Benarkah Sedekah Harta Pasti akan Dibalas 10x Lipat di Dunia?

Sebagian orang memahami bahwa jika kita sedekah dengan suatu harta, maka pasti akan dibalas oleh Allah Ta’ala dengan diberikan 10x lipatnya dari harta tersebut. Misalnya, jika sedekah uang 100 ribu, akan mendapatkan balasan 1 juta rupiah. Jika sedekah mobil seharga 100 juta, akan mendapatkan mobil seharga 1 milyar. Dan begitu seterusnya.

Mereka berdalil dengan ayat,

مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Siapa yang melakukan suatu kebaikan, maka ia akan mendapatkan balasan 10 kali lipatnya.” (QS. Al-An’am: 160).

Kita katakan, keyakinan ini (memastikan balasan 10x lipat dari harta semisal) adalah pemahaman yang keliru karena beberapa poin berikut:

Pertama:

Hendaknya amalan-amalan saleh yang kita lakukan, termasuk sedekah, kita niatkan semata-mata untuk mencari wajah Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعْبُدُواْ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan, kecuali untuk menyembah kepada Allah semata dan mengikhlaskan semua amalan hanya untuk Allah.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Orang yang beribadah dengan niat murni untuk mencari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa. Dari ‘Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّةِ، وإنَّما لِامْرِئٍ ما نَوَى، فمَن كانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللَّهِ ورَسولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إلى اللَّهِ ورَسولِهِ، ومَن هاجَرَ إلى دُنْيا يُصِيبُها أوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُها، فَهِجْرَتُهُ إلى ما هاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya amalan itu hanyalah tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan pahala sesuai niatnya. Barangsiapa yang hijrah untuk Allah dan rasul-Nya, maka amalan hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya untuk apa yang ia niatkan tersebut.” (HR. Bukhari no. 6953)

Para ulama, da’i, atau ustaz, hendaknya mendakwahkan dan memotivasi umat untuk mengikhlaskan amalnya hanya untuk Allah Ta’ala semata, bukan untuk niat-niat lainnya. Inilah dakwahnya seluruh Nabi dan Rasul. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menyembah Allah semata dengan memurnikan semua ibadah hanya kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 11).

Kedua:

Orang yang beribadah untuk mencari kenikmatan dunia diancam dengan keras oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’: 18)

Rincian mengenai hal ini dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, bahwa ada 3 golongan dalam hal ini:

Pertama, orang yang bersedekah karena mengharap pujian dari makhluk. Maka, ini adalah riya dan ia tidak mendapatkan pahala sama sekali, bahkan ia melakukan syirik ashghar.

Kedua, orang yang bersedekah 100% karena mencari balasan dunia semata seperti mengharapkan kekayaan, ketenaran, kedudukan, dan lainnya. Maka, ini juga tidak mendapatkan pahala apa-apa dan tidak mendekatkan kepada Allah sedikit pun.

Ketiga, Orang yang bersedekah karena mencari rida Allah Ta’ala sekaligus mencari balasan dunia. Maka ini dirinci lagi menjadi tiga kondisi (keadaan):

Kondisi pertama, jika niat mencari balasan dunia itu lebih dominan, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa, bahkan ia berdosa. Karena menjadikan ibadah sebagai perantara untuk mencari dunia.

Kondisi kedua, jika niat mencari rida Allah Ta’ala lebih dominan, maka ini hukumnya boleh, namun mengurangi kesempurnaan pahala dan mengurangi keikhlasan.

Kondisi ketiga, jika niat mencari rida Allah Ta’ala sama besar dengan niat mencari dunia, maka tidak ada pahala baginya. (Diringkas dari Fatawa Arkanil Islam no. 21)

Ketiga:

Yang dimaksud oleh surah Al-An’am ayat 160 adalah pahalanya yang dilipat-gandakan. Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan salah satu tafsir dari ayat ini,

قيل: إن معنى ذلك غير الذي ذهبتَ إليه, وإنما معناه: من جاء بالحسنة فوافَى الله بها له مطيعًا, فإن له من الثواب ثواب عشر حسنات أمثالها

“Sebagian ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya maknanya tidaklah sebagaimana yang Anda pahami. Sesungguhnya maknanya adalah barangsiapa yang melakukan kebaikan dalam rangka berbuat ketaatan kepada Allah, maka ia akan mendapatkan tsawab (pahala) sebanyak pahala dari 10 kebaikan yang semisal.’” (Tafsir Ath-Thabari)

Jadi, bukan berarti benda yang disedekahkan itu akan dilipat-gandakan 10x lipat oleh Allah sebagai balasan. Namun, yang dilipat-gandakan adalah pahalanya.

Makna ini jelas sekali termaktub dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ

“Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya 1 kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10x sampai 700x kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis 1 keburukan.” (HR. Muslim no. 130)

Jelas dalam hadis ini menggunakan kata كُتِبَتْ (ditulis), sehingga yang 10x sampai 700x lipat adalah pahalanya, bukan benda yang disedekahkan. Karena yang ditulis itu pahala.

Selain itu, jumhur ulama mufassirin menafsirkan surat Al-An’am ayat 160 bahwa makna al-hasanah adalah kalimat laa ilaaha illallah. Sehingga orang yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah dan menjalankan konsekuensinya akan diganjar 10x lipat berupa keimanan.

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan,

والتقدير : فله عشر حسنات أمثالها ، أي له من الجزاء عشرة أضعاف مما يجب له . ويجوز أن يكون له مثل  ويضاعف المثل فيصير عشرة . والحسنة هنا : الإيمان

“Maknanya adalah ia mendapatkan 10 hasanah yang semisalnya. Maksudnya, ia mendapatkan ganjaran 10x lipat dari apa yang berhak ia dapatkan, atau mungkin ia mendapatkan yang semisalnya, namun yang semisalnya ini dilipat-gandakan 10x. Dan al-hasanah di sini maksudnya adalah iman.(Tafsir Al-Qurthubi)

Tafsir ini semakin menguatkan bahwa yang dilipat-gandakan bukanlah barangnya.

Keempat:

Andaikan seseorang bersedekah niatnya yang dominan adalah untuk mencari wajah Allah Ta’ala, namun juga ia berharap diberikan dunia atas sebab sedekahnya tersebut, maka ini telah kita bahas bahwa hukumnya boleh, namun mengurangi pahalanya.

Namun, pengabulan permintaan tersebut tidak mesti berupa diberikan 10x barang yang semisal atau senilai. Karena pengabulan permintaan itu ada 3 kemungkinan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »

“Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah yang tidak mengandung dosa dan memutus silaturahmi, melainkan Allah akan beri padanya salah satu dari tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan sesuai dengan doanya, [2] Allah akan menyimpan pengabulannya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan dirinya dari kejelekan yang semisal (dengan permintaannya).” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.” (HR. Ahmad no. 11133, disahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.1633)

Sehingga, kita tidak berhak memastikan bahwa pengabulan permintaan kita kepada Allah Ta’ala akan dibalas sesuai keinginan sebanyak 10x lipat. Terkadang Allah Ta’ala akan balas di dunia, terkadang tidak. Bukankah ada dua kemungkinan lainnya?? Allah Ta’ala yang lebih tahu mana pengabulan yang terbaik untuk seorang hamba yang meminta kepada Allah.

Kelima:

Kami tidak mengetahui kalam ulama yang mengatakan bahwa siapa sedekah suatu benda akan mendapatkan 10x lipat benda tersebut atau yang senilainya. Kami juga tidak mengetahui ada di antara salafus shalih yang mengamalkan demikian, bahwa ada salafus shalih yang jika menginginkan sesuatu dari dunia, maka ia akan sedekah 1/10 nya untuk mendapatkan sesuatu tersebut.

Nasihat berharga Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,

لا تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام

“Janganlah Engkau menyampaikan suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki pendahulu dari para ulama sebelumnya.”

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/71917-sedekah-harta-akan-dibalas-10x-lipat-di-dunia.html

Perbedaan Zakat dan Sedekah

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid

Pertanyaan:

Apakah perbedaan antara sedekah dan zakat?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Zakat secara bahasa artinya pertumbuhan atau peningkatan, pemasukan, berkah, pembersihan. (Lisanul ‘Arab, 14: 358, Fathul Qadir 2: 99)

Sedekah secara bahasa diambil dari kata ash-shidqu yang artinya jujur. Maka, (sedekah) adalah bukti kejujuran keimanannya. (Fathul Qadir, 2: 399)

Adapun pengertian secara syar’i sebagai berikut:

Zakat adalah peribadatan kepada Allah ‘Azza Wajalla dengan menunaikan bermacam-macam zakat yang diwajibkan atasnya kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan petunjuk syariat.

Sedekah adalah peribadatan kepada Allah dengan mengeluarkan harta yang tidak diwajibkan oleh syariat. Terkadang sedekah dimaknai sebagai zakat yang wajib.

Adapun perbedaan antara zakat dan sedekah adalah sebagai berikut:

Pertama: Pada zakat, Islam mewajibkan zakat pada perkara tertentu seperti: emas, perak, pertanian, perkebunan buah, perdagangan, perternakan unta, sapi, dan domba.

Sedangkan pada sedekah, tidak ada keharusan pada perkara tertentu, boleh pada segala sesuatu tanpa ada batasan.

Kedua: Pada zakat, terdapat syarat-syarat dalam zakat seperti haul dan seseorang harus memiliki harta tertentu dalam jumlah yang tetap.

Pada sedekah, tidak ada syarat-syarat yang mengikatnya, boleh ditunaikan kapan saja sesuai kemampuan.

Ketiga: Pada zakat, Allah mewajibkan untuk menunaikan zakat kepada golongan yang telah ditetapkan, tidak boleh kepada selain mereka. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Adapun sedekah, boleh diberikan kepada golongan penerima zakat atau selainnya.

Keempat: Zakat bagi orang yang meninggal dan masih meninggalkan kewajiban zakat, maka ahli waris wajib mengeluarkan harta orang yang meninggal untuk ditunaikan sebelum dikeluarkan untuk wasiat dan warisan.

Sedangkan sedekah, tidak ada kewajiban demikian.

Kelima: Orang yang tidak menunaikan zakat akan disiksa seperti dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (987). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما من صاحب كنز لا يؤدي زكاته إلا أحمي عليه في نار جهنم فيجعل صفائح فيكوى بها جنباه وجبينه حتى يحكم الله بين عباده في يوم كان مقداره خمسين ألف سنة ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار ، وما من صاحب إبل لا يؤدي زكاتها إلا بطح لها بقاع قرقر كأوفر ما كانت تستن عليه كلما مضى عليه أخراها ردت عليه أولاها حتى يحكم الله بين عباده في يوم كان مقداره خمسين ألف سنة ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار ،وما من صاحب غنم لا يؤدي زكاتها إلا بطح لها بقاع قرقر كأوفر ما كانت فتطأه بأظلافها وتنطحه بقرونها ليس فيها عقصاء ولا جلحاء كلما مضى عليه أخراها ردت عليه أولاها حتى يحكم الله بين عباده في يوم كان مقداره خمسين ألف سنة مما تعدون ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار…

Tidaklah seorang pemilik harta benda yang tidak membayar zakatnya, melainkan pada hari kiamat akan dibuatkan untuknya seterika api yang dipanaskan di neraka Jahanam. Kemudian diseterikakan pada lambungnya, dahinya, dan punggungnya. Hingga Allah memutuskan di antara hamba-hamba-Nya di suatu hari yang lamanya sama dengan lima puluh ribu tahun dibanding hari di dunia. Kemudian barulah dilihatkan jalannya ke surga atau ke neraka. Dan tidak ada seorang pemilik unta pun yang enggan mengeluarkan haknya (zakat dari untanya), melainkan (pada hari kiamat kelak) ia ditelentangkan di suatu tempat yang datar, lalu ia diinjak dan digigit oleh unta-unta itu. Setiap kali unta yang terakhir telah melaluinya, maka unta yang pertama kembali melaluinya. Demikianlah hingga Allah memutuskan perkara di antara para manusia pada suatu hari, di mana waktu itu sama dengan lima puluh ribu tahun (di dunia), dan baru ia akan melihat jalannya, apakah ke surga ataukah ke neraka. Dan tidak ada seorang pemilik kambing pun yang enggan mengeluarkan haknya (zakat dari untanya), melainkan (pada hari kiamat kelak) ia ditelentangkan di suatu tempat yang datar, lalu ia diinjak dan digigit oleh kambing-kambing itu. Setiap kali kambing yang terakhir telah melaluinya, maka kambing yang pertama kembali melaluinya. Demikianlah, hingga Allah memutuskan perkara di antara para manusia pada suatu hari, di mana waktu itu sama dengan lima puluh ribu tahun (di dunia), dan baru ia akan melihat jalannya, apakah ke surga ataukah ke neraka …”

Adapun sedekah, orang yang meninggalkannya tidak mendapat siksa.

Keenam: Zakat berdasarkan imam mazhab yang 4 tidak boleh diberikan kepada ushul dan furu‘. Ushul adalah ibu, bapak, kakek, dan nenek. Furu‘ adalah anak dan cucu.

Adapun sedekah boleh diberikan kepada ushul maupun furu‘.

Ketujuh: Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya dan orang yang kuat untuk bekerja.

Hadis dari ‘Ubaidillah bin ‘Adiy radhiyallahu ‘anhu berkata,

أخبرني رجلان أنهما أتيا النبي صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع وهو يقسم الصدقة فسألاه منها فرفع فيهما البصر وخفضه فرآنا جلدين فقال : ” إن شئتما أعطيتكما ولا حظ فيها لغني ولا لقوي مكتسب

Ada dua orang memberitahukan kepadaku bahwa keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam waktu haji wada’, yaitu ketika beliau membagikan shadaqah (zakat) kemudian dua orang itu meminta bagian darinya. Maka, beliau memandang orang itu dari atas hingga ke bawah. Dan ketika kelihatan masih kuat, beliau bersabda, ‘Kalau kalian berdua mau, saya akan berikan kepada kalian berdua. Dalam zakat itu tidak boleh diberikan kepada orang kaya dan orang kuat yang mampu bekerja.: (HR. Abu Dawud no. 1633 dan An-Nasa’i no. 2598, hadis ini dinyatakan sahih oleh Imam Ahmad dan lainnya. Lihat Talkhisul Khabir, 3: 108)

Adapun sedekah boleh diberikan kepada orang kaya dan kuat bekerja.

Kedelapan: Zakat paling afdal diambil dari harta orang kaya di satu negeri lalu diberikan kepada golongan fakir di negeri tersebut pula. Bahkan, sebagian ulama berpendapat tidak boleh diberikan kepada fakir di negeri lain, kecuali jika ada maslahatnya.

Adapun sedekah boleh untuk yang dekat atau yang jauh.

Kesembilan: Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir dan musyrik.

Adapun sedekah, boleh untuk kafir dan musyrik.

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan: 8)

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tawanan di negeri Islam itu tidak ada kecuali orang musyrik.”

Kesepuluh: Zakat seorang muslim tidak boleh diberikan untuk pasangannya berdasarkan ijma para ulama.

Adapun sedekah boleh untuk suami atau istri.

Poin-poin di atas adalah beberapa perbedaan zakat dan sedekah.

Sedekah juga dimaknai seluruh amal kebaikan, sebagaimana perkataan Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya, “Bab Setiap Perbuatan Baik adalah Sedekah.” Kemudian beliau meriwayatkan dengan sanad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل معروف صدقة

Setiap kebaikan adalah sedekah.”

Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan dan perkatan baik seseorang dicatat baginya sebagai sedekah.”

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam, كل معروف صدقة, yaitu hukumnya adalah ganjaran pahala baginya.”

Wallahu a’lam.

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari https://islamqa.info/ar/9449

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86804-perbedaan-zakat-dan-sedekah.html

Kemenag Sediakan Call Center Bagi Keluarga Jamaah Haji yang Dirawat di Saudi

Sebanyak 76 jamaah haji Indonesia hingga saat ini tercatat masih dirawat di Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS). Bagi keluarga jamaah yang ingin mengetahui perkembangan kondisi di Saudi, Kementerian Agama (Kemenag) menyediakan sarana untuk hal tersebut.

“Kami telah menetapkan tiga PIC untuk update informasi jamaah sakit yang masih dirawat di RSAS Makkah, Madinah dan Jeddah,” ucap Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Selasa (8/8/2023).

Berdasarkan data yang ada dalam Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), dari 76 jamaah yang dirawat ini sebanyak 31 orang berada di RSAS Makkah. 37 jamaah lainnya berada di RSAS Madinah, serta delapan jamaah sisanya dirawat di RSAS yang ada di Jeddah.

Nasrullah menyebut kontak PIC dan tim Kantor Urusan Haji (KUH) KJRI Jeddah akan melakukan pemantauan secara berkala atas kondisi jamaah. Pihak keluarga yang ingin mendapatkan update kondisi jemaah bisa menghubungi nomor-nomor yang disiapkan.

“Kami berharap kondisi jamaah yang dirawat bisa lekas sehat. Jika oleh rumah sakit sudah dinyatakan layak terbang, akan kita antar untuk pulang ke Tanah Air,” lanjut dia.

Tidak hanya itu, ia juga menyebut KUH KJRI Jeddah telah menyiapkan tim yang akan mengantar jamaah, yang telah dinyatakan layak terbang untuk kembali ke Indonesia.

Berikut daftar PIC update kondisi jamaah haji 1444 H yang masih menjalani perawatan di RSAS.

1. Bagi jamaah yang dirawat di RSAS Makkah bisa menghubungi Naef (+966 564853513) dan Jamil (+966 502838004);

2. Jamaah yang dirawat di RSAS Madinah bisa menghubungi Ahmad Hasidin (+966 503006176) dan Solihin (+966 503471022); dan

3. Jamaah yang dirawat di RSAS Jeddah dapat menghubungi Syafii (+966 593004680) dan Hasyim Hilaby (+966 54 265 7560).

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jamaah haji yang sakit dan menerima perawatan di RS Saudi akan tetap mendapat pendampingan. Fasilitas yang berkaitan dengan jamaah pun akan tetap diberikan.

“Kita akan menunggu pernyataan dari dokter di RSAS apakah sudah boleh pulang atau tidak. Kalau sudah boleh, kepulangannya kita juga yang akan urus nanti,” ujar dia dalam  konferensi pers penutupan operasional haji 1444H/2023M, di Bandara Soekarno Hatta, Sabtu (5/8/2023).

IHRAM

Menunjukkan Kebijaksanaan dengan Diam, Menunjukkan Kebodohan dengan Banyak Berbicara

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist ini bagi saya pribadi merupakan hadist emas yang sangat megah penuh kekayaan nasehat yang luar biasa. Hadist sebagai pegangan, pedoman, dan tuntunan dalam menjalani interaksi sebagai manusia sosial.

Tetapi, hadist ini harus dipahami secara mendalam. Salah menafsirkan bisa mengambil pemikiran yang seolah kita selalu disuruh diam dan tidak berkata-kata untuk saling menasehati. Seolan umat Islam memilih diam dan bungkam terhadap berbagai persoalan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan syariat secara keseluruhan.

Apa yang harus kita pahami? Hadist ini menjadi relevan dalam konteks kekinian di media sosial. Banyak orang memposting, menulis dan berbicara segala hal seolah tau segalanya. Semuanya dikomentari. Acapkali mereka keseleo lidah tanpa disadari karena saking banyaknya bicara.

Banyak dari kita ingin tampil memukau dengan kata-kata yang berbusa-busa. Seolah memberikan pencerahan padahal tidak lebih umpatan dan makian. Ingin dipuji dengan sebutan orang pintar, orang cerdas dan orang yang membela. Tetapi, tanpa ia sadari sejatinya ia sedang menunjukkan kebodohannya.

Rasulullah telah memberikan peringatan dengan hadist yang sangat indah di atas. Jika tidak bisa memberikan perkataan yang baik dan bermanfaat, lebih baik diam. Dalam hadist yang lain Nabi bersabda :  “Diam adalah emas, tapi ketika berbicara, pastikan itu lebih baik dari diam.” (HR. At-Tirmidzi).

Kita bisa berbicara asalkan ketika mengeluarkan pendapat kita bisa memberikan hal yang bermanfaat dari pada sekedar diam. Tapi orang yang cerdas dan bijak menurut Hasan Al basri orang yang lebih memilih diam dari pada mengisi percakapan dengan kebodohan.

Ibnu Hazm memberikan panduan lebih jelas tentang hal itu terkait motivasi dalam berbicara. Beliau mengatakan : “Seseorang yang bijaksana hanya akan berbicara ketika ia tahu dan mengerti, bukan karena keinginan untuk menonjolkan diri.” Kata kuncinya adalah bekali dengan ilmu dalam berbicara, bukan karena ingin terlihat gagah atau dikatakan paling pintar dan kritis.

Di sinilah letak beda orang yang benar-benar cerdas yang bijak dengan orang yang bodoh yang hanya menginginkan pujian. Ia tampil banyak bicara karena ingin terlihat menjadi orang yang pintar dan cerdas.

“Orang yang bijak berbicara dengan penuh pertimbangan, bukan karena menginginkan banyaknya pengikut.”

Lebih lanjut, Imam Malik memberikan batasan yang lebih lugas terkait hal ini. Beliau mengatakan : “Orang yang bijak berbicara dengan penuh pertimbangan, bukan karena menginginkan banyaknya pengikut.”

Di sini semakin jelas ciri orang cerdas yang bijak. Orang cerdas yang bijak berbicara untuk memberikan kebaikan dan manfaat, bukan sekedar ingin banyak followernya. Orang bijak harus mempertimbangan subtansi dan kata-kata yang diucapkan, bukan diburu-buru dengan waktu karena ingin mendapatkan popularitas.

Ala kuli hal, saya ingin menutup dengan kata mutiara yang indah dari Imam Syafii yang selaras dengan pesan hadist Nabi di atas : “Sebaik-baik kata-kata adalah yang sedikit, tapi penuh makna.” Orang bukan dilarang berbicara, tetapi pembicaraan itu bukan terletak dari banyaknya kata-kata, tetapi banyaknya makna yang terkandung di dalamnya.

ISLAMKAFFAH

Bekerjalah, Agar Kita jadi Mulia!

Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa bekerja keras merupakan pekerjaan yang terhormat dan mulia daripada mengemis atau meminta-minta

Hidayatullah.com | MANUSIA diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai makhluk yang paling mulia di permukaan bumi ini. Dan semulia-mulia manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi;

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (Riwayat Bukhari).

Hadits ini seakan mengatakan ukuran kemuliaan seseorang bisa dilihat dari sejauhmana nilai manfaat dirinya bagi orang lain. Semakin dia bermanfaat kepada orang lain berarti semakin tinggi kemuliaan pada dirinya.

Sebaliknya, derejat kemuliaan seseorang menurun kalau tidak punya nilai manfaat atau malah menjadi beban bagi yang lainnya. Karena itu, Islam menekankan agar setiap Muslim bekerja sehingga menghidupi dirinya sendiri dan tidak menjadi beban orang lain.

Islam memandang bekerja itu mulia. Suatu hari Nabi Muhammad ﷺ melihat tangan sahabatnya, Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari melepuh.

Nabi ﷺ bertanya apa penyebabnya. Dengan jujur Sa’ad menyatakan bahwa penyebabnya adalah akibat kerja keras untuk menghidupi keluarganya.

Mendengar jawaban Sa’ad itu, dengan spontan Rasulullah ﷺ meraih tangan Sahabatnya itu lalu diciumnya. Sikap Rasulullah ﷺ ini menunjukkan kepada kita bahwa bekerja keras itu merupakan pekerjaan yang terhormat dan mulia.

Terlebih bila kerja itu digunakan untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Islam dengan tegas menyatakan bahwa bekerja itu mendapatkan nilai pahala.

Sebab, bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam Islam, bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Rasulullah ﷺ sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri sebagaimana yang dilakukan terhadap Sa’ad.

Diampuni Dosanya

Orang yang berusaha mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya ataupun kebutuhan anak dan istri, maka dikategorikan jihad fi sabilillah.

Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah. Rasulullah ﷺ pernah bersabda;

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan Nabi Dawud ‘alaihissalam dahulu memakan makanan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072).

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ

“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR: Ibnu Majah).

Bahkan ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, Allah mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ اَمْسَى كَالًّا مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ اَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ

“Barangsiapa yang pada waktu sore (malam hari) merasa lelah karena pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) pada saat itu diampuni dosa baginya.” (HR Thabrani)

Dengan bekerja, seseorang tidak akan tergantung kepada orang lain. Bahkan banyak orang yang bekerja keras kemudian bisa membantu orang lainnya.

Orang seperti ini berarti mengamalkan sabda Rasulullah ﷺ, “Tangan yang di atas, itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Nabi Muhammad ﷺ serta para Sahabat adalah pekerja keras. Bahkan, beberapa Sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus bertempur dengan musuh-musuh Islam.

Islam juga memandang bekerja mencari nafkah sebagai salah satu bentuk ibadah dan sekaligus rasa syukur kepada Allah. Ini diterangkan dalam firman Allah:

يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah! Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS: Saba’ [34]: 13)

Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina.

Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah. Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda;

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR: Bukhari).

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu anhu dari Nabi ﷺ

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Salah seorang dari kalian mengambil tali kemudian membawa satu ikat kayu bakar yang dibawa di atas punggungnya kemudian dia jual, yang dengannya Allah cukupkan dia dari meminta-minta maka itu lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, bisa jadi mereka memberi atau tidak.” (HR: Bukhari).

Islam mengajarkan kepada kita untuk bekerja agar terhindar dari kemiskinan. Sebab, kemiskinan itu sangat dekat dengan kekufuran.*/Bahrul Ulum

HIDAYATULLAH

Lisan Itu Mempengaruhi Amal

Perkataan seseorang akan berpengaruh pada baik atau buruknya amalan orang tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa bukti ketakwaan adalah dengan mengucapkan perkataan yang benar (lurus). Dan jika perkataan seseorang itu baik dan benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalannya dan mengampuni dosa-dosanya. Jika di antara kita masih merasa berat dalam melakukan amal ketaatan, seperti salat tahajud, salat duha, membaca Al-Qur’an, sedekah, dan semisalnya, maka kemungkinan ada kalimat-kalimat yang buruk dan tidak semestinya keluar dari lisannya.

Bahkan, dalam suatu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan bahwa setiap pagi anggota tubuh akan mewanti-wanti lisan,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ : اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ ؛ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا ، وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

Jika manusia berada di waktu pagi, maka semua anggota badannya tunduk pada lisan. Mereka berkata, ‘Wahai lisan, bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami. Karena sesungguhnya kami tergantung pada dirimu. Jika kamu bersikap lurus, maka kami pun akan lurus. Namun, jika engkau menyimpang, maka kami pun akan menyimpang.’ (HR. Tirmidzi, sahih)

Seorang salaf bernama Yahya bin Abi Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ada dua sifat, yang apabila Anda melihat keduanya ada pada diri seseorang, ketahuilah apa yang di belakang keduanya (amalannya) pasti lebih baik lagi: 1) Bila dia mampu mengendalikan lisannya; dan 2) Dia selalu menjaga salatnya. (Ash-Shamt, Ibnu Abid Dunya, hal. 264)

Belajar menjaga lisan dan jangan berlebihan

Kita diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk menjaga lisan sebagaimana dalam firman-Nya,

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ 

(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf: 17-18)

Para salaf menafsirkan bahwa malaikat yang sebelah kanan mencatat amal kebajikan dan malaikat yang sebelah kiri mencatat amal keburukan. (Lihat Tafsir Al-Qurthubiy, 17: 9)

Abu Darda’ dalam suatu riwayat mengatakan,

تَعَلَّمُوْا الصَّمْتَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ الْكَلَامَ

Belajarlah untuk diam sebagaimana kalian belajar untuk berbicara. (Diriwayatkan oleh Al-Khara’ithi dalam kitabnya Makarim Al-Akhlaq)

Agama Islam adalah agama yang melarang sikap ekstrim (berlebihan), salah satunya berlebihan dalam hal berbicara. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

Pasti akan binasa orang-orang yang berlebih-lebihan. (HR. Muslim)

Jaminan surga bagi yang menjaga lisan

Dalam sabda beliau yang lain,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang menjamin untukku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga. (HR. Bukhari)

Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak bisa mengontrol lisannya, sebagaimana sabda beliau,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampaknya, yang akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat. (HR. Bukhari)

Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menjaga lisan dan tulisan agar selamat di dunia dan akhirat. Amin

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86691-lisan-itu-mempengaruhi-amal.html

Meraih Kebangkitan Hidup yang Hakiki  

Untuk memenuhi hajatul ‘udhwiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri) dan penjagaan akalnya manusia perlu aturan Sang Khaliq, bukan hidup secara liar

SECARA fitrah manusia tak membiarkan dirinya dari waktu ke waktu dalam kondisi statis. Apalagi berkubang dalam kondisi tak ideal versi kacamatanya.

Mengapa? karena manusia dianugerahi akal untuk berpikir melakukan perubahan menuju kondisi ideal. Haruslah dipahami, jika manusia hanya diam dengan ke’tidakidealan’nya, dapat dikatakan akalnya ‘mati’.

Lantas bagaimanakah kondisi ideal yang hakiki? Apabila jawabannya diserahkan pada manusia tentu saja menghasilkan sejuta jawaban tak berstandarisasi.

Karena setiap akal manusia akan memiliki pemahaman yang berbeda sesuai maklumat (informasi) yang dimilikinya. Artinya secara mutlak standarisasi ini haruslah diserahkan pada Penganugrah akal bagi manusia yaitu Sang Khaliq.

Kondisi ideal hakiki maksudnya manusia dalam memenuhi hajatul ‘udhwiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri) serta penjagaan akalnya dengan aturan Sang Khaliq. Bukan dengan tanpa aturan atau sembarang aturan.

Sehingga pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut tak terjatuh seperti hewan lakukan. Karena Sang Khaliq telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya ciptaan. Tak layak manusia menghinakan dirinya layaknya hewan.

Terjadinya perubahan menuju kondisi ideal hakiki menunjukkan kebangkitan pada manusia. Kebangkitan ini bergantung pada standar nilai kualitas manusia secara hakiki.

Standar ini bukan pada tampilan fisik, harta atau jabatan. Tapi pada tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh pemikirannya.

Terutama pemikiran terkait uqdatul kubra (persoalan paling mendasar) dalam hidupnya. Yaitu dari mana dirinya berasal, untuk apa dirinya hidup di dunia serta apa yang terjadi setelah kematiannya.

Meraih Kebenaran Mutlak

Persoalan mendasar tersebut membutuhkan jawaban shahih (benar) yang akan menentukan jalan hidupnya. Jawaban shahih hanya didapatkan dengan berpikir mustanir (cemerlang).

Yaitu berpikir mendalam dengan mengaitkan fakta yang saling berkaitan hingga sampai pada kesimpulan yang benar. 

Berpikir cemerlang mengaktifkan penglihatan, pendengaran dan indra lainnya untuk menelaah dan mengamati diri, alam sekitar dan kehidupan. Keajaiban pada manusia dan alam sekitar menunjukkan realitasnya yang terbatas, lemah, kurang dan membutuhkan selain dirinya.

Realitas ini bukti kuat bahwa manusia beserta alam sekitar adalah makhluk (sesuatu yang diciptakan) dan kepastian adanya Al Khaliq (Sang Pencipta).

Secara rasionalitas, mustahil Al Khaliq sama dengan makhluk. Artinya Al Khaliq bukanlah patung,  manusia, hewan, tumbuhan, bintang, bulan atau apapun dari makhlukNya.

Tak layak manusia menyembah dan mentaqdiskan (mensucikan) sesama makhluk. Karena hal tersebut adalah kesesatan yang nyata.

Mustahil juga Al Khaliq berbilang. Karena manusia dan alam semesta beserta isinya akan hancur dengan berbilangnya Al Khaliq.

Kepastian tanpa keraguan Al Khaliq adalah satu, yang keberadaannya tak membutuhkan makhlukNya. Dia adalah Allah SWT. Maha benar Allah dalam firmanNya :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas ayat 1-4).

لَوْ كَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS: Al Anbiya ayat 22).

Hidup Berselimut Ibadah

Hanya dengan bukti secuil di atas dapat menjadi dalil bahwa manusia hakikatnya ciptaan Allah SWT. Diciptakannya manusia hidup di dunia pun bukan tanpa tujuan. Tapi memiliki misi yang agung. Allah SWT berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.’ (QS: Adz Zariyat ayat 56).

Para mufasir menjelaskan makna beribadah adalah taat pada Allah, tunduk patuh padaNya dan terikat pada syari’atNya. Baik syari’at Allah terkait hablumminallah (shalat, puasa, haji, zakat, dan sebagainya), hablum bin nafs (makanan, minuman dan pakaian) serta hablumminannas (politik, pendidikan, ekonomi, pergaulan, sosial, budaya, hukum dan sebagainya).

Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS: Al-Baqarah: 208).

Allah SWT pun menyampaikan dalam ayat-ayatNya yang mulia bahwa kepastian manusia akan merasakan mati. Kematian bukanlah akhir segalanya tapi awal kehidupan yang sebenarnya.

Dalam hari-harinya ada pertanggungjawaban setiap amal. Yang akan bersaksi atas amal manusia bukan hanya lisannya tapi hampir seluruh anggota tubuhnya.

Tak ada manusia yang dapat berdusta di dalam pengadilan Allah. Seberat dzarrah pun kebaikan atau keburukan amal akan dibalas secara sempurna.

Keadilan akan ditegakkan di mahkamah Allah. Dengan itu ditentukan tempat akhir kembalinya manusia di akhirat.

Apakah dirinya termasuk ashhabul yamin (penghuni syurga) ataukah ashhabussyimal (penghuni neraka).  Allah SWT berfirman :

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ࣖ

“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS: Al-Baqarah: 281).

Dengan jawaban yang shahih dari uqdatul kubra, manusia memiliki sandaran hidup yang jelas dan terarah. Aqliyah (proses berpikir) dan nafsiyah (pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri) nya akan berjalan sesuai dengan syari’at Islam.

Karena azzam (tekad) yang kuat dirinya ingin berpulang dalam naungan rahmat dan ridhaNya. Inilah kebangkitan hakiki manusia dengan panduan RabbNya. Wallahu a’lam bish-shawabi.*/ Desti Ritdamaya, praktisi pendidikan

HIDAYATULLAH

Dilihat via Mikroskop, Partikel Air Zamzam Kejutkan Ilmuwan, ini Hasilnya

Air zamzam merupakan keajaiban dunia yang tak pernah kering meski terus dikonsumsi.

Air zamzam, semua Muslim mengetahui sejarah air tersebut. Air yang merupakan karunia Allah yang pertama kali dihadiahkan kepada putra Ibrahim dan Hajar, Ismail. Si anak yang hampir dikorbankan sang ayah itu menjadi penanda energi  cinta seorang ibu yang luar biasa. Ibu yang berada dalam sejuta keterbatasan, tapi tak mematahkan semangatnya untuk mendapatkan keajaiban.

Sejak ribuan tahun lalu air tersebut dinikmati manusia. Siapapun yang singgah di Tanah Suci Makkah dan Madinah, pasti dapat meneguknya demi menghilangkan dahaga dan menjalankan sunnah mengenang cinta Hajar kepada putra tercintanya.

Seorang peneliti asal Turki, Dilara Sari melakukan penelitian ilmiah terhadap air zamzam. Dilara Sari adalah insinyur genetika yang hasil penelitiannya mengejutkan jagat maya.

Sari dalam penelitannya itu menggunakan mikroskop. Dia melakukan penguapan hingga ditemukan kristal yang berarti bahwa air zamzam mengandung banyak mineral.

“Saya menguapkan air zamzam dan hasilnya saya mendapatkan kristal yang luar biasa ini. Air zamzam sangat kaya mineral. Ada kandungan magnesium, kalsium, natrium, dan kalium,” ujarnya, seperti dilansir Masrawy.

Bahkan, Sari mengatakan, ada 10 kali lebih banyak mineral dalam air zamzam jika dibandingkan dengan air mineral pada umumnya.

“Ini bermanfaat untuk kulit maupun organ tubuh. Saya sangat kaget dengan apa yang saya lihat ini, ini sesuatu yang luar biasa,” katanya.

Sumur Zamzam berjarak sekitar 20 meter dari Ka’bah dan kedalamannya melebihi 30 meter. Dalam satu detik, sumur air zamzam bisa memompa sekitar 11 sampai 19 liter.

Dalam literatur Islam, air Zamzam muncul di lembah ketika istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan bayi laki-lakinya, sendirian di padang pasir. Saat itu air yang mereka miliki habis setelah sang suami meninggalkannya atas perintah Allah.

Siti Hajar biasa memagari air dan berkata, “Zama Zama” sehingga air itu disebut Zamzam”. Air ini menjadi sumber pengairan bagi para peziarah yang pergi menuju Baitullah dan juga bagi seluruh umat.

Adapun penjelasan ilmiahnya, telah dijelaskan oleh Profesor Geologi dan Sumber Daya Air di Institut Riset Afrika, Abbas Sharqi. Dia memaparkan, ketika ada sumber air yang tidak habis-habis, maka dalam geologi, itu adalah air yang dapat diperbarui.

“Air tanah dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah air terbarukan, yang termasuk dalam sumur Zamzam, dan jenis kedua adalah air yang tidak dapat diperbarui,” kata dia seperti dilansir Arabic Post.

Dari segi keutamaannya, sebagian ulama telah mengumpulkan berbagai keutamaan zamzam. Antara lain adalah air surga (maa’ul-jannah). Artinya, air yang penuh berkah dan manfaat, seperti air surga. Air zamzam adalah salah satu nikmat Allah bagi para jamaah haji yang langsung bisa merasakan nikmatnya air di tengah-tengah padang pasir.

Penuh berkah karena Rasulullah SAW senang meminumnya dan tangannya yang penuh berkah pernah dicelupkan ke sumur zamzam. Air ini juga mengenyangkan serta menghilangkan dahaga.

IHRAM

Hukum Peeling Face dalam Islam 

Bagaimana hukum peeling face dalam Islam? Setiap wanita pasti memiliki kemauan untuk tampil cantik dan menarik. Oleh karena itu dunia industri menyediakan dan memunculkan berbagai macam inovasi di bidang kosmetik, skincare serta perawatan kecantikan untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut.

Macam dan fungsinya juga bervariatif, mulai dari membersihkan kulit dari kotoran dan komedo, memutihkan, mencerahkan sampai menghilangkan jerawat.

Baru baru ini, terdapat macam perawatan (treatment) kecantikan yang menjadi tren di kalangan masyarakat bahkan sampai mancanegara. Yakni terapi yang disebut peeling face.

Metode peeling adalah perawatan wajah menggunakan metode pengangkatan lapisan kulit terluar dari wajah guna mengangkat sel kulit mati dan komedo sehingga wajah tampak lebih cerah, halus dan muda.

Biasanya, metode ini dilakukan mula-mula dengan menggunakan bahan kimia tertentu yang dioleskan ke wajah, setelah bahan kimia tersebut mengiring maka perlahan dikelupas dari kulit beserta komedo dan sel kulit mati yang sudah menempel.

Hukum asal memakai produk atau melakukan perawatan kecantikan adalah mubah, bahkan dalam sebuah hadis disebutkan:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان الله جميل يحب الجمال

Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Indah dan menyukai keindahan” (HR. Muslim, No.147 dari Ibnu Mas’ud).

Hukum Peeling Face dalam Islam

Dalam menghukumi treatment peeling face ini sebenarnya sama dengan perumusan hukum menggunakan perhiasan pada umumnya, yang mana sama-sama memiliki tujuan berhias atau mempercantik diri dengan menggunakan alat atau bahan tertentu.

Adapun hukumnya yakni diperbolehkan selagi tidak menimbulkan dampak negatif seperti timbulnya fitnah, munculnya bahaya dan niat yang tidak diperbolehkan dalam syariat, hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Wahbah Zuhaili:

الزِيْنَةُ مَا يُتَزَيَّنُ بِهِ, وَهِيَ كُلُّ مَا يُضْفِى عَلَى الإِنْسَانِ حُسْنًا وَبَهْجَةً, أَوْ هِيَ اِسْمٌ يَقَعُ عَلَى مَحَاسِنِ الخَلْقِ الَّتِي خَلَقَ اللهُ وَعَلَى مَا يُتَزَيَّنُ بِهِ مِنْ فَضْلِ اللِّبَاسِ وَحُلِيٍّ وَغَيْرِ ذَالِكَ وَقَدْ تَكُوْنُ مَشْرُوْعَةً وَهِيَ الخَالِيَةُ مِنَ الِفتْنَةِ وَالإِفْسَادِ أَوِ النِّيَّةِ الفَاسِدَةِ وَقَدْ تَكُوْنُ غَيْرَ مَشْرُوْعَةٍ وَهِيَ البَاعِثَةُ عَلَى الفِتْنَةِ وَالْفَسَادِ أَو النِّيَّةِ الخَبِيْثَةِ أَوْ يَشْوِيْسُهَا شَيْءٌ مِنْ فَسَادِ النِّيَّةِ

“Perhiasan adalah setiap sesuatu yang digunakan manusia untuk berhias, yakni setiap sesuatu yang ditambahkan pada manusia untuk tujuan mempercantik atau memperindah. Atau juga bisa disebut sesuatu yang memberikan dampak keelokan tubuh yang diciptakan Allah, atau sebagai sebutan dari aksesoris, perhiasan dll. 

Hukum berhias bisa jadi diperbolehkan jikalau aman dari fitnah, kerusakan dan niat yang buruk. Hukum berhias juga bisa jadi tidak diperbolehkan jikalau mengundang fitnah, kerusakan dan niat yang buruk” (Wahbah Zuhaili, Al-Usroh Al-Muslimah fi al-Alam al-Muashir, , halaman 255)

Memandang dari perumusan hukum tersebut, maka perlu diketahui pula bahwa praktek pelling face harus dilakukan oleh tenanga ahli. Dikutip dari Alodokter.com, meskipun peeling face memberikan banyak manfaat, tidak semua kulit mampu menerima treatment ini.

Maka dari itu perlu terlebih dahulu pemeriksaan dan pengawasan dari dokter bilamana hendak melakukan peeling face. Beberapa faktor seperti kulit yang sensitif malah dapat memunculkan resiko semisal iritasi dan warna kulit yang tidak merata bila melakukan treatment peeling face ini.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan peeling face diperbolehkan selama dalam pengawasan dokter dan tidak menimbulkan bahaya pada kulit. Hal ini senada dengan kaidah fikih mengenai larangan berbuat hal kemadharatan yang berbunyi:

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain”

Demikian hukum peeling face dalam Islam. Wallahu A’lam bisshowab.

BINCANG SYARIAH

Apakah Boleh Operasi Kecantikan dalam Islam?

Apakah boleh operasi kecantikan dalam Islam? Trend kecantikan masa kini kian berkembang karena kecanggihan tekhnologi. Bahkan sekarang banyak wanita yang ingin tampil cantik lewat jalan pintas, yaitu seperti dengan melakukan operasi plastik atau operasi kecantikan. 

Operasi plastik sebagai istilah medis, mengacu pada praktik bedah yang dilakukan pada bagian tubuh tertentu untuk memperbaiki atau mengembalikan anggota tubuh tertentu ke bentuk semula atau bentuk yang dikehendaki.

Tak heran istilah tanam benang, sulam alis, sulam bibir, operasi hidung, operasi wajah dan lain sebagainya menjadi kian populer di kalangan wanita saat ini. Lantas bagaimana hukumnya dalam Islam terkait apakah boleh operasi kecantikan dalam Islam?

Pandangan Para Ulama

Para ulama menghukumi operasi kecantikan ini berbeda-beda sesuai dengan sebab dan tujuannya, ada yang mubah (boleh) dan ada pula yang haram dilakukan.

Dihukumi Mubah

Hukum mubah berarti boleh dilakukan bila operasi tersebut bertujuan untuk memperbaiki anggota tubuh yang cacat atau rusak. Misalnya operasi karena cacat sejak lahir, seperti operasi bibir sumbing agar bentuk dan fungsi lebih mendekati normal, memperbaiki susunan gigi yang maju ke depan dan tidak normal struktur nya hingga menyulitkan untuk makan dan berbicara. 

Atau operasi karena cacat yang datang kemudian, misalnya cacat tangan atau kaki karena kecelakaan, memperbaiki jaringan kulit yang rusak akibat kebakaran, operasi mata karena katarak atau luka hingga fungsi penglihatan terganggu, operasi suntik payudara wanita karena penyakit atrofi (pengecilan atau penyusutan jaringan otot dan jaringan syaraf sehingga bentuk menjadi tidak normal.

Operasi plastik yang demikian boleh dilakukan karena bertujuan untuk mengobati seperti dalam dalil berikut:

Wahai hamba hamba Allah berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali menurunkan pula obatnya”. (HR. Tirmidzi).

At-Thabari berpendapat, jika ada bagian tubuh yang menimbulkan mudharat dan rasa sakit, seperti seorang perempuan yang memiliki gigi lebih atau giginya panjang yang mengganggunya ketika makan, atau memiliki jemari lebih yang mengganggunya atau menjadikan sakit maka boleh mencabut atau memotongnya.

Begitu juga As-Syaukani menjelaskan,

 قوله (إلا من داء) ظاهره أن التحريم المذكور إنما هو فيما إذا كان لقصد التحسين لا لداء وعلة، فإنه ليس بمحرم 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ dzahir maksudnya bahwa keharaman yang disebutkan, yaitu jika dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram.” [Nailul Authar, jilid 6, halaman 229]

Dari hadis tersebut dijelaskan hendaknya seseorang yang tertimpa sakit berusaha berobat agar bisa sehat seperti sedia kala dan tidak terganggu dalam melakukan berbagai aktivitas. Bahkan dalam kondisi tertentu diperbolehkan memindahkan atau menghilangkan bagian tubuhnya jika kondisi tersebut membawa kepada penyakit yang lebih membahayakan atau membahayakan nyawa.

Misalnya luka karena suatu penyakit misalnya kanker payudara yang jika tidak diangkat akan menyebar ke anggota tubuh yang lain. Operasi yang dilakukan tentunya harus dijalankan oleh pihak yang berkompeten dan diiringi dengan doa kepada Allah agar diberi jalan kesembuhan atas penyakit nya.

Hukumnya Haram

Adapun operasi yang haram hukumnya ialah yang hanya bertujuan untuk mempercantik atau memperindah bentuk tubuh semata karena nafsu duniawi tanpa ada niat mengobati atau memperbaiki suatu kecacatan. Allah Ta’ala berfirman :

 لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ 

Artinya; Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya.” (QS At Tin: 4)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sebaik baik makhluk yang diciptakan Allah, manusia memiliki kecantikan atau ketampanan yang relatif dan berbeda satu dengan lainnya, meskipun begitu, manusia sering merasa kurang bersyukur dengan pemberian Allah sehingga senantiasa berusaha untuk memperindah fisik nya hingga mengubah ciptaan Allah Ta’ala dengan melakukan operasi plastik.

Dalam Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani disebutkan qaul Imam Ath-Thabari bahwa perempuan tidak boleh mengubah sesuatu dari bentuk asal yang telah diciptakan Allah SWT, baik menambah atau mengurangi agar kelihatan bagus. 

Seperti, seorang perempuan yang alisnya berdempetan, kemudian ia menghilangkan (bulu alis) yang ada di antara keduanya, agar kelihatan cantik atau sebaliknya (kelihatan jelek dengan berdempetannya). 

Atau seorang perempuan yang memiliki gigi lebih lalu ia mencabutnya; atau giginya panjang lalu ia memotongnya; atau perempuan itu berjenggot atau berkumis atau berbulu di bawah bibirnya lalu mencabutnya; dan seorang perempuan yang rambutnya pendek atau tipis lalu ia memanjangkannya atau menebalkannya dengan rambut orang lain; Semua itu  adalah termasuk perbuatan yang dilarang, karena mengubah apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT.

Salah satu cara mensyukuri nikmat Allah ialah dengan menerima kondisi yang sudah Allah berikan dan tidak berupaya untuk mengubahnya dengan jalan operasi kecuali dalam keadaan darurat.

Demikian penjelasan apakah boleh operasi kecantikan dalam Islam? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH