Larangan Mendatangi Dukun

Umat Islam dilarang mendatangi dukun.

Suatu ketika dikisahkan, Nabi Muhammad SAW sedang memimpin sholat jamaah di masjid. Tiba-tiba seorang makmum bersin dan Muawiyah bin Al-Hakam yang berada di sebelahnya menjawab, “Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).”

Para jamaah yang sedang sholat berpaling kepada Muawiyah bin Al-Hakam dengan pandangan menyalahkannya.

Muawiyah bin Al-Hakam berkata, “Kenapa kalian melihatku seperti itu?”

Seketika itu, jamaah yang sedang sholat memukulkan tangan mereka ke paha sebagai isyarat agar Muawiyah bin Al-Hakam tidak bicara saat sholat. Maka, Muawiyah bin Al-Hakam pun diam hingga sholat selesa.

Setelah sholat, Nabi Muhammad SAW. menghadap kepada jamaah dan berkata, “Ketika sholat, jangan sampai keluar satu ucapan pun. Dalam sholat hanya ada tasbih, takbir, dan bacaan Alquran.”

Muawiyah bin Al-Hakam yang merasa bersalah berkata, “Wahai Rasulullah, aku baru saja lepas dari keadaan jahiliah dan memasuki Islam. Sesungguhnya, banyak di antara kami yang biasa mendatangi dukun yang mengaku memiliki ilmu gaib.”

Nabi Muhammad SAW berkata, “Jangan datangi mereka! (para dukun).”

Muawiyah bin Al-Hakam berkata lagi, “Di antara kami juga ada orang yang suka ber-tathayyur (menganggap sial dengan sesuatu, seperti dengan suara burung, dan lain-lain).”

Nabi Muhammad SAW menjawab lagi, “Itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam dada mereka. Jangan sampai semua itu menghalangi dari tujuan mereka, karena semua itu tidak berpengaruh, tidak mendatangkan manfaat maupun mudharat.”

Dalam kisah lain, sebagaimana dilansir dari buku 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah SAW yang ditulis Fuad Abdurahman diterbitkan Penerbit Noura Books, 2015.

Dikisahkan bahwa suatu hari orang Yahudi mendatangi Rasulullah SAW yang sedang bersama istrinya, Aisyah Radhiyallahu anha. 

Mereka orang Yahudi berkata, “Assamu ‘alaikum! (kebinasaan bagimu).”

Rasulullah SAW menjawab, “Wa ‘alaikum (dan atasmu juga)!” 

Aisyah juga menjawab, “Assamu ‘alaikum wa la‘anakumullah wa ghadiba ‘alaikum (Kebinasaan bagi kalian, laknat, dan murka Allah atas kalian).”

Nabi Muhammad SAW berkata, “Tahan ucapanmu, hai Aisyah. Kau seharusnya berlemah lembut. Berhati-hatilah dari sikap keras dan keji.” 

Aisyah menjawab, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”

Nabi Muhammad SAW berkata kepada Aisyah, “Apakah kau juga tidak mendengar apa yang kuucapkan? Aku telah membalas mereka. Ucapanku dikabulkan, sedangkan ucapan mereka tidak akan.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Janganlah kau (Aisyah) menjadi orang yang berbuat keji, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai perkataan yang keji dan kotor.”

IHRAM

Wujud Islam Rahmatan Lil Alamain, Quraish Shihab: Kemanusiaan Tak Selalu Tertuju ke Manusia Saja, Tapi Termasuk Hewan dan Tumbuhan

Kemanusiaan tidak selalu tertuju pada manusia saja, tetapi termasuk kepada hewan dan tumbuhan sebagai wujud Islam yang rahmatan lil alamin.

“Kemanusiaan itu tidak hanya tertuju pada manusia. Kepada binatang dan tumbuhan pun ada kemanusiaan. Ini yang ingin kita sebarluaskan sehingga mewujud apa yang dalam Islam sangat ditonjolkan, yaitu rahmatan lil alamin,” ujar Cendekiawan Muslim Indonesia Prof Dr Quraish Shihab dalam keterangannya di Jakarta, Senin (26/2/2024).

Pernyataan Quraish tersebut disampaikan saat Majelis Hukama Muslimin cabang Indonesia menggelar seminar Persaudaraan Manusia di Jakarta, Senin. Dalam seminar tersebut, pendiri MHM ini menceritakan ihwal awal mula tercetusnya dokumen Piagam Persaudaraan Manusia yang ditandatangani Grand Syekh Al Azhar dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi.

Sehari sebelum penandatanganan dokumen tersebut, ada 12 tokoh MHM, termasuk dirinya dan Grand Syekh yang sempat bertemu dengan Paus Fransiskus. Masing-masing diberi kesempatan Grand Syekh untuk menyampaikan sesuatu dalam konteks pertemuan dua tokoh.

Karena Grand Syekh dan Paus Fransiskus memiliki semangat yang sama akan persaudaraan manusia, maka pada 4 Februari 2019 ditandatangani sebuah dokumen Persaudaraan Manusia.

Setahun kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia Sedunia.

“Saya menyampaikan harapan bahwa penandatanganan diharapkan mewujudkan apa yang pernah wujud pada masa Nabi, hubungan yang begitu akrab, bukan hubungan persamaan agama tapi hubungan persamaan kemanusiaan,” kata Quraish.

Meski persaudaraan kemanusiaan bukan hal baru, kata dia, situasi dunia dan masyarakat seringkali menjadikan orang lupa bahwa semuanya sama-sama manusia, sehingga perlu diingatkan.

“Kita adalah saudara-saudara sekemanusiaan. Jelas ada perbedaan, tetapi sebagian besar perbedaan itu bukan kemauan kita,” katanya.

ISLAMKAFFAH

Argumentasi Quraish Shihab tentang Bid’ah dan Praktik Keberagamaan yang Salah

Berikut ini argumentasi Quraish Shihab tentang bid’ah dan praktik keberagamaan yang salah.Tanpa disadari, perkembangan zaman memunculkan banyak hal-hal baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk praktik beragama. Hal baru ini dianggap oleh beberapa kelompok merupakan bid’ah yang dilarang oleh syariat Islam

Kelompok ini pun cenderung menyalahkan hal baru yang datang padahal banyak ulama tidak melarangnya. Lalu bagaimana konsep bid’ah yang benar? Apakah semua yang baru itu dilarang oleh Islam?

Syahdan. Bid’ah adalah sesuatu yang baru. Lalu apakah semua yang baru itu dinamakan bid’ah? Jika ditinjau dari segi bahasa maka jawabannya adalah apapun yang baru itu bid’ah. Apakah semua yang baru Anda lakukan tetapi tidak dilakukan oleh Nabi itu bid’ah? Kelompok takfiri mengatakan itu adalah bid’ah. Jabat tangan habis Ashar apakah bid’ah apa bukan? Maulid Nabi apakah termasuk bid’ah? Jawabannya iya bid’ah karena Nabi tidak melakukannya.

Sebagian ulama yang luas wawasannya yang memiliki toleransi besar, belum tentu yang tidak diamalkan oleh Nabi itu bid’ah, dan belum tentu juga yang diamalkan oleh Nabi itu sunnah. Akan tetapi, kalau Nabi mengamalkan dan Anda mengikutinya karena cinta Nabi, maka Anda akan mendapatkan pahala. Dalam hal ini, pahala didapatkan bukan karena Anda mengamalkannya, melainkan karena Anda cinta kepada Nabi.

Salah satu tokoh Ahlussunnah yang banyak menyerang Mu’tazilah yaitu Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, ketika dia menafsirkan surat Al-Alaq 9-10. Allah Swt. berfirman:

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يَنْهٰى. عَبْدًا اِذَا صَلّٰى

Artinya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang. Seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat.” (QS. Al-Alaq [96]: 9-10).

Ar-Razi mengatakan, Sayyidina Ali pernah Shalat Idul Fitri, dan sebelum shalat dilapangan ada orang-orang yang berdiri shalat sunnah. Lalu teman-teman Sayyidina Ali berkata “Itu shalat sunnah memangnya boleh?” Ali menjawab “Yang saya tau Nabi tidak melakukannya. Silahkan Anda larang.” Dia berkata “Tidak. Saya takut jika melarang masuk kelompok yang dikecam oleh Allah.”

Itu artinya, jangan melarang semua orang, karena bukan berarti yang tidak dilakukan oleh Nabi itu terlarang, dan tidak semua yang diamalkan oleh Nabi itu dianjurkan. Memang ada hal-hal boleh jadi kita berbeda pendapat. Misalnya Nabi sebelum fajar sudah bangun, dan Bilal ketika fajar Adzan memanggil orang nunggu shalat subuh. Nabi sambil duduk baring-baring. Apakah baring-baring sunnah atau tidak? Contoh lain, Nabi tidak makan biawak (Dhab), lalu haramkah biawak? Nabi berkata “Tidak. Saya hanya tidak suka.”

Banyak ha ditinggalkan Nabi yang bukan berarti bahwa hal itu tidak boleh. Namun berbeda dengan kelompok pemurnian yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hal itu tidak boleh dikerjakannya. Yang jelas, sesuatu yang tidak diamalkan oleh Nabi waktu itu karena belum ada dorongan untuk melakukannya.

Seperti Nabi tidak membukukan al-Qur’an karena saat itu belum diperlukan. Kemudian Nabi pernah melarang menulis haditsnya, karena saat itu yang pandai menulis hanya sedikit dan alat tulis masih sedikit. Dalam hal ini, kita harus melihat apakah motivasinya ibadah apa bukan. Itu sebabnya Al-Ghazali berkata bukan semua yang baru itu terlarang, melainkan yang terlarang itu adalah yang bertentangan dengan sunnah yang telah disepakati. Pendek kata berbeda boleh asalkan tidak bertentangan.

Quraish Shihab mengatakan, kalau Anda ingin agar kita hidup seperti zaman Nabi, maka kita bisa maju. Yang ingin kita kembali persis seperti pada zaman Nabi itu adalah orang yang terlambat lahirnya. Mestinya dia lahir dulu. Dan yang berkata semuanya bid’ah (ini tidak boleh), itu mestinya hidupnya zaman dulu jangan sekarang. Bukankah Islam itu kita akui “shalih likulli zaman wa makan” (sesuai kapan waktunya dan kapan tempatnya).

Islam mengajarkan apa yang dinamakan hak veto. Misalnya, jika Anda lapar yang memungkinkan bisa menyebabkan kemudharatan, apakah boleh memakan babi atau tidak? Artinya, Islam banyak mengajarkan dan menjadika bahwa “oh ini bisa diamalkan” walaupun berbeda dengan yang dulu. Sebaliknya, kalau Anda berkata harus sama dengan yang dulu, maka habislah kita semua.

Sama sekali tidak terlarang pakai jenggot dan akan sangat bagus kalau Anda mengikuti Nabi, tetapi jangan salahkan orang yang tidak pakai jenggot. Sekali lagi, bagus kalau tujuan Anda mengikuti Nabi. Karena itu, kalau ada orang yang mengatakan ini dan itu haram dan bid’ah, maka berarti pemahaman Islamnya kurang, kata Quraish Shihab. Kekeliruan orang-orang yang berkata demikian sudah membelenggu kita, tidak bisa begini dan begitu.

Tak heran jika para ulama-ulama kemudian merumuskan kaidah-kaidah. Misalnya, ketika Nabi mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi kemudian bertanya kepada Muadz “Bagaimana cara kamu menetapkan hukum?” Muadz menjawab “Saya merujuk ke al-Qur’an.” Nabi bertanya lagi “Kalau kamu tidak dapat di al-Qur’an?”

Muadz menjawab lagi “Saya merujuk ke hadits dan jika di hadits tidak ada maka saya menggunakan nalar saya.” Nabi terus berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan tuntunan kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang direstui dan disetujui oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Dari sini kita tahu, bahwa tidak semuanya ada di dalam al-Qur’an, hadits. Semuanya sudah sepakat ada analogi, ada mashalih mursalah. Jadi bukan ijma’, melainkan kita juga harus menggunakan nalar. Jelasnya, jangan mudah mengkafirkan, mendurhakakan seseorang, dan berkata ini dan itu tidak boleh kalau tidak asal-usulnya serta alasannya.

Misalnya lagi, ketika waktu perayaan maulid dilaksanakan di bulan Dzul Hijjah apakah salah? Jawabannya tidak salah. Sebab, kata Quraish Shihab, saya melihat nilai-nilainya yang ada di sana. Itu sebabnya ulama-ulama dulu berkata:

ولو انا عملنا كل يوم لأحمد مولدا قد كان واجب

Artinya: “Seandainya setiap hari kita adakan maulid untuk Nabi itu wajib dan wajar.”Sekali lagi, kita tidak melihat tanggalnya, melainkan melihat nilai-nilainya. Dan di dalam al-Qur’an tidak ada disebut tanggal dan tahun, melainkan yang disebut adalah nilainya.

Demikian penjelasan terkait argumentasi Quraish Shihab tentang bid’ah dan praktik keberagamaan yang salah. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

5 Cara Agar Rezeki Berkah dan Melimpah

Rezeki sebagai anugerah Allah kepada Makhluk dan ciptaan-Nya, baik berupa kesehatan, ilmu maupun penghasilan atau pendapatan yang kita dapatkan. Rezeki yang baik bila didapatkan dengan cara yang baik juga. Nah berikut 5 cara agar rezeki berkah dan melimpah.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Al-Sirri al-Siqhti bahwa:

Artinya: Sebaik-baiknya rezeki terhindar dari lima hal. Pertama,  cara mendapatkankannya bukan dari hasil kejahatan (dosa). Kedua, tidak  menggunakan cara-cara yang hina. Ketiga, tak terlalu merendahkan diri dalam mendapatkannya. Keempat,  Ada unsur penipuan dan menggunakan cara yang terlarang. Kelima, bermualah dengan orang yang dhalim atau untuk tujuan kejahatan.

5 Cara Agar Rezeki Berkah dan Melimpah

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa rezeki yang berkah harus menggunakan cara dan tujuan yang baik sehingga rezekinya menjadi halal dan berkah. Karena faktor penentu terkabulnya doa adalah dari segi makanan yang dikonsumsi Setiap harinya, bila dari yang haram makanan dan cara mendapatkannya maka Allah tak akan mengabulkan doanya. Jangan terlena dengan kuantitas yang didapat tapi kualitas rezeki, walau sedikit akan menjadi keberkahan diri dan keluarga.

Rezeki berkah dan melimpah adalah ungkapan dalam bahasa Indonesia yang sering digunakan untuk menggambarkan rezeki atau rizki yang diberikan oleh Tuhan secara berlimpah dan penuh berkah.

Istilah “rezeki” atau “rizki” sendiri dalam Islam seringkali merujuk pada segala sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada manusia, baik berupa rezeki materiil maupun non-materiil seperti kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman.

Istilah ini mencerminkan keyakinan bahwa segala sesuatu yang kita peroleh dalam hidup ini datangnya dari Allah SWT, dan ketika seseorang merasa rezeki mereka “berkah dan melimpah,” itu berarti mereka merasa diberkati dengan banyaknya nikmat dan pemberian yang diberikan oleh Allah.

Orang-orang sering menggunakan ungkapan ini untuk menyatakan rasa syukur atas segala rezeki yang mereka terima, baik rezeki dalam bentuk kekayaan, karier yang sukses, keluarga yang bahagia, atau hal-hal lain yang dianggap sebagai anugerah dari Tuhan. Hal ini juga mendorong orang untuk tetap bersyukur dan tidak pernah melupakan asal-usul dari segala nikmat yang mereka miliki.

BINCANG SYARIAH

Kisah Sahabat Nabi yang tak Rupawan

Julaibib sering dipandang rendah orang-orang, tetapi Allah dan Rasul memuliakannya.

Secara fisik, tidak ada yang menarik dari sosok Julaibib. Sahabat Nabi Muhammad SAW ini memiliki postur tubuh yang kecil. Wajahnya jauh dari kriteria rupawan. Penampilannya pun lusuh.

Bahkan, Julaibib tak mengenal siapa ayah dan ibunya. Mungkin, kedua orang tuanya dahulu membuangnya. Maka, sejak kecil dirinya hidup luntang-lantung di Madinah, seperti seorang gelandangan.

Julaibib pun bukan nama sebenarnya. Itu hanya julukan untuknya yang berarti “orang yang berjubah sangat kecil.”

Bagaimanapun, sejarah mengenangnya dengan tinta emas. Sebab, Julaibib termasuk di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW. Lelaki ini bukan hanya bertakwa dan saleh, tetapi juga selalu berada di saf terdepan, baik dalam shalat berjamaah maupun medan jihad fii sabilillah.

Suatu kali, Rasulullah SAW menyapanya, “Tidakkah engkau ingin menikah, wahai Julaibib?” Julaibib terdiam menanggapi pertanyaan demikian. Ia seperti membatin, siapalah gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan orang seperti dirinya?

Namun, Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Nabi SAW menanyakan hal yang sama tiga kali.

Akhirnya, Rasulullah SAW bertekad akan menikahkan Julaibib. Beliau mengapit lengan sahabatnya itu dan membawanya ke rumah sebuah keluarga untuk melamar gadis si tuan rumah. Tak tanggung-tanggung pula, yang dituju adalah rumah seorang pemimpin kaum Anshar.

“Aku ingin menikahkan putri kalian,” pinta Rasulullah SAW kepada pemimpin Anshar tersebut.

Sang tuan rumah mengira, beliau-lah yang akan menjadi menantu mereka. Dengan wajah bahagia, mereka menyambut kedatangan Nabi SAW dengan suka cita.

Sedemikian nekatkah Rasulullah SAW ingin menjodohkan dirinya yang buruk rupa ini dengan putri seorang bangsawan? 

“Bukan untukku. Kupinang putri kalian untuk Julaibib,” timpal Rasulullah SAW.

Ayah si gadis langsung terpekik. Bahkan, Julaibib sendiri pun merasa minder yang teramat sangat. Sedemikian nekatkah Rasulullah SAW ingin menjodohkan dirinya yang buruk rupa ini dengan putri seorang bangsawan?

Kemudian, perihal lamaran itu disampaikan kepada si gadis. “Apakah ayah dan ibu hendak menolak permintaan Rasulullah SAW? Demi Allah, kirimkan aku padanya. Jika Rasulullah SAW yang meminta, maka pasti beliau tidak akan membawa kerugian pada diriku,” tegas si gadis yang salehah.

Ia kemudian membacakan Alquran surah al-Ahzab ayat ke-36. Artinya, “Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Akhirnya, menikahlah Julaibib yang miskin, buruk rupa, dan tak punya nasab tersebut dengan gadis salehah putri seorang bangsawan Madinah. Tentunya, melalui pernikahan ini Nabi SAW hendak menyampaikan pelajaran berharga.

Kesetaraan (kufu) antara pihak lelaki dan perempuan yang hendak menikah bukanlah soal materi, kedudukan, atau kepemilikan harta.

Di antaranya adalah bahwa definisi kesetaraan (kufu) antara pihak lelaki dan perempuan yang hendak menikah bukanlah soal materi, kedudukan, atau kepemilikan harta benda. Yang dimaksud ialah kufu ketakwaan dan kesalehan keduanya.

Kisah ini mengajarkan para sahabat ketika itu dan umat Islam seluruhnya bahwa dalam pandangan Allah SWT, semua manusia sama. Yang membedakan derajat mereka hanyalah ketakwaan kepada-Nya. Sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan fisik kalian. Allah hanya melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR Muslim).

Janganlah seseorang merasa malu, minder, dan rendah diri lantaran keterbatasan fisik atau perkara ekonomi. Tak ada alasan pula untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT lantaran ditakdirkan dalam kondisi serba keterbatasan.

“Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 39).

Kisah Julaibib juga memberikan pelajaran bagi orang-orang beriman agar mereka tidak membeda-bedakan persaudaraan dalam Islam karena faktor fisik atau ekonomi. Dalam memilih teman, sahabat, hingga jodoh, hendaklah mengedepankan aspek keimanan dan kesalehan dibanding hal-hal yang lain.

Julaibib menemui akhir hayat di medan jihad sebagai seorang syuhada. Rasulullah SAW mengafani jenazah sahabatnya itu dengan tangan beliau sendiri. Ia dishalatkan Nabi SAW secara pribadi. Beliau lalu mendoakan Julaibib, “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”

REPUBLIKA

Gagasan Kemenag KUA Jadi Tempat Nikah Semua Agama, Begini Respon Muhammadiyah

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas menyampaikan gagasan untuk menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai sentra pelayanan pernikahan untuk semua agama, sehingga KUA kedepan tidak hanya melayani pernikahan dari satu agama saja. Terkait gagasan tersebut Muhammadiyah memberika pandangan lain.

Dilansir dari laman detik.com Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyoroti rencana Menag Yaqut Cholil Qoumas yang ingin menjadikan KUA (kantor urusan agama) sebagai tempat menikah semua agama. Menurut Abdul Mu’ti rencana tersebut perlu dikaji dengan seksama.

“Rencana Kemenag menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan dan perceraian perlu dikaji dengan seksama. Kemenag sebaiknya melakukan hearing dengan mengundang berbagai pihak, khususnya stake holder utama yaitu organisasi-organisasi agama dan kementerian terkait,” kata Abdul Mu’ti saat dihubungi, Senin (26/2/2024).

Abdul Mu’ti menuturkan perlu diperhitungkan dampak yang akan ditimbulkan dari rencana tersebut. Untuk itu perlu adanya kajian yang komperhensif.

“Perlu dilakukan kajian komprehensif terkait dengan kesiapan dan dampak yang ditimbulkan, mempertimbangkan dengan seksama, manfaat dan madlaratnya,” tuturnya.

Abdul Mu’ti mengatakan perlu ada penertiban pernikahan antara yang sah secara hukum dan yang hanya secara agama. Dia mencontohkan pernikahan siri.

“Gagasan integrasi pencatatan pernikahan dan perceraian memang sangat diperlukan. Selain itu juga perlu dilakukan penertiban pernikahan yang tidak tercatat di dalam administrasi. Misalnya pernikahan di bawah tangan (siri) dan ‘pernikahan agama’,” ucapnya.

“Dikotomi antara pernikahan ‘agama’ dan negara tidak seharusnya dibiarkan terus terjadi. Selain menimbulkan masalah sosial, pernikahan agama juga menimbulkan masalah dikotomi hukum agama dan negara,” lanjutnya.

Penjelasan Menag
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan Kantor Urusan Agama (KUA) rencananya akan menjadi tempat menikah semua agama. Ia ingin memberikan kemudahan bagi warga nonmuslim.

“Selama ini kan saudara-saudara kita non-Islam mencatatkan pernikahannya di catatan sipil. Kan gitu. Kita kan ingin memberikan kemudahan. Masa nggak boleh memberikan kemudahan kepada semua warga negara?” ujar Yaqut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (26/2/2024).

Menurutnya, KUA adalah etalase Kementerian Agama. Kementerian Agama, baginya, adalah kementerian untuk semua agama.

“KUA juga memberikan pelayanan keagamaan pada umat agama non-Islam,” lanjut Yaqut.

Yaqut menyebut pihaknya sedang membicarakan tentang prosedur pernikahan di KUA untuk semua agama. Mekanisme hingga regulasinya sedang dalam tahap pembahasan.

“Kita sedang duduk untuk melihat regulasinya seperti apa, apa memungkinkan gagasan ini. Tapi saya sih optimislah kalau untuk kebaikan untuk semua warga bangsa, kebaikan seluruh umat agama, mau merevisi undang-undang atau apa pun saya kira orang akan memberikan dukungan,” jelasnya.

ISLAMKAFFAH

Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Non Sayyid?

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah mengenai pernikahan antara laki-laki bukan habib dengan perempuan syarifah. Lantas apakah Syarifah boleh menikah dengan non sayyid?

Perempuan syarifah adalah perempuan yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Di beberapa kalangan, terdapat anggapan bahwa perempuan syarifah hanya boleh menikah dengan laki-laki habib, yaitu laki-laki yang juga memiliki garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Anggapan ini menimbulkan pertanyaan, bolehkah laki-laki bukan habib menikah dengan perempuan syarifah?

Dalam literatur Islam perihal pernikahan ada sebuah bab yang membahas tentang istilah kafa’ah. Dalam kafaah, menurut mazhab Imam Syafi’i ada lima hal yang lumrah menjadi pertimbangan: merdeka, iffah, nasab, profesi, tidak memiliki aib yang menetapkan khiyar nikah semisal gila, judam dll.

Sehingga laki laki yang bukan habib tidak sekufu’ (sepadan) dengan perempuan keturunan habib (syarifah) dalam segi nasab. Kendatipun tidak sekufu’ mengingat kembali lagi bahwa konsep kafaah hanyalah pertimbangan semata yang tidak berkonsekuensi terhadap keabsahan nikah itu sendiri. Dengan syarat si perempuan itu rela dan senang, pun juga walinya. 

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mughnil Muhtaj:

وَحِينَئِذٍ فَإِذَا ( زَوَّجَهَا الْوَلِيُّ ) الْمُنْفَرِدُ كَأَبٍ أَوْ عَمٍّ ( غَيْرَ كُفْءٍ بِرِضَاهَا أَوْ ) زَوَّجَهَا ( بَعْضُ الْأَوْلِيَاءِ الْمُسْتَوِينَ ) كَإِخْوَةٍ وَأَعْمَامٍ ( بِرِضَاهَا وَرِضَا الْبَاقِينَ ) مِمَّنْ فِي دَرَجَتِهِ غَيْرَ كُفْءٍ ( صَحَّ ) التَّزْوِيجُ

Artinya: “Oleh karena itu ketika seorang wali menikahkan perempuan. baik dari pihak bapak atau paman kepada lelaki yang tidak sekufu’, dengan persetujuan si perempuan. Atau wali yang lain yang setara seperti saudara laki laki dan paman paman. Menikahkan perempuan dengan persetujuan darinya dan wali wali yang sederajat kepada Lelaki yang tidak sekufu’ maka hukum pernikahannya adalah sah.”

Namun dari kalangan internal Alawiyyin sebenarnya telah mengatur perihal fikih khusus pernikahan antara lelaki yang bukan habib dengan syarifah. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdurrahman Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Husain dalam kitab Bughayah Al Mustarsyidin halaman 210:

شريفة علوية خطبها غير شريف فلا أرى جواز النكاح وإن رضيت ورضي وليها، 

Artinya:”Syarifah Alawiyyah dipinang oleh bukan syarif maka saya tidak berpendapat bolehnya nikah meskipun syarifah tersebut dan walinya ridha.”

Dengan demikian,hukum pernikahan laki laki bukan habib menikah dengan perempuan syarifah. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Meski demikian penulis cenderung memilih pendapat yang membolehkan senyampang ada persetujuan dari kedua belah keluarga mempelai dan tidak menimbulkan fitnah maupun mafsadat.


Demikian penjelasan perihal apakah Syarifah boleh menikah dengan non sayyid? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Gawai dalam Genggaman, Amal dalam Hitungan, bag. 1

Bumi ini berputar dengan cepatnya, hari berlalu, bulan berganti, dan tahun pun bertambah. Zaman terus bertumbuh dengan begitu cepatnya, hingga terkadang kita merasa menjadi yang tertinggal, karena terseok dan terjatuh mengejarnya. Begitu banyak kemudahan yang diberikan oleh Allah melalui segala rupa teknologi. Rindu yang mendalam akan mudah terobati dengan pertemuan sesaat melalui ‘video call’, rasa yang terpendam akan terurai mudah dengan percakapan akrab melalui chatting. Bahkan, segala bentuk berita dan informasi akan sangat mudah terpapar melalui website dan media sosial yang telah digunakan hampir di seluruh penjuru dunia. Sehingga terkadang waktu, tenaga, bahkan harta terbuang sia-sia hanya sekedar mengikuti berbagai macam berita viral yang tersebar di media sosial yang diikutinya. Entah berita terkini, gaya hidup, politik, kuliner, fashion, wisata, dan lain sebagainya. Apalagi jika mengikuti permainan-permainan online atau menonton film sampai lupa waktu.

Sedikit demi sedikit, namun pasti hal-hal yang terpaparkan akan mempengaruhi kehidupan seorang muslim, jika dia tidak pandai-pandai dalam mengatur dan membatasi diri dari segala informasi yang tidak bermanfaat, hal itu mungkin saja bisa merusak diri dan agamanya. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim mengetahui bagaimana memanfaatkan kemudahan ini dengan baik.

Tinggalkan yang tidak bermanfaat

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah dengan ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya.” (Hadis hasan riwayat At-Tirmidzi dan lainnya)

Syaikh Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa faedah dari hadis tersebut di antaranya adalah, setiap orang hendaknya meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, baik dalam urusan agama maupun dunianya. Yang demikian itu, lebih menjaga waktu, menyelamatkan agama, dan meringankan bebannya. Jika ia mengurusi urusan orang lain yang tidak bermanfaat baginya, pasti dia akan cepat lelah. Sebaliknya, jika dia berpaling dari urusan orang lain dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya, maka itu akan membuatnya lebih tenang dan lapang.

Mengikuti berita-berita viral yang banyak tersebar melalui media sosial baik facebook, instagram, atau website tertentu hanya akan menambah beban pikiran kita, menyita waktu, dan tenaga serta emosi yang terkadang ikut tersulut. Tentulah hal itu akan mempengaruhi aktivitas keseharian kita. Karena  membaca berita viral yang berseri, bisa melalaikan dari tugas utama yang seharusnya kita kerjakan, bisa melalaikan kita dari waktu-waktu ibadah dan waktu mustajab untuk berdoa. Maka, hendaklah kita tidak berlarut-larut dan tidak memberikan tempat untuk hal yang semacam itu dalam diri kita. Sebagai gantinya, kita ubah arah bacaan kita kepada nasihat-nasihat dari ulama yang kini pun telah banyak tersebar. Maka akun medsos kita akan lebih bermanfaat dan menyejukkan hati.

Faedah lain yang dikemukakan Syaikh Utsaimin adalah bahwa setiap orang hendaknya tidak menyia-nyiakan segala hal yang bermanfaat baginya, baik dalam urusan agama maupun dunia. Hendaknya dia selalu menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat.

Tundukkan Pandangan

Telah masyhur sebuah ungkapan ‘dari mata turun ke hati’. Dan hal ini bukan hanya masalah cinta, namun karena pandangan adalah penuntun hati, setiap yang tampak oleh mata akan memberikan pengaruh kepada hati. Dengan melihat pemandangan alam yang indah, hati menjadi gembira, lapang, dan bersemangat. Namun terkadang, hati pun bisa terluka atau ternodai karena memandang hal-hal yang tidak seharusnya terlihat.

Inilah salah satu hal yang sulit kita hindari jika kita bermain di media sosial. Berbagai macam foto dan video yang terkadang menampakkan aurat, baik wanita maupun pria, terekspos dengan mudahnya. Akun-akun komersil yang menawarkan berbagai macam kemewahan dunia, berupa pakaian, aksesori, perhiasan, dan lainnya. Sedangkan, menahan pandangan adalah sebuah kemuliaan seorang muslim. Karena pandangan jika tidak dijaga akan mengirimkan getaran ke dalam hati, kemudian hati akan berangan-angan dan berkeinginan. Sedangkan, tidaklah semua keinginan bisa dan halal untuk diwujudkan.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ لله أَوْرَثَ الله قَلْبَهُ حَلاَوَةً إِلىَ يَوْمِ يَلْقَاهُ

“Pandangan merupakan anak panah beracun dari anak-anak panah iblis. Maka, barang siapa menahan pandangannya dari kecantikan seorang wanita karena Allah, niscaya Allah akan memberikan kenikmatan dalam hatinya sampai pertemuan dengan-Nya.” (HR. Al-Hakim dalam alMustadrak, IV/313)

Nabi memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari apa saja yang tidak selayaknya kita lihat. Meski itu akan sulit dan memerlukan kesungguhan dalam melakukannya. Karena itu akan mengotori dan meninggalkan seberkas noda di dalam hati. Ada yang berkata: ‘Kesabaran menundukkan pandangan itu lebih ringan daripada kesabaran dalam menanggung beban akibatnya.”

Menahan Komentar dan Prasangka

Para pengguna media sosial pastilah paham, bahwa setiap berita yang diunggah terkadang menimbulkan pro dan kontra, memunculkan prasangka para warganet. Apalagi, disediakan tempat untuk beradu argumen dalam kolom komentar, bahkan terkadang memicu unggahan lain untuk membantah atau mendukung unggahan sebelumnya. Hal ini seperti sebuah alur alami yang terjadi di dunia media sosial. Maka, hendaknya sebagai seorang muslim menahan lisan dan hatinya untuk tidak turut berkomentar dan berbicara mengenai sesuatu yang tidak ia pahami. Hal itu lebih utama untuk menjaga kehormatan diri. Apalagi menjerumuskan diri ke dalam perdebatan yang tidak berujung karena tidak didasari dengan ilmu yang cukup. Terlebih, jika membawa permasalahan agama yang menyangkut firman Allah dan sabda Nabi, tentu para ahli ilmulah yang berhak untuk berbicara.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat.(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kita tidak tahu perkataan kita itu akan mengangkat kita beberapa derajat, ataukah perkataan itu akan menjatuhkan kita ke dalam api neraka. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam berbicara dan berkomentar adalah sebuah usaha untuk menjaga kemuliaan diri di hadapan Allah dan makhluk-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Unggahan tertentu sengaja dibuat agar menimbulkan prasangka warganet, sehingga akan menjadi buah bibir dimana-mana, baik di jejaring sosial maupun tempat-tempat bertemu. Mendorong orang-orang untuk berprasangka dan mencari-cari tentang berita tersebut. Namun, muslim yang bijak tentu tidak akan memberikan bagian dari hati dan pikirannya untuk hal-hal yang akan merugikannya di hari perhitungan kelak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Hujurat: 12)

Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan, “Prasangka buruk yang menetap di hati seseorang tidak hanya cukup sampai di situ saja bagi yang bersangkutan, bahkan akan mendorongnya untuk mengatakan yang tidak seharusnya dan mengerjakan yang tidak sepatutnya yang di dalam hal itu juga tercakup berburuk sangka, membenci, dan memusuhi saudara sesama mukmin yang seharusnya tidak demikian.”  Maka, untuk menjaga kesucian hati, hendaknya seorang mukmin menjauhkan hal itu dari dirinya.

Lanjut ke bagian 2: Bersambung insyaallah

Penulis: Rinautami Ardi Putri

Sumber: https://muslimah.or.id/17579-gawai-dalam-genggaman-amal-dalam-hitungan-bag-1.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Kecil-kecil Jadi “Abdurrahman bin Auf”

PAGI yang tampak tenang dipecahkan oleh keriuhan di dekat jalan raya. Sejumlah pria dewasa pun mencoba menenangkan situasi.

Keriuhan di Gunung Tembak itu tidak mengkhawatirkan sebenarnya. Karena yang terjadi bukan jual beli pukulan maupun tembakan, melainkan jual beli yang sebenarnya.

Hari itu, Sabtu, 14 Sya’ban 1445 H (24/2/2024), sedang berlangsung Market Day Santri Madrasah Ibtidaiyah Raadhiyatan Mardhiyyah (MI RM) Putra.

Ini adalah kegiatan jual beli laksana pasar. Saban pekan, para santri difasilitasi untuk berjualan makanan dan minuman. Mereka digilir per kelas per pekan, setiap Sabtu pagi.

Hari itu, sekitar pukul 09.00 WITA, usai pembelajaran di ruang-ruang kelas, para santri mulai meramaikan halaman madrasah. Saatnya bermain.

Sementara santri yang kena giliran berjualan, mulai menyiapkan stan masing-masing. Stannya berupa meja-meja belajar yang dikeluarkan dari ruang kelas. Sejumlah guru pun turut membantu penyiapan barisan “tenant” jualan.

Deretan pedagang cilik kini sudah bersiap. Para santri lainnya sudah duduk manis di depan mereka. Pada sesi pertama, santri berbelanja secara bergiliran per kelas.

Singkat kemudian, seorang guru memberikan aba-aba.

“Kelas 1 (maju terlebih dahulu),” ujar salah seorang ustadz bernama Perdamaian, melalui pengeras suara.

Santri-santri kelas 1 pun berdiri dan maju untuk mulai berbelanja. Secara tertib mereka memilih satu per satu jualan yang dijajakan sesuai selera masing-masing.

“Ini berapa harganya?” “Beli 1!”
“Ada uang kembaliannya kah?”
“Bla! Bla! Bla!”

Transaksi demi transaksi pun berlangsung dengan uang tunai Rupiah.

Sabtu pagi itu giliran kelas 3 yang berjualan. Ibrahim, misalnya, menjual es kelapa seharga Rp 5.000 per bungkus. Ia menjajakan setermos besar yang dibawakan bapaknya jelang dibukanya lapak tersebut.

Temannya, Fawwaz, menjual sate mi telor herbal, seharga Rp 2.000 per item dan minuman manis yang dibekukan seharga sama.

Ada beragam jenis jajajan makanan dan minuman lainnya. Mulai dari nasi kuning, kue basah, roti, hingga buah elai. Semua itu dibawa oleh setiap pedagang dari rumah masing-masing. Ada yang memproduksi di rumah sendiri oleh orang tuanya, ada pula yang membelinya di tempat lain lalu dijual kembali.

Usai kelas 1, giliran kelas 2 yang maju. Begitu seterusnya. Setelah kelas 6 mendapatkan giliran, saatnya sesi belanja bebas. Pada sesi ini, semua santri dipersilakan berbelanja, tanpa peduli kelas berapa.

Tak pelak, mereka berbondong-bondong memborong makanan dan minuman kesukaan masing-masing.

Tetap tertib, pesan para guru.

Bukan cuma para murid yang boleh berbelanja. Guru-guru juga tak ketinggalan. Sebagian guru pun ikut mempromosikan jualan murid-muridnya. Ada juga yang membantu menghitungkan uang jualan santri.

“Berapa harganya ini?” tanya ustadz lainnya, Salman Alfarisi, kepada salah seorang santri pedagang cilik. Lalu sang guru berteriak-teriak layaknya pedagang di pasar betulan.

Brownies, brownies!”

Saat itu hadir juga beberapa wali murid, tampaknya penasaran dengan suasana market day yang diprakarsai oleh MI RM Putra itu.

Seorang wali murid pun tak ketinggalan membeli sejumlah makanan dan minuman.

Abdullah, santri kelas 3, terlihat riang gembira setelah jualannya, nasi goreng, ludes diborong pembeli.

Kepala MI RM Putra, Arifuddin Syafar, ikut serta meramaikan suasana.

Market day di MI RM Putra sudah dimulai sejak semester 1 tahun 2023,” ujar Arifuddin kepada hidayatullah.com yang menyaksikan bazar mini di dekat Jl Mulawarman, Gunung Tembak, Kelurahan Teritip, Kota Balikpapan itu.

Benih yang Tumbuh

Detik-detik jelang berakhirnya market day, sempat terjadi kehebohan. Yang bikin heboh ketika seorang santri “memborong” sebagian kue yang masih tersisa, lalu membagikan ke teman-temannya. Sontak saja, santri lainnya mengerumuni santri senior yang baik hati berbagi kue tersebut. Santri itu diketahui merupakan putra dari salah seorang pengusaha muda setempat.

Pemandangan ini mengingatkan kita sosok Abdurrahman bin Auf, Sahabat Rasulullah yang kaya raya sekaligus dermawan.

Rupanya masih ada beberapa kue yang belum terbeli. Kali ini Perdamaian turun tangan lagi.

“Yang mau risol gratis, merapat! Ayo merapat! Merapat!” ujarnya dengan suara agak lantang. Kue salah satu santrinya ia bayarin.

Santri-santri pun kembali berkerumun, ditraktir gitu loh….

“Makan minum sambil duduk yah!” Terdengar suara guru mengingatkan peserta didiknya agar terus menjaga adab makan dan minum.

Sekitar sejam berlangsung, market day berangsur selesai. Meja-meja yang telah usai dipakai, segera dibersihkan dan dikembalikan ke tempat semula. Sampah-sampah sejak tadi dikumpulkan di tempat yang telah ditentukan.

Sementara santri, guru, dan wali murid mulai pulang. Begitu pula Kepala MI tersebut. Ia patut berbahagia atas berjalan lancarnya market day itu, dengan harapan tujuannya bisa tercapai. Mencetak kader-kader pengusaha.

“Salah satu tujuannya adalah untuk menanamkan jiwa entrepreneurship kepada siswa sejak dini, membangun pengalaman siswa yang positif, melatih keberanian, komunikasi, kejujuran, dan mengenalkan nilai mata uang kepada peserta didik,” urai Arifuddin kepada hidayatullah.com usai kegiatan itu.

Benih harapan yang dipupuk itu perlahan mulai tumbuh. Seperti yang dirasakan Farida, ibunya Fawwaz. Ia gembira menyaksikan market day tersebut meskipun lebih banyak memantau dari jarak agak jauh. Kegembiraannya bertambah setelah mengetahui putranya, kelas 3 A MI RM Putra, sukses berbisnis hari itu. Semua jualan Fawwaz ludes tak tersisa.

“Ini keuntungannya, ditabung yah!” ujar Farida setelah menghitung laba yang diperoleh anak sulungnya itu. Beberapa lembar uang Rp 2.000-an ia sisihkan.

“Ini modalnya disimpan, diputar lagi, nanti dipakai modalnya (oleh) Musyawir,” tambah sang ibu laksana seorang manajer, menyisihkan uang lainnya. Nama terakhir yang disebut adalah adiknya Fawwaz.

Sabtu pekan depan, katanya, giliran Musyawir dan teman-temannya santri kelas 2 MI RM Putra, untuk berjualan di arena market day yang sama. Musyawir sudah bersiap-siap jadi pengusaha cilik berikutnya.

Mau jualan apa?

“Sama kayak Abang (Fawwaz)”, katanya sambil bermain, Sabtu siang.

Laksana Abdurrahman bin Auf, semoga kelak para santri kita itu menjadi pengusaha-pengusaha Muslim yang sukses dunia akhirat. Aamiin!*

HIDAYATULLAH

Nabi Muhammad adalah Pemberi Pencerahan dan Simbol Perdamaian

Begitu banyak uraian menyangkut Nabi Muhammad Saw. oleh para ulama dulu hingga sekarang dan tidak pernah habis. Bahkan, walau habis umur seseorang untuk menguraikan Nabi Muhammad pasti ada yang terlewat tentang beliau. Nabi Muhammad diberikan tugas Allah Swt. untuk menjadi penerang bagi umat Islam dan mengajarkan kedamaian, yang semuanya dipraktikkan beliau langsung dalam kehidupannya.

Kata Quraish Shihab, berbicara menyangkut Rasul Saw. itu adalah suatu kehormatan yang tidak lagi menyentuh Rasul Saw., tetapi justru menyentuh pembicara dan para pendengarnya. Di sisi lain, berbicara menyangkut Rasul Saw. itu tidak mungkin mampu seseorang untuk menguraikannya, karena betapapun pandai dan luasnya uraian menyangkut Rasul Saw., tetap saja walau sepanjang usia kita gunakan untuk membicarakannya, pasti ada yang tidak dapat terjangkau.

Pengetahuan kita tentang Rasul Saw., lanjut Quraish Shihab, hanya sampai untuk berkata bahwa dia adalah manusia yang teragung di permukaan bumi ini, bahkan di alam raya ini. Rasulullah Saw. memberikan contoh yang sangat simpel, tetapi sungguh amat berharga. Ketika putra beliau wafat, orang-orang berkata bahwa matahari gerhana karena kematian putranya.

Dalam keadaan sedih dan keadaan bercucuran air mata beliau memberi pencerahan. Kata Nabi, “matahari dan bulan adalah ayat-ayat Tuhan dan tanda-tanda kuasa Tuhan. Dia tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Kalau kalian menemukan itu, maka bersegeralah mengingat Allah Swt., dan bersegeralah shalat.”

Al-Mughirah ibn Syu’bah RA pernah berkata:

الْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ : اِنْكَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيْمَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوْا حَتَّى تَنْكَشِفَ

Artinya: “Pada zaman Rasulullah Saw. Pernah terjadi gerhana matahari, yaitu pada hari wafatnya Ibrahim. Lalu orang-orang berseru, Terjadi gerhana matahari karena wafatnya Ibrahim. Maka Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian dan kehidupan seseorang. Jika kalian melihat keduanya (mengalami gerhana), berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga kembali seperti semula.” (HR Al- Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Sampai terang kembali.”).

Allah Swt. berfirman dalam surat Yunus:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ ۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَـقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus [10]: 5).

Sebenarnya, bisa saja Rasul Saw. tidak memberikan pencerahan, apalagi ketika itu situasi psikologis kondisi kejiwaan beliau cukup sedih. Tetapi, karena tugas beliau adalah memberi pencerahan, maka beliau memberikan pencerahan yang amat berharga. Karena itu, Allah Swt. melukiskan Rasulullah Saw. dengan firman-Nya:

يٰۤـاَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّاۤ اَرْسَلْنٰكَ شَاهِدًا وَّمُبَشِّرًا وَّنَذِيْرًا وَّدَاعِيًا اِلَى اللّٰهِ بِاِذْنِهٖ وَسِرَاجًا مُّنِيْرًا

Artinya: “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 45-46).

Menarik sekali. Rasul Saw. dilukiskan oleh ayat ini dengan matahari dan bulan. Matahari memiliki cahayanya atas anugerah Allah Swt., dan tidak bersumber dari siapapun atau apapun kecuali dari Allah Swt. Sedangkan, bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari. Itu berarti, dalam sosok Rasulullah Saw. ada penerangan, disamping juga karena manusia sendiri membutuhkan matahari untuk kelangsungan hidupnya. Maka, kehadiran Rasulullah Saw. sepanjang masa kita butuhkan (dan membutuhkan).

Bagaimana dengan persoalan perdamaian?

Tentang bagaimana sikap Rasulullah Saw. menyangkut perdamaian, kata Quraish Shihab, kita cukup melihat sikap dan waktu shulh al-hudaibiyyah. Beliau Nabi bersedia menghapus tujuh kata “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Muhammad Rasulullah”.

Sayyidina Ali yang menulis itu, menurut satu riwayat, enggan dan tidak mau untuk menghapusnya. Begitupun juga dengan Sayyidina Umar Ibn al-Khattab ketika membaca atau mengetahui butir-butir dari shulh hudaibiyyah itu juga berkata “Kenapa kita harus menerima sesuatu yang melecehkan kita?” Rasulullah Saw. menjawab “Saya Rasulullah.”

Beliau menghapusnya bahkan lebih dari itu. Beliau membatalkan kunjungan umrah yang bersifat sunnah itu demi mencapai dan menandatangani perjanjian itu. Karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa, agama Islam tidak menghendaki perdamaian. Damai ada dua macam; pertama, ada damai yang melahirkan kedamaian masyarakat seluruhnya.

Seorang ulama besar di Mesir mengutip riwayat yang menyatakan bahwa, suatu ketika seorang bernama Unwan datang kepada Imam Ja’far Shadiq untuk meminta nasehat. Beliau memberinya 9 nasehat. Salah satunya adalah nasehat “Hai Unwan, kalau ada yang berucap kepadamu 10 makian, jangan jawab. Katakan kepadanya: “jika engkau berucap 10, engkau tidak akan mendengar dariku satu.” Mengapa demikian? Karena al-Qur’an memerintahkan;

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7]: 199).

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا

Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “salam,”. (QS. Al-Furqan [25]: 63).

Kemudian, termasuk juga nasehat Imam Ja’far Shadiq:

من شتمك فقل له إن كانت شتيمتك حق فأرجو الله ان يغفر لي، وان كانت غير ذلك فأرجو الله ان يغفر لك 

Artinya: “Jika ada yang memaki mu, katakan padanya: kalau makian mu benar, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku. Dan kalau makianmu tidak demikian, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.”

Pertanyaannya sekarang adalah adakah kedamaian lebih dari ini? Apakah kedamaian-kedamaian seperti ini masih ada sekarang? Tetapi, itulah contoh-contoh yang diberikan oleh Rasulullah Saw. dan keluarga beliau dalam konteks memantapkan perdamaian.
Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH