Makna Menjulurkan Telunjuk Saat Tasyahud

Ibadah merupakan aktifitas yang bersifat dogmatis, di mana cara dan waktunya sudah ditentukan oleh Syari’ (pembuat syariat; Allah swt dan Rasul_Nya). Sebab itu, tidak boleh dalam ibadah berubah atau menentukan waktu yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syariat. Seperti shalat Dzuhur dikerjakan di waktu malam. Puasa Ramadlan dikerjakan di bulan Rabi’ul Awal. Ketentuan seperti ini yang kemudian oleh ulama’ dibuat sebuah kaidah:

اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ اَلتَّوْقِيْفُ عَلَى الدَّلِيْلِ

Artinya: “Hukum ashal dari ibadah adalah menunggu adanya dalil”

Kaidah ini hakikatnya memiliki jangkauan makna yang cukup luas. Bukan sekedar kewajiban adanya dalil dari syari’ pada suatu ibadah tertentu. Tetapi merubah ketetapan ibadah dengan cara dan waktu yang tidak sesuai dengan apa yang tetah ditetapkan juga menjadi ibadah yang sia-sia.

Begitu juga makna-makna yang tersimpan dari segala bentuk dan waktu ibadah merupakan rahasia ilahi yang tidak sah ditafsirkan secara personal tanpa menyandarkan kepada dalil. Mengapa di dalam shalat ada ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud dan segala rentetan aturan shalat itu penting di pertanyakan karena merupakan rahasia Allah swt yang tidak boleh bagi siapapun menganggap penafsiran dirinya paling benar dan milik orang lain salah. Kewajiban berpuasa selama satu bulan di bulan Ramadlan dengan tatacara dan waktu tertentu juga merupakan rahasia Allah swt yang tidak dibenarkan bagi siapapun meyakini; “Puasa diwajibkan karena agar kita merasakan juga laparnya orang-orang miskin ketika mereka tidak menemukan makanan”. Tetapi cukup bagi kita mentaati apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan Nabi_Nya.

Namun demikian, manusia adalah makhluk Allah swt yang sering tidak puas dengan apa yang dilihatnya. Sehingga tidak sedikit ulama’ mencoba menyingkap tabir rahasia di balik aturan-aturan ibadah yang telah ditetapkan. Dalam penafsiran ini, adakalanya murni bersifat tafsir tanpa ada sandaran dalil, seperti memaknai sujud sebagai ekspresi kerendahan diri, dan ada pula tafsir yang memang sudah dijelaskan oleh Syari’.

Shalat termasuk ibadah yang juga memiliki rahasia-rahasia terpendam. Seperti dijelaskan sebelumnya, ada sebagian rahasia di dalam shalat yang telah dijelaskan makna filosofisnya, ada juga yang tidak dijelaskan oleh Syari’. Di antara makan filosofis dari gerakan-gerakan shalat yang dijelaskan maknanya adalah menjulurkan satu jari telunjuk ketika tasyahhud, tepatnya ketika membaca “la ilaha illallah”. Lalu apa makna menjulurkan satu jari telunjuk ? Kenapa tidak seluruh telunjuk atau dua telunjuk ?.

Dalam hal ini, imam al Baihaqi sebagaimana dikutip as Shan’ani di dalam Subulus Salam, menjelaskan makna menjulurkan telunjuk pada saat tasyahhud yaitu isyarat terhadap mentauhidkan Allah swt secara ikhlash, bukan karena ada paksaan. Sehingga, isyarat satu jari tidak dua jari, dan diletakkan pada saat mengucapkan “la ilaha illallah” sebagai isyarat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali hanya ada satu, yaitu Allah swt. Dalam mentauhidkan di sini, menjadi satu antara ucapan (la ilaha illallah), perbuatan (isyarat dengan telunjuk) dan keyakinan di dalam hati.

Sekalipun ini penafsiran tanpa ada keterangan dari al Qur’an atau Hadits secara tegas dan sharih, namun ada makna isyari (makna tersurat) dari sebuah hadits yang berbunyi:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اْلإِشَارَةِ بِالْأُصْبُعَيْنِ. وَقَالَ أَحَدُ أَحَدٍ لِمَنْ رَآهُ يُشِيْرُ بِأُصْبُعَيْهِ

Artinya: ‘Nabi saw melarang berisyarat dengan dua jari. Dan ia berkata satunya satu bagi orang yang ia lihat berisyarat menggunakan dua jari”

Mengapa di dalam hadits tersebut Nabi saw melarang berisyarat menggunakan dua jari ? Ini artinya manakala hati menegaskan tentang Tuhan yang berhak disembah tidak memberi isyarat ada dua Tuhan, tetapi hanya ada satu Tuhan. Itulah makna filosofis yang dapat dipahami oleh para ulama’ yang diambil sari dari hadits tersebut.

Wallahu a’lam

ISLAM KAFFAH

Mengqadha’ Ramadhan sekaligus Berpuasa Syawal, Bolehkah?

Para ulama berbeda pendapat mengenai mengqadha Ramadhan sekaligus puasa Syawal 

SEBAGAIMANA diketahui bahwasannya bahwasannya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan yang agung.

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ))مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ)) (أخرجه مسلم: 1164, 2/822)

Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ”Siapa yang melaksanakan puasa bulan Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka hal itu seperti puasa satu tahun.” (Riwayat Muslim)

Imam An Nawawi menyatakan bahwasannya hadits di atas merupakan dalil yang terang bagi Madzhab Syafi`i, Ahmad serta Dawud dan siapa saja yang sependapat bahwasannya puasa enam hari di bulan Syawal perkara yang sunnah. (Syarh Shahih Muslim, 8/56).

Nah, bagaimana jika seseorang hendak berpuasa enam hari di bulan Syawal, namun di sisi lain ia masih memiliki hutang puasa Ramadhan, dan bermaksud mengqadha`nya sekaligus berniat untuk melaksanakan puasa Syawal?

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, yakni menggabungkan niat antara puasa wajib dengan puasa sunnah.

Madzhab Hanafi

Abu Bakr Al Kasani berkata, ”Kalau berniat dengan puasanya untuk mengqadha` Ramadhan sekaligus puasa sunnah, maka puasa itu untuk qadha` menurut Abu Yusuf sedangkan Muhammad menyatakan bahwa itu untuk puasa sunnah. (Badai` As Shanai`, 2/85).

Madzhab Maliki

Imam Malik memakruhkan melakukan puasa Syawal, karena kekhawatiran bahwa amalan itu dianggap wajib seperti Ramadhan. Namun para ulama madzhab Maliki menegaskan bahwasannya jika tidak ada kekhawatiran mengenai hal itu maka melakukannya tidaklah makruh. (Syarh Mukhtashar Khalil li Al Harasyi, 2/243).

Sedangkan menggabungkan antara puasa wajib dengan puasa Sunnah, Syeikh Muhammad Al Harasy berkata, ”Kalau berpuasa hari Arafah sekaligus berniat untuk mengqadha` dan melaksanakan puasa Arafah secara bersama, maka pendapat yang dhahir, bahwa keduanya dibolehkan. Hal itu diqiyaskan pada siapa yang berniat untuk mendi janabat sekaligus mandi Jumat maka hal itu diperbolehkan sebagaimana qiyas terhadap siapa yang melaskanakan shalat fardhu dengan niat melaksanakan tahiyyat masjid.” (Syarh Mukhtashar Khalil li Al Harasyi, 2/241).

Madzhab Syafi`i

Khatib Asy-Syarbini menyatakan, ”Kalau melaksanakan puasa di bulan Syawal untuk mengqadha` atau karena nadzar atau selain itu apakah memperoleh kesunnahan (puasa Syawal) atau tidak? Aku tidak mengetahuinya disebutkan, namun yang dhahir memperolehnya. Namun ia tidak memperoleh pahala yang disebut, lebih khusus lagi bagi siapa yang terlewat puasa Ramadhan dan ia menggantinya di bulan Syawal.” (Mughni Al Muhtaj, 2/184).

Hal yang sama disampaikan oleh Imam Syamsuddin Ar-Ramli yang merujuk fatwa ayah beliau Syeikh Syihabuddin Ar-Ramli. (Nihayah Al Muhtaj, 3/208).

Walhasil para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Bertaqlid kepada para ulama yang membolehkan tidaklah mengapa. Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, lc, MA, pengasuh rubric fikih Majalah Hidayatullah

HIDAYATULLAH

3 Amalan Sunnah Bulan Syawal, Jangan Dilewatkan!

Alhamdulillah umat muslim seluruh dunia telah berhasil menyelesaikan serangkaian ibadah di bulan suci Ramadhan. Kemudian kita menyambut Hari Raya Idul Fitri yakni di Syawal tepatnya di Hari Sabtu (29/04) lalu. Perlu kita ketahui, untuk menyempurnakan ibadah Ramadhan kita bahkan disunahkan untuk memaksimalkan amalan kita di bulan Syawal ini. Nah berikut 3 amalan sunnah bulan Syawal. 

Sebagaimana yang disampaikan Abu Maryam Kautsar Amru dalam buku Memantaskan Diri Menyambut Bulan Ramadhan, keutamaan untuk melakukan amalan yang baik di bulan Syawal yakni melanjutkan apa yang sudah dilakukan di bulan Ramadhan. 

Diperlukan juga amalan yang akan dilakukan agar dapat diterima oleh Allah SWT dan hanya kepada-Nya saja kita berniat beramal baik. Oleh karena itu, para sahabat saling mendoakan ketika bertemu satu sama lain, agar amalan-amalan mereka itu diterima dan setiap doa-doa dikabulkan Allah SWT.

فَعَن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ . تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ . قال الحافظ : إسناده حسن : الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari Id (Idul Fitri atau Idul Adha), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka (minkum) (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian)” (HR Ibnu Hajar).

Nah untuk memaksimalkan ibadah kita, setidaknya ada 3 ibadah sunnah untuk dijalankan seluruh umat Muslim:

Pertama, Puasa 

Sebagaimana yang diajarkan dalam Islam ibadah puasa sangat dianjurkan guna melatih kita untuk mengontrol hawa nafsu. Diantaranya ada dua puasa yang disunnahkan di bulan Syawal:

a). Yakni Puasa Syawal 6 Hari sebagaimana yang dikutip dalam Kitab Latha’if al-Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan bahwa berpuasa di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.

Puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan seperti puasa sepanjang tahun. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang berasal dari Abu Ayub Al Anshari, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر

“Barang siapa berpuasa Ramadhan lalu melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu setara dengan puasa sepanjang tahun.” (HR Muslim & Imam Ahmad)

Diriwayatkan oleh Tsauban bahwa dalam sebuah hadits, berbunyi, “Puasa Ramadhan pahalanya senilai dengan puasa sepuluh bulan dan puasa enam hari pahalanya senilai dengan puasa dua bulan. Jumlah semuanya satu tahun penuh.” (Diriwayatkan Sa’id bin Manshur dengan sanadnya dari Tsauban)

b). Kemudian Puasa Sunnah Ayyamul Bidh

Amalan sunnah di bulan Syawal yang lain adalah puasa Ayyamul Bidh. Puasa sunnah ini dikerjakan setiap tangal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriah) setiap bulannya. Mengutip dari riwayat Bukhari yang berasal dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa salah satu keutamaan dari puasa ayyamul bidh adalah seperti berpuasa sepanjang tahun. Keutamaan ini juga dijelaskan dalam riwayat Abu Daud.

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

Artinya: “Puasa tiga hari di setiap bulannya adalah seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR Bukhari)

Puasa Ayyamul Bidh juga menjadi salah satu dari tiga hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini diketahui melalui riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW memberikan tiga wasiat kepada salah seorang sahabatnya, Abu Darda.

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Artinya: “Rasulullah SAW berpesan kepadaku tiga hal yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati, yaitu berpuasa setiap tiga hari pada setiap bulannya, mengerjakan dua rakaat shalat Duha, serta shalat witir sebelum tidur.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kedua Menikah

Menurut penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), dahulu Rasulullah SAW menikahi Aisyah untuk membantah keyakinan yang keliru sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua Id (bulan Syawal termasuk di antara Idul Fitri dan Idul Adha). 

Ada kekhawatiran di kalangan muslim terkait dampak menikah di bulan Syawal yang berujung pada perceraian.

Keterangan menikah di bulan Syawal ini didasarkan pada riwayat yang disampaikan oleh istri Rasulullah SAW yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu Anha yaitu,

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي

Artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahiku pada bulan Syawal dan berkumpul denganku pada bulan Syawal, maka siapa di antara istri-istri beliau yang lebih beruntung dariku?” (HR. Muslim).

Sehingga Imam An Nawawi juga memberikan penjelasan mengenai hadits di atas bahwa “Di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal.”

Ketiga yakni Silaturahmi

Islam menyebutkan Syawal merupakan bulan yang baik untuk menyambung tali silaturahmi. Dalam salah satu riwayat, perintah silaturahmi termaktub dalam hadits yang berasal dari Abu Ayub Al-Anshari, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ، ذَرْهَ

Artinya: “Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna jangan syirik, dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahmi dengan orang tua dan saudara.” (HR Bukhari).

Demikian 3 amalan sunnah bulan Syawal. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kisah Syekh Abu Madyan Al-Maghribi Islamkan Sepuluh Pendeta

Syekh Syu’aib bin Abdullah dalam karyanya Al-Raudh Al-Faiq Fi Al-Mawaizh Wa Al-Raqaiq Juz, 1, halaman 211 mengisahkan karomah Syekh Abu Madyan Al-Maghribi, yang berhasil mengislamkan sepuluh pendeta. 

Sepuluh pendeta menyamar sebagai orang Islam, mereka datang kepengajian Syekh Abu Madyan Al-Maghribi. Sebelum Syekh Abu Madyan Al-Maghribi memulai kajiannya, tiba-tiba datang jemaah yang berprofesi sebagai tukang jahit.

Syekh Abu Madyan Al-Maghribi menegurnya, “Kenapa kamu datang terlambat” Ia menjawab, “Aku sibuk menjahit sepuluh topi yang tuan pesan kemarin”.

Syekh Abu Madyan Al-Maghribi mengambil pesanan topinya itu, kemudian Syekh Abu Madyan Al-Maghribi berdiri dan dan meletakkan sepuluh topi tersebut di kepala para pendeta yang berjumlah sepuluh orang. 

Syekh Abu Madyan Al-Maghribi berkata, “Wahai orang miskin! Ketika tiupan angin pertolongan Allah berhembus di hati orang-orang yang mulia, maka hembusan angin pertolongan itu akan memadamkan segala cahaya.”

Syekh Abu Madyan Al-Maghribi diam dan menundukkan kepalanya, para jemaah diam tidak ada yang berbicara. Lalu Syekh Abu Madyan Al-Maghribi mengangkat kepalanya seraya berkata,

“Tidak ada tuhan selain Allah! Wahai orang miskin ketika Allah menampakkan cahaya pertolongannya terhadap hati yang telah mati, maka hati itu akan hidup dan menerangi segala kegelapan.”

Selanjutnya, Syekh Abu Madyan Al-Maghribi membaca ayat-ayat sajadah, setelah itu, beliau beserta jamaah melakukan sujud tilawah, sepuluh pendeta itu ikut serta melakukan sujud tilawah. 

Dalam sujud tilawah tersebut Syekh Abu Madyan Al-Maghribi berdoa, “Ya Tuhan, Engkau lebih mengetahui terhadap pengaturan ciptaan-Mu dan berbagai kesejahteraan hamba-hamba-Mu, dan bahwa para Rahib ini telah berdiri di samping umat Islam dalam pakaian mereka dan sujud kepada-Mu.

Dan aku sungguh telah mengubah penampilan luar mereka, dan tidak ada orang lain yang mampu melakukannya untuk mengubah batin mereka selain diri-Mu, dan Engkau telah mendudukkan mereka di meja kemurahan-Mu, jadi selamatkanlah mereka dari kemusyrikan dan tirani (kesewenang-wenangan), dan keluarkanlah mereka dari kegelapan kekufuran menuju cahaya iman”.

Setelah selesai melakukan sujud tilawah, tiba-tiba para pendeta mendekati Syekh Abu Madyan Al-Maghribi, dan mereka menyatakan bertaubat dan masuk Islam di hadapan Syekh Abu Madyan Maghribi. 

Para pendeta itu mengutarakan maksud kedatangannya yaitu, ingin menguji kedalaman ilmu Syekh Abu Madyan Al-Maghribi namun hal itu tidak sampai terjadi. Karena mereka telah masuk Islam sebelum menguji kedalaman ilmu Syekh Abu Madyan Al-Maghribi.

Demikian kisah Syekh Abu Madyan Al-Maghribi mengislamkan sepuluh Pendeta. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Dokter Sarankan Ada Deteksi Demensia untuk Calon Jamaah Haji Lansia

Dokter ahli penyakit saraf (neurolog) Indonesia Andreas Harry menyarankan dilakukannya tes mini mental state examination (MMSE) bagi calon jamaah haji Indonesia yang pada musim haji 2023 ini diprioritaskan bagi lanjut usia (lansia). Tes MMSE dilakukan guna mendeteksi penyakit demensia (kepikunan).

“Jadi, bisa memakai tes mini mental state examination (MMSE) guna mengetahui apakah calon haji lansia yang bergejala demensia itu masih dalam taraf normal, ringan, sedang atau sudah masuk kategori berat,” kata ahli saraf lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang juga anggota International Advance Research Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) itu saat dihubungi Antara dari Bogor, Rabu (3/5/2023).

Komitmen pemerintah pada musim haji 2023 adalah “Ramah Lansia” yang pemberangkatannya dijadwalkan akan dimulai pada 24 Mei 2023. Hingga 1 April 2023 ada sebanyak 67.199 orang lansia dari total jamaah calon haji Indonesia sebanyak 221 ribu orang.

Perinciannya, calon haji lansia berusia di atas 95 tahun sebanyak 380 orang, usia 86-95 (6.594), usia 76-85 (12.559) dan usia 65-75 sebanyak 47.666 orang.

Menurut dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta dan pengajar luar biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar 1996-2001 itu, dengan kondisi lansia yang berpotensi demensia seperti itu, bila tidak diantisipasi tentu dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, kehidupan sosial jamaah itu, dan juga bisa berdampak ke jamaah yang lain.

Karena itu, kata dia, pemeriksaan MMSE hasilnya akan sangat membantu memberikan penanganan bagi kasus-kasus demensia pada calon haji lansia. Dalam literatur Kesehatan, MMSE adalah pemeriksaan kognitif yang menjadi bagian rutin pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dementia.

Pemeriksaan ini diindikasikan terutama pada pasien lansia yang mengalami penurunan fungsi kognitif, kemampuan berpikir, dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. MMSE adalah suatu metode skrining singkat untuk mendeteksi gangguan kognitif dengan cara memberikan sederet pertanyaan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

Gangguan kognitif berhubungan dengan pemahaman, memori, komunikasi, dan pemikiran seseorang. Tes ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak 1975. Kala itu, MMSE telah banyak digunakan untuk mengukur penurunan mental seseorang dari waktu ke waktu dengan hasil penilaian yang bersifat kualitatif.

Skala penilaian MMSE bervariasi di setiap negara. Namun, secara garis besar interpretasinya kurang-lebih sama, yaitu 25-30 tergolong ke dalam kategori normal.

Adapun skor di bawah 24 berarti terdapat gangguan kognitif pada pasien. Skor ini kemudian dikelompokkan lagi ke dalam gangguan kognitif ringan, sedang, hingga berat. Pada umumnya, skor rendah menunjukkan pasien mengalami demensia.

sumber : Antara

Lima Cara Jaga Kebugaran Calon Jamaah Haji Lansia

Calon jamaah haji lansia diimbau rutin melakukan aktivitas fisik.

Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan memberikan lima cara untuk menjaga kesehatan dan kebugaran calon haji lanjut usia (Lansia) yang mendapat kesempatan berangkat haji 2023.

Menurut Petugas Kesehatan Haji Pemprov Kalsel 2023 Fithri Nadya, haji ramah lansia menjadi tema penyelenggaraan haji 2023 karena banyaknya calon haji lansia atau usia di atas 60 tahun diberangkatkan tahun ini.

Dinkes Kalsel memberikan lima tips bagi calon haji lansia untuk dilakukan sejak saat ini agar keberangkatan hingga di Tanah Suci Makkah dan Madinah, Arab Saudi tetap sehat dan bugar, lancar beraktivitas ibadah hingga pulang dengan selamat ke Tanah Air.

Adapun yang harus dilakukan calon jamaah haji lansia adalah rutin melakukan aktivitas fisik atau olahraga ringan seperti berjalan, bersepeda, berenang atau senam lansia.

“Dilakukan secara bertahap, minimal 30 menit dalam sehari atau tiga hingga lima kali dalam seminggu,” ucapnya, Selasa (2/5/2023).

Namun, jika ada gangguan penyakit harus berkonsultasi dahulu dengan dokter sebelum melakukan kegiatan itu. Cara kedua untuk menjaga kesehatan dan kebugaran calon haji lansia, yakni dengan mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang yang terdiri dari karbohidrat dan protein.

“Makanan seimbang itu seperti ikan, daging, telur atau susu, sayur dan buah, dan perlu diingat juga minum air putih yang cukup minimal tujuh gelas per hari,” ujarnya.

Sedangkan cara yang ketiga menjaga kesehatan dan kebugaran calon haji lansia, ungkap Fithri, rutin memeriksakan kesehatan ke puskesmas atau rumah sakit serta rutin meminum obat yang dianjurkan dokter.

“Adapun cara yang keempat disarankan bagi calon haji lansia menjaga istirahat dan tidur yang cukup, minimal tujuh jam per hari,” ujar Fithri.

Sedangkan cara kelima untuk menjaga kesehatan dan kebugaran calon haji lansia adalah menjalani hidup bahagia. “Menjalani hobi, menjaga silaturahim dengan orang terdekat, beribadah dan jangan lupa terus berdoa,” kata Fithri.

Dari data Dinkes Kalsel untuk calon jamaah haji Kalsel tahun 2023 ini sekitar 32 persen atau sebanyak 1.242 orang, usia di atas 60 tahun dari kuota haji Kalsel tahun 2023 ada 3.818 orang.

sumber : Antara

Teks Khotbah Jumat: Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, marilah senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada orang-orang yang bertakwa surga-Nya yang mengalir di bawah sungai-sungai, surga yang semua kenikmatan dunia tidak ada bandingannya dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ

“Bagi orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta rida Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran: 15)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Ramadan yang penuh kemuliaan belum lama meninggalkan kita, memori-memori indahnya mungkin beberapa kali masih terlintas dalam benak kita. Lalu, tibalah saatnya diri kita memasuki salah satu bulan haram yang juga Allah Ta’ala muliakan. Bulan yang menjadi permulaan bulan-bulan haji. Bulan yang juga dipenuhi dengan berbagai macam ketaatan serta merupakan bulan di mana Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Tidak mengherankan apabila bulan Syawal ini datang, undangan-undangan pernikahan pun datang silih berganti, grup-grup WhattsApp penuh dengan ucapan selamat. Saat melintasi jalan raya, tak jarang pula kita jumpai tenda-tenda didirikan untuk merayakan pernikahan.

Ya, bulan Syawal menurut mazhab Syafi’iyyah (mazhab yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat kita) dihukumi sebagai bulan yang disunahkan untuk melakukan akad nikah dan melangsungkan malam pertama.

Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ- فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟. قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءهَا فِي شَوَّالٍ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Maka, istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?”

(Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim no. 1423)

An-Nawawi rahimahullah, salah satu ulama Syafi’iyyah, dalam kitab Syarh Shahih Muslim-nya ketika menjelaskan hadis ini mengatakan,

فِيهِ اسْتِحْباَبُ التزَّوِيجِ والتزوُّجِ والدُّخولِ في شَوَّالٍ، وقَدْ نَصَّ أَصْحابُنا على استحبابهِ، واستدلُّوا بهذا الحديثِ.

“(Hadis ini) menunjukkan anjuran menikahkan, melakukan akad pernikahan, dan melakukan dukhul (malam pertama) pada bulan Syawal. Ulama-ulama mazhab kami (Syafi’iyah) telah menganjurkannya dengan berdalil hadis ini.”

Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, tahukah kalian apa alasan Nabi melangsungkan akadnya dengan Aisyah dan melakukan malam pertamanya di bulan Syawal?

Pertama-tama, harus kita ketahui terlebih dahulu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah tegas dalam masalah akidah dan keyakinan. Beliau sangat bersemangat di dalam mematahkan mitos dan takhayul tidak berdasar yang diyakini oleh masyarakat dan orang-orang jahiliyah.

Dan pada zaman jahiliyah tersebar di kalangan mereka sebuah kepercayaan dan anggapan sial terhadap bulan Syawal. Mereka benci untuk melakukan pernikahan dan memulai kehidupan rumah tangga di antara dua hari raya. Sedangkan Syawal posisinya terletak setelah perayaan Idulfitri dan sebelum perayaan Iduladha. Mereka takut jika melangsungkan pernikahan di bulan Syawal, maka pernikahan mereka tidak akan langgeng dan mudah rusak.

Sebab kepercayaan mereka, karena bulan Syawal dalam bahasa Arab menurut sebagian ahli bahasa berasal dari kalimat Syalat an-naqah bi dzanabiha”, yang maknanya ‘seekor unta betina yang menegakkan ekornya’. Hal itu bermula dari kecenderungan unta-unta betina yang enggan didekati oleh pejantan.

Ekor yang diangkat menandakan penolakan atau bahkan perlawanan. Dari situ, lantas muncullah kesimpulan masyarakat Arab sebelum Islam bahwa menikah di bulan Syawal menjadi sebuah hal yang tabu, bahkan dilarang. Hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan mematahkan mitos ini. Beliau menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Syawal yang mulia ini. Beliau mulai juga kehidupan pernikahannya dengan ibunda Aisyah di bulan Syawal.

An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadis Aisyah di atas juga menyebutkan,

“Maksud Aisyah dengan perkataannya ini adalah untuk membantah kondisi orang-orang jahiliyah serta takhayul sebagian dari mereka tentang kebencian menikah, menikahkan, dan memulai rumah tangga di bulan Syawal, yang mana hal ini merupakan sisa-sisa pengaruh Jahiliyah. Mereka bertathayyur (beranggapan buruk) dengannya. Karena dalam penamaan Syawal terkandung makna peninggian, pengangkatan, dan pemindahan. Sehingga mereka meyakini bahwa siapa yang memulai rumah tangganya di bulan Syawal, terangkatlah cinta di antara mereka, dan tidak ada kasih sayang, dan tidak ada cinta. Atau mereka menganggap tidak adanya cinta dalam pernikahan di bulan-bulan haji serta di antara dua hari raya. Maka, Aisyah ingin membantah semua itu.”

Sungguh dalam pernikahan Nabi ini tidak hanya mengajarkan kepada kita perihal sunahnya menikah di bulan Syawal. Lebih jauh dari itu, Nabi ingin mengajarkan kepada kita akan pentingnya memiliki akidah yang kuat dan mencontohkan kepada kita tentang bagaimana menghadapi mitos-mitos, tathayyur, dan takhayul yang beredar di masyarakat.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Dalam ilmu akidah, anggapan sial seperti yang diyakini orang-orang jahiliyah terhadap bulan Syawal disebut dengan tathayyur atau thiyarah yang mana hukumnya terlarang dan diharamkan. Yaitu, merasa bernasib sial karena adanya sesuatu.

Sebagai seorang muslim yang tinggal di Indonesia, negara yang kaya akan budaya dan beragam sukunya, tentu telinga kita tidak asing ketika mendengar beragam mitos, pamali, dan tathayyur tersebar di masyarakat kita. Baik itu menganggap sial angka 13. Adanya burung gagak pertanda adanya kerabat yang meninggal. Atau bahkan keyakinan bahwa jika anak lahir pada waktu magrib, maka anak tersebut akan meninggal dengan kondisi yang mengenaskan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, kesemuanya itu merupakan contoh tathayyur yang terlarang.

Tathayyur semacam ini sangatlah membahayakan akidah serta tauhid kita. Karena tathayyur akan mengantarkan seseorang kepada kesyirikan. Ketika seseorang ber-tathayyur, maka ia telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab (baik ditinjau dari segi syariat maupun praktik di kehidupan nyata) sebagai sebab. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakal kepada-Nya.” (HR. Abu Dawud no. 3910, Tirmidzi no. 1614, Ibnu Majah no. 3538 dan Ahmad no. 3687)

Wallahu a’lam bisshawab.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ،   فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Maasyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Tathayyur, pamali, dan anggapan sial karena sesuatu yang bukan sebabnya merupakan sebuah kezaliman yang besar terhadap Allah Ta’ala. Karena di dalam meyakininya seseorang akan menyandarkan kebaikan, keburukan, kesialan, dan bencana kepada selain Allah Ta’ala. Padahal sejatinya kesemuanya itu terjadi atas ketetapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Jika datang kebaikan pada mereka, mereka berkata, ‘Ini karena kami.’ Jika datang keburukan pada mereka, mereka ber-tathayyur dengan Musa dan kaumnya. Ketahuilah sesungguhnya yang menetapkan ini semua adalah Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan tentang mereka yang bertathayyur dengan Nabi Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Menurut mereka, Nabi Musa dan pengikutnya adalah sebab kesialan. Akan tetapi, dalam ayat ini pula Allah Ta’ala membantah hal tersebut. Allah jelaskan bahwasanya kesialan itu akibat ulah perbuatan mereka sendiri dan Allah-lah yang menentukan itu semua.

Jemaah yang semoga senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala,

Ketahuilah, sesungguhnya dalam Islam tidak ada kesialan, kecuali karena kemaksiatan. Dan tidak ada keburukan, kecuali karena perbuatan dosa. Allah Ta’ala menegaskan,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Syura: 30)

Dan apabila terjadi sebuah kemalangan atau keburukan yang menimpa seorang muslim, maka di situlah kesempatan dari Allah untuk menghapuskan kesalahan-kesalahannya apabila ia bisa bersabar dan tidak mengeluh ketika menghadapinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah, baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan, atau rasa gelisah, sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)

Sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk tidak takut atau khawatir ketika melihat pertanda-pertanda, tathayyur ataupun pamali yang diyakini oleh masyarakat. Karena semuanya itu tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik-Nya untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Karena tawakal merupakan solusi dari tathayyur yang ditawarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alahi wasallam bersabda,

وما منَّا إلَّا ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتوكُّلِ

“Dan tidaklah seorang pun di antara kita, kecuali pernah merasakannya (tathayyur). Namun, Allah akan menghilangkannya dengan tawakal.” (HR. Abu Dawud no. 3910, Tirmidzi no. 1614, Ibnu Majah no. 3538 dan Ahmad no. 3687)

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84719-pelajaran-tauhid-dari-pernikahan-nabi-dan-aisyah-di-bulan-syawal.html

Doa Nabi Ayyub AS yang Luar Biasa

KESABARAN Nabi Ayyub AS sangat luar biasa dan mengagumkan.

“Sekiranya Engkau memohon kesembuhan kepada Allah, pastilah Allah akan mengabulkan. Mintalah pada-Nya doa untuk kesembuhanmu, suamiku!” ccapnya dengan nada lembut, mencoba memberi solusi kepada suaminya yang sedang menderit sakit parah. Namun, betapa takjubnya kita pada jawaban suaminya:

“Wahai istriku, Sungguh aku malu meminta kesembuhan pada Allah sebab Dia telah menganugerahkan berjuta kenikmatan hingga kita hidup dalam kemewahan selama 18 tahun. Kita hidup dalam harta yang berlimpah dan bahagia selama itu. Kenapa tidak bersabar saja atas cobaan-Nya?” ungkap lelaki shalih, suami dari sang istri tersebut.

Maka Nabi Ayyub pun memilih untuk bersabar atas derita penyakit yang menimpanya. Hari berganti hari, penyakit itu semakin parah dan menular.

Dia dan sekeluarganya diusir dari perkampungan tempat tinggalnya. Tidak ada lagi yang peduli. Tidak ada yang menaruh kasih padanya. Tidak ada yang menyayangkan kondisi keluargnya. Sahabat, kerabat dekat semua mengucilkannya. Hanya istri tangguhnya dan 9 anak perempuan yang ikut menyertainya.

Kondisi semakin parah. Satu persatu anak perempuanya tertular penyakitnya dan meninggal dunia. Harta sudah tidak tersisa lagi. Hingga istrinya harus bekerja panting tulang menjadi pembantu ibu rumah tangga.

Lalu, masyarakatpun tahu bahwa perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu adalah istri dari Nabi Ayyub, lelaki shalih yang terjangkit penyakit menular. Akhirnya, istrinya pun diusir dan tidak ada yang mau menerima dan memberi pekerjaan padanya.

Dalam keadaan yang semakin parah, dalam sedih yang sudah memuncak, ia memohon doa yang sangat indah dan sangat singkat. Do’a yang diabadikan Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 83:

“Rabbii, inni massaniyadh dhurru wa anta arhamur raahiimin” (Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Rabb Maha Penyayang dari semua yang penyayang)

“Itulah bentuk kesabarannya. Ia tidak menuntut apa-apa pada Rabbnya sebagai penghormatan dan pengakuan terhadap-Nya. Bahkan untuk meminta kesembuhanpun dia malu”, begitulah komentar Sayyid Qutbh tentang redaksi doa tersebut yang ditulis dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an.

Namun, betapa Maha Penyayangnya Allah, betapa kasih dan cinta-Nya tak pernah mampu dihitung, Yang Maha Mengetahui segala apapun hajat manusia, Yang Maha Mendengar setiap bait-bait harapan meski tak terucap dalam bahasa, Yang setiap do’a telah Allah janjikan pasti akan dikabulkan dengan cara-Nya.

Maka Allah mengabulkan do’a Nabi Ayyub,  lelaki shalih ini lebih dari apa yang dipinta. Jawaban do’a yang Allah abadikan dalam surat Al-Anbiya ayat 84:

BACA JUGA: 21 Pelajaran Hidup Nabi Ayyub (1)

“Maka Kami kabulkan (doanya), lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami”.

“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang pahalanya disempurnakan tanpa batas.”(QS. Az-Zumar:10).

Para pembaca Islampos yang dirahmati oleh Allah, Sungguh luar biasanya kesabaran Nabi Ayyub As mudah-mudahan kita semua dapat meneladani akhlak beliau sehingga Allah ridho kepada kita. Aamiin Allahumma Aamiin.[]

ISLAMPOS

Muslim Bosnia Berusia 52 Tahun Naik Haji Berjalan Kaki ke Makkah

Muslim Bosnia ingin pergi haji dengan berjalan kaki.

Seorang muslim dari Bosnia, Enver Beganovic berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji, yang merupakan rukun Islam kelima. Berangkat dalam perjalanan 6.600 kilometer ke Makkah, ia telah mencapai Kirkuk di Irak.

Selangkah demi selangkah, Beganovic yang berusia 52 tahun telah menempuh ribuan kilometer. Berdasarkan laporan Anadolu Agency, pria berusia setengah abad itu telah melintasi 10 negara sejak ia berangkat pada 18 November 2021 lalu dari Wels, Austria.

Semberi membawa bendera setiap negara di punggungnya, dia telah melintasi Slovakia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Serbia, Kosovo, Makedonia, Yunani dan Turki sejak dia memulai perjalanannya dari Austria.

“Saya tidak menemui masalah selama menempuh jarak ribuan kilometer. Sebaliknya, saya menerima bantuan dan dukungan dari orang-orang di luar dugaan saya,” katanya kepada Anadolu Agency.

Beganovic merupakan seorang atlet judo yang sudah tinggal di Austria selama 28 tahun. Ia memutuskan pergi haji dengan berjalan kaki karena dulunya sebagai atlet ia biasa berjalan jauh. Selain itu, ia juga ingin meraih pahal besar dengan berjalan kaki ribuan kilometer.

“Almarhum ayah dan ibu saya mewariskan kepada kami untuk tidak menyimpang dari agama kalian,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia telah berjalan berbulan-bulan untuk mencapai tanah suci dan tidak pernah lelah.

Ziarah Muslim atau haji adalah perjalanan seumur hidup yang dicita-citakan banyak muslim di dunia, termasuk dari Indonesia. Pada 2019 lalu, seorang pemuda asal Pekalongan, Mochammad Khamim Setiawan juga sempat bikin heboh setelah naik haji dengan berjalan kaki dari kampung halamannya.

Sumber:

Makkah Catat 181 Hari Panas Ekstrem Selama 37 Tahun

Makkah merupakan kota paling suci dalam Islam. Kota ini dilaporkan mengalami jumlah hari terbanyak dengan suhu melebihi 45 derajat Celcius, antara tahun 1985 dan 2022, dengan total 181 hari.

Menurut laporan National Center of Meteorology (NCM), posisi berikutnya setelah Makkah ditempati oleh Al Ahsa dengan 167 hari, Al Qaysumah 59 hari, serta terakhir Dammam dengan 54 hari.

Dalam hal badai debu, Al Qaisumah memiliki jumlah kejadian tertinggi dengan 119 hari selama periode yang sama. Kondisi ini diikuti oleh Al Ahsa dengan 110 hari dan Rafha dengan 99 hari.

Dilansir di Gulf News, Selasa (2/5/2023), kota yang memiliki jumlah tertinggi badai petir diraih oleh Abha dengan 788 hari. Posisi berikutnya ditempati Taif dengan 784 hari dan Al Baha dengan 746 hari.

Kota Khamis Mushait memiliki hari dengan curah hujan tertinggi dengan 363 hari, diikuti oleh Al Baha dengan 320 hari dan Taif 295 hari.

Mengenai kondisi kabut, Kota Al Wajh memiliki kondisi serupa paling banyak dengan 28 hari, diikuti oleh Yanbu dengan 22 hari dan Jeddah dengan 11 hari.

Tidak hanya itu, laporan dari NCM ini juga menyoroti bahwa Dhahran mencatat suhu tertinggi pada bulan Mei, mencapai 51 derajat Celcius pada 2009. Di sisi lain, Kota Rafha mencatat suhu terendah pada 21 derajat Celcius pada 2000.

Kota Bisha mencatat jumlah curah hujan tertinggi di bulan Mei dengan 96 mm pada 2013. Adapun jumlah curah hujan tertinggi di Kota Khamis Mushait terjadi pada Mei 2019 dengan 159 mm.

Frekuensi badai debu tertinggi terjadi pada bulan Mei di Al Qaisumah sebanyak 119 kali, sedangkan Al Jouf mencatat kecepatan angin maksimum 115 km/jam.  Data statistik ini didasarkan pada data dari stasiun pemantauan NCM. 

sumber : Antara