Cegah Kepanasan di Tanah Suci, Alat Semprot Air Dibagikan Buat Calon Haji

Kementerian Agama Kantor Wilayah Sumatra Barat (Kemenag Sumbar) melalui panitia penyelenggara ibadah haji, akan membagikan alat semprot air untuk perlengkapan beribadah calon jamaah haji (calhaj) ketika berada di Tanah Suci.

Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag Sumbar,Syamsuir menuturkan, pemberian alat semprot merupakan kerjasama antara pemerintah dengan BRI sebagai upaya untuk memberikan pelayanan dan persiapan kepada calhaj.

“(Perlengkapan) termasuk nanti dibagikan alat semprot air,” kata dia di Padang, Jumat (15/8).

Ia mengatakan, berdasarkan hasil komunikasi terakhir dengan direktur luar negeri, suhu di Tanah Suci mencapai 46 derajat Celsius.

Sehingga, menurutnya alat semprot air sangat berguna mengantisipasi kondisi cuaca yang akan dihadapi calhaj. Serta untuk mengantisipasi kondisi dehidrasi sampai heat stroke akibat suhu udara yang tinggi.

“Jadi semua jamaah diberi alat semprot, diisi air, jalan ke masjid bisa sambil semprot-semprot,” ujar Syamsuir.

Sebelumnya, melalui program pembinaan kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terus memantau kondisi kesehatan jamaah calon haji (calhaj) agar mereka benar-benar siap diberangkatkan ke Tanah Suci.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes Fidiansjah menjelaskan, para calhaj juga akan diberi pelatihan untuk menghadapi kondisi cuaca dan lingkungan di Tanah Suci.

Misalnya, berlatih membiasakan diri minum air dua liter sehari, membiasakan terpapar panas matahari karena suhu di Tanah Suci saat musim haji nanti diprediksi di atas 40 derajat Celsius, serta membiasakan diri memakai masker.

Hal ini penting karena mereka akan berinteraksi dengan jamaah dari berbagai negara, termasuk jamaah dari sejumlah negara tertentu yang dinilai rentan menularkan virus berbahaya, seperti ebola dan virus korona yang menyebabkan sindroma pernapasan Timur Tengah (MERS).

 

sumber: Republika Online

Arti Kemerdekaan Bagi Buya Hamka dan Kita

Oleh : Beggy R
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan jejak islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada bahkan jauh sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.

Perjuangan kemerdekaan bangsa ini berurat dan berakar kepada perjuangan Islam. Perjuangan para pendahulu kita untuk merdeka bertolak dari agama Islam yang menentang penindasan. Yang mengagungkan nama Islam. Merentang dari barat hingga timur nusantara. Untuk menegakkan hukum Allah. Semangat jihad rakyat aceh yang seringkali disebut perang sabil menghujam dalam dada rakyat aceh.

Maka kita dapat melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat aceh, sehingga didengungkanlah syair-syair hikayat perang sabil dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabil sering dibacakan ditengah masyarakat.Di dengarkan turun temurun.Maka tak heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah hingga 40 tahun lamanya. Bahkan ketika kesultanan Aceh runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang.

Penulis Belanda, Zentgraaf, mencatat wanita-wanita aceh adalah wanita-wanita paling pemberani dalam kancah peperangan. “Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti; wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati[1].

Keberanian para pejuang aceh ini juga dapat kita temukan pada perlawanan kaum paderi melawan kolonial Belanda. Kaum Paderi tak lain ingin menjadikan wilayah mereka sesuai dengan ajaran agama. Pun ketika Akhirnya harus menempuh jalan peperangan dengan penjajah maka Islamlah yang menjadi daya dorong para kaum paderi di Sumatera Barat.

Steyn Parve, salah seorang mantan residen Padangsche Bovenlanden, memberikan kesaksiannya mengenai Kaum paderi.

“Tetapi sekte Paderi tidak muncul sebentar saja. Sebaliknya, sekte ini laksana cahaya yang muncul dan bertahan lama, terus menerus memperlihatkan sinarnya kepada kita.”[2]

Hal yang sama kita temukan di Jawa. Pangeran Diponegoro yang ingin menegakkan Islam di tanah Jawa, mendapat dukungan dari kaum ulama seperti Kiyai Mojo. Sang Pangeran memiliki kehendak merdeka, dan melawan penjajahan dan mengembalikan kemuliaan Islam di tanah Jawa.[3]

Di Makassar, Sultan Alauddinberdiri tegak mempertahankan kesultanannya.Ketika VOC untuk meminta Makassar untuk menghentikan perdagangannya ke kepulauan Maluku, dijawab oleh Sultan dengan sangat mengesankan.

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, (dan telah) membagikan bumi di antara manusia, (begitu pun) Dia memberi lautan sebagai milik bersama. Tidak pernah kami mendengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika engkau melakukan larangan itu, berarti engkau seolah-olah mengambil roti dari mulut orang (lain).”[4]

Jawaban ini tentu saja memicu peperangan bertahun-tahun. Meskipun akhirnya Makassar menderita kekalahan, namun sejarah tetap mengenangnya sebagai peperangan umat Islam melawan orang kafir, seperti terekam dalam Syair Perang Mengkasar, yang di tulis oleh Enci’ Amin, seorang juru tulis Sultan Hasanuddin.

Lima tahun lamanya perang
Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang.

Mengkasar sedikit tidak gentar
Ia berperang dengan si Kuffar
Jikalau tidak ra’yatnya lapar
Tambahi lagi Welanda kuffar.[5]

Berbagai peperangan telah mewarnai perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Bertumpuk-tumpuk badan menjadi syahid. Bersahut-sahut takbir memanggil. Panggilan yang oleh M. Natsir disebut Panggilan Allahu Akbar. Seperti tercatat dalam Syair Perang Menteng melawan penjajah di Palembang.

Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar[6]

Semua perjuangan itu adalah kehendak untuk merdeka, bebas dari segala penindasan. Bagi para pemimpin kita,segala perjuangan diatas, menjadi inspirasi untuk meneruskan perjuangan. Pun ketika perjuangan beralih ke zaman modern, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.

Sarekat Islam adalah contoh nyata bagaimana Islam dapat menyatukan bangsa ini. Organisasi keagaman seperti Nadhlatul Ulama, diwakili para kiyai telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri tahun 1926, menjawab, ”Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”[7]

Menurut M. Natsir, ajaran Islamlah yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan:

“Pada hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap-tiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama, kapitalisme, imperialism, kolonialisme komunisme atau fascism, terserah kepada yang hendak memberikan.
Demikianlah semangan kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”
[8]

Maka tak mengherankan jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Republik Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam dapat menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia negara merdeka yang bertauhid.

Menurut Buya Hamka, tidak mungkin tauhid dilepaskan dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal pokok pandangan Islam adalah dua kalimat syahadat. Menurut beliau:

“Akibat dua kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat besar dan sangat jauh. Karena kalimat itu, tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi, melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah.”[9]

Namun sayang. Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini.Kalimat“Dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.

“Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu, dihapuskkan pulalah kata yang diatas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat sakti dalam jiwa orang yang hidup dalam Islam, yaitu kalimat, ‘Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!”,sesal Buya Hamka.[10]

Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa ini. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka bercerai dari badannya. Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka dihadapan Allah.

Hingga kini, piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan konstitusi nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok bagi kita.

“Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?”
“Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan diantara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.”[11]

Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan [12]Buya Hamka,

“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”

Sumber:
[1] Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara
[2] Amran,Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
[3] Carey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[4] Sewang, Ahmad M. 2005.Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
[5] Amin, Enci’. (2008). Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). Makassar: Ininnawa.
[6] Alfian, Ibrahim. (1992). Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.
[7] Feillard, Andree. (1999). NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.Yogyakarta : LKiS.
[8] Natsir, M. (2008). Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta.
[9] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[10] Ibid
[11] Hamka. (2002). Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[12] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.

 

sumber: IslamPos.com

Kemerdekaan yang Hakiki

Hari ini, bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke 70. Kesemarakan menyambut hari bersejarah itu sudah nampak dari jauh-jauh hari. Spanduk, lampu hias, bendera, sampai baliho-baliho besar bertuliskan ucapan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Iklan-iklan ucapan selamat hari kemerdekaan dan acara spesial kemerdekaan dimedia massa pun bertebaran menambah gegap gempita menyambut hari bersejarah itu.

Namun dibalik kesemarakan itu masih terselip pertanyaan dibenak kita; benarkah kita sudah merdeka? Pasalnya kita banyak melihat disana-sini fenomena yang menunjukkan hal sebaliknya. Dalam aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun budaya kita banyak mendapatkan kenyataan bahwa masyarakat kita masih jauh dari kemerdekaan. Begitu juga dengan perilaku individunya, banyak yang masih membebek kepada kehidupan yang tidak sesuai dengan akhlak Islam. Padahal Indonesia adalah negri Muslim terbesar di dunia. Dan The Pounding Father kita mengakui dengan jujur dalam mukaddimah undang-undang dasar 1945, bahwa kemerdekaan ini diraih atas berkat rahmat Allah swt. Artinya dalam mengisi kemerdekaan ini hendaknya kita tidak boleh melupakan Tuhan yang telah memberi kita nikmat kemerdekaan ini.

Kemerdekaan yang Menyeluruh

Suatu Negara bisa dikatakan merdeka secara hakiki apabila kemerdekaan tersebut terjadi secara menyeluruh dalam semua pilar-pilarnya. Kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam konteks Negara semata tetapi juga individu dan masyarakat yang menjadi pengisi sebuah Negara. Dalam konteks individu kemerdekaan berarti terbebasnya seseorang dari tekanan hawa nafsunya dalam melakukan segala aktifitasnya. Menurut DR. Ing. Fahmi Amhar (Arti Kemerdekaan Hakiki dalam Perspektif Islam,  2001), individu yang merdeka ialah seorang yang ketika ia bersikap dan berperilaku akan selalu di dasarkan kepada pertimbangan rasional. Dan bagi orang yang beriman pertimbangan rasionalnya adalah ketika ia menyandarkan segala perbuatannya kepada aturan Allah swt.  Imam Ali ra.  mengibaratkan hal tersebut dalam satu ungkapan; ”Seorang budak beramal karena takut hukuman, pedagang beramal karena menginginkan keuntungan, dan orang merdeka beramal karena mengharap keridhaan dari Allah swt.”

Maka jika ada seorang manusia dalam kehidupannya senantiasa dikendalikan hawa nafsu maka berarti dia belum menjadi orang merdeka yang sebenarnya. Meskipun ia bukan seorang budak dan hidup di sebuah masyarakat dan Negara merdeka. Karena ia terbelenggu oleh hawa nafsunya yang senantia memaksanya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan akal sehatnya. Kehidupannya selalu terjajah oleh hawa nafsunya sendiri sehingga mengakibatkan terjerumusnya ia kejurang kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah swt. berfirman:

79:37
79:38
79:39

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Naazi’aat:37-39).

Dalam Tafsir Fathul Qadir Imam As-Syaukani mengatakan; orang yang melampaui batas adalah yang melampaui batas dalam kekufuran dan maksiat kepada Allah. Lebih mendahulukan dunia ketimbang akhirat. Sedangkan Imam Al-Baidhawi menyatakan, maksud ayat di atas adalah; adapun orang yang melampaui batas hingga dia kufur serta memilih kehidupan dunia dan tidak mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat dan membersihkan diri dari hawa nafsu maka tempat kembalinya adalah neraka.

Sedangkan dalam konteks masyarakat, kemerdekaan adalah ketika mereka tidak lagi menjadi pengekor pola pikir, budaya dan bahkan agama para penjajah. Masyarkat yang merdeka memiliki pola pikir, budaya dan agama yang khas yang membedakan mereka dari masyarakat lain (Fahmi Amhar, 2001). Kita bisa menjadikan masyarakat Madinah sebagai contoh masyarakat yang merdeka secara hakiki. Setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, beliau mulai menata masyarakat di sana dengan kehidupan yang Islami yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Semula persatuan masyarakat dibangun di atas landasan kesukuan yang sangat rapuh dan sering memunculkan pertikaian di sana-sini, maka kemudian dirubah menjadi berlandaskan agama yang kokoh dan memunculkan ketentraman dan kedamaian. Budaya yang semula mengikuti budaya jahiliyah warisan nenek moyang yang dipenuhi takhayyul dan khurafat diganti menjadi budaya yang Islami yang rasional dan bernilai luhur.

Adakah masyarakat kita saat ini memiliki pola pikir dan budaya yang terlepas dari pola pikir dan budaya para penjajah? Jawabannya bisa kita dapatkan di sekeliling kita. Mulai dari cara berbusana, makan, bergaul, bertetangga dan lainnya masyarakat kita sangat jauh dari ciri khas masyarakat Islam. Walaupun busana yang dipakai oleh masyarkat kita hasil rancangan para desainer  dalam negri, kain yang digunakannya adalah batik buatan dalam negri tetapi modenya jelas mengikuti tren mode dunia yang dikendalikan Negara-negara penjajah. Pergaulan yang membudaya di tengah masyarakat kita tidak bebas dari tren pergaulan dunia. Mulai dari anak remajanya sampai kepada orang dewasa. Semua merasa malu jika tidak mengikuti gaya hidup kaum penjajah yang dikemas dengan rapi dan menarik. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berada di bawah kendali para penjajah. Akhlak mereka tengah dihancurkan secara sistematis.

Ternyata kita baru terlepas dari belenggu penjajahan secara fisik saja. Sementara pola kehidupan masyarakat kita tidak berbeda dengan kondisi saat dijajah. Maka tidak heran walapun negri ini sudah 63 tahun lepas dari cengkeraman penjajah tetapi tidak pernah mengalami kebangkitan yang ada malah kebangkrutan. Mengapa ini terjadi? Karena racun yang ditinggalkan oleh para penjajah terus kita minum setiap hari. Bahkan kita telah ketagihan meminum racun tersebut. Sehingga kalau habis maka kita pun merengek-rengek minta diracun lagi. Racun itu bernama pemikiran dan budaya para penjajah. Kebebasan berekspresi, pornografi dan pornoaksi, pergaulan bebas, sikap individualistik, hedonisme, dugem, dan sejenisnya adalah sederet pemikiran penjajah yang masih membudaya dan bahkan seperti telah menjadi ciri khas masyarakat kita. Padahal masyarakat kita adalah masyarakat religius, memiliki budaya yang luhur yang berlandaskan kepada agamanya yaitu Islam. Tetapi semua itu digerus oleh badai budaya asing penjajah sehingga kita tidak lagi memiliki identitas yang unik sebagai sebuah masyarakat yang berlandaskan agama.

Sedangkan Negara yang merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari Negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja Negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.  yaitu sebuah Negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Karena umat Islam yakin hanya dengan menjalankan aturan Allah saja-lah mereka akan menjadi umat yang maju yang tidak akan bisa dijajah oleh Negara mana pun. Hal tersebut telah dibuktikan oleh kaum Muslimin dimasa lalu.   Inilah kemajuan dan kebangkitan umat yang dijanjikan Allah di dalamAl-Qur’an:

24:55

…dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur:55)

Ibnu Katsir mengatakan; ayat ini adalah janji dari Allah kepada Rasulullah saw. bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai penguasa di muka bumi. Yakni umat Islam akan menjadi pemimpin atas bangsa-bangsa lain. Saat itulah seluruh negri  akan mendapatkan kesejahteraan dan semua manusia tunduk kepada mereka. Tidak ada lagi ketakutan seperti yang selama ini menerpa kaum Muslimin.

Namun semua itu akan terjadi jika kaum Muslimin benar-benar memegang teguh keimanannya dan mengamalkan agamanya secara konsekuen dalam seluruh kehidupannya. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Adam Cholil (Pengajar di HSG Khoiru Ummah Gresik)

 

 

sumber: Era Muslim

Kisah Inspiratif, Kakek Loper Koran di Depok Bisa Berangkat Haji

Seorang kakek loper koran akhirnya bisa menunaikan ibadah hajidengan uang tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kakek asal Kampung Pulo, Beji, Depok, Jawa Barat itu gigih bekerja agar bisa menyisihkan uang dari hasil jualan korannya untuk menunaikan rukun Islam ke-5.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Selasa (2/9/2014), kakek bernama Sadino ini setiap pagi selalu berkeliling kawasan Beji, Depok untuk mengirim koran kepada para pelanggannya.

Kakek 70 tahun itu selalu bersemangat mengayuh sepedanya. Apalagi setelah mengetahui impiannya menunaikan ibadah haji selama bertahun-tahun akhirnya terkabul. Ia selalu bersemangat bekerja sebagai wujud syukurnya.

Sadino bersama ribuan umat muslim di Depok akan bertolak ke Tanah Suci Mekkah. Sadino sendiri berangkat melalui Yayasan Ibnu Hasan dan PT Safaroh Ziarah Haramain.

Pria paruh baya itu mengaku tak kuasa menahan haru ketika mengetahui dirinya akan memenuhi panggilan Ilahi menuju Tanah Suci. Untuk mewujudkan cita-cita mulianya ini, sejak tahun 1985 Sadino sudah mulai menyisihkan 10% hasil jerih payahnya menjadi loper koran.

Bagi Sadino, dengan berhemat maka dirinya tak akan berutang dan tak menyusahkan orang lain. Apalagi untuk keperluan ibadah. Sadino membuktikan bahwa jika seseorang memiliki niat tulus, maka apa pun yang dijalani akan terasa mudah.

Sadino termasuk calon jemaah kloter pertama yang berangkat dari Kota Depok. Rencananya Sadino akan berangkat pada Rabu 10 September mendatang. (Ado)

 

sumber: Liputan6.com

Pertama Kalinya Muslim Israel Naik Haji Pakai Pesawat

By , 07 Sep 2014

Musim haji telah dimulai. Umat muslim dari berbagai pelosok dunia bakal berdatangan memenuhi Kota Suci. Tak terkecuali muslim asal Negeri Zionis.

Ini adalah tahun pertama muslim Israel bisa melaksanakan haji dengan menaiki pesawat terbang. Selama ini mereka hanya bisa mengujungi Mekah lewat perjalanan darat via Yordania.

Kelompok awal yang bakal diterbangkan ini terdiri dari 766 penumpang. Mereka akan diberangkatkan pada akhir September 2014 ini.

Perusahaan Milad Aviation of Ramle yang mengatur penerbangan para muslim Israel itu akan mencarter pesawat dari Royal Jordanian Airlines dan anak perusahaannya, Royal Wings. Tarif untuk pulang pergi sekitar US$ 600 atau Rp 7.055.400 (kurs Rp 11,759 untuk setiap 1 US$).

“Untuk mengatur perjalanan haji perdana menggunakan pesawat ini dibutuhkan kontak dengan pihak berwenang Yordania dan Israel berlangsung selama sekitar 3 tahun,” kata Ibrahim Milad, pemilik sekaligus CEO Milad Aviation, seperti dikutip dari laman Haaretz, Minggu (7/9/2014).

“Selama kurun waktu itu, saya mengunjungi Yordania sekitar 100 kali untuk mendapatkan persetujuan yang diperlukan,” imbuh dia.

Ke depan, perusahaan ini berencana untuk mengatur penerbangan haji ini sepanjang tahun. Menurut Milad, ada sekitar 4 ribu muslim Israel yang berangkat ke Saudi Arabia setiap tahunnya.

Pemerintah Yordania telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas penerbangan antara Tel Aviv (Israel) dan Amman (Yordania), dari 1.500 menjadi 1.700 setiap pekannya. Tapi pihak Israel menolak permintaan tersebut.

Padahal tak cuma haji, banyak warga Israel yang telah menggunakan maskapai Royal Jordanian lewat Amman untuk bepergian ke seluruh bagian dunia. Setelah pecahnya ketegangan antara Israel dan Hamas serta sekutunya di Gaza Juli 2014 lalu, Royal Yordania sempat ditangguhkan layanannya. (Yus)

 

sumber: Liputan6.com

Menabung 9 Tahun, Nenek 99 Tahun Akhirnya Bisa Pergi Haji

Pada usianya yang kini melewati 99 tahun, tak menyurutkan semangat Sukarni, warga Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Probolinggo, Jawa Timur untuk menunaikan ibadah haji.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Selasa (9/9/2014), selama hampir 9 tahun menabung, Sukarni akhirnya masuk rombongan haji pada tahun ini. Bersama 567 calon jamaah haji lainnya, nenek dengan 6 anak, 89 cucu, dan cicit ini masuk dalam Kloter-47 Embarkasi Surabaya yang rencananya akan diberangkatkan pada 20 September mendatang.

Nenek Sukarni berangkat haji didampingi anak bungsunya, Sutikno. Meski masih 2 pekan lagi tapi seluruh barang bawaan termasuk pakaian serta obat-obatan sudah dipersiapkan.

Dengan bekal pengalaman umrah pada 5 bulan lalu, nenek berusia 99 tahun ini tetap yakin bisa menjalankan seluruh rukun haji di Tanah Suci. Itu sebabnya hampir setiap hari Sukarni selalu menghafal doa-doa dan tata cara berhaji.

Selain kloter 47, 567 calon jemaah haji asal Kabupaten Probolinggo juga masuk dalam kloter 46. (Riz)

 

Sumber: Liputan6.com

24 Tahun Menabung, Kakek Tukang Sapu di Depok Berhasil Naik Haji

Setelah 24 tahun menabung, seorang tukang sapu di SD Negeri Depok Jaya II, Depok, Jawa Barat akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Awalnya kakek bernama Ugan Suganda ini bekerja sebagai penjaga sekolah sejak tahun 1982 sebelum akhirnya beralih ke tenaga kebersihan.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Selasa (9/9/2014), kemudian pada 1990, kakek yang memiliki 3 cucu ini memantapkan niatnya untuk menunaikan rukun Islam ke 5, yakni menunaikan ibadah haji.

Kakek Suganda pun mengumpulkan tabungannya dari jerih payah bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah sekolah di Depok. Setiap hari Kakek Suganda membersihkan halaman sekolah hingga ruang-ruang di gedung SD Negeri Depok Jaya II tersebut.

Setiap honor yang ia terima selalu disisihkan untuk biaya naik haji. Meski honornya relatif kecil, namun besarnya niat untuk memenuhi panggilan Ilahi itu telah memotovasi Kakek Suganda untuk gemar menabung sambil terus memantapkan niat.

Kini uang yang dikumpulkan dari hasil jerih payah selama hampir seperempat abad berhasil membayar cita-citanya. Kakek Suganda menjadi salah satu dari ribuan calon jemaah haji di Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci tahun ini. (Yus)

 

sumber: Liputan6.com

Sisihkan Rp 5 Ribu per Hari, Tukang Tambal Ban di Solo Naik Haji

Kesempatan beribadah haji tidak hanya untuk orang kaya. Suparto seorang tukang tambal ban di Solo, Jawa Tengah mampu berangkat ke Tanah Suci untuk beribadah haji setelah menyisihkan uangnya dari hasil menambal ban sebesar Rp 5 ribu setiap hari.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Rabu (10/9/2014), uang yang sudah ditabungnya sejak 2006 itu kini sudah bisa dipetik hasilnya. Warga Kadipiro, Banjarsari, Solo ini telah terdaftar sebagai calon jamaah haji kloter 55 dan akan berangkat pada 21 September mendatang.

Meskipun impiannya untuk bisa berangkat haji sudah diraih, pria berusia 65 tahun ini tetap giat bekerja sebagai tukang tambal ban. Tanpa merasa lelah, Suparto mulai menjalankan aktivitas di bengkelnya sejak usai ibadah salat Subuh hingga malam hari.

Bukan tanpa alasan bagi Suparto untuk tetap bekerja keras. Ia masih harus mengumpulkan rupiah untuk bekal keluarganya terutama saat mereka ditinggalkannya pergi ke Tanah Suci.

Siapa sangka pekerjaan yang digeluti Suparto sejak 1997 itu bisa mewujudkan impiannya menunaikan ibadah haji. Tentu tak mudah. Untuk mendaftar haji saja ia harus menyetorkan uang puluhan juta rupiah. Namun besarnya biaya tak membuatnya patah arang dan justru menjadi pemicu untuk semakin giat bekerja.

Bagi Suparto, pekerjaan sebagai tukang tambal ban semakin membuatnya bangga. Ia bangga karena bisa berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji menggunakan uang dari hasil keringatnya sendiri.

 

sumber: Liputan6.com

Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jum’at

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Ketika menghadiri shalat Jum’at di masjid, tentu terdapat adab yang mesti diperhatikan. Di antara adab tersebut adalah diam ketika imam berkhutbah.

Berbagai Hadits yang Menunjukkan Larangan

Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ

Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum’at, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jum’at baginya (artinya: ibadah Jum’atnya tidak sempurna, pen).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani)

Dari Salman Al Farisi, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى

Apabila seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jum’at yang satu dan Jum’at lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Kalam Ulama

An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak mendapatkan keutamaan ibadah jum’at. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ibadah jum’atnya menjadi shalat Zhuhur biasa (Lihat Fathul Bari, 2: 414).

Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan wajibnya diam kala khutbah Jum’at.” (Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

Yang dimaksudkan “tidak ada jum’at baginya” adalah tidak ada pahala sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Karena para fuqoha bersepakat bahwa shalat Jum’at orang yang berbicara itu sah, dan tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Lihat penjelasan Ibnu Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

“Ngobrol” Ketika Imam Berkhutbah, Haram ataukah Makruh?

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam berkhutbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam, padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.

Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khutbah. …

Dalam hadits disebutkan, “Ketika imam berkhutbah”. Ini menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika imam berkhutbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)

Memperingatkan Orang Lain Saat Khutbah Cukup dengan Isyarat

Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”

Pernyataan di atas didukung dengan hadits Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796).  Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhutbah hanya dengan isyarat.

Menjawab Salam Orang Lain Saat Khutbah

Termasuk dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam berkhutbah. Balasannya cukup dengan isyarat (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Menjawab salam saat khutbah tidaklah diperintahkan. Bahkan kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan salam pada yang lain hingga selesai khutbah. Jika ada yang memberi salam padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan isyarat. … Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat itu imam sedang berkhutbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat,bisa dengan tangan atau kepalanya. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)

Menjawab Salam Khotib

Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).

Dalam kitab Al Inshof (4: 56, Asy Syamilah), salah satu kitab fikih madzhab Hambali disebutkan,

رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ

“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jama’ah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jama’ah kaum muslimin.”

Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jaher, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,

أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض

“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy Syamilah)

Menjawab Kumandang Adzan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).

Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah  memberi salam kepada jama’ah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”

Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal do’a dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’rof: 205)

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari ‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).

Dalam Asnal Matholib salah satu fikih Syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” Ulama Syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.

Ulama Hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suarasirr (lirih) sebagaimana do’a.

Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhutbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut, yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)

Menjawab Orang yang Bersin

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab salam dan menjawab bersin saat khutbah Jum’at? Apa juga hukum menyodorkan tangan pada orang yang ingin bersalaman ketika imam berkhutbah?”

Jawaban beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam berkhutbah tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk berbicara yang terlarang dan hukumnya haram. Karena seorang muslim (yaitu jama’ah) tidaklah diperintahkan untuk mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak diperintahkan, maka demikian pula dengan balasannya.

Orang yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala imam berkhutbah. Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan ‘yarhamukallah’.

Sedangkan menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman, sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika dikhawatirkan terdapat mafsadat, maka ketika itu tidaklah mengapa menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak boleh ditambah dengan obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa pembicaraan saat khutbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16: 94, Asy Syamilah)

Berbicara dengan Khotib

Berbicara dengan khotib saat khutbah diperbolehkan jika ada hajat, baik ketika khotib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,

أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ

Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammeminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a agar hujan dihentikan.

Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».

Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589).

Demikian bahasan rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan saat imam berkhutbah Jum’at. Intinya, asal obrolan saat khutbah adalah haram kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga bermanfaat.

Wallahu waliyyut taufiq.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 6 Muharram 1433 H

www.rumaysho.com