Di zaman Rasulullah tidak ada imsak, ini arti imsak sebenarnya

Imsak berasal dari bahasa Arab yaitu amsaka-yumsiku-imsak yang artinya menahan. Menahan ini maksudnya menahan diri dari sahur hingga masuk waktu sahur.

“Di zaman Rasulullah istilah imsak tidak dikenal. Habib Hasan bin Ahmad bin Salim al-Kaf menyatakan imsak (menahan) dari makanan dan minum dalam sahur itu hukumnya sunah sebelum fajar, kira-kira sepadan dengan waktunya yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat, yaitu sekitar lima belas menit,” kata Mohammad Rois melalui pesan elektronik, Kamis (9/7).

Meskipun belum ada istilah imsak di zaman Rasulullah, namun Rasulullah telah melakukan tradisi ini. Hal tersebut dijabarkan Anas ra,

“Kami telah makan sahur bersama junjungan Nabi SAW. Kemudian baginda bangun mengerjakan salat. Anas bertanya kepada Zaid berapa lama antara azan subuh dan makan zahur, Zaid menjawab sepadan dengan membaca 50 ayat,”

Saat itu Rasulullah tidak makan sahur lagi sampai azan subuh berkumandang.

“Apabila diperdengarkan imsak diharapkan kita telah berhenti bersantap sahur dan menunggu masuk subuh dengan membaca Alquran sesuai tuntunan Rasulullah,”kata Ustaz Rois lagi.

 

sumber: Merdeka.com

Muslim Uighur: Ramadhan Bagian Terbesar dalam Hidup Saya

Senja telah tiba. Mursabek Galek kembali ke rumah setelah seharian bekerja di lokasi proyek konstruksi. Buah, roti naan, dan susu kuda dingin telah disediakan di atas meja.

Galek tinggal di Akqi, Xinjiang, sebuah kabupaten yang dihuni oleh orang-orang dari etnis Kyrgyz. Seperti kebanyakan kelompok etnis minoritas lainnya di wilayah otonomi Xinjiang Uyghur, orang-orang Kyrgyz melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.

Galek menunggu sampai semua anggota keluarganya –ibu, istri, dan anak-anak- duduk di depan meja makan. Begitu azan maghrib berkumandang, mereka pun berdoa, meneguk segelas air, dan menyantap naan. Satu hari telah berakhir.

Dilansir dari People’s Daily, Senin (6/7), Ramadhan di Xinjiang berlangsung sejak 18 Juni hingga 18 Juli mendatang. Di tengah tekanan pemerintah pusat China terhadap minoritas Muslim, sebagian besar etnis minoritas Xinjiang menunaikan ibadah puasa, termasuk Hui, Uighur, Kazak, Uzbec, Tajik, dan Kyrgyz.

Masih di wilayah Xinjiang, tepatnya di pusat kota Kashgar, seorang laki-laki Muslim menjual sayuran di bak belakang kendaraan roda tiga. Setiap pagi, pria bernama Yakhip Ghupur itu bangun jam 6 pagi. Ia kemudian menempuh jarak 10 kilometer untuk membeli sayuran dari pasar grosir.

Suhu bisa mencapai 35 derajat Celcius pada siang hari di Kashgar. Ghupur mengaku, bekerja keras untuk waktu yang lama di tengah panas tanpa makanan menjadi tantangan berat baginya.

Ma Youfu, Imam dari masjid Hui di Yining City mengatakan, “Yang terpenting adalah sisi spiritual Ramadhan. Kami harus menjauhkan diri dari perbuatan buruk, kata-kata vulgar, dan melakukan amalan shalih.”

Pengalaman serupa juga dituturkan Aynurem dari etnis Uzbek. Pria itu menjalankan usaha toko kerajinan Turki di sebuah pasar di ibukota Urumqi. Pasar mengalami lonjakan jumlah pengunjung dan wisatawan Xinjiang selama sesi musim panas. Aynurem mengaku membutuhkan ketekunan untuk tetap berpuasa di tengah kesibukan bisnis.

“Setelah sahur jam 5 pagi, saya menghabiskan waktu untuk mengurusi pembeli dan menjual barang sepanjang hari. Itu benar-benar melelahkan. Tapi sebagai seorang Muslim, Ramadhan adalah bagian terbesar dalam hidup saya,” tegasnya.

Saat petang mulai membayang, sejumlah toko di Urumqi menyiapkan satu set meja bundar di pinggir jalan. Meja-meja itu menyiapkan makanan gratis bagi umat Islam yang tidak bisa melewatkan buka puasa di rumah.

 

sumber:Republika Online

Ramadan tidak menjamin aksi kejahatan menghilang 100 persen

Bulan Ramadan yang seharusnya digunakan semaksimal mungkin untuk beribadah, nyatanya dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk melakukan kejahatan. Dengan berbagai alasan, mereka membenarkan perbuatan melawan hukum tersebut.

Salah satunya seperti yang dilakukan Fekki, pria berusia 21 tahun ini nekat membobol rumah tetangganya sendiri karena berdalih sebagai biaya mudik. Sebagai pekerja serabutan, dia tak memiliki tabungan sedikit pun, sementara saudaranya tempat dia tinggal, tidak memberi uang karena juga kekurangan.

Satu unit televisi, tabus gas elpiji 12 Kg, puluhan lembar pakaian, dan koper berhasil digondol dari rumah tetangga yang beralamat di Jalan Pegayut VII, RT 66, RW 06, Kelurahan Sialang, Kecamatan Sako, Palembang. Rencananya seluruh barang yang diambilnya itu akan dijual di pasar sebagai modal pulang kampung.

Sementara itu, kejadian malang dialami Chandra Pradana (27) saat dirinya tengah salat Dzuhur di masjid. Seluruh benda berharganya yang dimasukkan di dalam tas raib digondol maling yang berpura-pura sebagai jemaat.

Warga Jalan Bougenvil, Kelurahan Karya Baru, Kecamatan Alang-alang Lebar, Palembang itu mengaku, akibat pencurian tersebut dirinya mengalami kerugian sekitar Rp 20 juta.

Berdalih ingin membeli baju baru buat lebaran, empat pelajar SMP di Palembang nekat mencuri seekor bebek milik warga sebelah kampungnya. Sial, aksi itu dipergoki pemilik sehingga dua pelaku berhasil ditangkap dan dua rekannya melarikan diri.

Peristiwa itu terjadi di rumah korban, Abdul Mutollib (53) di Jalan Pipa, Lorong Kia Malik, RT 36, RW 8, Kelurahan Kalidoni, Kecamatan Kalidoni Palembang, Minggu (5/7), sekitar pukul 16.00 WIB.

Ke empat pelaku, KA (13), NS (14) serta dua DPO (Jy dan BK), sedang mengendarai dua sepeda motor usai menonton balapan. Tiba di TKP, pelaku melihat belasan bebek di depan rumah korban. Atas inisiatif salah satu pelaku, mereka pun memutuskan untuk mencuri bebek tersebut. Belum jauh menancap gas, dua pelaku ditangkap korbannya. Mereka akhirnya diserahkan ke polisi.

Salah satu pelaku, KA mengaku hanya diajak teman-temannya. Rencananya, bebek itu akan dijual dan uangnya dipakai untuk membeli baju baru buat lebaran nanti.

“Kata teman-teman buat beli baju lebaran, saya cuma ngikut saja,” ungkap KA saat ditemui di Mapolsek Kalidoni Palembang, Senin (6/7).

sumber: Merdeka.com

Sembilan Amalan Menggoda 10 hari terakhir Ramadhan

SEPULUH hari terakhir di bulan Ramadhan adalah masa-masa emas untuk mendulang pahala dan ampunan Allah Ta’ala. Dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan-lah ada perintah untuk lebih bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan pula ada perintah mencari lailatul qadar.

Berikut ini beberapa amalan yang semestinya kita kerjakan dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, untuk menggapai ampunan Allah Ta’ala dan meraih lailatul qadar.

Pertama, menjaga shalat lima waktu secara berjama’ah di masjid

«مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ، فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ»

“Barangsiapa berwudhu dengan sempurna untuk melaksanakan shalat, kemudian ia berjalan kaki menuju shalat wajib, sehingga ia melaksanakan shalat wajib tersebut bersama masyarakat, atau berjama’ah, atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Muslim no. 232)

Kedua, melaksanakan shaum Ramadhan

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

Ketiga, melaksanakan shalat tarawih dan witir

«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Barangsiapa melakukan shalat malam Ramadhan (tarawih dan witir) karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Keempat, diutamakan melaksanakan shalat tarawih dan witir secara berjama’ah di masjid sampai selesai bersama dengan imam.

Jika kita memiliki “kebiasaan buruk” shalat tarawih di masjid hanya beberapa raka’at saja bersama imam, lalu berhenti dan tidak mengikuti shalat imam, hanya karena kita sibuk ngobrol, sibuk main HP, atau bahkan berniat akan shalat witir sendiri nanti malam di rumah; maka sebaiknya kita merubah hal itu. Sangat dianjurkan untuk shalat tarawih dan witir bersama dengan imam di masjid, sehingga selesai dan salam bersama imam, berdasar hadits shahih:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»

“Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Jika seseorang melakukan shalat [tarawih dan witir] bersama imam sampai selesai, niscaya dicatat baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Daud no. 1375, Tirmidzi no. 806, An-Nasai no. 1364)

Kelima,  bersungguh-sungguh dalam mengisi waktu malam dan siang dengan memperbanyak ibadah.

Terlebih pada waktu malam, diutamakan untuk memperbanyak shalat sunah, membaca al-Qur’an, doa, dzikir, istighfar, dan amal kebajikan lainnya. Diutamakan pula tidak melakukan hubungan suami-istri dan lebih mengutamakan ibadah mahdhah kepada Allah Ta’ala. Hendaknya seorang kepala rumah tangga mengajak serta istri dan anak-anaknya untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Ta’ala.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ»

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam jika telah datang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah beliau menghidupkan waktu malam [dengan ibadah], membangunkan keluarga [istri-istrinya], bersungguh-sungguh dalam beribadah dan mengencangkan sarungnya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

Keenam, memperbanyak sedekah dan infak

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ»

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang paling dermawan dan saat beliau paling dermawana adalah di bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemui beliau. Malaikat Jibril senantiasa menemui beliau pada setiap malam dalam bulan Ramadhan untuk saling mempelajari al-Qur’an. Pada saat itu Rasulullah lebih dermawan dalam melakukan amal kebajikan melebihi (cepat dan luasnya) hembusan angin.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308)

Ketujuh, I’tikaf

Disunahkan melakukan i’tikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan bagi orang yang memiliki kemampuan dan tidak memiliki halangan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ»

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian para istri beliau melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)

Kedelamanribath dan jihad di jalan Allah Ta’ala

Bulan Ramadhan adalah bulan ribath dan jihad. Banyak peperangan besar dalam sejarah Islam terjadi di bulan suci Ramadhan. Berjaga-jaga di medan perang dan berperang untuk menegakkan syariat Allah dan membela keselamatan nyawa kaum muslimin di bumi jihad Palestina, Suriah, Iraq, Afghanistan, Somalia, Mali, Chechnya dan Rohingnya pada bulan suci Ramadhan merupakan amalan yang sangat dianjurkan.

Hadits shahih telah menjelaskan keutamaan sehari berperang di jalan Allah dalam kondisi berpuasa:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا»

“Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah [yaitu dalam kondisi berjihad] niscaya Allah akan menjauhkan wajahnya [yaitu dirinya] dari neraka sejauh 70 musim gugur [yaitu 70 tahun].” (HR. Bukhari 2840 dan Muslim no. 1153)

Hadits di atas disebutkan oleh imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukharinya, pada kitab Jihad was Siyar, bab fadhlu shaum fi sabilillah. Para ulama hadits lainnya juga menempatkan hadits ini dalam pembahasan jihad fi sabilillah. Artinya, makna fi sabilillah dalam hadits tersebut adalah berperang semata-mata untuk menegakkan syariat Allah dan membela kaum muslimin yang tertindas. Wallahu a’lam bish-shawab.

Hal yang menguatkan hal itu adalah hadits tersebut diriwayatkan dari jalur sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafal:

مَا مِنْ مُرَابِطٍ يُرَابِطُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلاّّ بَاعَدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

“Tidak ada seorang murabith pun yang berjaga-jaga di jalan Allah lalu ia berpuasa sehari di jalan Allah kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya [yaitu dirinya] dari neraka sejauh 70 musim gugur [yaitu 70 tahun].” (HR. Abu Thahir adz-Dzuhli dalam Al-Fawaid. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 6/48)

Imam An-Nawawi berkata: “Hadits ini dibawa pada pengertian apabila puasa tidak membahayakan dirinya, tidak membuatnya meninggalkan suatu kewajiban, tidak membuat peperangannya melemah dan tidak melemahkannya dari tugas-tugas lainnya dalam peperangannya.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/33)

Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata: “Sabda beliau di jalan Allah, menurut ‘urf (kebiasaan) mayoritas penggunaan istilah ini adalah untuk perkara jihad.” (Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ihkam al-Ahkam Syarh Umdat al-Ahkam, 2/37)

Imam Ibnul Jauzi al-Hambali berkata: “Jika disebutkan lafal jihad begitu saja [tanpa ada kata lain yang mengiringinya] maka maknanya adalah jihad.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, 6/48)

Hadits-hadits shahih juga telah menjelaskan keutamaan ribath di jalan Allah.

عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ أَفْضَلُ، وَرُبَّمَا قَالَ: خَيْرٌ، مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَمَنْ مَاتَ فِيهِ وُقِيَ فِتْنَةَ القَبْرِ، وَنُمِّيَ لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ

“Dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Berjaga-jaga [di medan perang] selama sehari-semalam itu lebih utama daripada puasa selama satu bulan penuh dan shalat malam selama sebulan penuh, dan jika ia mati saat menjalankan tugas jaga tersebut niscaya ia akan aman dari [siksaan] dua malaikat kubur  dan amal yang biasa ia kerjakan akan terus mengalir pahalanya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1913 dan Tirmidzi no. 1665, dengan lafal Tirmidzi)

عَنْ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ يَوْمٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَنَازِلِ»

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Berjaga-jaga satu hari di [medan perang] di jalan Allah itu lebih baik dari 1000 hari di tempat selainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1667, An-Nasai no. 3169, hadits hasan)

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَأَنْ أُرَابِطَ لَيْلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَقُومَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ

“Berjaga-jaga di medan perang di jalan Allah selama semalam adalah lebih aku sukai daripada saya melakukan shalat tarawih dan witir pada malam lailatul qadar di sisi Hajar Aswad.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 28/6)

Kesembilan,  umrah di bulan Ramadhan

Keutamaan umrah di bulan suci Ramadhan dijelaskan dalam hadits shahih:

«فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً»

“Jika datang bulan Ramadhan, maka lakukanlah olehmu umrah, sebab umrah pada bulan tersebut setara [pahalanya] dengan [pahala] haji.” (HR. Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256)

«فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي»

“Sesungguhnya [pahala] umrah di bulan suci Ramadhan itu setara dengan pahala haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari no. 1863 dan Muslim no. 1256)

Hukum umrah menurut kesepakatan ulama adalah sunnah. Ketika dalam satu waktu yang sama seorang muslim dihadapkan kepada dua pilihan, melaksanakan amalan wajib dan amalan sunnah, maka amalan wajib harus didahulukan atas amalan sunnah. Terlebih jika meninggalkan amalan wajib tersebut mengakibatkan bencana besar terhadap agama, nyawa, harta, kehormatan dan akal kaum muslimin.

Umrah di bulan Ramadhan, betatapun besar pahalanya, adalah amalan sunnah. Pada saat yang sama umat Islam memiliki amalan lain yang sifatnya wajib, yaitu membantu jutaan kaum muslimin di Suriah dan Rohingnya yang terancam keselamatan nyawa dan akidahnya. Jutaan muslim Suriah dikepung dan dibombardir oleh pasukan rezim Nushairiyah yang Syiah. Kaum muslimin Suriah kekurangan makanan, obat-obatan, senjata dan amunisi. Mereka berada di antara dua bahaya; mati karena kelaparan atau mati karena dibantai oleh pasukan Nushairiyah.

Banyak dalil dari Al-Qur’an dan as-sunnah yang memerintahkan kita untuk membantu dan menyelamatkan saudara-saudara kita yang tertindas, kelaparan dan terancam keselamatan nyawa dan akidah mereka. Allah Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam amal kebajikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)

“Tahukah engkau orang yang mendustakan hari pembalasan (hari kiamat)? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un [107]: 1-3)

Hadits-hadits shahih memerintahkan kita untuk memperhatikan kesengsaraan sesama kaum muslimin.

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فُكُّوا العَانِيَ، يَعْنِي: الأَسِيرَ، وَأَطْعِمُوا الجَائِعَ، وَعُودُوا المَرِيضَ “

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Bebaskanlah muslim yang tertawan musuh, berilah makanan orang yang lapar dan tengoklah orang yang sakit!” (HR. Bukhari no. 3046).

Inilah di antara amal-amal shalih yang seharusnya menjadi konsentrasi kita pada sepuluh hari terakhir dari bulan suci Ramadhan. Semoga Allah mengaruniakan ampunan, lailatul qadar dan ridha-Nya kepada kita. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com

Mengapa Kita Biarkan Masjid Sepi

Oleh: Muhammad Shobri Azhari

Bulan Ramadhan merupakan momen paling tepat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Mengaji Alquran, zikir, menghadiri majelis taklim, dan shalat berjamaah. Apalagi, jika amaliah tersebut dilakukan di masjid, tentu lebih afdhal lagi.

Pada bulan yang suci ini, hampir semua agenda keagamaan dipusatkan di masjid. Tadarus Alquran, berbuka bersama, santunan anak yatim, dan berjamaah shalat. Ibadah yang disebut terakhir semakin ramai, berbeda dengan bulan-bulan lainnya.

Shalat berjamaah, ibaratnya adalah show of force atau unjuk kekuatan kaum Muslimin. Ibadah jamaah, baik itu di masjid atau mushala adalah syiar agama. Dalam Alquran disebutkan, bagi yang mengagungkan syiar-syiar Allah merupakan ciri orang bertakwa.

Mereka yang memakmurkan masjid disebut oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya, “Jika kalian melihat seorang yang membiasakan diri mendatangi masjid, maka saksikanlah baginya keimanan. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.’’ (HR at-Tirmizi).

Nabi banyak memberi motivasi kepada kaum Musimin secara umum untuk mendatangi masjid dan memakmurkannya. Beliau menyebut mereka dengan predikat yang baik dan memuliakan mereka. Seperti disebutkan dalam hadis, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid adalah kerabat Allah.” (HR Bazzar).

Bahkan, Nabi secara khusus mendidik para sahabat untuk mencintai masjid. Dengan dijadikannya masjid sebagai pusat peribadatan, pendidikan, dan pemerintahan sekaligus, membuat intensitas kehadiran para sahabat semakin meningkat.

Dengan didikan tersebut, otomatis hati mereka menjadi semakin dekat dengan masjid. Sekarang kita perlu berkaca, mengapa kita terkadang membiarkan masjid sepi. Padahal, di antara kita ada yang duduk sebagai pengurus utama masjid atau rumahnya dekat dengan masjid.

Di sini, kita banyak memiliki masjid yang seharusnya juga setiap saat kita makmurkan masjid tersebut. Bandingkan dengan perjuangan saudara-saudara kita seiman di daerah minoritas, di Eropa, Amerika, bahkan di Asia sendiri.

Betapa sulitnya mereka memiliki masjid. Pemerintah setempat cenderung menerapkan aturan yang ketat. Terkadang mereka harus mengakali hal itu dengan menjadikan rumah mereka sebagai masjid atau menyewa gedung untuk sekadar shalat Jumat.

Di Palestina, saudara-saudari kita tidak diizinkan shalat di Masjid al-Aqsa kecuali bila berusia di atas 50 tahun. Mereka berani bentrok dengan polisi Israel agar bisa shalat di al-Aqsha. Luka akibat tembakan dan cedera karena dipukul senjata tak menyurutkan mereka.

 

sumber: Republika Online

Menjadi murid brilian, Sunan Giri digelari Ainul Yaqin

Setelah dibuang ke laut oleh kakeknya yang tak lain Raja Blambangan, (sekarang Banyuwangi, Jawa Timur), Prabu Menak Sembuyu, bayi Raden Paku atau Sunan Giri diselamatkan oleh saudagar kaya di Selat Bali. Raden Paku kemudian diasuh oleh si pemilik kapal, Nyai Ageng Pinatih di Gresik dan diberi nama Joko Samudra.

Hari-hari Joko Samudra dipenuhi kasih sayang dari ibu angkatnya itu. Menginjak masa remaja, ibu asuhnya menitipkan Joko Samudra ke Ampel Denta, di Surabaya untuk menimba ilmu agama kepada Sunan Ampel.

Di Ampel Denta Joko Samudra mampu menyerap ilmu dari Sunan Ampel dengan cepat. Bahkan karena kagum dengan kecerdasan dan kewibawaan Joko Samudra yang melebihi santri-santri lain, Sunan Ampel menggelarinya Ainul Yaqin.

“Raden Paku menerima ilmu agamanya di Ampel Denta dengan baik. Bahkan karena kecerdasannya, dia sangat disayangi oleh Sunan Ampel dan digelari Raden Ainul Yaqin,” terang Wakil Ketua Yayasan Makam Sunan Giri, Sobirin kepada merdeka.com, Gresik, Jawa Timur, Jumat (7/10).

Melihat kecerdasan dan sorot mata yang penuh wibawa dari Raden Paku, lanjut Sobirin, Sunan Ampel teringat pesan Syekh Maulana Ishak, yang pernah menemuinya.

“Kemudian Sunan Ampel teringat pesan Syekh Maulana Ishak, yang berpesan, jika kelak bertemu anaknya, Sunan Ampel diminta untuk memberinya nama Raden Paku. Setelah teringat pesan itu, Sunan Ampel menemui Nyai Ageng Pinatih, menanyakan asal-usul Joko Samudra, dan diketahuilah asal-usulnya,” sambung Sobirin.

Setelah dianggap sudah cukup menimba ilmu agama di Ampel Denta, Sunan Ampel menyuruh Raden Paku pergi ke Tanah Suci untuk berhaji bersama anaknya, Maulana Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

“Sepulang dari Tanah Suci, Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim tidak langsung pulang ke Jawa, melainkan singgah ke Samudra Pasai, sesuai pesan Sunan Ampel untuk menemui Syekh Maulana Ishak. Di sanalah Raden Paku mengetahui asal-usulnya,” cerita Sobirin.

Saat kembali ke Tanah Jawa, oleh ayahnya, Raden Paku dibekali segenggam tanah. Syekh Maulana Ishak mewasiatkan kepada anaknya itu, untuk mencari tempat yang tanahnya sama persis dan sama bau dengan tanah yang dibawanya.

Dan di tempat itulah Raden Paku diperintahkan sang ayah, mendirikan pesantren. “Setelah melakukan pencarian, akhirnya Raden Paku menemukan tempat yang sesuai dengan pesan ayahnya, yaitu di Puncak Giri, Desa Sidomukti, Kecamatan Kebomas,” sambungnya.

Di Giri, Raden Paku alias Joko Samudra alias Ainul Yaqin mendapat gelar Sunan Giri. Di Giri ini dia mendirikan Giri Kedatang serta bergelar Prabo Satmoto. Dia juga diangkat menjadi wali mufti di jajaran Dewan Wali (Wali Songo), menggantikan Sunan Ampel yang wafat pada Tahun 1478.

Giri Kedaton di bawah pemerintahan Prabu Satmoto, tidak hanya menjadi pusat pendidikan Agama Islam di Tanah Jawa, tapi juga menjadi pemerintahan sekaligus penasehat Kerajaan Demak Bintoro.

 

sumber: Merdeka.com

Dari Linkin Park ke Alquran, bule ini memeluk Islam

Hidayah Islam dapat masuk ke sanubari siapapun melalui jalan yang berbeda-beda. Seperti yang dialami Gary Williams. Bermula dari perbincangan musik rock Linkin Park dengan wanita muslim Indonesia, WNA asal Inggris ini mulai mengenal Islam dan Alquran.

“Dulu saya agnostik, keluarga saya begitu semua. Jadi kami ke gereja cuma kalau ada nikahan saja setelah berbicara dengan Ilona saya jadi begini,” kata Gary di kediamannya di bilangan Bintaro, Minggu (22/6).

Ilona yang kini telah menjadi istrinya, sukses membuat Gary penasaran tentang Islam. Bagi Gary, Islam adalah ajaran menarik dan masuk akal.

“Islam itu memuat semuanya mulai dari alam, tubuh, luar angkasa, dan masuk akal. Satu tahun kemudian saya mulai berhenti alkohol, satu tahun selanjutnya saya mulai belajar tidak makan babi,” jelas anggota dari mualaf center ini.

Gary tidak serta merta percaya pada ajaran Nabi Muhammad SAW, dia juga mulai berpikir dan belajar lagi tentang konsep tuhan yang selama ini dia pelajari.

“Saya sangat takjub dengan Alquran dan saya percaya tidak mungkin dibuat manusia dan akurat banget. Saya merasa aneh jika Yesus dibilang tuhan karena disalib dan itu tidak masuk akal. Saya sudah meneliti kalau di Islam itu Yesus adalah manusia bukan tuhan,”ucap ayah beranak satu ini panjang lebar.

Pengetahuan tentang Islam makin mantap saat dia bertemu kembali dengan mantan tetangganya Abdullah Hood. Hood yang memeluk Islam lebih dulu dari Gary sebenarnya sudah pindah ke Arab Saudi.

Namun Hood rela kembali ke Inggris untuk khusus membimbing Gary. Hood lah membawa Gary ke Islamic Center dan belajar salat.

“Dari situ saya banyak berbicara dengan banyak orang muslim. Dia sangat membantu akhirnya setelah belajar 18 bulan, saya rasa bagus Islam itu tidak seperti agama saya baca selama ini di sekolah dulu,”.

Setelah pencarian yang panjang, Gary akhirnya memeluk Islam pada awal 2011. Gary pun segera mereguk manisnya iman, Hood menawarinya berumroh gratis.

sumber: Merdeka.com

Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, Wanita Pemberani yang Gandrung Berjihad

AR-RUBAYYI’ binti Mu’awwidz bin Afra Al-Anshariyah ini adalah salah seorang shabiyah (shahabat wanita) dan perawi hadits Rasulullah SAW. Dia berasal dari keluarga yang baik dan terhormat, serta terkenal dengan berbagai kemuliaan sejak hari pertama mengenal Islam. Ayahnya adalah salah seorang yang menyaksikan Baiat Aqabah, Perang Badar, dan bergabung dengan pamannya dalam upaya pembunuhan Abu Jahal.  Keduanya beruntung mendapatkan doa yang indah dari Rasulullah. Sebagaimana beliau telah mendoakan keduanya, “Semoga Allah memberi rahmat kepada kedua anak Afra yang keduanya bergabung untuk membunuh Firaun umat ini (Abu Jahal).”

Kedudukan dan Kehormatannya

Ar-Rubayyi’ masuk Islam di Madinah ketika Rasulullah tiba di sana sebagai seorang muhajir (orang yang berhijrah). Saat itu dia masih berusia sangat muda. Ar-Rubayyi’ merupakan salah seorang shahabiyah yang mendapat perhatian dari Nabi Muhammad, dan cukup dekat dengan beliau. Kedekatan tersebut menorehkan kedudukan dan kehormatan mulia Ar-Rubayyi’ di sisi beliau. Diceritakan bahwa Rasulullah mengunjungi Ar-Rubayyi’ pada pagi hari setelah malam pengantinnya, sebagai wujud silaturrahim kepadanya. Hal itu terjadi setelah Perang Badar. Dan dalam kunjungan itu, beliau juga menyempatkan diri untuk memberikan petunjuk kepada para wanita, demi kebaikan dunia dan akhirat.

Bahkan tidak sedikit teks sejarah yang menyebutkan kemuliaan dan kehormatan kedudukan Ar-Rubayyi’ di sisi Rasulullah. Musa bin Harun Al-Hammal mengatakan, “Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz telah mendampingi Nabi SAW, dan dia memiliki kehormatan yang tinggi.” Kemudian Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Rasulullah mendatangi Ar-Rubayyi’ di hari pernikahannya, lalu duduk di atas kasurnya, ini menunjukkan kesempurnaan kebahagiannya.”

Begitu dekatnya Ar-Rubayyi’ dengan Rasulullah, bahkan beliau biasa makan di rumahnya, menerima hadiahnya, dan menghormatinya. Dalam hal ini, Ar-Rubayyi’ memiliki cerita yang sungguh indah. Diriwayatkan mengenai Ar-Rubayyi’ bahwa suatu ketika dia mendatangi Rasulullah dengan membawa sepiring kurma dan sepinggan anggur. Seketika beliau menggantinya dengan emas atau perhiasan, seraya bersabda kepada Ar-Rubayyi’, “Berhiaslah dengan ini!”

…Ar-Rubayyi’ menjadi shahabiyah satu-satunya yang meriwayatkan secara detil tentang wudhu Rasulullah…

Begitulah Rasulullah menunjukkan kedermawanan yang berpadu dengan kelembutan dan kemurahan kepada Ar-Rubayyi’. Dalam lembaran-lembaran tentang kehidupannya, kita akan mendapatkan riwayat tentang kunjungan Rasulullah lainnya. Tak hanya sekedar berkunjung, kedekatan Ar-Rubayyi’ dengan beliau terlihat dari fragmen ketika Rasulullah berwudhu di rumahnya dan bersabda kepadanya, “Tuangkan air wudhu untukku!” Sehingga Ar-Rubayyi’ menjadi shahabiyah satu-satunya yang meriwayatkan secara detil tentang wudhu Rasulullah. Ibnu Majah mentakhrij hadits darinya bahwa Rasulullah berwudhu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali.

Demikianlah, terkait kedekatan Rasulullah dengan Ar-Rubayyi, tidak ada cinta yang lebih mulia daripada cinta beliau kepada para syahid dan anak-anak mereka. Rasulullah senantiasa menunjukkan kelemahlembutan kepada mereka. Beliau juga menjanjikan kepada mereka untuk selalu menziarahi mereka dan memberikan kepada mereka arahan dari waktu ke waktu.

Saking intensnya berinteraksi dengan Rasulullah, tak heran jika Ar-Rubayyi’ terampil menyebutkan sifat-sifat Rasulullah dengan cara dan diksi yang indah. Diriwayatkan Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir, “Kukatakan kepada Ar-Rubayyi’ binti Mua’wwidz bin Afra, ‘Sebutkan ciri-ciri Rasulullah untukku!’ Ar-Rubayyi’ menjawab, ‘Wahai anakku, engkau melihatnya laksana matahari terbit’.”

Sang Pemberani

Dalam berbagai literatur sejarah, diceritakan bahwa Ar-Rubayyi’ adalah seorang wanita mulia yang memiliki keberanian mumpuni. Sebuah keberanian yang diletakkannya dalam konteks perlawanan terhadap kebatilan dan kemusyrikan. Sepertinya, sifat pemberaninya itu diturunkan dari ayahnya, sang pemberani yang bergabung dalam operasi pembunuhan Abu Jahal. Ar-Rubayyi’ memliki kebanggaan yang besar kepada ayahnya.

Keberanian Ar-Rubayyi’ ditunjukkannya ketika dia menantang ibu Abu Jahal. Diriwayatkan bahwa Ar-Rubayyi’ mengambil minyak wangi dari Asma binti Makhrabah, ibu Abu Jahal. Lalu Asma menanyakan nasab Ar-Rubayyi’. Lantas dia pun menyebutkan silsilah nasabnya. Kemudian Asma berkata, “Engkau adalah anak perempuan dari seorang pembunuh tuannya (Abu Jahal).”

Dengan penuh keberanian, Ar-Rubayyi’ menjawab, “Aku adalah anak perempuan dari seorang pembunuh ‘budak’nya.” Mendengar jawaban tersebut, sontak Asma naik pitam, namun tidak berani meladeni keberanian Ar-Rubayyi’. Asma hanya bisa menimpali, “Demi Allah, aku tidak akan menjual sesuatu kepadamu untuk selama-lamanya.” Ar-Rubayyi’ yang merasa senang membuat Asma murka berkata, “Haram bagiku untuk membeli sedikit saja dari minyak wangimu.” Sungguh, ini merupakan satu bentuk sikap barra` (anti-loyalitas) yang patut ditiru oleh setiap muslim.

Mujahidah Pejuang

Keberanian yang dimiliki Ar-Rubayyi’ menjadikannya sebagai sosok yang gandrung dengan perjalanan jihad Rasulullah dan para shahabat beliau. Pengalamannya dengan amalan puncak dalam Islam ini (baca: jihad) dimulai ketika ayahnya berpartisipasi dalam Perang Badar. Ar-Rubayyi’ berangkat bersama Rasulullah untuk mengikuti berbagai peperangan dengan tujuan agar mendapatkan pahala dan balasan yang telah disediakan Allah SWT untuk para mujahidin. Dia ikut berkontribusi dalam jihad dengan melayani pengobatan para mujahidin, serta menyiapkan perlengkapan logistik mereka.

…Ar-Rubayyi’ adalah wanita mulia yang memiliki keberanian dalam perlawanan terhadap kebatilan dan kemusyrikan…

Ibnu Katsir berkata mengenai Ar-Rubayyi’, “Dia berangkat bersama Rasulullah untuk mengikuti berbagai peperangan guna mengobati para mujahidin yang terluka dan memberi minuman bagi mereka yang kehausan.” Al-Bukhari mentakhrij dari Ar-Rubayyi’ bahwa dia berkata, “Kami ikut peperangan bersama Rasulullah untuk membantu, memberikan minum, dan mengobati mujahidin yang terluka, serta membawa pulang mujahidin yang tewas ke Madinah.”

Meriwayatkan dan Menghapalkan Hadits

Kontribusi Ar-Rubayyi’ tidak hanya diarahkan pada persoalan jihad dan perjuangan saja, dia juga sangat mencintai ilmu. Dia seringkali mengunjungi Aisyah untuk menambah wawasan dan ilmu. Ilmunya terfokus pada meriwayatkan dan menghafal hadits Rasulullah. Ar-Rubayyi’ meriwayatkan hadits dari beliau sebanyak 21 buah hadits.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits darinya. Kedua imam ini bersepakat pada sebuah hadits darinya. Bahkan beberapa shahabat dan tabiin datang kepada Ar-Rubayyi’ untuk mendapatkan hadits. Sejumlah tabiin terkemuka juga meriwayatkan hadits darinya, sebut saja Khalid bin Dzakwan, Sulaiman bin Yasar, Abu Ubaidah bin Ammar bin Yasir, dan lainnya.

Karena wawasan dan keilmuannya, Ar-Rubayyi’ tampil menjadi salah seorang shahabiyah yang menjadi referensi dalam hukum, sirah Nabi, dan berbagai peristiwa dalam Islam di awal masa kemunculannya. Beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa dia wafat pada tahun 37 Hijriyah, setelah mewariskan berbagai pengaruh baik di kalangan wanita beriman yang terus memancarkan kebaikannya. Semoga abadi sesuai kehendak Allah SWT. Amin! [ganna pryadha/voa-islam.com]

Referensi: Ahmad Khalil Jam’ah, Nisaa’ min ‘Ashri an-Nubuwwah.

 

sumber: VOA Islam

 

Rubayyi binti Mu’awwidz Pelajari Wudhu dari Rasulullah

Rubayyi’ binti Mu’awwidz tumbuh di tengah keluarga yang penuh keberkahan. Ayahnya termasuk salah satu veteran Perang Badar. Rasulullah menghormati dan menyayangi Rubayyi’ lantaran kemuliaan dan perjuangan keluarganya untuk Islam.

Nabi sering berkunjung ke kediaman Rubayyi’, sambil sesekali membawakan hadiah. Beliau bahkan seringkali wudhu dan shalat di rumahnya. Karena itu, pantaslah jika Rubayyi’ paham betul tata cara ibadah yang dilakukan Rasulullah.

Rubayyi mempelajari tata cara wudhu langsung dari Rasulullah. Sebagai seorang perempuan Anshar yang cerdas dan fasih, ia tak segan menanyakan apa yang perlu dia ketahui. Berikut Rubayyi’ meriwayatkan tatacara wudhu Nabi untuk seluruh umat.

Diriwayatkan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra, ia berkata, “Rasulullah suatu ketika datang kepada kami. Rasulullah meminta kami untuk menuangkan air wudhu untuk beliau.”

Rubayyi kemudian menyebutkan tata cara wudhu Rasulullah. “Beliau membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali, membasuh wajah sebanyak tiga kali, berkumur, dan menghirup air sekali.

Setelah itu membasuh kedua tangan sebanyak tiga kali, mengusap kepala dua kali, dimulai dari ujung bawah kepala bagian belakang kemudian ke bagian depan, lalu kedua telinga bagian luar maupun dalam. Setelah itu beliau membasuh kedua kaki sebanyak tiga kali.” (HR. Abu Dawud, status hasan)

Dikisahkan oleh Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam Biografi 35 Shahabiyah Nabi, seperti itulah Rubayyi’ menggambarkan tata cara wudhu Rasulullah dengan jelas, seakan Anda melihat beliau secara langsung.

 

sumber:

Republika Online