Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah

Dari Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ قَالَ: لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ

Aku salat di belakang Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pada satu jenazah. Lalu, ia membaca surah Al-Fatihah. Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Agar orang-orang tahu bahwa itu merupakan sunah.’” (HR. Bukhari no. 1335)

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Syu’bah, dari Sa’d bin Ibrahim, kemudian dari Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf.

Terdapat dua permasalahan fikih salat jenazah yang terkandung dalam hadis ini dan hadis-hadis yang semisal, yaitu:

Pertama, hukum membaca surah Al-Fatihah ketika salat jenazah

Hadis ini merupakan dalil wajibnya membaca surah Al-Fatihah setelah takbir pertama dari takbir salat Jenazah. Hal ini berdasarkan perkataan sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ

Agar orang-orang tahu bahwa itu merupakan sunah.”

Yang dimaksud dengan kata “sunah” di sini adalah suatu jalan (metode) yang diikuti atau syariat yang telah baku (pakem). Bukanlah yang dimaksud dengan kata “sunah” di sini adalah sinonim dari kata mandub atau mustahab dalam istilah fikih (sebagai lawan dari “wajib”), yaitu perkara yang apabila dikerjakan, mendapatkan pahala, dan apabila ditinggalkan, tidak mengapa. Kata “sunah” sebagaimana dalam perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas itu mencakup baik perkara wajib ataupun perkara sunah dalam istilah fikih.

Dalil lain yang menunjukkan wajibnya membaca surah Al-Fatihah ketika salat jenazah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ

Tidak ada salat bagi yang tidak membaca fatihatul kitab (yaitu, surah Al-Fatihah).” (HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394)

Kata “salat” dalam hadis tersebut bersifat umum, dan salat jenazah termasuk dalam cakupan makna umum tersebut. Jika ada yang berpendapat bahwa membaca surah Al-Fatihah dalam salat jenazah itu tidak wajib, maka dia harus menunjukkan dalil pengecualian tersebut.

Yang disyariatkan ketika membaca surah Al-Fatihah ketika salat jenazah adalah dibaca dengan lirih. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membacanya dengan keras karena bertujuan untuk mengajarkan manusia. Hal ini sebagaimana sahabat ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengeraskan bacaan doa istiftah ketika salat wajib untuk mengajarkan bacaan doa tersebut kepada manusia.

Adapun dalam salat jenazah, tidak disyariatkan untuk membaca doa istiftah karena tidak ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya membaca doa tersebut. Dalam Masail Imam Ahmad li Abi Dawud, beliau berkata, “Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seorang laki-laki yang membaca doa istiftah ketika salat jenazah, (yaitu membaca), “Subhaanaka … (dan seterusnya dari bacaan doa istiftah).

Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Aku tidak mendengar (adanya dalil hal tersebut, pent.).” (Masaail Imam Ahmad li Abi Dawud, hal. 153)

Kedua, hukum membaca surah tambahan setelah membaca surah Al-Fatihah

Imam An-Nasa’i rahimahullah juga meriwayatkan hadis ini dari jalur Ibrahim bin Sa’d, dia berkata, “Bapakku telah menceritakan kepada kami dari Thalhah bin ‘Abdullah bin ‘Auf, dia berkata,

صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى جَنَازَةٍ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَسُورَةٍ وَجَهَرَ حَتَّى أَسْمَعَنَا، فَلَمَّا فَرَغَ أَخَذْتُ بِيَدِهِ، فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: سُنَّةٌ وَحَقٌّ

Aku pernah mensalati jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas. Lalu, ia membaca surah Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (bacaannya) hingga terdengar oleh kami. Setelah selesai, kutarik tangannya, lalu aku bertanya kepadanya? Ia menjawab, ‘Ini adalah sunah dan kebenaran.’” (HR. An-Nasa’i no. 1987)

Yang perlu dicermati bahwa dalam riwayat di atas, terdapat tambahan,

وَسُورَةٍ

dan surah lain … “

Ibnul Munzir rahimahullah menilai jayyid tambahan tersebut (Lihat Al-Ausath, 5: 440).

Akan tetapi, Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Penyebutan ‘surah lain’ dalam hadis tersebut tidak mahfuz (tidak sahih).” (As-Sunan A-Kubra, 4: 38)

Perkataan Al-Baihaqi tersebut dibantah oleh Ibnu At-Turkumani rahimahumallah, “Bahkan (tambahan tersebut) itu mahfuz (sahih).” (Al-Jauhar An-Naqi, 4: 38)

Imam Bukhari rahimahullah mencukupkan diri dengan riwayat dari Syu’bah, dari Sa’d, yang di dalamnya tidak ada tambahan “surah lain”. Dan beliau meninggalkan riwayat Ibrahim bin Sa’d, dari bapaknya, yang di dalamnya terdapat tambahan “surah lain”. Hal ini karena Syu’bah lebih tsiqah daripada Ibrahim bin Sa’d. Meskipun demikian, Ibnul Munzir menilai jayyid (menghasankan) tambahan tersebut, yang juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu At-Turkumani. Tambahan tersebut juga disahihkan sanadnya oleh An-Nawawi (Al-Majmu’, 5: 234) dan Al-Albani (Ahkaamul Janaiz, hal. 119). Akan tetapi, berpalingnya Imam Bukhari dari menyebutkan riwayat tersebut adalah isyarat lemahnya tambahan tersebut.

Dalam masalah ini, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa tidak disyariatkan untuk membaca surah sama sekali setelah membaca surah Al-Fatihah. Hal ini karena jumhur menilai bahwa riwayat yang sahih adalah riwayat yang ada di Shahih Bukhari.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sesungguhnya sebagian ulama berpendapat dibacanya surah (lain) dalam Al-Qur’an selain surah Al-Fatihah. Akan tetapi, pendapat ini tidak ada dalilnya.” (Tashilul Ilmam, 3: 50)

Apabila kita berpegangan dengan ulama hadis yang menilai sahih tambahan tersebut, maka hadis tersebut adalah dalil sebagian ulama untuk mengatakan dianjurkannya membaca surah lain setelah membaca surah Al-Fatihah. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menganjurkan bahwa surah tambahan tersebut adalah surah qashirah (surah-surah pendek). (Lihat Al-Majmu’, 5: 234)

Bisa jadi perkataan An-Nawawi rahimahullah tersebut didasarkan karena pada asalnya, salat jenazah adalah salat yang ringkas (tidak lama), sehingga surah yang dipilih pun adalah surah-surah pendek, dan juga mempertimbangkan agar jenazah tersebut segera dimakamkan. Adapun lafaz hadis itu sendiri tidaklah bisa digunakan sebagai dalil anjuran dari An-Nawawi tersebut.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 5 Muharram 1445/ 23 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 307-308) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhi Al-Ahadits min Bulughil Maram (3: 49-50). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab Minhatul ‘Allam.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86611-hukum-membaca-surah-al-fatihah-dan-surah-lain-ketika-salat-jenazah.html

Kisah Mualaf: “Surat Maryam Buat Saya Yakin Islam Agama yang Benar”

Kita tidak tahu kapan, di mana, dan kepada siapa hidayah Allah SWT datang.Namun yang kita tahu, Allah telah memberi hidayah kepada para mualaf hingga akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam.

Seringkali, hidayah tersebut baru datang setelah pencarian yang begitu panjang. Seperti yang dialami Laticia, seorang mualaf wanita Hispanik asal Amerika Serikat.

Meski kedua orang tuanya berasal dari Meksiko, Laticia dibesarkan di sebuah desa kecil di Santa Barbara, California dan tumbuh di lingkungan keluarga yang menganut agama Kristen Katolik.

Meskipun begitu, sejak usia 13 Laticia telah meninggalkan ajaran Katolik karena menurutnya agama Katolik tidak masuk akal.

Simak perjalanan hidup Laticia hingga akhirnya menjadi mualaf dan masuk Islam di sini

HIDAYATULLAH

Tingkat Risiko Kematian Jamaah Lansia di Haji Memunculkan Wacana Haji Sekali Saja

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy membuka pembicaraan mengenai larangan pelaksanaan haji lebih dari satu kali, dengan tujuan mengurangi antrian yang berlarut-larut.

“Penyebabnya adalah bertambahnya jamaah usia lanjut akibat antrean yang panjang,” ungkap Menko PMK Muhadjir Effendy dalam pernyataannya di Jakarta, pada Jumat (25/8/2023).

Data penyelenggaraan haji tahun 2023 mengungkapkan bahwa sebanyak 43,78 persen dari total 22.900 peserta haji berusia di atas 60 tahun. Pada tahun yang sama, jumlah jamaah haji Indonesia yang meninggal mencapai 774 orang atau sekitar 3,38 persen, dengan mayoritas dari kelompok usia lanjut.

Berdasarkan data ini, jamaah lansia memiliki risiko kematian 7,1 kali lebih besar daripada jamaah haji non-lansia. Penyakit yang paling umum menyebabkan kematian adalah sepsis (infeksi yang menyebabkan kegagalan organ), syok kardiogenik (kegagalan jantung memompa darah), dan penyakit jantung koroner.

Muhadjir berpendapat bahwa haji sebaiknya dilakukan hanya sekali bagi mereka yang mampu melakukannya. Sementara itu, kesempatan berhaji kembali harus diberikan kepada masyarakat yang belum pernah menjalankan ibadah haji. Dengan langkah ini, ia berharap dapat meredakan antrean panjang serta memberikan peluang kepada masyarakat yang belum berkesempatan.

“Diskusi mengenai hal ini seharusnya dimulai, karena usia jamaah yang semakin tua berimplikasi pada kondisi kesehatan,” tambahnya.

Oleh karena itu, ia mendorong pihak-pihak yang terkait untuk melakukan transformasi dalam penyelenggaraan haji, guna menjaga kesehatan jamaah selama pelaksanaan ibadah hingga kepulangan mereka ke negara asal.

Sebelumnya, Konsul Haji KJRI Jeddah, Nasrullah Jasam, mengumumkan bahwa sejak tanggal 5 Agustus 2023 hingga saat ini, tercatat ada 26 peserta haji Indonesia yang telah meninggal dunia di Arab Saudi. Operasi haji tahun 1444 H dinyatakan selesai oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Agustus 2023. Pada saat itu, masih ada 77 peserta haji Indonesia yang dirawat di rumah sakit di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, 26 orang telah meninggal dunia dan delapan orang lainnya telah mendapatkan izin untuk pulang ke Tanah Air.

(Sumber: Antara)

Pembatasan 10 Tahun Haji Kembali: Sudah Saatnya Dipertimbangkan Ulang

Kebijakan pembatasan haji dalam interval 10 tahun masih tetap diberlakukan.

Perluasan diskusi mengenai pelaksanaan haji hanya sekali seumur hidup sebenarnya tidak sepenuhnya diperlukan.

Syam Resfiadi, Ketua Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi), menjelaskan bahwa Indonesia saat ini telah memiliki peraturan di mana jamaah haji yang telah melaksanakan haji sebelumnya diwajibkan menunggu 10 tahun sebelum dapat mendaftar kembali.

“Menurut pandangan saya, peraturan ini sudah menjadi batas yang memadai untuk mengatur antrian jamaah yang ingin melaksanakan haji lagi,” ungkapnya kepada Republika.co.id pada Sabtu (26/8/2023).

Syam menjelaskan bahwa peraturan ini masih berlaku hingga saat ini. Dia juga menilai peraturan ini cukup efisien untuk mengendalikan panjangnya antrean jamaah haji.

“Apakah ada kelupaan dari pihak menteri atau bagaimana, saya tidak yakin, tapi yang jelas peraturan pembatasan ini sudah ada,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan wacana untuk menghindari jamaah haji melakukan perjalanan haji lebih dari satu kali dalam hidupnya sebagai upaya mengurangi panjangnya antrean.

Menurut Muhadjir, pelaksanaan haji seharusnya hanya satu kali bagi mereka yang mampu, dan peluang untuk berhaji kembali seharusnya diberikan kepada masyarakat yang belum berkesempatan. Dengan langkah ini, diharapkan antrian bisa diperpendek dan memberi peluang kepada yang belum berkesempatan.

“Wacana ini sebaiknya diperbincangkan karena semakin tua usia jamaah haji, semakin besar dampaknya pada kesehatan,” katanya.

IHRAM

3 Macam Tiang Agama Menurut Syekh Abu Bakar Al-Kattani

Artikel di bawah ini akan mengulas tentang ungkapan Syekh Abu Bakar Al-Kattani terkait dengan 3 macam tiang agama. Nama lengkap Syekh Abu Bakar Al-Kattani adalah Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani. Beliau adalah salah satu ulama sunni yang di hidup di abad ke empat Hijriah. Meninggal di kota Mekkah pada tahun 322 Hijriah.

Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Husaini Al-Murtadha Al-Zabidi dalam karya besarnya Ithaf  Al-Sadah Al-Muttaqin Juz 13, halaman 129, mengutip ungkapan Syekh Abu Bakar Al-Kattani terkait 3 tiang agama. Adapun kutipannya tertera sebagai berikut:

وجدنا دين الله تعالى مبنيا على ثلاثة أركان: على الحق والصدق والعدل، فالحق على الجوارح، بأن يكون استعمالها في الطاعة على صريح الحق مما يطابق السنة. والعدل على القلوب، بأن تستوي في المعرفة على سبيل الاعتدال. والصدق على العقول، بأن تصدق في الملاحظ، فلا تخالف السريرة العلانية 

Artinya: Kami menemukan bahwasanya Agama Allah itu dilandasi tiga tiang, yaitu, kebenaran, keadilan dan kejujuran. Adapun kebenaran itu merupakan kewajiban bagi fisik yakni dengan menggunakannya dalam ketaatan berlandaskan dalil yang jelas dari perkara yang sesuai dengan sunnah Nabi. 

Adapun keadilan itu merupakan kewajiban bagi hati yakni lurus dalam pengetahuan secara seimbang. Adapun kejujuran itu merupakan kewajiban akal yakni  jujur dalam pengamatan, sehingga kondisi batin tidak bertentangan dengan kondisi zahirnya.

Ungkapan Syekh Abu Bakar Al-Kattani di atas, memberi arahan kepada kita untuk mengamalkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Karena tiga perkara tersebut sebagai tiang atau penguat agama. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Pertama, kebenaran. Artinya, dalam menjalankan aturan-aturan agama harus selaras dengan sunnah Nabi. Ketika kita menjalankan kewajiban atau ketaatan yang telah ditetapkan oleh agama, namun tidak mengikuti sunnah Nabi, maka amal yang kita kerjakan akan sia-sia. 

Kedua, keadilan. Artinya, kewajiban bagi hati harus lurus, sesuai dengan pengetahuan atau keilmuan secara seimbang. Keadilan itu, tidak memandang status sosial atau kedekatan kekerabatan. Apabila orang yang kita sayangi melakukan kesalahan, kita tidak boleh pilih kasih atau memihak kepada orang yang kita sayangi. 

Ketiga, kejujuran. Artinya, kejujuran itu merupakan kewajiban akal, yakni, jujur dalam pengamatan, sehingga kondisi batin tidak bertentangan dengan kondisi zahirnya. Orang yang mengerti namun ia tidak jujur, maka akal dan hatinya akan selalu bertentangan. Oleh karena itu, jujurlah dalam berbicara dan bertindak supaya menjadi orang yang dapat dipercaya.

Demikian penjelasan terkait 3 macam tiang agama. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Korelasi Amalan Hati

Tujuan penciptaan manusia

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang tercantum di dalam Al-Qura’n Al-Karim,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Pembagian jenis ibadah

Amalan ibadah dibagi oleh para ulama terbagi menjadi dua:

Yang pertama: Amalan zahiriyah yang nampak, seperti: sholat, zakat, dan haji.

Yang kedua: Amalan bathiniyah yang tidak nampak letaknya di dalam hati manusia, seperti: ikhlas, mahabbah, raja‘, dan tawakal.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala ketika memberikan definisi ibadah. Beliau berkata,

اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ والأعمال الباطنة وَالظَّاهِرَةِ

Ibadah adalah istilah yang mencakup segala yang Allah cintai dan ridai berupa perkataan dan perbuatan yang batin maupun lahir.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10: 149)

Dan ibadah bathiniyah ini yang berkaitan dengan hati  dan keimanan. Ia adalah ibadah yang paling diperhatikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam dakwahnya. Hal ini dibuktikan dengan fokus beliau dalam 13 tahun pertama di dalam menyebarkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala di Makkah. Beliau mengawalinya dengan menanamkan dan menumbuhkan keyakinan yang benar di hati para sahabat, karena amalan hati merupakan pondasi sumber kekuatan amalan yang zahir.

Baca juga: Kedudukan Amalan Hati

Kesempurnaan amalan hati perlu korelasi antar amalan hati

Amalan hati yang sempurna adalah ketika amalan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dengan amalan-amalan hati yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Khalid As-Sabt hafidzahullah ta’ala. Beliau berkata,

هذه الاعمال متلازمة ومترابطة

Amalan-amalan hati ini satu dengan yang lainnya saling bersinergi dan saling berkaitan.

Contoh-contoh korelasi amalan hati

Contohnya adalah ketika seseorang melakukan ibadah dengan ikhlas, maka keikhlasan ini tidak mungkin mampu berdiri sendiri. Akan tetapi, keikhlasan itu menjadi sempurna ketika ia korelasikan dengan amalan-amalan hati yang lainnya seperti: mahabbah (rasa cinta) di dalam melakukannya, dengan tidak ada paksaan sehingga ia pun akan merasa nyaman dan senang di dalam beribadah. Dan juga mengorelasikan dengan raja‘, yaitu mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika ia melakukan ibadah.

Mengharapkan rida, surga, ganjaran, dan bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga di dalam hatinya tidak ada keinginan untuk mendapatkan sanjungan, pujian, ataupun yang lainnya dari manusia. Dan juga mengorelasikan dengan al-khauf, yaitu rasa takut apabila tidak beribadah kepada Allah, mendapatkan ancaman dosa dan juga khawatir apabila amalan ibadahnya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari sini kita mengetahui bahwa ikhlas merupakan amalan hati yang tidak bisa berdiri sendiri. Akan tetapi, ia saling berkaitan dan berhubungan dengan amalan-amalan hati yang lainnya, yaitu: mahabbah, raja‘, dan khauf. Sehingga, ketika seseorang telah merealisasikan keikhlasannya, ia pun akan bahagia, senang, dan terus mengharap apa yang ada di sisi Rabb-nya. Ia tidak akan pamrih mencari pujaan atau sesuatu yang fana dari manusia. Bahkan, cacian pun tidak akan menggentarkannya di dalam beribadah kepada Allah.

Lihatlah bagaimana sifat orang beriman sejati yang Allah cantumkan dalam Al-Qur’an,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Contoh yang lain adalah ketawakalan. Apabila seseorang bertawakal yang sempurna, maka ia tidak bisa berdiri sendiri, melainkan sangat berkaitan dengan amalan hati yang lainnya. Yaitu, adanya keyakinan yang sempurna bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Zat yang Mahamampu dalam mentakdirkan segala sesuatu. Sehingga, ia menjadikan-Nya sebagai sandaran di dalam segala sesuatu. Sehingga, ia pun tidak bersandar kepada makhluk.

Dengan demikian, ketika ia melakukan ketawakalan yang sempurna, ia akan mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Talaq: 3)

Contoh yang lain adalah inabah (tobat) atau kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meminta dan mengharapkan ampunan kepada Allah sangat berkaitan dengan komponen-komponen amalan hati yang lain. Seperti al-khauf (rasa takut) atas azab yang Allah sediakan bagi mereka yang enggan untuk bertobat, khawatir apabila bermaksiat dan tidak bersegera bertobat, ia akan mendapatkan efek buruk dari dosa tersebut sehingga ia terdorong untuk bertobat.

Selain al-khauf, ketika ia bertobat, maka di sana ada al-mahabbah (rasa cinta) yang mendalam kepada Allah. Dan selain itu, juga ada raja‘ (rasa harapan) dari rahmat-Nya, maghfirah-Nya, dan surga yang dijanjikan untuk mereka yang selalu kembali kepada Allah.

Dengan demikian, ia akan lebih mudah untuk merealisasikan tobat yang tulus yang disebut dengan taubatan nasuha, yaitu tobat yang diiringi dengan ikhlas melakukannya, bertekad untuk tidak kembali mengulangi, dan menyesali apa yang ia lakukan. Sehingga dengannya, ia akan mendapatkan rahmat dan kebaikan yang banyak sebagaimana yang Allah firmankan,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS. At-Tahrim: 8)

Dari penjelasan di atas. sangat jelas bahwa amalan-amalan hati itu saling berkorelasi satu dengan yang lainnya. Dan begitu pula dengan amal-amal hati yang lain, saling mempunyai keterkaitan dan saling bersinergi serta berhubungan, bahkan saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan atau berdiri sendiri.

Wallahu ‘alam bishawab.

***

Pesantren gratis Klaten, 24 Muharram 1445 H/ 11 Agustus 2023 M

Penulis: Agung Argiyansyah

Catatan kaki:

Intisari dari Muqaddimah Silsilah ‘Amal Al-Qulub karya Syekh Khalid bin Utsman As-Sabt hafidzahullah ta’ala dengan tambahan dan faedah dari Fadhilah Ust. Abu Dzar, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86993-korelasi-amalan-hati.html

Hanya Dua Hal yang Menjadi Sebab Bahagia

Lapangnya hati merupakan anugerah

Lapangnya hati, selamatnya dari keresahan, dan kegundahan adalah cita-cita yang agung. Karena hati yang lapang adalah nikmat yang amat besar dari Tuhan semesta alam. Kelapangan hati dapat dirasakan dengan ketenangan dan terjaganya hati dari kotoran-kotoran, sehingga hati akan merasa bahagia dalam kehidupan yang mulia dan indah.

Di saat Allah telah mengaruniakan hati yang lapang kepada hamba-Nya, dimudahkan urusan-urusan hidupnya, dihindarkan dari resah dan gelisah, maka dengan nikmat ini dia dapat memperoleh maslahat-maslahat agama dan dunianya. Dia pun akan mudah meraih cita-citanya. Hal tersebut akan menjadikannya mudah melakukan berbagai ibadah dan berbagai amal kebajikan. Di samping itu, ia akan mampu menjaga maslahat-maslahat hidupnya.

Berbeda dengan seseorang yang mengalami sempitnya hati, ia selalu gelisah dan sedih. Hal ini akan menyebabkan terbengkalainya banyak manfaat dalam hidupnya. Dia menjadi tidak mampu beramal baik, tidak bergairah untuk masuk ke dalam pintu-pintu kebaikan. Hidupnya hanya berpindah dari satu kesedihan menuju kesedihan yang lain, atau dari satu kegelisahan menuju kegelisahan yang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa lapangnya hati adalah kekuatan yang paling dapat membantu seorang dalam mewujudkan cita-cita dan berbagai hal yang bermanfaat untuk hidupnya. Coba perhatikan bagaimana doa Nabi Musa ‘alaihis salaam di saat diperintah oleh Allah untuk menghadap kepada Fir’aun, mendakwahinya, dan memperingatkannya dari kesombongan karena kuasanya. Musa mengadu berdoa,

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ ۙ وَيَسِّرْ لِيْٓ اَمْرِيْ

Musa mengucapkan doa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku…” (QS. Thaha: 25-26)

Satu lagi dalil yang menunjukkan bahwa kelapangan hati adalah nikmat. Di saat Allah Ta’ala mengatakan kepada hamba, utusan pilihan-Nya, Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, Allah menjelaskan suatu nikmat yang amat besar yang telah didapatkan beliau,

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.” (QS. As-Syarh: 1)

Ayat ini merupakan dalil bahwa kelapangan hati adalah nikmat Ilahi, karunia rabbani, sebuah nikmat Allah yang Allah berikan kepada Anda. Disebut sebagai nikmat yang amat penting karena kelapangan hati adalah sebab yang paling besar seorang dapat meraih hidayah. Sebagaimana sempitnya hati adalah sebab tersesatnya seorang manusia. Di saat kelapangan hati adalah nikmat yang paling besar, maka sempitnya hati adalah musibah yang paling besar. (Syifa’ Al-‘Alil, Ibnul Qoyyim, 1: 351)

Sebab mendapatkan lapangnya hati

Namun ingat, satu-satunya cara untuk dapat memperoleh nikmat besar ini adalah dengan mengamalkan Islam. Di saat seorang berusaha istikamah mengamalkan agama ini dan komitmen terhadap rambu-rambunya, kadar kelapangan hati yang diperoleh oleh seseorang akan selaras dengan kadar keistikamahannya dalam menjalankan agama ini. Bisa disimpulkan bahwa segala sebab kelapangan hati, terangkum di dalam dua sebab ini:

Pertama, taufik dari Allah dan pertolongan-Nya kepada hamba untuk mendapatkan kelapangan hati.

Kedua, nikmat hati yang lapang tidak akan mungkin didapat, kecuali dengan menjadi hamba Allah yang taat dan istikamah mengamalkan ajaran Islam.

Dua sebab di atas adalah inti dari bahasan ini. Taufik Allah untuk memperoleh lapangnya hati dan taat kepada agama-Nya adalah sebab utama kelapangan hati. Karena hati berada di tangan Allah, Allah mampu membolak-balikkan hati kapan pun. Hati berada di bawah kuasa Allah. Segala hal yang Allah kehendaki, pasti akan terjadi. Dan yang Allah tidak kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

“Siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125)

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)

Ini menunjukkan bahwa kelapangan hati tak akan mungkin didapat, selain dari taufik dari Allah semata. Oleh karenanya, dalam upaya menggapai kelapangan hati, hendaknya dipastikan bahwa kelapangan tersebut diusahakan dengan mengamalkan syariat dan wahyu-Nya. Hendaknya seorang yang beriman berusaha menggapainya dengan berdoa meminta kepada Allah agar dilapangkan hatinya, dimudahkan urusannya, dan agar dia dicatat oleh Allah termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang bahagia di dunia dan akhirat.

Tanda seorang mengalami lapang hati

Ada sejumlah tanda seorang yang mengalami lapang hati. Tanda-tanda ini sangat tampak pada diri seorang mukmin, yang membuatnya akan bersyukur atas dampaknya di dunia dan akhirat. Sejumlah tanda tersebut dapat disimpulkan menjadi tiga tanda berikut ini:

Pertama: Adanya kesadaran terhadap kehidupan yang lebih abadi, yaitu akhirat.

Kedua: Adanya kesadaran untuk menjauh dari kehidupan yang akan berakhir dan fana, yaitu dunia.

Ketiga: Mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kematian dan kehidupan sesudahnya.

Bila tiga tanda di atas ada pada diri seseorang, maka itu pertanda dia sedang mendapatkan kelapangan, serta ketenangan hati.

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,

وعلامة هذا انشرح الصدر لمنازل الإيمان وانفساحه وطمأنينة القلب لأمر الله، والإنابة إلى ذكر الله، ومحبته، والفرح بلقائه، والتجافي عن دار الغرور، كما في الأثر المشهور (( إذا دخل النور القلب انفسح وانشرح، قيل: وما علامة ذلك؟ قال: التجافي عن دار الغرور والإنابة إلى دار الخلود، والاستعداد للموت قبل نزوله

Tanda kelapangan hati adalah terbukanya hati menerima nilai-nilai iman, tenangnya hati menerima perintah-perintah Allah, selalu ingin kembali mengingat Allah, cinta kepada Allah, ada rasa bahagia untuk berjumpa dengan Allah, serta menghindar dari alam yang menipu (dunia, pent). Tanda-tanda ini sebagaimana diterangkan di dalam sebuah riwayat yang terkenal, ‘Jika cahaya  telah masuk ke dalam hati, maka hati akan menjadi luas dan lapang.’ [1] 

Seorang bertanya, ‘Apa gerangan tanda hati yang luas itu?’

Jawabannya, ‘Menjauh dari kehidupan yang semu, sadar terhadap kehidupan di alam yang abadi, dan mempersiapkan bekal bertemu kematian sebelum menjumpainya.’” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1: 421)

Wallahul muwaffiq.

***

Penerjemah: Ahmad Anshori

Referensi:

Al-Badr, Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Abbad (1444H). Ahadis Ishlah Al-Qulub. Dar Imam Muslim. Madinah – Saudi Arabiya.

Catatan kaki:

[1] Riwayat Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya no. 34314, At-Thabari di dalam kitab tafsirnya no. 13852

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87208-hanya-dua-hal-yang-menjadi-sebab-bahagia.html

Dai Boleh Saja Berpolitik, Tapi Saat Berkampanye Wajib jaga Ukhuwah dan Tidak Memecah Belah

Dai atau penceramah boleh saja berpolitik. Tapi ada batasan-batasan dan norma harus dipahami bahwa tugas seorang dai adalah menjaga ukhuwah, kerukunan, dan persatuan.

“Sebagai manusia, menurut semua bebas berpolitik, termasuk dai. Namun  jangan sampai peran dai dalam berpolitik membuatnya lupa  tugasnya sebagai dai untuk menjaga persatuan dan persaudaraan umat,” kata Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis.

Hal ini disampaikan Kiai Cholil dalam acara Silaturahim dan Halaqah Dakwah di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (24/8/2023) sore dengan tema “Urgensi Peran Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid dalam menjaga Ukhuwah di Tahun Politik”.

“Dai boleh saja berpolitik, boleh saja jadi jurkam, tapi ingat dalam berkampanye harus tetap jaga ukhuwah umat. Jangan sampai memecah belah umat dengan politik identitas,” ujar Kiai Cholil dikutip dari laman Republika.co.id, Kamis (24/8/2023).

Kiai Cholil berpesan kepada para dai agar tidak salah dalam memahami istilah politik identitas dan identitas politik.

“Politik identitas itu tidak boleh, karena politik identitas ini memecah belah unat dengan narasi politik kebencian baik dari segi suku, ras maupun agama. Adapun identitas politik itu adalah hak kita semua, kita boleh punya identitas kepartaian, identitas agama  atau lainnya,” ucap Kiai Cholil.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Muhammad Faiz Syukron Makmun yang menjadi pembicara kunci menyampaikan pentingnya para dai belajar pada masa lalu. Sehingga, menjelang Pemilu atau pada pelaksanaan Pemilu dan  pasca Pemilu 2024 nanti, tidak menyampaikan dakwah yang memecah belah umat.

Gus Faiz juga mengingatkan pentingnya para dai menjaga NKRI dari pihak-pihak yang menginginkan bentuk khilafah atau lainnya yang tidak sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa.

”Adalah tugas para dai mendewasakan umat dalam berpolitik, sehingga perbedaan pilihan politik tidak menyebabkan perpecahan,” kata Gus Faiz, begitu akrab disapa.

Dia menjelaskan, adanya perbedaan pilihan politik ini karena pertimbangan kemaslahatannya berbeda. Sebagian meyakini kalau si A yang menjadi presiden akan maslahat. Sebagian lainnya juga meyakini kalau B yang menjadi  presiden maka akan membuat lebih maslahat.

“Jadi semua pihak harus memahami pilihan orang lain yang berbeda  jangan sampai mengkait-kaitkan prefensi politik dengan keimanan atau keislaman seseorang,” jelas Gus Faiz.

ISLAMKAFFAH

Rasulullah Keras terhadap Orang Kafir, Inilah Ayat yang Sering Disalahpahami Generasi Muslim Kini

Rasulullah mengajarkan umat Islam untuk berlemah lembut kepada sesama muslim dan keras kepada orang-orang kafir sebagaimana dalam Surat al-Fath [48] ayat 29 : Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” Demikian petikan pesan itu dibagikan untuk menegaskan sikap dan karakter umat Islam ketika berhadapan dengan orang kafir atau non muslim.

Dari pemahaman sepotong tersebut bahwa menjadi muslim yang sejati harus memiliki karakter yang keras terhadap orang kafir. Menunjukkan sikap yang tidak ramah dan selalu kaku. Kepada mereka tidak boleh lunak apalagi bekerjasama. Tidak ada ruang pertemanan dengan orang-orang kafir.

Petikan ayat 29 Al Fath: Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, seringkali meluncur di mimbar agama untuk memberikan semangat kepada jamaahnya agar tidak lunak dengan yang berbeda agama seperti orang kafir dan non muslim. Memang menggelegar, tetapi sesungguhnya miskin ilmu dan pemahaman terhadap al-Quran. Akibatnya, al-Quran menjadi tameng memupuk kebencian dan bersikap keras terhadap yang berbeda.

Pertanyaannya, bagaimana dengan ayat lain dalam al-Quran yang berbunyi : “Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS : Al Mumtahanah : 8). Apakah ayat umat Islam harus keras bertentangan dengan ayat umat Islam bisa berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir dan non muslim?

Tentu mereka yang keukeuh dengan sikap keras akan menentangnya. Mereka akan bilang ayat Mumtahanah konteksnya berbeda, jangan disamakan dengan ayat al-Fath 29. Konteksnya berbeda. Inilah mestinya kata kuncinya.

Nah, jika konteksnya berbeda, maka memahami ayat harus sesuai dengan konteksnya dan diberlakukan dengan melihat konteks kekinian. Tidak boleh asal comot ayat kemudian disebarkan dan dipropagandakan membakar umat Islam untuk benci dan keras terhadap kafir dan non muslim di tempat dan waktu seperti saat ini.

Inilah salah kaprah memahami ayat 29 Surat Al Fath. Seolah Islam itu harus melakukan konfrontasi terus dengan yang namanya kafir, non muslim atau yang berbeda agama. Pemahaman ini dipegang oleh sebagian kecil generasi muda saat ini yang terlihat seolah militan, tetapi miskin asupan ilmu pengetahuan.

Karena itulah, mari kita pahami secara utuh (kaffah) agar tidak mudah mencomot ayat untuk pembenaran sikap yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Seolah umat Islam harus bersikap sangar saat ini kepada temannya yang berbeda agama, kafir dan non muslim. Pokoknya, jadi umat Islam harus memasang tampang sangar, judes, dan tidak usah menyapa kepada non muslim.

Inilah salah kaprah memahami ayat 29 Surat Al Fath. Seolah Islam itu harus melakukan konfrontasi terus dengan yang namanya kafir, non muslim atau yang berbeda agama. Pemahaman ini dipegang oleh sebagian kecil generasi muda saat ini yang terlihat seolah militan, tetapi miskin asupan ilmu pengetahuan. Pokoknya asal comot ayat dan hadist, tetapi tidak memiliki dasar ilmu. Satu-satunya dasar ilmu bagi mereka adalah terjemahannya.

Meluruskan Pemahaman Ayat

Memahami al-Fath [48] ayat 29 sebagai salah satu karakter Nabi dan para sahabat yang keras terhadap semua kafir bukan hanya salah pemahaman, tetapi berpotensi merusak citra Islam itu sendiri. Dalam sejarah praktek pengalaman hidupnya, Rasulullah kerap sekali mengadakan dialog, kerjasama, transaksi dan perjanjian dengan orang kafir atau non muslim. Sangat fatal jika dipahami Nabi sangat keras terhadap orang kafir dalam kondisi apapun.

Ayat 29 di atas harus dipahami dengan ilmu bukan dengan terjemahan belaka. Ayat tersebut turun dalam suasana ketegangan dan konfrontasi, bukan suasana damai sebagaimana Nabi membangun perjanjian Madinah dengan orang Yahudi. Konteks ayat tersebut karena Nabi beserta romobongan dihalang-halangi untuk melaksanakan ibadah haji oleh kafir Quraisy.

Dari proses ketegangan itulah muncul ayat tersebut dan keluarlah apa yang disebut dengan perjanjian damai hudaibiyah (Sulh Hudaibiyyah). Jika dibaca dalam perspektif para sahabat ketika itu, perjanjian itu justru menunjukkan lunaknya Nabi dan banyak para sahabat yang bersikap keras dan keberatan dengan perjanjian yang dianggap merugikan tersebut.

Imam Ibn Abbas generasi awal para penafsir al-Quran mengatakan ayat 29 tersebut berlaku untuk para sahabat yang mengalami peristiwa Hudaibiyah. Sahabat yang menyertai Nabi dalam khitab ayat tersebut adalah Abu Bakar, yang keras terhadap orang kafir adalah Umar, yang berkasih sayang sesama mereka adalah Ustman, dan yang rukuk dan sujud adalah Ali bin Abi Thalib.

Sejatinya, konteks ayat tersebut Nabi sedang mengalami ketegangan dengan orang kafir yang ingin menghalangi Nabi untuk melaksanakan Haji. Apa yang dilakukan Nabi bukan justru bersifat keras dan melakukan konfrontasi, tetapi justru melakukan kontrak perdamaian dengan orang kafir yang dikenal perjanjian Hudaibiyah.

Jika memahami konteks tersebut, sesungguhnya adalah serampangan dan salah fatal jika memotong ayat 29 dijadikan dalil agar umat Islam bersikap keras dan kaku terhadap non muslim di segala kondisi apalagi kondisi damai. Bukti kongkret adalah setelag Nabi menaklukkan Makkah dalam kondisi damai apa yang dilakukan Nabi terhadap kafir Quraisy?

Apa yang dilakukan Nabi bukan justru bersifat keras dan melakukan konfrontasi, tetapi justru melakukan kontrak perdamaian dengan orang kafir yang dikenal perjanjian Hudaibiyah.

Apakah Nabi bersikap keras terhadap orang kafir Quraisy dan melakukan balas dendam? Apakah dengan dalil di atas Nabi selalu menampakkan muka permusuhan dan keras terhadap orang kafir Quraisy?

Inilah yang tidak dipahami atau ditutupi oleh mereka yang menganggap ayat 29 itu sebagai pembenaran berlaku keras terhadap orang kafir. Ketika Rasulullah menaklukkan Makkah dan mempunyai kesempatan untuk melakukan balas dendam atas kekejian yang diterima Nabi dan pengikutnya di Makkah dahulu, Nabi justru menampakkan akhlak mulia terhadap orang kafir Quraisy. Nabi tidak seperti dipahami sepenggal ayat 29 itu dengan mengatakan Nabi keras terhadap orang kafir. Nabi memaafkan dan memerdekakan dan menjamin keamanan masyarakat Quraisy yang pernah mengusirnya.

Jadi, pemahaman sepenggal ayat 29 Al fath yang dipelintir sikap Nabi keras terhadap orang kafir dan karenanya umat Islam harus keras terhadap non muslim saat ini sungguh pemahaman yang salah. Menjadikan ayat tersebut agar kita tidak bergaul dengan ramah dengan yang berbeda agama di lingkungan Pendidikan, di kantor, di lingkungan masyarakat adalah kesalahan penafsiran dan pemenggalan ayat Tuhan dari makna sebenarnya.

ISLAMKAFFAH

Lima Bacaan Doa yang Dipanjatkan untuk Meminta Hujan

Sholat istisqa dilakukan untuk meminta hujan.

Ketika musim kemarau, sebagian wilayah biasanya akan dilanda kekeringan. Warga pun berharap akan segera turun hujan.

Bagi umat Islam ketika meminta hujan disunnahkan dengan sholat istisqa dua rakaat, lalu memohon doa turun hujan. Berikut beberapa bacaan doa yang dapat dipanjatkan untuk memohon turun hujan

Pertama,

وعن أنبي رضي الله عنه ( أن رجلا داخل المسجد يوم الجمعة، والتي صلى الله عليه وسلم قائم الطب فقال يا رسول الله هلكت الأموال وانقطعت السبل فادع الله عز وجل يُعلنا فَرَفَعَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَغِتْنَا اللَّهُمَّ أَعْثَنَا ) فَذَكَرَ الحَدِيثَ، وَفِيهِ الدُّعَاءُ بِإِمْسَاكِهَا مُتَفَقُ عليم

Dari Anas bahwa ada seorang laki-laki masuk ke masjid pada hari Jum’at di saat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berdiri memberikan khutbah, lalu orang itu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah binasa, jalan-jalan putus, maka berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan kita hujan. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah turunkanlah hujan pada kami, ya Allah turunkanlah hujan kepada kami.” Lalu dia meneruskan hadits itu dan didalamnya ada doa agar Allah menahan awan itu. Muttafaq Alaihi.

Kedua

وعن أنبي: ( أن عمر رضي الله عنه كان إذا فجعلوا يستشفي بالعباس بن عبد المطلب وقال اللهم إنا كنا لمستشفى اليان سينا السفينا، ولا تتوسل البلد يعم نينا فَاسْقِنَه فَيُسْقَوْنَ ) رود

الْبُخَارِيُّ

Dari Anas bahwa Umar Radliyallaahu ‘anhu bila orang-orang ditimpa kemarau ia memohon hujan dengan tawasul (perantaraan Abbas Ibnu Abdul Mutholib, la berdoa: Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu memohon hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, lalu Engkau beri kami hujan, dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan. Lalu diturunkan hujan kepada mereka. Riwayat Bukhari.

Ketiga,

وغن انبر قال: ( أصابنا ولكن مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم نظر قَالَ فَخَره توند على أصابه من النظر وقال إنه حبيل عَهم بربها ) زود مُسلِم

Dari dia Radliyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah kehujanan, lalu beliau membuka bajunya sehingga badan beliau terkena hujan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hujan ini baru datang dari Tuhannya.” Riwayat Muslim.

Ketiga,

وعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا رأى المعرقل ( اللهم

ما نافعا ) أخرجة

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila melihat hujan, beliau berdoa: “Ya Allah curahkanlah hujan yang bermanfaat.”

Keempat,

وَعَنْ سَعْدٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَعَا فِي الِاسْتِسْقَاءِ: (اللَّهُمَّ جَلَّلْنَا سَحَابًا كثيف، قصيقا، فالوقد ضحوة المجرْنَا مِنْهُ رَنا القطار سجلا يا ذا الجلال والاكرام ) رواه أبو

عَوَانَةَ فِي صَحِيحِه

Dari Sa’ad Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa sewaktu memohon hujan: “Ya Allah ratakanlah bagi kami awan yang tebal, berhalilintar, yang deras, berkilat, yang menghujani kami dengan rintik-rintik, butir-butir kecil yang banyak siramannya, wahai Dzat yang Maha Agung dan Mulia. Riwayat Abu Awanah dalam kitab shahihnya.

Kelima,

وَعَن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( خرج سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السلام يستسقي قرأى نملة مستلقية على ظهرها رافعة قويتهَا إِلَى السَّمَاءِ تَقُولُ اللَّهُمَّ إِنَّا خَلَقَ من خلقان ليس بنا على عن سقبا، فقال الجعوا لقد سقِيتُمْ بِدَعْوَةِ غَيْرَكُمْ) رَوَاهُ أَحمد

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Nabi Sulaiman pernah keluar untuk memohon hujan, lalu beliau melihat seekor semut terlentang di atas punggungnya dengan kaki- kakinya terangkat ke langit seraya berkata: “Ya Allah kami adalah salah satu makhluk-Mu yang bukan tidak membutuhkan siraman airmu. Maka Nabi Sulaiman berkata: Pulanglah, kamu benar-benar akan diturunkan hujan karena doa makhluk selain kamu.”

IQRA