ke dalam bumi ini berada di sebuah tempat yang kini dikenal dengan sebutan Danau Qarun (Bahirah Qarun). Namun, tidak ada satu pun kekayaan Qarun yang tersisa, selain puing-puing istananya yang bernama Qasru el-Qarun yang sampai saat ini masih berdiri kokoh di pinggir Tasik Qarun, Kota Fayyoum, yang tidak terlalu jauh dari Kairo, Mesir.

Setelah menyaksikan kejadian yang menimpa Qarun, bertambahlah keimanan orang-orang Bani Israil kepada Allah. ”Benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah),” ujar mereka.

Kisah Qarun ini mengajarkan kita tentang bahaya sifat kufur, cinta dunia, dan sombong. Allah mengingatkan agar kita selalu bersyukur atas limpahan nikmat kekayaan yang kita miliki. ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih,” demikian Surah Ibrahim ayat 7.

Islam Digest Republika

Tiga Tanda Kiamat Terkait Bangsa Arab: Arab Kian ‘Menghijau’

Tak ada  yang mampu mengetahui pasti kapankah hari kiamat akan tiba. Informasi tentang kiamat hanya Allah SWT lah yang mengetahui. “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (QS al-A’raaf [7]: 187).

Akan tetapi, melalui lisan Rasulullah SAW, Allah memberikan beberapa tanda-tanda datangnya kiamat. Baik tanda-tanda kecil ataupun tanda besar. Sebagian dari tanda itu, ada yang secara khusus berkaitan dengan bangsa Arab dan kawasan Semenanjung Arab. Republika.co.id,  mencoba mengumpulkan tiga tanda kiamat yang berkaitan dengan bangsa Arab dan Semenanjung Arab. Uraiannya sebagai berikut:

Pertama, kembalinya Semenanjung Arab sebagai wilayah yang hijau dengan air sungai mengalir deras. Penegasan ini sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA.

Menurut Imam al-Qurthubi, kembalinya hamparan hijau Semenanjung Arab tersebut karena, Bangsa Arab telah beralih profesi menjadi para peladang dan pekebun. Berbeda dengan sejarah mereka di masa lampau yang terkenal dengan para penakluk.

Kedua, degradasi Bangsa Arab. Degradasi ini pada dasarnya lebih kepada moralitas dan mentalitas Bangsa Arab. Penegasan tersebut disampaikan Imam as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir, Rasulullah SAW pernah bersabda,”Di antara (tanda) dekatnya kiamat adalah rusaknya bangsa Arab.”

Ketiga, gerhana bulan yang muncul di Semenanjung Arab, dan munculnya bara api di Yaman yang mengantarkan penduduknya hingga ke Padang Mahsyar. Riwayat lain menyebutkan, api tersebut keluar dari Aden. Hadis ini antara lain diriwayatkan Muslim dari Hudzaifah bin Asid al-Ghifari.  Riwayat lain juga menyebut api tersebut akan keluar dari kawasan Hijaz (Arab Saudi, kini).

 

REPUBLIKA

Meneguhkan Syahadat

Syahadat merupakan gerbang masuk seseorang ketika hendak menjadi Muslim. Dua untai kalimat bermakna “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah” tidak sesederhana yang terlihat.

Kalimat ini menjadi sumpah setia seorang hamba kepada Tuhannya dan seorang pengikut kepada junjungannya. Saat sumpah itu benar-benar dihujamkan, maka empat rukun Islam yang lain – shalat, puasa, zakat, pergi haji – pun akan mudah dilakukan.

Dari segi tata bahasa, kalimat syahadat memiliki makna terdalam. Pengucapan kalimat tidak ada tuhan adalah komitmen seorang hamba untuk “mengesampingkan” apa pun. Penyembahan terhadap bumbu-bumbu dunia seperti keluarga, anak, istri, harta, dan jabatan  harus dikesampingkan pada waktu awal pengucapan.

Penambahan kata “selain Allah” menjadi bukti Allah adalah satu-satunya yang patut dipertuhankan. Sementara, kalimat Rasulullah utusan Allah menjadi komitmen seorang Muslim untuk mengikuti segala sunah yang diajarkan Nabi.

Syahadat berarti ikrar (pengakuan), sumpah dan perjanjian. Pada QS al-Imran ayat 18, Allah SWT berfirman “Allah menyatakan tidak ada tuhan selain Dia; demikian pula para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman tentang status Rasulullah SAW sebagai utusan. “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan.”(QS al-Ahzab ayat 45).

Para pembesar Quraisy memahami betul inti kalimat syahadat. Karena itu, mereka menolak saat Rasulullah meminta mereka untuk mengucapkan Lailahaillallah Muhammad Rasulullah. Kepada para pembesar Bani Hasyim, Nabi Muhammad bersabda, “Wahai saudara-saudara, maukah kalian aku beri satu kalimat, di mana dengan kalimat itu kalian akan dapat menguasai seluruh jazirah Arab?”

Kemudian Abu Jahal menjawab, “Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan kepadaku.” Kemudian, Rasulullah pun mengatakan, “Ucapkanlah laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah.” Abu Jahal pun menjawab, “Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Penolakan Abu Jahal kepada kalimat ini bukan karena dia tidak paham akan makna dari kalimat itu. Abu Jahal justru tidak mau menerima sikap yang mesti tunduk, taat, dan patuh hanya kepada Allah SWT. Jika bersikap seperti itu, Abu Jahal menyadari bahwa semua orang akan tidak tunduk lagi kepadanya.

Abu Jahal ingin mendapatkan loyalitas dari kaum dan bangsanya. Jika dia mengikuti untuk bersyahadat, artinya Abu Jahal dan para pembesar itu menerima semua aturan dan segala akibatnya.

Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsmaini mengatakan, kalimat La Ilaha Illallah bermakna seorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah. Kalimat ini mengandung makna peniadaan dan penetapan.  Kalimat peniadaan (Laa ilaha) dan penetapan (Illallah) mengandung makna ikhlas. Artinya, memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja dengan meniadakan ibadah selain dari-Nya.

“Bagaimana kamu mengatakan tidak ada sesembahan (ilah) kecuali Allah padahal di sana banyak ilah-ilah yang diibadahi selain Allah dan Allah Azza wa Jalla menamainya alihah (jamak dari ilah) dan penyembahnya menyebutnya alihatun,” tulis Syekh Al Utsmaini.  Tentang sesembahan ini, Allah SWT berfirman dalam QS Hud: 101.  “Karena itu tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah di waktu azab Rabb-mu datang. ” Allah juga berfirman dalam QS al-Isra: 39, yakni “Dan janganlah kamu mengadakan sesembahan-sesembahan lain di samping Allah.

Lebih lanjut, sang syekh mengatakan, makna Muhammad utusan Allah adalah membenarkan apa-apa yang Rasulullah kabarkan, melaksanakan apa yang dia perintahkan, menjauhi apa yang dilarang dan tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan darinya. Kalimat ini juga mengandung konsekuensi bahwa seorang Muslim tak memiliki keyakinan bahwa Rasulullah memiliki hak untuk disembah, hak mengatur alam, atau hak dalam ibadah.

Hanya, Rasulullah merupakan seorang hamba yang tidak berdusta dan tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk memberi manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri ataupun orang lain, kecuali apa yang dikehendaki Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Anfal:50. “Katakanlah (ya Muhammad): Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malakikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku..”

Karena itu, meneguhkan kembali kalimat syahadat sangat relevan pada zaman yang penuh dengan fitnah dan cobaan ini. Maraknya aliran sesat di bumi nusantara mengharuskan kita untuk menjaga diri dan keluarga lewat mempertebal akidah. Kalaulah kita jauh dari aliran sesat, mengingat lagi syahadat dapat menggerus syirik-syirik kecil yang kerap dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa sadar, pengingkaran ini sering kita lakukan sehingga dapat membatalkan syahadat. Kita meninggalkan sunah-sunah Rasulullah yang seharusnya menjadi komitmen saat mengucap syahadat. Sering kali kita mengutamakan pertandingan sepakbola ketimbang panggilan azan, larut dalam rapat berjam-jam tanpa memerhatikan waktu shalat, menunda untuk membayar zakat padahal sudah memenuhi nisabnya, dan sebagainya. Maka, sebagaimana wudhu yang diperintahkan untuk diulang saat kentut atau buang air kecil, sudah semestinya kita perbaharui lagi syahadat. Kali ini dengan lebih khusyuk.

Ingin Bahagia? Tempuhlah Jalan Rasulullah

SESUNGGUHNYA Islam benar-benar menaruh perhatian yang sangat besar kepada manusia di dalam segala urusannya, baik agama dan dunianya di saat lapang maupun sulit, bangun maupun tidur, di kala bepergian maupun menetap, saat makan maupun minum, waktu bahagia maupun sedih.

Singkat kata, tidak ada satu hal pun, baik kecil maupun besar, melainkan telah dijelaskan oleh Islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah menggoreskan buat kita melalui ucapan dan perbuatannya rambu-rambu adab yang seyogyanya ditempuh oleh setiap mukmin di dalam hidupnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah menjelaskan, siapa saja yang menghendaki kebahagiaan, hendaklah ia menempuh jalan hidup Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan meneladani adabnya.

Berikut diantaranya 12 adab seorang muslim saat tidur dan bangun tidur:

1. Muhasabah. Hendaklah menghitung-hitung sesaat sebelum tidur, mengoreksi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Ini sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya itu baik, maka hendaknya memuji Allah, jangan memuji diri sendiri, dan jika sebaliknya, maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.

2. Tidurlah seawal mungkin, jangan larut malam, berdasarkan hadis yang bersumber dari `Aisyah “Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam tidur pada awal malam dan bangun pada penghujung malam, lalu beliau melakukan salat.” (Muttafaq `alaih)

3. Berwudulah sebelum tidur dan berbaring miring ke sebelah kanan. Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, Al-Bara bin `Azibz menuturkan, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Apabila kamu akan tidur, maka berwudulah sebagaimana wudu untuk salat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan” Dan tidak mengapa berbalik ke sebelah kiri nantinya.

4. Kibaskan sprei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadis Abu Hurairahz bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Apabila seorang dari kalian akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kain tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya” Di dalam satu riwayat dikatakan, “Tiga kali.” (Muttafaq `alaih)

5. Berbaringlah dengan miring kanan. Jangan tidur tengkurap. Abu Dzar menuturkan, “Nabi shallallahu alaihi wassalam pernah lewat di dekatku, di saat itu aku sedang tengkurap, maka Nabi shallallahu alaihi wassalam membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda, “Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

6. Jangan tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadis yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wassalam telah bersabda, “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dinilai sahih oleh Al-Albani).

7. Tutuplah pintu, jendela, dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah bersabda, “Padamkanlah lampu di malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman.” (Muttafaq alaih)

8. Baca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadis-hadis sahih yang menganjurkan hal tersebut.

9. Baca doa-doa dan zikir yang keterangannya sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, seperti: “Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-Mu.” Dibaca tiga kali. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani) Dan ucapkan, “Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.” (HR. Al-Bukhari)

10. Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdoa dengan doa berikut ini: “Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan setan dan kehadiran mereka kepadaku.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani)

11. Bila bermimpi baik, maka bergembiralah dan ceritakan hanya kepada orang yang senang kepadamu. Bila mimpi buruk, maka meludahlah ke kiri tiga kali, baca taawudz jangan diceritakan kepada orang lain, dan pindahlah posisi tidur, atau bangunlah dan salatlah.

12. Ketika bangun tidur hendaknya ucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan.” (HR. Al-Bukhari). Atau dengan ayat penutup Ali Imran, kemudian salat. (HR. Al-Bukhari 103, Muslim 763, Ahmad 2165, An-Nasai 1620, Abu Dawud 58)

 

INILAH MOZAIK

Congkak karena Harta, Ingat Kisah Qarun

Sekarang mari kita temui Qarun. Dulunya, Qarun adalah sosok yang sangat miskin lagi papa. Melihat kondisinya, Na bi Musa pun memberikan dua ekor kambing sebagai modal untuk usaha.

Qarun pun bersungguh-sungguh hingga peternakannya berkembang biak sangat cepat. Ia pun menjelma menjadi seorang saudagar muda dengan kesuksesan luar biasa.

Kunci gudang tempat penyimpanan hartanya saja, harus dibawa oleh 70 ekor unta. Setiap orang yang melihatnya akan mengkhayalkan bagaimana rasanya kalau kesuksesan Qarun bisa tepercik agak secuil kepada mereka.

Sayangnya, harta yang berhasil dikumpulkan Qarun menjadikannya congkak. Ketika Nabi Musa memintanya untuk berzakat, ia menolak. Menurutnya, hartanya adalah hasil jerih payahnya. Akhirnya azab Allah untuknya pun disegerakan di dunia. Ia ditelan oleh bumi bersama seluruh hartanya.

Kesadaran bahwa kesuksesan berasal dari Allah inilah yang harus melekat pada diri setiap Muslim. Seorang petani harus menyadari, Allahlah yang menumbuhkan tanaman hingga ia bisa panen besar.

Seorang pengusaha harus memahami, Allah yang mendatangkan solusi dari berbagai permasalahan bisnis yang ia hadapi. Sehingga, perusahaannya bisa tumbuh dengan baik. Sehingga, ketika kesuksesan telah diraih, ia tidak melupakan Allah.

Ia telah mengikutsertakan Allah sedari awal ia memulai usaha. Ia jadikan Allah tempat bergantung dan bertawakal atas usaha yang telah ia lakukan. Dan ia menjadikan Allah tempat memohon, agar diberikan kemudahan dan kesuksesan. Apabila pertolongan Allah telah datang, maka kesuksesan akan berfungsi menjadikannya lebih dekat kepada Allah.

Rahasia Ikhlas

“Tuan guru, ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tuan dengar langsung dari baginda Rasulullah SAW,” kata salah seorang pemuka Syam kepada Abu Hurairah RA.

“Sesungguhnya manusia yang pertama kali akan diadili—pada pengadilan akhirat nanti—adalah seseorang yang mati dalam peperangan (mati syahid),” jawab Abu Hurairah mengutip hadis Rasulullah SAW.

Abu Hurairah berkata, “Dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT, lalu disodorkan amalannya dan Allah pun Maha Mengetahuinya.” Kemudian, Allah SWT bertanya, “Apa saja yang kamu kerjakan ketika di dunia?” Orang tersebut menjawab, “Saya berperang di jalan-Mu ya Allah, sampai-sampai saya mati terbunuh.” Allah berfirman, “Kamu bohong, yang benar kamu berperang supaya kamu dapat dikatakan sebagai ‘pahlawan’ dan mereka telah menyebutmu demikian.” Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya dan melemparnya ke dalam neraka.

Ada juga seseorang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain. Lalu, dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT. Diajukanlah amal orang tersebut kepada-Nya dan Dia-pun Maha Mengetahui. Kemudian, Allah SWT bertanya, “Apa yang kamu kerjakan waktu di dunia?” Orang itu menjawab, “Saya belajar Alquran dan telah pula mengajarkannya.”

“Kamu bohong, kamu belajar Alquran supaya dikatakan sebagai orang pandai, ulama, atau intelektual. Engkau membaca Alquran supaya dikatakan sebagai orang yang mampu membaca Alquran dengan baik, dan itu semua sudah dikatakan oleh mereka.” Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya serta melemparkannya ke dalam neraka.

Setelah itu, ada seseorang yang diberi keluasan harta oleh Allah SWT, lalu dihadapkanlah orang tersebut. Diajukanlah amal orang tersebut kepada-Nya dan Allah pun Maha Mengetahui. Allah SWT bertanya, “Apa yang kamu kerjakan ketika di dunia?” Orang tersebut menjawab, “Saya telah infakkan harta yang saya miliki demi Engkau, ya Allah.” Allah berfirman, “Kamu bohong, kamu melakukan semua itu supaya kamu dikatakan orang yang dermawan, dan itu sudah dikatakan oleh mereka.” Lalu, Allah SWT memerintahkan kepada malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya serta melemparkannya ke dalam neraka,” pungkas Abu Hurairah sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim.

Allahu Akbar. Rahasia ikhlas ternyata benar-benar tak seorang pun yang tahu. Hanya Allah yang benar-benar mengetahuinya, “Sirrun min asrariy, rahasia di antara rahasia-Ku,” kata sebuah hadis Qudsi. Banyak ulama yang menyebut beberapa di antara tanda ikhlas. Pertama, istiqamah, terus-menerus dalam ibadah, baik ada maupun tidak ada orang, dipuji atau dihina. Kedua, tidak ‘geer’ karena pujian dan tidak sakit hati karena hinaan.

Ketiga, pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah dengan rahmat, ilmu, dan kebijakkan-Nya sehingga tampaklah pada wajahnya yang selalu tersenyum. Keempat, baik sangka dengan selalu memuji Allah atas segala peristiwa dan kejadian-Nya. Kelima, qanaah, puas bukan hanya dengan nikmat Allah, melainkan atas segala keputusan Allah.

Berikutnya at-tawadhu’ (rendah hati), lalu  asy-syahiyyu (ringan tangan) untuk memberi. Selanjutnya, bersemangat hanya pada yang halal karena orientasi hidupnya akhirat, memaafkan dengan mendoakan yang menyakiti, kalaupun dipuji ia balas dengan doa.

Hobi dan kesibukannya adalah bermuhasabah diri dan tidak tertarik mencari aib orang lain, lalu lisannya terus berzikir, beristighfar, dan bershalawat. Hati bertekad selalu menghidupkan sunah harian Rasulullah SAW. Dan, mudah menitikkan air mata ketika sedang dalam puncak kenikmatan taat. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham