Benarkah Sunah Berhubungan Intim di Malam Jumat?

Ada keyakinan yang menyebar di Indonesia, yaitu sunah melakukan hubungan intim suami-istri pada malam Jumat (Kamis malam). Mereka berkeyakinan bahwa ini akan lebih berpahala. Bahkan ada istilah “ritual malam jumatnya suami-istri”. Keyakinan ini tidak tepat, karena tidak ada dalil khusus terkait hal ini. Berikut sedikit pembahasannya:

Pendapat Ulama tentang Sunah Berhubungan Intim sebelum Salat Jumat

Sunah waktu berhubungan intim yang berpahala adalah sebelum menunaikan salat Jumat, yaitu sejak pagi sampai sebelum salat Jumat, bukan pada malam hari (sebelum subuh). Terdapat dalil terkait sunah ini dan penjelasan ulama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat (dengan membasuh kepala dan anggota badan lainnya, pent), membuat mandi, pergi di awal waktu, mendapati khutbah pertama, mendekat pada imam, mendengar khutbah, serta diam. Maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan salat setahun.” (HR. Tirmidzi) Disahihkan oleh Syekh Al-Albani.

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ada tiga pendapat ulama terkait dengan lafaz ( اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ). Beliau menjelaskan,

روي غَسَلَ بتخفيف السين , وَغَسَّلَ بتشديدها, روايتان مشهورتان; والأرجح عند المحققين بالتخفيف..

, فعلى رواية التخفيف في معناه هذه الأوجه الثلاثة:”

أحدها: الجماع قاله الأزهري ; قال ويقال: غسل امرأته إذا جامعها.

والثاني: غسل رأسه وثيابه.

والثالث: توضأ

Diriwayatkan cara membacanya yaitu “gasala”  (dengan takhfif pada huruf sin) dan riwayat lainnya “gassala” (dengan tasydid pada huruf sin). Dua cara baca ini adalah dua riwayat yang masyhur. Yang rajih menurut muhaqqiqun (peneliti) adalah tanpa tasydid huruf sin. Berdasarkan cara baca ini, ada tiga pendapat dalam maknanya:

  1. Berhubungan intim dengan istri. Hal ini disampaikan oleh az-Zuhri. Beliau mengatakan “Dan dikatakan ‘membuat istri mandi wajib’, jika berhubungan intim dengan istri.”
  2. Membasuh kepala dan bajunya.
  3. Berwudu.

(Al-Majmu‘ 4/543)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna ‘gassala‘ adalah berhubungan intim dengan istri. Beliau berkata,

غَسَّل أي: جامع أهله، وكذا فسَّره وكيع

“Makna gassala adalah berhubungan intim dengan istrinya. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Waki’.” (Zadul Ma’ad 1/385)

Pendapat Ulama tentang Wajibnya Mandi sebelum Salat Jumat

Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa pendapat terkuat dari maksud hadis ini adalah mandi sebelum salat Jumat secara umum. Beliau berkata,

وبقوله: واغتسل، غسل سائر بدنه ، وقيل جامع زوجته فأوجب عليها الغسل فكأنه غسلها واغتسل

“Maksudnya adalah membasuh seluruh tubuhnya. Pendapat lain (lebih lemah) yaitu berhubungan badan dengan istrinya. Sehingga ‘membuat istri mandi wajib’ seakan-akan ia membasuh istrinya dan membuatnya mandi.” (Tuhfazul Ahwadzi 3/3)

Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat bahwa setiap hari Jumat (sebelum waktu salat Jumat), mandi hukumnya wajib (perlu diketahui ada juga ulama yang berpendapat hukumnya adalah sunah muakkadah).

Syekh Al-‘Utsaimin berkata,

فاحرص -يا أخي- على أن تغتسل يوم الجمعة؛ لأن غسل الجمعة واجب على كل بالغ، والدليل على وجوبه قول النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «غسل الجمعة واجب على كل محتلم».

“Bersemangatlah wahai saudaraku untuk mandi pada hari Jumat karena hukumnya wajib bagi yang sudah balig. Dalil wajibnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mandi pada hari Jumat (sebelum salat Jumat) wajib bagi yang sudah bermimpi basah.” ( Silsilah Liqais Syahri no. 74)

Hikmah Berhubungan Intim sebelum Salat Jumat

Hikmah dari sunah berhubungan intim sebelum salat Jumat adalah agar pikiran menjadi lebih tenang, segar, serta fokus dalam melakukan ibadah yang akan dimulai, yaitu salat Jumat. Berhubungan badan dengan istri memiliki banyak keuntungan. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,

وَأَمَّا الْجِمَاعُ وَالْبَاهُ، فَكَانَ هَدْيُهُ فِيهِ أَكْمَلَ هَدْيٍ، يَحْفَظُ بِهِ الصِّحَّةَ، وَتَتِمُّ بِهِ اللَّذَّةُ وَسُرُورُ النَّفْسِ، وَيَحْصُلُ بِهِ مَقَاصِدُهُ الَّتِي وُضِعَ لِأَجْلِهَا

“Adapun jimak, berhubungan badan, maka petunjuk beliau –shalallahu alaihi wasallam– dalam hal ini adalah petunjuk yang paling sempurna. (Jimak) menjaga kesehatan. Kelezatan dan keceriaan jiwa akan menjadi sempurna. Akan tercapai semua maksud yang ditujukan (kemaslahatan).” [Thibbun Nabawi 1/187]

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68525-benarkah-sunnah-berhubungan-intim-di-malam-jumat.html

Meluruskan Istilah ‘Sunnah Rasul’ saat Malam Jumat

Sunnah Rasul saat Kamis malam atau malam Jumat belakangan ramai dipahami sebagai hubungan intim atau hubungan suami dan istri. Hal ini cukup beralasan karena dalam hadits ada riwayat yang mengarah ke sana. Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman al-Hamadani mengutip riwayat yang menyebut perkawinan para nabi di hari Jumat.

   روى أنس بن مالك رضي الله عنه بالإسناد الذي ذكرناه في المجلس الأول قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن يوم الجمعة فقال يوم صلة ونكاح قالوا كيف ذلك يا رسول الله قال لأن الأنبياء عليهم الصلاة والسلام كانوا ينكحون فيه

Artinya: Sahabat Anas bin Malik RA meriwayatkan dengan sanad yang telah kami sebutkan di bab pertama, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW ditanya perihal hari Jumat. Rasulullah menjawab: (Jumat) adalah hari hubungan dan perkawinan. Sahabat bertanya: Bagaimana demikian, ya Rasulullah? Nabi Muhammad menjawab: Para nabi dahulu menikah di hari ini. (Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman Al-Hamadani, As-Sab‘iyyat fi Mawa’izhil Bariyyat pada hamisy Al-Majalisus Saniyyah (Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa tahun, halaman 110).  

Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman al-Hamadani melanjutkan bahwa hari Jumat merupakan hari perkawinan beberapa rasul dan orang shaleh. Jumat merupakan hari perkawinan Nabi Adam AS dan Siti Hawa, Nabi Yusuf AS dan Zulaikha, Nabi Musa AS dan Shafura (Zipora) binti Nabi Syu’aib AS, Nabi Sulaiman AS dan Bilqis, Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah, Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah, dan Sayyidina Ali RA dan Siti Fathimah Az-Zahra, (Abu Nashar Muhammad bin Abdurrahman al-Hamadani, as-Sab‘iyyat fi Mawa’izhil Bariyyat pada hamisy Al-Majalisus Saniyyah (Semarang, Maktabah al-Munawwir, tanpa tahun, halaman 110).

Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan keutamaan hubungan intim pada hari Jumat. Namun demikian, ulama-ulama hadits menilai riwayat hadits ini sebagai riwayat yang lemah sehingga tidak dapat menjadi dasar hukum. Teks hadits riwayat Imam Baihaqi berbunyi sebagai berikut:

أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته  

Artinya: Apakah kalian tidak sanggup berhubungan badan dengan istri kalian pada setiap hari Jumat. Hubungan badan dengan istri di hari Jumat mengandung dua pahala: pahala mandinya sendiri dan pahala mandi istrinya. (HR Baihaqi).  

Sebagian ulama memandang awal kesunahan hubungan badan pada hari Jumat dari interpretasi atas hadits riwayat Aus bin Abi Aus RA berikut ini yang menyebut kata ‘ghassala’ atau ‘membuat orang lain mandi’:

 من اغتسل يوم الجمعة وغسّل وغدا وابتكر ومشى ولم يركب ودنا من الإمام وأنصت ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة  

Artinya: Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan membuat orang lain mandi, lalu berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khutbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, lalu berkonsentrasi mendengarkan khutbah, maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun. (HR Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).  

Tetapi, hubungan badan dengan istri pada malam Jumat sebagai sunnah Rasul ditolak oleh sebagian ulama, salah satunya adalah Syekh Wahbah az-Zuhayli. Menurutnya: Di dalam sunnah tidak ada anjuran berhubungan seksual suami-istri di malam-malam tertentu, antara lain malam Senin atau malam Jumat. Tetapi ada segelintir ulama menyatakan anjuran hubungan seksual di malam Jumat. (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, cetakan kedua, 1985 M/1305, Beirut, Darul Fikr, juz 3 halaman 556).  

Keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli ini dengan terang menyebutkan bahwa sunnah Rasulullah tidak menganjurkan hubungan suami-istri secara khusus di malam Jumat. Kalau pun ada anjuran, itu datang dari segelintir ulama yang didasarkan pada hadits Rasulullah SAW dengan redaksi: Siapa saja yang mandi di hari Jumat, maka…

Kalau pun anjuran dari hadits, riwayat hadits tersebut cenderung lemah. Tetapi dari banyak keterangan ini, hubungan badan suami dan istri sebagai sunnah Rasul malam Jumat menjadi cukup populer.

Alhafiz Kurniawan adalah redaktur NU Online.

NU ONLINE

Agar Cita-cita Besar Cepat Tercapai, Bacalah Doa Ini Pagi dan Sore

Salah satu cara mewujudkan cita-cita dan harapan besar, adalah dengan memperbanyak doa kepada Allah. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi Saw agar cita-cita dan keinginan besar cepat tercapai adalah sebagai berikut;

حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil ‘adziim.

Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘arasy yang agung.

Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali pagi dan sore hari. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Abu Daud dari Abu Darda’, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

من قال إذا أصبح وإذا أمسى : حسبي اللّه لا إله إلا هو ، عليه توكلت وهو رب العرش العظيم سبع مراتٍ ، كفاه اللّه ما أهمَّه صادقاً كان بها أو كاذباً

Siapa saja yang mengucapkan di waktu pagi dan sore hari; Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil ‘adziim (Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘arsy yang agung), sebanyak tujuh kali, maka Allah akan memberi kecukupan bagi urusan dunia dan akhiratnya, baik dia percaya atau tidak.

Juga disebutkan dalam hadis riwayat Imam Thabrani dari Yunus bin Maisarah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ قَالَ: حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَأَكْفِيَنَّ عَبْدِي صَادِقًا كَانَ أَوْ كَاذِبًا

Barangsiapa yang membaca; Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil ‘adziim, Allah berkata; Sungguh Aku akan mencukupi (keperluan) hamba-Ku, baik ia jujur dengan keperluannya tersebut atau pun bohong.

BINCANG SYARIAH

Doa Imam Al-Haddad Untuk Mohon Kekuatan Lahir Batin

Dalam kitab Al-Masyrab Al-Shafi Al-Hani, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddar menyebutkan doa yang disebut dengan doa Al-Quwwah. Doa ini merupakan doa yang sering dibaca oleh Imam Al-Haddad untuk memohon kekuatan lahir dan batin melakukan perintah Allah dan senantiasa bermanfaat bagi orang lain.

Lafadz doa yang dimaksud adalah sebagai berikut;

يَا ٱللَّهُ يَا رَبُّ يَا قَدِيْرُ يَا قَوِيُّ يَا مَتِيْنُ )ثَلَاثًا (أَسْاَلُكَ بِقَدْرَتِكَ وَبِقُوَّتِكَ أَنْ تَمُدَّنِي فِى جَمِيْعِ قُوَايَ وَجَوَارِحِي الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِقُوَّةٍ مِنْ قُوَّتِكَ وَبِقُدْرَةٍ مِنْ قُدْرَتِكَ أَقْدِرُ بِهَا وَأَقْوَى عَلَى الْقِيَامِ بِمَا كَلَّفْتَنِي بِهِ مِنْ حُقُوْق رُبُوْبِيَّتِكَ وَنَدَبْتَنِي إِلَيْهِ مِنْهَا فِيْمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَفِيْمَا بَيْنِي وَبَيْنَ خَلْقِكَ وَعَلَى التَمَتُّعِ بِكُلِّ مَا خَوَّلْتَنِي مِنْ نِعَمِكَ الَّتِي أَبَحْتَهَالِي فِى دِيْنِكَ وَيَكُوْنُ كُلُّ ذَلِكَ عَلَى أَصْلَحِ الْوُجُوْهِ وَأَعْدَلِهَا وَأَحْسَنِهَا وَأَفْضَلِهَا مَصْحُوْبًا بِالْعَافِيَةِ وَالْقَبُوْلِ وَالرِّضَاءِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Yaa allohu, yaa robbu, yaa qodiiru, yaa qowiyyu, yaa matiinu (tiga kali). As-aluka biqudrotika wa biquwwatika an tumiddanii fi jamii’i quwaaya wa jawaarihii al-zhoohiroti wal baathinati biquwwatin min quwwatika wa biqudrotin min qudrotika aqdiru bihaa wa aqwaa ‘alal qiyaami bimaa kallaftanii bihii min huquuqi rubuubiyyatika wa nadabtanii ilaihi minhaa fiimaa bainii wa bainaka wa fiimaa bainii wa baina kholqika wa ‘alat tamattu’i bikulli maa khowwaltanii min ni’amikal latii abahtahaalii fii diinika wa yakuunu kullu dzaalika ‘alaa ashlahil wujuuhi wa a’dalihaa wa ahsanihaa wa afadholihaa mashuuban bil ‘aafiyati wal qobuuli war ridhoo-i ‘indaka yaa arhamar roohimiin.

Ya Allah, wahai Tuhan, wahai Dzat Yang Maha Kuasa, wahai Dzat Yang Maha Kuat, wahai Dzat Yang Maha Kokoh. Aku memohon kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu dan kekuatan-Mu agar Engkau memberikan pada seluruh kekuatanku dan seluruh anggota badanku, lahir maupun batin, kekuatan dari kekuatan-Mu dan kekuasaan dari kekuasaan-Mu, yang dengannya aku kuasa dan kuat melaksanakan hak-hak ketuhanan-Mu sebagaimana Engkau bebankan padaku dan Engkau anjurkan antara diriku dengan diri-Mu dan antara diriku dengan makhluk-Mu. Juga (kuat) untuk menikmati segala  yang telah Engkau anugerahkan kepada kami dalam batas yang Engkau gariskan dan bolehkan menurut tuntunan agama-Mu. Kiranya hal tersebut terlaksana dalam bentuk selurus-lurusnya, seadil-adilnya, sebaik-baiknya, seutama-utamanya disertai dengan kesehatan, penerimaan serta ridha di sisi-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.

BINCANG SYARIAH

Mengobati Kegalauan (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Mengobati Kegalauan (Bag. 5)

Melihat Sisi Positif dari Perkara-Perkara yang Memiliki Sisi Negatif

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إنْ كَرِهَ منها خُلُقًا رَضِيَ منها آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istrinya)! Jika ia membenci sebuah sikap dari istrinya, maka ia akan rida dengan sikapnya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Di antara faidah dari hadis ini adalah melihat sisi positif dari perkara yang memiliki sisi negatif itu bisa menghilangkan kegalauan, kerisauan, dan memunculkan kejernihan hati. Sebaliknya, seseorang yang hanya melihat sisi negatif dari suatu perkara, akan membuat hati gelisah, cemas, dan keruhnya jiwa. (Al-Wasail Al-Mufidah Lil Hayah As-Sa’idah, Ibnu Sa’di)

Menyadari Singkatnya Waktu di Dunia dan Menyadari bahwa Waktu yang Sangat Singkat Tersebut Terlalu Mahal jika Dipergunakan untuk Tenggelam dalam Kegalauan dan Kecemasan

Orang yang berakal menyadari bahwa kehidupan yang sehat adalah hidup yang bahagia dan penuh ketenangan. Dia juga menyadari bahwa waktu untuk hidup bahagia dan tenang tersebut sangatlah singkat. Oleh karena itu, tidak layak baginya memperpendek waktu yang sudah pendek tersebut, dengan berlarut-larut dalam kegalauan dan kekeruhan hati. Jangan sampai waktunya terampas oleh kegalauan.

Apabila sesuatu yang tidak disenangi menimpa seorang mukmin, maka sepatutnya ia senantiasa membandingkannya dengan nikmat dunia maupun agama yang telah ia dapatkan. Dengan begitu, terlihat dengan jelas baginya bahwa nikmat yang ia dapatkan jauh lebih banyak dibandingkan musibah yang dirasakannya. Hendaknya ia juga membandingkan antara hal-hal yang membuat hatinya khawatir dengan berbagai realita yang ternyata baik-baik saja baginya. Dengan begitu, kegalauan dan kecemasan akan pergi dari hatinya.

Taruhlah perkara-perkara bermanfaat di depan kedua matamu! Bertekadlah untuk mewujudkannya! Jangan menoleh kepada perkara-perkara berbahaya yang  membuatmu galau dan sedih! Meminta tolonglah kepada Allah Ta’ala agar diberikan kenyamanan jiwa dan kemantapan hati untuk melakukan aktivitas yang penting! (Al-Wasail Al-Mufidah Lil Hayah As-Sa’idah, Ibnu Sa’di)

Tidak Bertoleransi dengan Tumpukan Pekerjaan dan Kewajiban yang Harus Dikerjakan

Di antara kiat untuk mengobati kegalauan adalah dengan tidak menunda-nunda pekerjaan. Seorang mukmin hendaknya segera mengerjakan pekerjaan yang harus dilakukannya saat ini, sehingga nanti bisa fokus mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Apabila pekerjaan itu dibiarkan dan tidak segera diselesaikan, maka pekerjaan akan menumpuk banyak. Sehingga membuat hatinya tertekan dan galau, karena harus menyelesaikan banyak hal dalam waktu yang singkat. Berbeda ketika seseorang itu segera mungkin menyelesaikan pekerjaan sebelumnya, ia bisa fokus dengan pekerjaan selanjutnya dengan pikiran yang lebih tenang dan aktivitas yang lebih semangat.

Sepatutnya seseorang memilih aktivitas yang bermanfaat, penting, dan ia senangi. Sehingga dia tidak bosan dan jenuh dengan aktivitas tersebut. Selain itu, hendaknya ia berpikir sehat, berkonsultasi, serta mengkaji apa yang akan dilakukannya dengan sebaik mungkin. Apabila telah jelas maslahat dari apa yang akan dikerjakannya tersebut, maka bertekadlah dan bertawakallah kepada Allah Ta’ala! Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang bertawakal. (Al-Wasail Al-Mufidah Lil Hayah As-Sa’idah, Ibnu Sa’di)

Bersiap-siaga dan Mengantisipasi Berbagai Kemungkinan yang Bisa Terjadi

Seseorang yang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala, berharap mendapatkan yang terbaik, dan bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, akan  lebih tenang menerima kenyataan yang dihadapinya. Sekalipun yang terjadi adalah perkara yang tidak disukai, seperti kerabat yang sakit, terlilit utang, dizalimi orang lain, ataupun hal lain yang menyakitinya. Ia akan merasa lebih ringan dan tenang, karena sudah mempersiapkan hati menerima berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Di antara hal yang juga perlu diperhatikan. Terkadang seseorang mampu bersabar dan tenang menghadapi musibah besar. Namun, malah cemas saat menghadapi perkara sederhana. Hal ini dikarenakan ia sudah mempersiapkan hatinya menghadapi musibah besar tersebut, namun tidak mempersiapkan hatinya untuk menerima perkara sederhana yang mungkin terjadi. Hingga akhirnya, perkara sederhana tersebut berpengaruh terhadap kenyamanan jiwanya. Oleh karena itu, bersiap-siaga dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi itu diperlukan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya musibah besar atau perkara yang lebih sederhana. Tentu dengan terus menerus memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

Mengadu dan Berkonsultasi kepada Ahli Ilmu

Nasihat dan pandangan dari orang yang berilmu merupakan salah satu obat yang efektif dalam mengobati kegalauan. Sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  penyiksaan yang dijumpainya.

  شَكَوْنَا إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وهو مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً له في ظِلِّ الكَعْبَةِ، قُلْنَا له: أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا؟ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا؟ قالَ: كانَ الرَّجُلُ فِيمَن قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ له في الأرْضِ، فيُجْعَلُ فِيهِ، فيُجَاءُ بالمِنْشَارِ فيُوضَعُ علَى رَأْسِهِ فيُشَقُّ باثْنَتَيْنِ، وما يَصُدُّهُ ذلكَ عن دِينِهِ، ويُمْشَطُ بأَمْشَاطِ الحَدِيدِ ما دُونَ لَحْمِهِ مِن عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ، وما يَصُدُّهُ ذلكَ عن دِينِهِ، واللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هذا الأمْرَ، حتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِن صَنْعَاءَ إلى حَضْرَمَوْتَ، لا يَخَافُ إلَّا اللَّهَ، أَوِ الذِّئْبَ علَى غَنَمِهِ، ولَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ.

“Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di bawah naungan Ka’bah dan berbaring berbantalkan selimut. Kami berkata kepada beliau, ‘(Wahai Rasulullah), tidakkah Engkau meminta pertolongan bagi kami dan berdo’a kepada-Nya untuk membantu kami?’

Nabi pun menjawab, ‘Dahulu seorang pria dari umat sebelum kalian telah dikubur dalam sebuah galian yang diperuntukkan baginya. Kemudian sebilah gergaji diletakkan di atas kepalanya dan dirinya pun dibelah dua dengan gergaji tersebut. Meskipun demikian, hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Demikian pula terdapat seorang yang tubuhnya disisir dengan sisir besi sehingga nampaklah tulang dan urat tubuhnya. Meskipun demikian, hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Demi Allah, Dia akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang pengendara yang berangkat dari Shan’a menuju Hadramaut tidak lagi takut, kecuali kepada Allah, atau dia hanya khawatir terhadap serigala yang akan menerkam kambing gembalaannya. (Kemenangan itu pasti akan datang), namun kalian terlalu tergesa-gesa.’” (HR. Bukhari no. 3416 )

Begitu pula tabi’in mengadu kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن الزبير بن عدي أَتَينَا أنَسَ بنَ مَالِكٍ، فَشَكَوْنَا إلَيْهِ ما نَلْقَى مِنَ الحَجَّاجِ، فَقالَ: اصْبِرُوا؛ فإنَّه لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منه، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ. سَمِعْتُهُ مِن نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

Dari Az-Zubair bin Adi, dia berkata, ‘Kami pernah mendatangi Anas bin Malik, lalu kami mengadu kepadanya tentang apa yang kami dapatkan dari Al-Hajjaj. Maka beliau berpesan, ‘Sabarlah kalian, karena sesungguhnya tidaklah datang kepada kalian suatu zaman, kecuali zaman yang sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ’alaihi wa sallam.’” (HR. Bukhari no. 7068)

Termasuk dalam hal ini adalah hendaknya seseorang kembali kepada saudaranya yang tulus, kerabat yang berakal, dan suami/istri yang setia. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Fatimah radhiyallahu ‘anha saat tertimpa kegalauan. Beliau mengadu kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dikisahkan dalam hadis,

أنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، أتى فاطمة ، فوجد على بابها سترا ، فلم يدخل ، قال : وقلما كان يدخل إلا بدأ بها ، فجاء علي فرآها مهتمة ، فقال : ما لك ؟ قالت : جاء النبي ، إلي فلم يدخل . فأتاه علي ، فقال : يا رسول اللهِ ، إن فاطمة اشتد عليها ، أنك جئتها فلم تدخل عليها ! ؟ قال : وما أنا والدنيا ؟ وما أنا والرقم . فذهب إلى فاطمة فأخبرها بقول رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فقالت : قل لرسول اللهِ صلى الله عليه وسلم ما يأمرني به ؟ قال : قل لها فلترسل به إلى بني فلان

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Fatimah radhiyallahu ‘anha dan mendapati di depan pintunya ada sebuah tirai, sehingga beliau tidak jadi masuk. Abdullah bin Umar berkata, ‘Jarang sekali beliau masuk melainkan (beliau) menemui Fatimah dahulu.’ Lalu Ali radhiyallahu ‘anhu masuk dan melihat Fatimah dalam keadaan sedih. Maka ia bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Fatimah menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah datang, namun tidak masuk.’

Maka Ali datang menemui beliau dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fatimah sangat bersedih, karena Engkau datang kepadanya, namun tidak menemuinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku tidak mencintai dunia, dan aku tidak menyukai lukisan (gambar).’ Lalu Ali pergi menemui Fatimah dan memberitahukan sabda Rasulullah kepadanya. Fatimah berkata, “Katakan kepada Rasulullah! Apa yang beliau perintahkan dengan tirai yang berlukis tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Katakan kepadanya agar mengirim tirai berlukis itu kepada Bani Fulan!” (HR. Abu Dawud dalam Sahih Abu Dawud no. 3496)

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humuum, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajid  hafidzahullahu Ta’ala

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/68664-mengobati-kegalauan-bag-6.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 1)

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini Allah berikan kemudahan bagi kita untuk melanjutkan kembali pembahasan dari risalah Qawa’id Arba’ atau empat kaidah utama karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Pada bagian terdahulu kita telah membaca mukadimah atau pengantar dari beliau yang berisi doa bagi pembaca risalahnya agar mendapatkan pertolongan dari Allah dan diberkahi dimana pun ia berada.

Kemudian, beliau berkata : Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristighfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.

Penjelasan :

Tidaklah diragukan bahwa kebahagiaan menjadi dambaan setiap insan. Tidak ada orang yang ingin hidup sengsara. Semua pasti ingin bahagia. Akan tetapi banyak orang salah paham tentang hakikat kebahagiaan. Mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya harta, tingginya jabatan, ketenaran, atau ketampanan dan kecantikan. Oleh sebab itu banyak orang hanyut dalam kerusakan akhlak dan kesesatan aqidah dengan dalih demi mengejar kebahagiaan.

Padahal, Allah menjadikan kebahagiaan itu akan bisa diraih dengan mengikuti petunjuk-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Hakikat kebahagiaan itu adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, sebagaimana sering diulang-ulang oleh Ustaz Afifi hafizhahullah dalam ceramahnya. Hal ini senada dengan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman bahwa pokok kehidupan yang baik itu adalah kelapangan hati dan ketenangannya (lihat at-Taudhih wal Bayan, hal. 50)

Kebahagiaan hakiki itu hanya bisa digapai dengan iman dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki dan perempuan dalam keadaan beriman maka benar-benar Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka amalkan.” (an-Nahl : 97). Iman dan amal salih inilah yang akan membuahkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Bagi orang beriman kelezatan hidup itu ada pada ketaatan. Kebahagiaan ada di tangan Allah dan tidak bisa diraih kecuali dengan taat kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penduduk dunia. Mereka yang keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang terbaik di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengenal Allah maka dia akan menyadari bahwa segala nikmat yang dia peroleh datangnya dari Allah, sehingga dia pun bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah maka dia pun meyakini bahwa musibah adalah takdir Allah yang wajib dihadapi dengan kesabaran. Orang yang mengenal Allah maka dia menyadari dosa dan kesalahannya sehingga dia pun beristighfar memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosanya. Ketiga hal ini; syukur, sabar dan istighfar merupakan tanda kebahagiaan hamba, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di bagian awal kitabnya al-Wabil ash-Shayyib (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5)

Dari sinilah kita mengetahui betapa besar nikmat hidayah dan petunjuk agama. Sebab tanpa hidayah dan petunjuk agama Islam maka manusia akan tenggelam dalam kesesatan dan hanyut dalam kerusakan. Maka banyak orang diberi nikmat tetapi tidak bersyukur kepada Allah. Mereka tertimpa musibah tetapi tidak bersabar dalam menghadapinya, mereka marah kepada Allah dan tidak menerima ketetapan-Nya. Begitu pula tidak sedikit orang yang berbuat dosa dan tidak kunjung beristighfar, bahkan mereka berbangga dengan dosa dan tidak malu dengan maksiatnya.

Sungguh hidayah agama ini merupakan kebahagiaan besar bagi seorang hamba, sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Sehingga dia akan meyakini bahwa kebahagiaan itu bukanlah dengan menumpuk-numpuk harta. Akan tetapi hakikat orang bahagia adalah mereka yang menghiasi hati dan perilakunya dengan takwa. Karena itulah Allah berfirman mengenai hari akhirat (yang artinya), “Pada hari itu tiada berguna harta dan anak-anak kecuali bagi mereka yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89)

Syukur kepada Allah dilandasi oleh keyakinan di dalam hati bahwa semua nikmat yang kita raih berasal dari Allah. Kemudian kita memuji Allah atas nikmat-nikmat itu, kita sandarkan nikmat kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Termasuk bentuk syukur adalah tidak menggunakan nikmat kecuali dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian melakukan segala bentuk amal salih pada hakikatnya merupakan aplikasi dari syukur kepada Allah. Pokok dari syukur itu adalah mentauhidkan Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan kita maka hanya kepada-Nya kita beribadah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Untuk bisa mewujudkan syukur kepada Allah seorang hamba harus mewujudkan sikap musyahadatul minnah; yaitu menyaksikan dan menyadari berbagai macam nikmat yang Allah curahkan kepadanya. Sebagaimana tertuang dalam doa sayyidul istighfar pada kalimat ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya’ yang artinya : Dan aku mengakui kepada-Mu akan segala nikmat yang Kau berikan kepadaku… (HR. Bukhari). Dengan musyahadatul minnah inilah akan tumbuh kecintaan, pujian dan syukur kepada Allah (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita diajari untuk memuji Allah dalam kalimat alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, di dalam bacaan al-Fatihah. Tidak kurang dari 17 kali dalam 24 jam. Di setiap raka’at sholat kita memuji Allah dan menyanjung-Nya. Alhamdulillah adalah kalimat yang terucap dari setiap orang yang bersyukur kepada Allah. Dia memuji Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dia memuji Allah atas sekian banyak nikmat yang Allah curahkan kepada dirinya. Alhamdulilah ini pula salah satu kalimat yang paling Allah cintai.

Allah Mahaterpuji karena kesempurnaan sifat dan perbuatan-Nya. Allah juga terpuji karena limpahan nikmat yang tercurah kepada kita. Tidak ada satupun nikmat yang ada pada diri kita kecuali datangnya dari Allah semata. Bahkan pada setiap kali bangun tidur kita diajari untuk bersyukur kepada Allah dengan membaca doa alhamdulillahilladzi ahyaanaa ba’da maa amaatana… Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita kembali setelah mematikan kita… (HR. Bukhari)

Kehidupan ini adalah nikmat agung yang Allah berikan kepada kita dan wajib kita syukuri. Bukankah Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang lebih bagus amalnya.” (al-Mulk : 2). Dan sebagaimana telah ditafsirkan oleh ulama salaf bahwa yang paling bagus amalnya yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas ketika amal itu dilakukan karena Allah, sedangkan benar adalah apabila amalan itu sesuai dengan sunnah/tuntunan rasul.

Mensyukuri nikmat Allah bukanlah perkara yang sepele. Karena dengan syukur itulah nikmat semakin Allah tambahkan, dan dengan syukur itu pula akan terjaga nikmat-nikmat yang telah kita dapatkan. Tanpa syukur kepada Allah maka nikmat-nikmat itu justru akan berubah menjadi malapetaka. Sebagaimana telah diingatkan oleh Abu Hazim rahimahullah“Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah maka pada hakikatnya itu adalah malapetaka.”

Allah berikan nikmat itu demi menguji hamba apakah dia bersyukur kepada Allah ataukah justru kufur akan nikmat-Nya. Allah pun berikan cobaan berupa musibah kepada kita agar terlihat siapakah orang-orang yang sabar menghadapinya dan siapa yang justru marah kepada takdir-Nya. Inilah kehidupan yang kita jalani. Hidup penuh dengan ujian. Hanya orang beriman yang bisa menyambut nikmat dengan kesyukuran dan menyambut musibah dengan kesabaran.

[Bersambung]

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Sumber: https://muslim.or.id/68732-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-2.html

4 Fakta tentang Sirah, Kajian Kehidupan Nabi Muhammad

Sirah menjadi pedoman bagi Muslim bagaimana mereka harus berperilaku.

Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang terakhir. Umat Muslim dianjurkan mengetahui perjalanan Nabi, termasuk mengenal keluarga dan sahabatnya. Berikut empat fakta tentang sirah, kajian kehidupan Nabi, seperti dilansir About Islam, Senin (6/9).

1. Setiap Muslim diimbau mempelajari sirah Nabi SAW

Umat ​​Islam memandang Nabi Muhammad sebagai panutan mereka. Mereka berusaha meniru dia dan mencintainya lebih dari mereka mencintai diri mereka sendiri. Salah satu cara terbaik mencapai ini adalah belajar tentang dia dan kehidupannya. Studi tentang kehidupan Nabi dikenal sebagai sirah.

Materi ini mencakup kehidupan sehari-hari, interaksi dengan sahabat dan keluarga, perannya sebagai pemimpin, sifat dan perilakunya. Semakin banyak orang belajar tentang kehidupan Rasulullah, semakin mereka belajar tentang pengabdiannya kepada Allah dan kepeduliannya terhadap seluruh umat manusia. Hal ini menghasilkan penghargaan dan cinta untuk Nabi dan memotivasi diri untuk mengikuti jalan-Nya.

2. Sirah Nabi tidak dimulai dari kelahirannya

Ketika mempelajari sirah, seseorang tidak dapat memulai dengan hari ia dilahirkan. Tidak seperti karya biografi tokoh terkenal lainnya dalam sejarah, studi tentang kehidupan Nabi dimulai dari generasi sebelumnya.

Terkadang, kitab sirah dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim dan putra-putranya. Muslim percaya Nabi Muhammad berasal dari garis keturunan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim. Oleh karena itu, banyak sumber sirah dimulai dengan waktu ini dalam sejarah dan penempatan Nabi Ismail dan ibunya di Makkah meskipun mereka hidup beberapa generasi sebelum Nabi Muhammad.

3. Yang diketahui tentang sirah berasal dari para sahabat Nabi

Para sahabat Nabi sangat mencintainya. Akibatnya, mereka memperhatikan dengan seksama perilaku dan kehidupannya lalu mencatatnya. Setelah itu, mereka meneruskan pengetahuan ini untuk kepentingan semua Muslim yang akan datang setelah mereka.

Mereka mengikuti jejak Nabi Muhammad, mengetahui cara hidupnya diterima dan dicintai Allah. Berkat mereka, umat Islam saat ini memiliki pedoman tentang bagaimana mereka harus berperilaku.

4. Pengetahuan tentang sirah memberi konteks Alquran dan hadits

Banyak ayat dan narasi yang datang dalam Alquran dan hadits membutuhkan sedikit lebih banyak konteks untuk memahami situasi sepenuhnya. Pengetahuan tentang kehidupan Nabi sangat berguna untuk memahaminya. Misal, firman Allah dalam surat Ad-Dhuha ayat 3:

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىؕ

“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu,”

Ketika dibaca sendiri, tidak ada konteks sama sekali untuk memahami ayat ini. Tapi sirah melukiskan latar belakang di mana wahyu ini diturunkan. Nabi Muhammad tidak menerima wahyu untuk beberapa waktu sebelum ayat ini dan berurusan dengan musuh-musuhnya yang mengejeknya. Pikiran bahwa Allah menjadi tidak senang dengan akhirnya menetap di kepalanya dan saat itulah Tuhan meyakinkan Nabi bahwa ini tidak terjadi.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bolehkah Haji Diwakilkan?

Ibadah haji memiliki karakteristik ibadai yang tidak kaku dalam pelaksanaannya. Sehingga bagi orang yang sudah mampu secara ekonomi namun fisik tidak maka dapat diwakilkan.

Ichsanuddin Kusumadi dalam bukunya Memahami Haji dan Umrah mengatakan, kebolehan mewakilkan ibadah haji, sesuai pendapatnya Imam Syafi’i.

“Imam  Syafi’i berpendapat atas wajibnya mewakilkan,” katanya.

Jadi menurut pendapatnya seseorang yang mempunyai harta yang mencukupi bagi orang lain untuk menghajikan dirinya, jika dirinya memang tidak sanggup mengerjakan Haji sendiri, maka wajib atasnya mengongkosi orang lain untuk berhaji atas namanya.

“Yakni atas nama pemilik harta dengan hartanya itu,” katanya.

Jika ada lain baik saudara maupun bukan, yang sanggup menghajikan dirinya, maka gugurlah kewajiban hal tersebut. 

Sementara, Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid menjelaskan secara singkat akan hukum mewakili ibadah haji, yaitu bahwa mengenai seseorang yang tidak sanggup mengerjakan sendiri ibadah hajinya, tetapi ia sanggup mewakilinya kepada orang lain, maka Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib atasnya mewakilkan. 

Ichsanuddin Kusumadi mengatakan, silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan hadis. Pertama yang menggunakan qiyas menghendaki bahwa dalam urusan-urusan beribadah dan itu seseorang tidak bisa mewakilkan orang lain. Seperti halnya dalam salat seseorang tidak dapat mengerjakan salat atas nama orang lain.

“Itu berdasarkan kesepakatan fuqoha,” katanya.

Berdasarkan hadis yang bertentangan dengan qiyas tersebut adalah Hadits Ibnu Abbas ra yang terkenal dan diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya. Sesungguhnya seseorang perempuan dari Khatami berkata kepada  Rasulullah SAW. 

“Ya Rasulullah kewajiban hamba-hamba Allah terhadap-Nya ialah ibadah haji dan aku menjumpai ayahku sudah lanjut usia dan tidak sanggup bertahan di atas kendaraan. Apakah aku boleh menghajikannya? “Nabi SAW bersabda, “Ya” dan ini terjadi pada Haji Wada. (HR Bukhari Muslim).

IHRAM

Penjelasan Haji Jadi Momen Pernikahan Antarsuku Arab

Bangsa Arab memiliki interaksi sosial yang begitu kuat dengan beberapa bangsa dan kabilah satu sama lain. 

Akibat interaksi inilah terjadi pertukaran manusia dari satu keadaan keadaan lain. Ibadah haji menjadi salah satu penyebab terpenting dari terjadinya percampuran darah dan keturunan antara kabilah Arab. 

“Di sana (Makkah saat haji), berkumpul kaum Muslimin dari berbagai bangsa berkenalan-kenalan antara satu dengan yang lain,” tulis Prof Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam Prakenabian Hingga Islam di Nusantara”. 

Percampuran darah itu dengan bangsa Mesir, Suriah, Hindi, Tionghoa, Persia, Zanji, Habasyi, Maroko, Aljazair ,Indonesia, Syam, dan lain-lain. Banyak persemendaan dan permantuaan. 

Sekarang ini 65 persen dari penduduk Makkah adalah bangsa campuran dari seluruh darah umat Islam karena pada sebagian kota di Arab banyak terjadi percampuran. 

Sementara itu pada kota yang lain beda pula pencampurannya. Akibatnya, pada zaman sekarang banyak didapati perbedaan perangai atau peradaban di antara para penduduk tanah Arab. 

Orang Arab Makkah memiliki rupa yang kuning. Arab Najd rupanya sedikit hitam. Arab Oman berbadan besar, Arab Yaman berbadan kecil seperti orang Jepang. Arab Suriah hampir menyerupai Arab Marokok yaitu berkulit seperti bangsa barat.  

Arab Mesir agak hitam dan besar tubuhnya mirip orang Sudan, sedangkan yang di kota berkulit kuning karena banyak bercampur dengan darah Turki dan lain-lain. Arab Irak berbadan tegap, demikian juga dengan Arab Andalusia Utara rupanya seperti orang Eropa.  

“Akhirnya sampai pada keturunan bangsa Arab di negeri kita ini seperti yang terdapat di Tanah Bugis hanya kopiah putih nya saja yang menunjukkan ia adalah orang Arab,” katanya. Dan bangsawan-bangsawan Siak dan bangsawan Pontianak sudah memiliki rupa Melayu.  

IHRAM

Punya Anak yang Mudah Marah? Ini Dia Solusinya

Anak kecil sangat berpotensi untuk marah. Baik ia marah kepada orang tuanya, temannya, gurunya, orang tak dikenal, bahkan diri sendiri. Itulah anak-anak yang terkadang sulit untuk dimengerti. Namun, semua ada solusinya. Karena, sesungguhnya anak itu membutuhkan kasih sayang yang lembut dari orang tuanya, baik saat anak itu bersikap baik atau menjengkelkan. Karena, pendidikan dengan hati lebi efektif, meski terkadang dalam Islam ada pendidikan yang bersifat keras seperti memukul. Dan, tidak ada keraguan lagi dalam semua ajaran itu bahwa keseluruhan metode pendidikan anak baik secara halus ataupun sedikit ‘galak’ mengandung positif yang baik utnuk anak.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru Taman Kanak-Kanak untuk menghindarkan anak-anak dari gejala-gejala amarah.

Seperti yang lazim diketahui, ketika anak sedang asyik memainkan mainan-mainannya lalu dipanggil ibunya untuk segera mengenakan pakaian dan siap-siap pergi ke pasar saat itu ia merasa marah dan menolak untuk pergi bersama ibu. Karena, bermain baginya lebih senang dari pada pergi ke pasar.

Cara Mengatasi

Dalam situasi seperti ini, ibu bisa berkata kepadanya. “Ibu tahu kamu marah. Ibu juga mungkin marah ketika tidak bisa melakukan apa yang ibu inginkan. Tapi kita tidak selamanya bisa melakukan apa yang kita inginkan. Untuk itu, mari sama-sama kita menikmati waktu sebentar untuk pergi berbelanja keperluan rumah.”

Mungkin cara ini tidak serta-merta menghilangkan amarah anak, namun ibu harus terus memastikan agar ia melakukan apa yang ibu minta, sehingga pada saat yang bersamaan ia tahu bahwa ibunya merasakan apa yang ia rasakan. Perasaan-perasaan ini merupakan hal normal sehingga membuat ia mau menerimanya tanpa tindakan-tindakan mengusik.

Lain halnya ketika ibu membuatnya merasa bahwa bersikap mengusik dan marah dalam situasi-situasi seperti ini tidak bisa diterima, dan ibu tidak mencintainya karena anak meluapkan amarah.

Saat itu perasaan sedihnya akan semakin runyam dan meningkat. Ketika situasi-situasi seperti ini terus berulang, tidak menutup kemungkinan ia menjadi sangat pendiam, sehingga tidak mau menunjukkan perasaan dalam hati, selalu merasa bersalah tanpa sebab yang jelas. Bisa jadi kelak ia tumbuh dewasa dengan merasa kepribadiannya terpecah dan kepercayaan dirinya lemah. [1]

Anakku Marah di Taman Kanak-kanak

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru Taman Kanak-Kanak untuk menghindarkan anak-anak dari gejala-gejala amarah.

    Penuhi keinginan untuk makan dan istirahat.

    Sibukkan anak dengan kegiatan yang menyedot aktivitasnya, misalkan memberikan bola untuk ia mainkan.

    Usahakan untuk tidak memperhatikan anak saat sedang tegang, dan biarkanlah dia hingga tenang.

    Jangan menggunakan ancaman atau pukulan pada anak saat sedang marah.

    Buatlah anak merasa bahwa ia anak normal dan Anda harus menerimanya. Tindakan Anda ini bisa membuatnya tenang dan menjadi lebih kooperatif. [2]

—–

[1] Awlādunā, Dr. Mamun Mabidh

[2] Al-Mursyid At-Tarbawy li Mu’allimāt Riyādhil Athfāl, Dr. Khudhair as-Sa’ud Al-Khudhair (dengan perubahan).

Diketik ulang dari buku terjemahan ‘Modern Islamic Parenting: Cara Mendidik Anak Masa Kini dengan Metode Nabi’.

Judul Asli : Kaifa Turabbi Abnaa’aka fii Haadzaz Zamaan?

Penulis      : Dr. Hassan Syamsi

Sumber: https://muslimah.or.id/7967-cara-mengatasi-kemarahan-anak.html
Judul Asli: Cara Mengatasi Kemarahan Anak

ISLAM KAFFAH