Mualaf Aliyah Umm Raiyan hadapi rintangan hidup sejak masuk Islam
Aliyah Umm Raiyaan merupakan mualaf yang tinggal dan besar di Inggris. Dia dibesarkan di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan cukup sering melihat Muslim.
Dia tumbuh sebagai seorang Kristiani dan selalu percaya pada hadirnya sosok Tuhan dalam hidup manusia. Sang ibu termasuk sosok yang terus mendorongnya untuk mencari tahu tentang apapun, termasuk tentang hidup, tujuannya dan dunia ini.
“Jadi, meskipun saya seorang Kristen, saya merasa semacam ada celah kekosongan sejak saya muda,” ujar dia dalam wawancara dikutip di akun Youtube Towards Eternity, Sabtu (5/8/2023).
Secara emosional dan spiritual, saat itu dirinya merasa benar-benar penuh dengan keimanan dan konsep ketuhanan yang ada.
Namun secara rasional, ada hal yang dirasa tidak pas dan tidak pada tempatnya. Karena alasan ini, dia pun meninggalkan agamanya terdahulu.
Dia lantas menceritakan kisah unik tentang sang ayah. Ayahnya merupakan orang kelahiran Nigeria dari Afrika Barat, yang mana dulu merupakan seorang Muslim. Namun, ketika sang kakek meninggal dunia, Ayahnya pun memilih meninggalkan Islam.
“Jadi ketika dia (Ayah) bertemu ibuku di London, dia bukanlah seorang Muslim. Keluarga saya tidak pernah memberikan saya pemahaman apa itu Islam,” lanjut dia.
Wanita yang menjadi Pendiri dan CEO dari Registered Charity, Solace UK, ini menyebut pengalaman pertamanya melihat Muslim beribadah terjadi di usianya 8 tahun.
Kala itu, seberang rumahnya adalah masjid yang terbuat dari kontainer dan ia merasa takjub melihat orang-orang melakukan shalat.
Masih di usia yang sama, dia menyebut kondisi rumahnya seolah sedang ditimpa masalah. Orang tuanya kerap bertengkar, yang mana pada suatu hari pertengkaran ini terasa berada di puncaknya.
Aliyah pun memutuskan pergi ke kamar. Namun sebelumnya, dia sempat mengambil selendang milik sang Ibu, yang merupakan hadiah dari koleganya asal Pakistan.
“Selendang itu aku taruh di lantai, lalu aku sujud dan rukuk, seperti seorang Muslim ketika sholat,” ucap dia. Dalam kondisi sujud itu, ia berdoa agar pertengkaran Ayah dan Ibunya berhenti.
Dia mengaku tidak sepenuhnya memahami apa yang dia lakukan saat itu. Semata-mata dia hanya menyontoh apa yang kerap dilihat di dalam masjid, di seberang rumahnya itu.
Saat berada dalam posisi sujud, dia merasa saat itu adalah titik terdekat antara dia dan Tuhan. Momen ini pula yang dia sebut sebagai pengalaman pertama tentang Islam.
Momen kedua terjadi dua tahun kemudian, ketika muncul berita salah satu teman kelasnya meninggal dunia karena tertabrak truk. Pihak sekolah kemudian mengajak seluruh murid untuk datang ke pemakaman.
Saat hendak berangkat, Aliyah sempat bertanya pada temannya yang Muslim untuk meminjam sebuah syal dan ia mendapatkannya. Momen itu pula yang membuat ia pertama kalinya menginjakkan kaki di Masjid London Timur.
“Saat itu sepertinya aku adalah satu-satunya murid non-Muslim yang pergi ke pemakaman. Aku ikut sholat Zhuhur dan sholat jenazah,” kata Aliyah.
Saat sholat zhuhur dan dalam kondisi sujud, dia mengaku merasakan kedekatan yang pernah dia rasakan dua tahun sebelumnya, saat dia berdoa agar Ayah dan Ibunya berhenti bertengkar. Ini menjadi pengalaman keduanya berdiri dalam jarak yang dekat dengan Islam.
Seiring berjalannya waktu, dia merasa kondisi keluarganya tak kunjung membaik, bahkan menuju ke arah yang semakin buruk. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang tak terelakkan lagi.
Dalam situasi itu, dia merasa Allah SWT menempatkan seseorang di hidupnya yang sangat membantu. Dia adalah temannya di SMP, seorang Muslim yang taat.
Berteman dengan sosok ini dan berkaca pada kondisi keluarga yang sama, bahkan kondisi temannya lebih buruk, Aliyah merasa ada yang berbeda dari sosoknya. Temannya ini digambarkan sebagai sosok yang sangat tenang dan damai.
Ketika bertanya apa yang bisa membuatnya tetap tenang dan tegar, sang teman menjawab keimanannya lah yang membuatnya tetap bertahan. Dari situ, Aliyah pun mulai mempelajari dan mendalami Islam, bahkan membaca Alquran.
Semula, dia belajar untuk menemukan sesuatu yang kontradiktif dan menyelamatkan temannya ini. Saat itu dia merasa hijab adalah sesuatu yang salah dan menahan sang teman dari kesuksesan.
“Momen saat itu sangat mengherankan. Di satu sisi aku merasa keimanan ini menghasilkan kedamaian yang indah pada sosok temanku, tapi di sisi lain aku merasa iman ini akan mengekangnya,” ujar dia.
Akhirnya dia sampai pada satu titik, yang mana semakin dia mempelajari Islam, dia merasa kewalahan dan takut akan apa yang dia percaya. Dia takut ketika dia menerima Islam, dia harus meninggalkan kebebasan yang dimiliki saat itu. Aliyah pun memutuskan untuk meninggalkan sosok temannya itu dan segala hal tentang Islam.
Namun, datang suatu waktu ketika harusnya dia belajar untuk ujian, satu-satunya hal yang dia pikirkan adalah Islam. Bahkan, dia semakin teringat tentang bukti-bukti ilmiah yang ada dalam Alquran, maupun hal lain yang berkaitan dengan agama Allah SWT ini.
Untuk menenangkan pikirannya, Aliyah memutuskan untuk berjalan-jelan di sekitar rumah. Saat hendak menyeberang di jalur yang biasa dia lewati, tiba-tiba dia tersadar akan kemungkinan meninggal akibat tertabrak mobil, tetapi sambil membawa pengetahuan dan keyakinannya tentang Islam yang dia tentang selama ini.
“Jadi aku memutuskan untuk pulang ke rumah, menelpon sang teman dan berkata jika dia percaya akan Islam dan secepatnya mengucapkan syahadat,” kata dia.
Sehari setelahnya, atau di hari Senin, dia pun langsung mengucap dua kalimat syahadat ini. Setelahnya, dia kembali ke rumah dengan mengenakan hijab, yang mana membuat sang Ibu merasa bingung dan berpikir jika ini hanyalah sebuah fase yang semantara. Namun, 24 tahun kemudian Aliyah membuktikan diri tetap menjadi seorang Muslimah yang taat.
Momen setelah dirinya masuk Islam disebut sebagai sesuatu yang berat. Dia kehilangan keluarga dan banyak teman.
Bagi Aliyah, tantangan terbesar yang dia hadapi setelah menjadi Muslim adalah hilangnya hubungan ibu dan anak. Sang ibu saat itu disebut sedang dekat dengan sosok yang baru, yang mana dia sangat membenci Islam dan membuat ibunya juga membenci Islam.
“Aku ingat saat berusia 17 tahun, Ibu berkata padaku bahwa dia telah menyelesaikan pekerjaannya dan tidak mau lagi menjadi ibuku. Aku harus berdiri sendiri. Ini sangat menyakitkan,” kenangnya.
Di usia itu, dia merasa tiap anak sangat membutuhkan dukungan orang tuanya. Namun, yang dia hadapi adalah penolakan dari sang Ibu dan membuatnya sangat sedih. Bukan hanya itu, dia pun secara tiba-tiba dan terpaksa harus mandiri, menghidupi dirinya sendiri.
Kehidupannya setelah menjadi Muslim tidaklah semulus yang dibayangkan. Bukan hanya harus menghadapi masalah keluarga, Aliyah juga merasa dia tidak menemukan kelompok Muslim yang membuat dia bisa merasa tenang dan nyaman.
Hingga suatu hari, di tengah kondisi ekstrem ini, dia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itu, dia menelpon sang ibu untuk meminta bantuan dan mengatakan jika dia berhenti menjadi Islam dan melepaskan jilbabnya.
Beberapa waktu setelahnya, dia akhirnya mendapatkan pekerjaan dan bisa keluar dari rumah sang Ibu. Di momen ini dia merasa kembali bebas dan tidak lagi menemukan tantangan seperti saat dia baru menjadi seorang Muslim, tetapi ada kekosongan di hatinya.
“Ada sesuatu yang membuatku merasa kosong dan sangat mengganggu. Akhirnya aku sadar jika ini terjadi karena aku menjalani hidup yang tidak sesuai dengan keimananku, Islam,” ujar Aliyah.
Setelahnya, perlahan-lahan dia kembali ke Islam. Kembali ke Allah SWT dan Islam, tanpa tekanan dari berbagai pihak atau paksaan dari seseorang, murni dari hati baginya adalah jalan yang indah dan manis.
Perihal hubungannya dengan sang ibu saat ini, dia menyebut semua sudah kembali membaik. Ibunya telah meninggalkan hubungannya dengan pria baru itu dan ikut menjadi mualaf pada 2015 lalu.
KHAZANAH REPUBLIKA