Alasan Pengharaman Riba

Istilah riba mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Riba adalah salah satu bentuk eksploitasi dalam bertransaksi dan dapat menimbulkan banyak kerugian. Riba adalah salah satu hal yang sangat dilarang dalam agama Islam, apa pun jenis riba tersebut. Nah berikut alasan pengharaman riba dalam Islam.

Imam al- Khatib asy-Syirbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj menjelaskan definisi riba secara bahasa adalah ziyadah (tambahan), sedangkan pengertian secara syara’, riba diartikan sebagai:

 وَشَرْعًا: عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا

Riba adalah suatu akad pertukaran barang yang tertentu yang tidak diketahui kesamaannya dalam timbangan syara’ ketika akad berlangsung, atau akibat adanya penundaan serah terima kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.” 

Larangan riba diatur dalam ajaran Islam sebelum Ijma’ dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW pernah bersabda:

 لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهده ‏‏(‏رواه مسلم‏)

“Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilkan riba, penulisnya dan orang yang bersaksi atas nama riba .” (H.R Muslim)

Lantas mengapa riba ini sangat dilarang, bahkan bukan hanya dalam Islam, tapi juga dalam agama-agama lainnya. Perlu kita ketahui, bahwa dalam praktik riba terdapat beberapa hal yang membuat riba itu haram.

Dalam Kitab Durratun Nasihin, Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri mengutip penjelasan dalam kitab Hayatul Qulub tentang alasan pengharaman riba, sebagai berikut:

وذكر في سبب تحريم الربا وجوه: أحدها أن الربا يقتضى أخذ مال الغير بغير عوض لأن من يبيع درهما بدرهمين نقدا أو نسيئة فقد حصل له زيادة درهم من غير عوض فهو حرام.

 والوجه الثاني إنما حرم عقد الربا لأنه يمنع الناس عن الاشتغال: بالتجارة لأن صاحب الدرهم إذا تمكن من عقد الربا خف عليه تحصيل الزيادة من غير تعب ولا مشقة فيفضى ذلك إلى انقطاع منافع الناس بالتجارة وطلب الأرباح.

 والوجه الثالث أن الربا هو سبب انقطاع المعروف بين الناس من القرض، فلما حرم الربا طابت النفوس بقرض الدراهم للمحتاج واسترجاع مثلها لطلب الأجر من الله تعالى.

 والوجه الرابع أن تحريم الربا قد ثبت بالنص ولا يجب أن تكون حكمة جميع التكاليف معلومة للخلق فوجب القطع بتحريم الربا وإن كنا لا نعلم وجه الحكمة في ذلك 

Ada beberapa faktor yang menjadi sebab diharamkannya riba itu :

Pertama, riba itu menghendaki adanya harta orang lain yang di ambil tanpa ganti. Karena, orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham, baik kontan atau tempo, maka berarti dia telah memperoleh tambahan satu dirham, tanpa adanya suatu ganti. Inilah yang haram.

Kedua, akad riba diharamkan karena hal itu menyebabkan orang jadi enggan untuk berniaga. Karena apabila orang yang memiliki uang melakukan transaksi riba, sangat mudah baginya mendapatkan keuntungan tanpa harus susah payah, yang mana hal ini menyebabkan terputusnya manfaat-manfaat yang diperoleh melalui perdagangan dan mencari keuntungan dalam berniaga.

Ketiga, riba menjadi sebab terputusnya kebaikan di antara sesama manusia dari adanya pinjam meminjam. Ketika riba diharamkan, hati manusia akan menjadi senang dengan meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan dengan meminta kembali sesuai dengan jumlah nominal yang dipinjam, demi mencari keridhaan Allah Taala.

Keempat, pengharaman riba telah ditetapkan dalam  nash (al-Qur’an), sedang hikmat semua pembebanan (kewajiban agama) tidak harus diketahui oleh makhluk. Oleh karena itu, keharaman riba sekalipun tidak diketahui apa hikmat yang terkandung dalam pengharamannya, tetaplah haram.

Itulah beberapa alasan kenapa riba itu diharamkan dalam Islam, kesimpulannya, perlu kita pahami bahwa praktik riba membawa dampak buruk yang merugikan bagi setiap individu atau masyarakat umum, dan ekonomi secara keseluruhan.

Selain melanggar prinsip keadilan dan keseimbangan, menciptakan ketidakstabilan ekonomi. riba juga dapat meningkatkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Oleh sebab itu, sangat perlu mencari alternatif yang sesuai dengan nilai-nilai etika dan keadilan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, guna menggantikan atau bahkan menghentikan praktik riba yang saat ini sangat marak terjadi. 

BINCANG SYARIAH

Hukum Melunasi Utang dengan Lebih Akibat Inflasi

Hukum melunasi utang dengan lebih akibat inflasi dalam Islam merupakan isu yang kompleks dan memiliki berbagai pendapat di kalangan ulama. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pandangan utama terkait persoalan tersebut.

Utang piutang merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, terdapat aturan dan hukum yang mengatur tentang utang piutang, termasuk bagaimana cara pembayarannya. Salah satu isu yang muncul terkait dengan pembayaran hutang adalah pengaruh inflasi.

Inflasi menyebabkan nilai mata uang menurun, sehingga nilai hutang pada saat pengembalian menjadi lebih kecil dibandingkan saat dipinjam. Hal ini menimbulkan dilematis antara debitur diwajibkan untuk membayar hutang lebih banyak untuk mengimbangi inflasi, namun hal ini termasuk riba atau cukup dengan nominal yang dipinjam akan tetapi bisa jadi manusia enggan memberi hutangan karena terjadi penurunan nilai mata uang.

Lantas bagaimana Islam merespon hal ini? Apakah boleh melunasi utang dengan lebih akibat dampak inflasi?

Hukum Melunasi Utang dengan Lebih Akibat Inflasi

Dalam literatur Islam dijumpai keterangan bahwa hukum akad utang piutang pada dasarnya adalah diperbolehkan. Karena di dalamnya terdapat maslahat yang dapat meringankan beban orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw dalam sebuah hadis berikut;

مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Artinya: “Barangsiapa melapangkan satu macam kesempitan dari aneka macam kesempitan yang dialami saudaranya, Allah akan melapangkan kesempitan penolong itu dari kesempitan-kesempitan hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, Allah akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang sedang kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia maupun di akhirat. Allah selalu dalam pertolongan seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya.” (Sunan at-Tirmidzi: 2869)

Namun hukum boleh diatas dapat berubah menjadi tidak boleh ketika didalam nya terdapat praktek riba (tambahan saat pelunasan), Seperti contoh pelunasan hutang dengan tambahan akibat inflasi. Yakni seseorang berhutang 150 ribu (bisa membeli 15 kg beras), lalu saat pelunasan terjadi inflasi harga, sehingga nilai mata uang menurun, dimana beras 15 kg bisa dibeli dengan uang 150 ribu, sekarang harus mengeluarkan uang 200 ribu. 

Masalah pelunasan utang dengan tambahan akibat inflasi  di kalangan ulama masih menuai perbedaan pendapat. setidaknya ada 3 pendapat dalam permasalahan ini. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Muamalah Maliyah Mu’ashirah halaman 167-168 sebagai berikut: 

لقد بحث الفقهاء مسألة الفلوس إذا أقرضت ثم نقصت قيمتها، فهل يكون سداد القرض
;بمثلها أو بقيمتها ؟ اختلف الفقهاء في ذلك على ثلاثة أقوال
القول الأول: ذهب أبو حنيفة والمالكية في المشهور عندهم والشافعية والحنابلة إلى أنه يجب على المدين أداء النقد نفسه المحدد في العقد ومثله دون زيادة أو نقصان؛ لأن الزيادة على المثل أو النقصان عنه ربا لا يجوز شرعاً

القول الثاني: ذهب أبو يوسف إلى أنه يجب رد قيمة النقود التي طرأ عليها التغيير من غلاء أو رخص يوم ثبوت الدين في الذمة، ففي البيع تجب القيمة يوم انعقاده، وفي القرض تجب القيمة يوم قبضه وذلك لتحقيق مصالح الناس، فإن القول برد المثل يؤدي إلى امتناع الناس من إقراض الفلوس خشية نقصان قيمتها قبل الوفاء
القول الثالث: ذهب المالكية في قول إلى أنه يفرق بين ما إذا كان تغير يسيراً رد المقتر المثل، وإن كان فاحشاً رد الفلوس يسيراً أو فاحشاً. فإن كان القيمة لتضرر المقرض بالتغير الفاحش دون اليسير والراجح ما ذهب إليه المالكية من أنه يفرق بين التغيير اليسير والفاحش لأنه يحقق مصالح

Artinya:”Para ulama telah membahas perihal masalah uang yang dihutangkan kemudian nilai mata uangnya turun. Apakah harus membayar sesuai jumlah hutang di awal atau menyesuaikan mata uangnya?. Dalam hal ini ada 3 pendapat:

Pendapat pertama: Menurut mayoritas ulama yakni Abu Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah Dan Hanabilah. Pelunasan sesuai jumlah awal ketika berhutang karena kalau membayar lebih adalah riba.

Pendapat kedua: Menurut Abu Yusuf membayar sesuai nilai inflasi atau mata uang saat pelunasan. Dengan alasan jika membayar saat awal berhutang bisa jadi manusia enggan memberi hutangan karena khawatir terjadinya penurunan mata uang (inflasi).

Pendapat ketiga: Menurut sebagian Ulama Malikiyah berpendapat dirinci, jikan nilai mata uang mengalami penurunan yang sedikit, maka membayar sesuai jumlah awal. Tapi jika mengalami penurunan yang banyak, maka membayar sesuai nilai inflasi harga. Karena jika tidak dapat merugikan pihak pemberi hutang.”

Dengan demikian melunasi hutang dengan adanya tambahan akibat dampak inflasi dikalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun sebagai pihak yang berhutang. sebaiknya mengambil sikap yang bijak yakni dengan memberikan lebih ketika membayar hutang jika terjadi inflasi yang terlalu banyak. Karena jika tidak akan dapat merugikan pihak pemberi hutang. Bukankah rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan imam muslim “Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. [HR Muslim no.4192].

Demikian penjelasan perihal hukum melunasi utang dengan lebih akibat dampak inflasi semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci

Ada kalanya seseorang mendapatkan musibah berupa luka di tangannya. Dalam rangka pengobatan, dokter mengharuskan pemakaian perban di tangan tersebut. Ketika dia hendak berwudu untuk salat, apakah dia harus melepas perbannya karena di antara syarat sah wudu adalah tidak adanya penghalang sampainya air ke kulit, atau dia boleh mengusapnya sebagaimana diperbolehkannya mengusap khuf?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang mengusap jabirah (gips, perban, atau semisalnya) ketika bersuci. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pembahasan ini erat kaitannya dengan permasalahan mengusap khuf. Bahkan, beberapa ulama menggabungkan pembahasan mengusap khuf dan jabirah dalam satu bab saja. Oleh karena itu, silakan membaca artikel kami tentang mengusap khuf terlebih dahulu di sini, sehingga bisa memahami permasalahan ini dengan lebih mudah.

Definisi mengusap jabirah

“Mengusap jabirah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الجبيرة – mengusap di atas jabirah) tersusun dari dua kata utama, yaitu al-mashu ( المَسْح ) dan al-jabirah ( الجبيرة ).

Tentang al-mashu ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan,

المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ

Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1]

Sedangkan tentang al-jabirah ( الجبيرة ), disebutkan dalam kitab At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah,

‌‌‌الجَبيرة هي التي تُربط على الجرح وهي العيدان التي تجبر بِها العظامُ جمعها الجبائر

Jabirah (secara bahasa) adalah tongkat-tongkat (kayu) yang diikatkan pada luka untuk memperbaiki tulang. Bentuk jamaknya adalah jabā’ir.” [2]

Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa.

Namun, mazhab Maliki menjelaskan jabirah dengan makna yang lebih luas, yaitu “apa saja yang digunakan untuk merawat luka, baik itu tongkat, plester, atau lainnya.” [3]

Tidak ada perbedaan antara penggunaan jabirah pada patah tulang atau luka. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

(فصل) ولا فَرْقَ بينَ كَوْنِ الشَّدِّ على كَسْرٍ أو جُرْحٍ، قال أحمدُ: إذا تَوَضَّأَ، وخَافَ على جُرْحِهِ الماءَ، مَسَحَ على الخِرْقَةِ….. وكذلك إنْ وَضَعَ على جُرْحِهِ دَوَاءً، وخَافَ مِنْ نَزْعِه، مَسَحَ عليه.

(Pasal) Tidak ada perbedaan antara (jabirah) yang digunakan pada patah tulang atau luka. Imam Ahmad mengatakan, ‘Jika ia berwudu dan takut air akan merusak lukanya, ia boleh mengusap di atas kain…’ Demikian juga, jika ia memberikan obat pada lukanya dan takut merusaknya dengan melepaskannya, ia boleh mengusap di atasnya.’” [4]

Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa jabirah dalam konteks mengusap adalah mencakup apa saja yang dibuat dari tongkat (kayu), gips, perban, atau lainnya, baik pada patah tulang maupun luka. Wallahu a’lam.

Hukum mengusap jabirah

Bolehnya mengusap jabirah dalam wudu, mandi, atau tayamum, merupakan perkara yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. [5]

Di antara dalilnya adalah [6]:

Pertama: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

انكسرت إحدى زندي، فأمرني النبيُّ ﷺ أن أمسح على الجبائر

Salah satu tulang bawahku patah, maka saya bertanya kepada Nabi , dan beliau memerintahkan saya untuk mengusap jabirah.” [7]

Kedua: Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang pria terkena batu yang melukai kepalanya, kemudian ia mengalami mimpi basah. Lalu, ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah ia mendapat keringanan untuk bertayamum. Mereka berkata, “Kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan kamu mampu menggunakan air.” Maka, ia mandi dan meninggal. Maka, Nabi ﷺ bersabda,

قتلوه قتلهم الله. ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب

Mereka membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayamum dan mengikat (lukanya).” [8]

Ketiga: Di antara dalil yang lain, dan ini merupakan yang paling kuat, yaitu kebutuhan mengharuskan untuk mengusap di atas jabirah. Karena melepasnya akan menyebabkan kesulitan dan menimbulkan bahaya. [9]

Syarat-syarat mengusap jabirah

Syarat diperbolehkannya mengusap jabirah adalah sebagai berikut [10]:

Pertama: Khawatir terjadi bahaya dengan melepasnya.

Kedua: Membasuh anggota tubuh yang sehat, tidak menyebabkan bahaya pada anggota yang cedera/ sakit. Jika membasuhnya menyebabkan bahaya, maka pendapat yang benar adalah mengusap anggota tubuh yang sehat tersebut. (Lihat pembahasan tentang “cara mengusap jabirah” di bawah.)

Ketiga: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna.

Syarat ini merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang sahih adalah tidak diharuskan bersuci untuk jabirah. Dan ini adalah riwayat dalam mazhab Hanbali yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah karena alasan berikut:

Pertama: Tidak ada dalil yang mensyaratkan bersuci dengan sempurna sebelum memakai jabirah.

Kedua: Jabirah biasanya dipasang secara tiba-tiba, tidak seperti khuf yang dipakai ketika diperlukan. Wallahu a’lam.

Beberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusap

Untuk mengetahui permasalahan jabirah dengan menyeluruh, maka kita perlu mengetahui perbedaan antara jabirah dengan khuf (dari sisi pengusapan). Di antaranya [11]:

Pertama: Mengusap jabirah dilakukan dalam keadaan darurat, sedangkan mengusap atas khuf tidak demikian.

Kedua: Mengusap jabirah dibatasi sampai penyebabnya hilang, berbeda dengan khuf yang dibatasi oleh hari.

Ketiga: Untuk jabirah, tidak diwajibkan berada dalam keadaan bersuci dengan sempurna menurut pendapat yang rajih, berbeda dengan khuf yang membutuhkan bersuci dengan sempurna dengan air.

Keempat: Jabirah dapat diusap dalam bersuci dari hadas besar dan kecil, berbeda dengan khuf yang harus dilepas dalam bersuci dari hadas besar.

Kelima: Mengusap harus mencakup seluruh jabirah menurut pendapat yang sahih dari para ulama, berbeda dengan khuf yang cukup dengan mengusap sebagian besarnya saja.

Cara mengusap jabirah

Jika seseorang ingin mengusap jabirah ketika bersuci, maka ia melakukan hal berikut [12]:

Pertama: Membasuh anggota badan yang sehat.

Kedua: Mengusap jabirah.

Ketiga: Apakah mengusap harus mencakup seluruh jabirah atau cukup sebagian besar seperti khuf? Ini merupakan perbedaan pendapat di antara ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah wajib mengusap seluruh jabirah. Ini merupakan pendapat Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Wallahu a’lam.

Jika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan?

Harus mengusap jabirah tersebut. Tetapi, jika bisa dilepas tanpa menyebabkan bahaya, maka bagian yang melebihi kebutuhan harus dilepas. Jika tidak bisa, menurut suatu pendapat, cukup mengusap bagian yang terdapat jabirah yang diperlukan, dan tayamum untuk bagian yang melebihinya. Pendapat ini adalah mazhab Hanbali.

Pendapat yang rajih adalah mengusap seluruh jabirah (termasuk yang melebihi keperluan) tanpa tayamum. Hal ini karena ketika mencopot bagian yang berlebihan menyebabkan bahaya, maka seluruhnya dianggap sebagai jabirah. Ini adalah pilihan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. [13]

Beberapa hukum terkait jabirah

Pertama: Diizinkan mengusap atas perban, plester, atau apa pun yang diletakkan di atas luka yang mencegah air sampai ke luka sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kedua: Anggota badan yang diberi jabirah atau perban dan sejenisnya, yang secara syar’i diizinkan untuk ditutupi, hanya diusap saja. Jika mengusap membahayakan meskipun ditutupi, maka beralih ke tayamum sebagaimana jika terbuka.

Ketiga: Apakah wajib menggabungkan antara mengusap dan tayamum?

Beberapa ulama mengatakan, “Wajib menggabungkan keduanya sebagai sikap hati-hati.” Namun, yang benar adalah tidak wajib menggabungkan karena mewajibkan dua jenis bersuci untuk satu anggota badan bertentangan dengan kaedah-kaedah fikih. [14]

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap jabirah. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

3 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

===

Referensi utama:

Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4 2018 M

===

Catatan kaki:

[1] Mu’jamut Ta’riifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah.

[2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69.

[3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 106.

[4] Lihat Al-Mughniy, 1: 357.

[5] Lihat https://dorar.net/feqhia/382

[6] Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 107-108.

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 659. Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis sangat lemah.” Al-Baihaqi berkata dalam Al-Sunan Al-Kubra (1: 228), “Tidak ada satu pun hadis yang dapat dijadikan hujah dalam bab ini.”

[8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1: 239 – 240; Ad-Daraqutni, 1: 189 – 190, dan Al-Baihaqi, 1: 228 dari hadis Jabir. Keduanya melemahkan hadis ini.

[9] Lihat Al-Mughniy, 1: 277-278.

[10] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 96-97.

[11] Lihat Al-Mughniy, 1: 356.

[12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98.

[13] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98

[14] Lihat Al-Mughniy, 1: 357.

Sumber: https://muslim.or.id/91771-mengusap-gips-dan-perban-ketika-bersuci.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Inilah Adab Menyambut Ramadhan

Sahabat dan Tabi’in, selalu bergembira dengan kedatangan Ramadhan dan berdoa akan dipertemukan di bulan mulia ini

RAMADHAN segera tiba.  Umat Islam diperintahkan menyambut bulan mulia tersebut dengan sungguh-sungguh.

Karenanya, perlu persiapan yang matang, baik jasmani maupun ruhani.  

Ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan dalam rangka menyambut bulan suci tersebut.  

Pertama, berdoa agar Allah SWT mempertemukan dengan bulan Ramadhan.

Rasulullah ﷺ apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdoa,

اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta pertemukanlah kami dengan Ramadhan.” (Riwayat  Ahmad dan Ath-Thabrani).

Tentunya dengan doa ini kita berharap menemui bulan suci tersebut dalam keadaan sehat dan  kuat, serta bersemangat beribadah.

Kedua, mengawali puasa di Bulan Sya’ban.

Sebelum melaksanakan puasa Ramadhan, Rasulullah ﷺ biasanya melakukan puasa Sunnah di bulan Sya’ban. Aisyah menginformasikan bahwa beliau tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa Sunnah sebanyak di bulan Sya’ban. 

Dari Aisyah, ia berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يصومُ حتَّى نقولَ لا يُفطِرُ ويُفطِرُ حتَّى نقولَ لا يصومُ وما رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ استَكملَ صيامَ شَهرٍ قطُّ إلَّا رمضانَ وما رأيتُه في شَهرٍ أكثرَ صيامًا منهُ في شعبانَ

“Dan tidaklah aku melihat Rasulullah ﷺ menyempurnakan puasa satu bulan sama sekali kecuali pada Ramadhan, dan tidaklah aku melihat beliau dalam satu bulan lebih banyak melakukan puasa daripada berpuasa pada bulan Sya’ban.” (Riwayat Abu Dawud)

Ketiga, berbekal ilmu dan pemahaman terhadap hukum-hukum Ramadhan.

Setiap Muslim diwajibkan membekali diri dengan ilmu ketika hendak beribadah kepada Allah SWT. Demikian halnya ketika hendak melaksanakan ibadah Ramadhan.

Ini dimaksudkan agar puasanya sah dan diterima oleh Allah Ta’ala. Allah berfirman:

فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Maka bertanyalah pada orang-orang yang berilmu jika kalian tak mengetahui.” (QS: Al-Anbiya’ [21]: 7).

Keempat, bergembira dan berbahagia dengan datangnya Ramadhan.

Rasulullah ﷺ dahulu memberi berita gembira kepada para Sahabatnya dengan kedatangan Ramadhan. Beliau bersabda;

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan Mubarak (bulan yang diberkahi). Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad, shahih)

Demikian pula kalangan Sahabat dan Tabi’in, selalu bergembira dengan kedatangan Ramadhan.

Kelima, membuat program untuk memperoleh kebaikan di bulan Ramadhan.

Kaum Muslimin hendaknya menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan ibadah. Tentunya hal ini bisa dilakukan jika sudah memiliki rencana-rencana amal yang akan dikerjakan pada siang dan malam Ramadhan.

Keenam, tidak berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan.

Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah ﷺ yang melarang umat Islam berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka berjaga, kecuali yang biasa puasa sunnah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seseorang yang punyakebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082).

Demikianlah beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam menyambut bulan yang penuh berkah ini.*/ Bahrul Ulum

HIDAYATULLAH

Pentingnya Pendidikan Agama Sejak Dini Untuk Hapus Perundungan di Sekolah

Sekolah menjadi tempat untuk membersemai menimba ilmu, bermain dan menjalin pertemanan sebanyak-banyaknya karena itulah yang akan menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan bagi seorang anak kedepannya. Dalam pertemanan di sekolah seorang anak tidak boleh merasa paling senior atau merasa paling pintar diantara lainya, disitulah kemudian pentingnya pendidikan agam sejak dini dan pendidikan tenggangrasa yang dapat diberikan dirumah oleh kedua orangtuanya. Meski demikian, perundungan di sekolah masih sering terjadi.

Dilansir dari laman republika.co.id Kasus perundungan terbaru yang menjadi sorotan publik adalah perundungan oleh genk ‘Tai’ siswa Binus School Serpong di mana salah satunya adalah anak artis terkenal Indonesia, VR. Kejadian yang kerap terjadi ini menandakan ada yang salah dengan pendidikan anak.

Prof Zakaiah Daradjat dalam tulisannya berjudul “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun” pada buku ‘Pendidikan Agama dalam Keluarga’ mengatakan pendidikan keimanan oleh orang tua atau di lingkungan keluarga merupakan yang utama dalam membentuk kepribadian siswa yang bertakwa dan beriman dalam jangka waktu panjang.

Menurutnya aktivitas siswa lebih banyak dihabiskan di rumah daripada di sekolah. Pendidikan keimanan itu harus sudah diperhatikan oleh keluarga sejak dini. Maka jika orang tua abai membimbing anaknya perkembangan kesehatan mental akan rapuh. Emosinya akan mudah terguncang oleh pengaruh luar.

“Pembinaan keimanan yang tangguh, seharusnya dimulai dalam keluarga, sejak si anak lahir, bahkan sejak sebelum lahir (prenatal) sampai akhir masa remaja,” ujar Prof Zakiah.

Ia mengatakan apabila pendidikan keimanan terabaikan pada usia 6-12 akan berpotensi sulit bagi anak menghadapi perubahan cepat pada dirinya. Dan hal tersebut akan mudah membawa keguncangan emosi. Anak-anak akan sulit mengontrol pengarug dari media elektronik, cetal dan medsos yang bisa memberikan pengaruh buruk.

Prof Zakiah menegaskan ilmu agama sangat penting bagi kehidupan manusia. Terutama pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang cepat. Agama kian ditinggalkan karena dikejar oleh kebutuhan duniawi.

Prof Zakiah mengatakan keimanan yang teguh semakin diperlukan agar manusia dapat dibimbing dan diarahkan oleh imannya dalam menjalani kehidupan dan dalam memenuhi kepentingannya. Menurutnya untuk mendapatkan keimanan yang kuat, teguh dan mampu mengendalikan manusia itu diperlukan pendidikan keimanan dari semua pihak yakni, keluarg, sekolah dan masyarakat.

Prof Zakiah menegaskan orang tua sebagai pemegang peran paling penting dalam mengasuh anak maka mereka harus mengetahui ciri-ciri perkembangan anaknya baik secara biologis ataupun psikis. Termasuk mengetahui perkembangan kecerdasan, keadaan emosi dan perkembangan sosial kemasyarakatannya.

Sebelumnya, Binus International School Serpong, Tangerang, membenarkan adanya kasus perundungan yang dilakukan anak Vincent Rompies. Dan dikabarkan pihak sekolah masih menyelidiki kasus tersebut lebih lanjut.

“Iya, (salah satu pelaku adalah anak Vincent Rompies),” ujar PR Binus International School Serpong, Haris Suhendra, dalam keterangannya kepada awak media, Senin (19/2/2024).

Ia menegaskan, nantinya pihak orang tua murid akan dipanggil ke sekolah terkait kasus perundungan itu, termasuk memanggil Vincent Rompies. “Dalam proses pemanggilan,” ucap Haris lagi.

Selanjutnya untuk melibatkan kepolisian atau tidak, ini masih belum ada jawaban lebih lanjut. Begitu pula terkait sanksi, mengingat para pelaku masih di bawah umur.

ISKAMKAFFAH

Pemerintah Larang Fenomena Umrah Backpacker

Akhir-akhir ini umrah backpacker atau mandiri tengah menjadi perbincangan. Pasalnya, umrah backpacker dinilai jauh lebih murah daripada umrah biasa.

Namun, fenomena umrah backpacker dipastikan dilarang oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini karena bertentangan dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2019 Pasal 86 yang khusus membahas tentang perjalanan ibadah umrah yang harus melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

“Sudah merupakan tugas negara dalam melindungi keamanan warga negaranya, baik didalam negeri Maupun diluar negeri,” kata Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Jaja Jaelani di Kantor Kementerian Agama RI Jl. Lapangan Banteng Barat Jakarta Pusat dikutip dari (laman Kemenag), Senin (19/2/2024).

“Bagi jamaah yang belum pernah ada pengalaman ke Arab Saudi tentunya akan sangat berbahaya mengingat risiko riskan dalam menjalani ibadah umrah. Jika ada apa-apa, siapa yang akan bertanggung jawab atas keselamatannya?” tanya Jeje dikutip dari NU Online.

Maraknya kasus umrah mandiri dan umrah backpacker yang terjadi di Indonesia. Hal ini mendorong Kementerian Agama khususnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) untuk melakukan strategi sosialisasi secara intens, khususnya kepada media massa dan digital. ad

“Umrah mandiri sendiri adalah keinginan jamaah untuk melakukan ibadah umrah dan mengatur segala sesuatunya secara mandiri,” terangnya.

Umrah backpacker lanjut Jaja merupakan jamaah yang ingin berangkat umrah dengan budget dan bekal yang minim. Menurutnya, kasus oknum umrah mandiri dan backpacker ini disinyalir ada peran PPIU di dalamnya. Bila terbukti PPIU tersebut akan disanksi tegas dengan mencabut izinnya.

“Dan jika pelakunya juga seorang individu dan mengajak orang lain secara berkelompok, maka juga akan ditindak secara hukum,” tegasnya.  

Jaja mengungkapkan proses Visa Arab Saudi yang membolehkan visa turis untuk umrah memang cenderung bertentangan dengan regulasi di Indonesia.

“Ini semua membutuhkan kesadaran masyarakat secara penuh tentang kepastian perjalanan, proses umrah wajib diberangkatkan oleh PPIU, untuk menghindari pertambahan korban-korban lainnya yang terabaikan karena tergiur dengan harga murah dan tidak terjamin keamanannya,” tandasnya.

ISLAMKAFFAH

Kapan Batas Waktu Mengqadha Puasa Ramadhan?

Di antara pertanyaan yang banyak ditanyakan masyarakat adalah kapan batas waktu mengqadha puasa Ramadhan? Menurut Syekh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab Jilid 2, bahwa tidak ada batas waktu mengganti utang puasa Ramadhan. Ini berarti, qadha puasa dapat dilakukan kapan saja selama di luar hari-hari yang dilarang untuk berpuasa, seperti dua hari raya, hari tasyrik, hari bernazar puasa, dan hari-hari di bulan Ramadan.

Pada sisi lain, dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, utang puasa Ramadan boleh dilakukan kapan saja, baik setelah tahun puasa Ramadan yang ditinggalkan atau tahun-tahun berikutnya. Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat batas waktu mengganti utang puasa Ramadan yakni hingga datangnya waktu puasa Ramadan tahun selanjutnya. Dengan kata lain, puasa ganti dapat dilakukan pada hari-hari terakhir menjelang bulan Sya’ban, bulan terakhir sebelum Ramadan.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid, halaman 287 mengatakan batas waktu qadha puasa menurut pendapat yang lebih kuat, yaitu bahwa batas waktu qadha puasa Ramadhan adalah sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Artinya, di bulan Sya’ban, kendatipun sudah lewat pertengahan masih tetap diperbolehkan qadha puasa.

وأما صيام النصف الآخر من شعبان فإن قوما كرهوه وقوما أجازوه. فمن كرهوه فلما روي من أنه عليه الصلاة والسلام قال: لا صوم بعد النصف من شعبان حتى رمضان. ومن أجازه فلما روي عن أم سلمة قالت: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صام شهرين متتابعين إلا شعبان ورمضان، ولما روي عن ابن عمر قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرن شعبان برمضان. وهذه الآثار خرجها الطحاوي

Artinya; “Adapun puasa separuh terakhir bulan Sya’ban terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang menyatakan makruh, dan sebagian lagi memperbolehkannya. Adapun ulama yang mengatakan makruh, maka berdasarkan hadis yang diriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban hingga Ramadan.”

Sementara itu, ulama memperbolehkannya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadan.” Dan berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengaitkan bulan Sya’ban dengan Ramadan.” Dan hadits ini ditakhrij oleh At-Tahawi.” [Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287).

Pada sisi lain, bagi orang yang terlambat meng-qadha-kan puasa sampai datang Ramadhan berikutnya padahal mempunyai kesempatan untuk melaksanakannya, memiliki konsekuensi, yakni: pertama, Wajib meng-qadha puasa. Ini adalah kewajiban utama yang harus dipenuhi. Qadha puasa dilakukan dengan cara mengganti hari-hari puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan sebelumnya.

Kedua, wajib membayar fidyah. Secara pengertian fidyah adalah denda yang diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti dari puasa yang tidak terlaksana. Besaran fidyah adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Satu mud setara dengan 675 gram beras atau 543 gram gandum.

إذا أفطر أياما من شهر رمضان لعذر أو غيره، فالأولى به أن يبادر بالقضاء، وذلك موسع له ما لم يدخل رمضان ثان، فإن دخل عليه شهر رمضان ثان صامه عن الفرض، لا عن القضاء، فإذا أكمل صومه قضى ما عليه، ثم ينظر في حاله، فإن كان أخر القضاء لعذر دام به من مرض أو سفر، فلا كفارة عليه، وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل يوم بمد من طعام، وهو إجماع الصحابة، وبه قال مالك، وأحمد، وإسحاق، والأوزاعي، والثوري .

Artinya: Ketika seseorang membatalkan puasa bulan Ramadhan beberapa hari karena faktor uzur atau hal yang lain, maka hal yang utama baginya adalah segera mengqadha’i puasanya. Mengqadha’ ini bersifat muwassa’ (luas/panjang) selama tidak sampai masuk Ramadhan selanjutnya. Jika sampai masuk waktu Ramadhan selanjutnya maka ia berpuasa fardhu, bukan puasa qadha.

Ketika puasa Ramadhan pada tahun tersebut telah sempurna, baru ia mengqadha puasanya yang lalu dan dilihat keadaannya: jika ia mengakhirkan qadha karena ada uzur yang terus-menerus berupa sakit atau perjalanan maka tidak wajib kafarat baginya.

Jika ia mengakhirkan qadha tanpa adanya uzur maka wajib baginya untuk mengqadha puasa sekaligus membayar kafarat pada setiap hari (yang belum diqadha) senilai satu mud makanan, hal ini telah menjadi konsensus para sahabat.”

Demikian penjelasan terkait kapan batas waktu mengqadha puasa Ramadhan? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Umrah Backpacker Semakin Mudah, Ini Imbauan MUI

Umrah backpacker juga harus memastikan tempat yang baik untuk tinggal.

Dengan mudahnya akses untuk pergi ke Tanah Suci, umrah backpacker menjadi tren di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis mengimbau kepada masyarakat yang ingin menjalankan ibadah umrah secara mandiri untuk selalu memperhatikan nama baik Indonesia.

“Saya meminta kepada masyarakat yang ingin umrah backpacker, silahkan dicoba. Saya sudah pernah mencobanya, asyik dan nyaman. Yang kedua, perhatikan bawa nama Indonesia yang baik. Jangan sampai pergi ke sana gak bisa pulang,” ujar Kiai Cholil saat ditemui usai menjadi narasumber Halaqah Dakwah bertema “Merajut Ukhuwah dan Persatuan Umat Melalui Dakwah” di kantor MUI Pusat, Senin (19/2/2024).

Selain itu, menurut Kiai Cholil, masyarakat yang umrah backpacker juga harus memastikan tempat  yang baik untuk tinggal, serta melaksnakan ibadahnya dengan baik.

“Jangan sampai tinggal di masjid. Itu harga diri orang Indonesia. Jangan sampai berangkat ke sana, hanya tidur, gak balik-balik dari masjid,” ucap Kiai Cholil.

“Minimal ada tempat tinggal sehingga ke masjid dalam keadaan bersih dan tidak mengotori masjid,” kata dia.

Pengasuh Pondok Pesantrem Cendikia Amanah Depok ini menambahkan, umrah backpacker saat ini memang bisa dilakukan dengan mudah. Karena itu, dia pun mempersilahkan jika masyarakat ingin melakukan ibadah umrah secara mandiri.

“Saya pikir bagus, karena memang sekarang model dan sistemnya juga sudah berubah. Pertama, kemudahan mendapat visa itu tidak seperti dulu,” ujar Kiai Cholil.

Selain itu, menurut dia, saat berada di Tanah Suci masyarakat sekarang juga lebih mudah mengakses fasilitas di sana, seperti akses sewa hotel dan akses untuk mendapatkan pembimbing.

“Itu sudah tidak terlalu sulit. Maka bagi orang yang punya adrenalin, senang mengembara, itu ada tantangan sendiri, ada keindahan tersendiri ke sana. Karena sudah lebih mudah. Sekarang mau naik bis, orang sudah bisa akses sendiri. Naik kereta dari Makkah ke Madinah juga sudah bisa,” ucap dia.

Namun, tambah dia, untuk ibadah sendiri masih sangat membutuhkan pembimbing, serta membutuhjan kerangka aturan dan fasilitas yang berbeda, karena seluruh jamaah dari berbagau dunia datangvbersaman.

“Lalu ada rukun (haji) yang tidak boleh ditinggal. Jadi kalau haji mungkin agak sulit untuk backpacker. Perlu waktu yang lebuh panjang untuk memberikan edukasi kepada umat,” kata dia.

“Kalau umrah saya pikir sudah waktunya. Karena sekarang mau visa, beli tiketnya Saudi Airlines udah dapat visanya,” jelas Kiai Cholil.

IHRAM

Doa Agar Anak Terhindar dari Bully

Bully merupakan termasuk bentuk kejahatan manusia.

Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr RA menunjukkan betapa Nabi Muhammad SAW mewanti-wanti kepada umatnya untuk menjaga dan melindungi diri dari segala bentuk godaan setan. Di antaranya kejahatan manusia dan termasuk di dalamnya perundungan atau bullying.

Hadits tersebut berisi doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah SAW untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT. Selain memohon berlindung dari siksa-Nya, juga berlindung dari bisikan setan, dan kejahatan para hamba-Nya.

Doa itu diajarkan pula oleh salah seorang sahabat, yakni Abdullah bin Amr RA. Hal ini diketahui dapat diketahui berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya (Abdullah bin Amr RA), sebagai berikut:

– أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كانَ يعلِّمُهم منَ الفزعِ أعوذُ بِكلماتِ اللَّهِ التَّامَّة من غضبِه وعقابِه وشرِّ عبادِه ومن همزاتِ الشَّياطينِ وأن يحضرونِ فإنَّها لن تضرَّهُ وَكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عمرٍو رضيَ اللَّهُ عنهُ يعلِّمُها من بلغَ من ولدِه ومن لم يبلغ منهم كتبَها في صَكِّ ثمَّ علَّقَها في عنقِهِ

“Rasulullah SAW biasa mengajarkan (cara berlindung) dari rasa khawatir (atau ketakutan atau kecemasan), dengan kalimat A’uudzu bikalimaa tillaa hit-taammati min ghodobihi wa ‘iqoobihi, wa min syarri ‘ibaadihi, wa min hamazaatisy syayaathiini, wa an yahdhuruun. Sungguh doa tersebut tidak akan mendatangkan bahaya. Abdullah bin Amr biasa mengajarkan doa tersebut kepada anak-anaknya yang telah baligh. Untuk anaknya yang belum baligh, dia menuliskan kalimat doa tersebut, lalu digantungkan di leher (anaknya).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, serta ada dalam Hidayah Al Ruwah karya Ibnu Hajar Al Asqolani)

Berikut bunyi lengkap doanya:

أَعُوذُ بِكَلمَاتِ اللَّـهِ التَّامَّةِ، مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ، وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ، وَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ، وَ أَنْ يَحْضُرُونِ

Latin:

A’uudzu bikalimaa tillaa hit-taammati min ghodobihi wa ‘iqoobihi, wa min syarri ‘ibaadihi, wa min hamazaatisy syayaathiini, wa an yahdhuruun.

Terjemahan:

“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, dari murka dan siksa-Nya, kejahatan para hamba-Nya, godaan atau bisikan setan dan dari kepungan atau kehadiran setan itu.”

Abdullah bin Amr dahulu mengajarkan anaknya yang sudah baligh untuk selalu membaca doa tersebut supaya mendapat perlindungan Allah SWT dari berbagai bentuk kejahatan maupun godaan setan. Adapun bagi anaknya yang belum baligh, Abdullah bin Amr menuliskan bacaan doa tersebut, kemudian digantungkan di leher anaknya.

sumber : Islam Web / Dorar Net

Ayat Alquran dan Hadits tentang Kekuasaan dan Politik

Ayat-ayat ini memberikan wawasan dan petunjuk tentang pesan-pesan politik dalam Islam

Dalam Alquran, terdapat beberapa ayat yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kekuasaan dan politik. Ayat-ayat ini memberikan wawasan dan petunjuk tentang pesan-pesan politik dalam Islam, peran negara, kepemimpinan, tata pemerintahan, dan hubungan antara pemerintah dan rakyat. 

Salah satu ayat Alquran yang berkaitan dengan kekuasan dan politik adalah surat Al-Fath ayat 18. Allah SWT berfirman: 

لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًاۙ

Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad) di bawah sebuah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menganugerahkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan berupa kemenangan yang dekat.” (QS Al-Fath [48]:18).

Dalam penelitiannya yang berjudul “12 Ayat Al-Quran Tentang Politik Dalam Kitab Tafsir Al-Jalalain: Mengungkap Pesan-Pesan Politik Islam”, Hasbi Umar dkk menjelaskan, perjanjian pada ayat tersebut dilakukan di Hudaibiyah, mereka melakukan baiat kepada Nabi agar setia dan tidak lari dari peperangan. Sedangkan yang dimaksud dengan isi hati mereka adalah rasa kejujuran dan kesetiaan. 

Dalam konteks politik, ayat ini menunjukkan persetujuan dan keridaan Allah terhadap kesepakatan yang dibuat Nabi SAW dengan musuh-musuhnya. Ayat ini mengajarkan pentingnya kesetiaan dan kepercayaan dalam politik, serta keyakinan bahwa kesetiaan kepada Allah SWT akan membawa kemenangan dalam jangka panjang.

Ayat Alquran yang berkaitan dengan kekuasaan dan politik juga tertuang dalam surat Sad ayat 26, di mana Allah SWT berfirman: 

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ

Artinya: “(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS Sad [38]:26)

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa dan penegak hukum di kalangan rakyatnya. Allah menyatakan bahwa dia mengangkat Daud sebagai penguasa yang memerintah kaumnya. 

Menukil dari Tafsir Tahlili Kemenag, pengertian penguasa diungkapkan dengan khalifah, yang artinya pengganti, adalah sebagai isyarat agar Daud dalam menjalankan kekuasaannya selalu dihiasi dengan sopan-santun yang baik, yang diridai Allah, dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya berpedoman kepada hidayah Allah.

Dengan demikian, sifat-sifat khalifah Allah tercermin pada diri pribadinya. Rakyatnya pun tentu akan menaati segala peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan juga merupakan sebuah amanah yang harus dipertangungjawabkan kepada manusia maupun Allah SWT. Suatu amanah dapat dijalankan dengan baik, jika yang menerima amanah mendapatkannya dengan penuh kesadaran akan tugas dan tanggung jawab.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik.” (HR Muslim).

IQRA