Ini Tiga Alasan Mengapa Kita Harus Hindari Makanan Haram

Manusia butuh makan dan minum untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Makanan dan minuman itu masuk dalam perut manusia. Sebab itu, perut menjadi salah satu organ tubuh yang dapat mendorong seseorang untuk rajin beribadah dan juga bisa melemahkan manusia. Dengan kata lain, perut dapat menjadi pendorong sekaligus penghambat dalam mengerjakan ibadah. Perut banyak mengundang masalah. Bahaya dan pengaruh yang dihasilkannya pun tidak kecil. Perut menjadi sumber yang menyebabkan kehidupan dapat berjalan. Perut pula yang dapat memberikan hasil dan pengaruh besar dalam diri manusia.

Artinya, perut menjadi sumber kekuatan dan kelemahan, menjadi membangkit sekaligus pengekang hawa nafsu. Untuk itu, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa kita mesti menjaganya dari perkara-perkara yang haram dan syubhat, di samping menjauhi sifat berlebihan, jika memang engkau memiliki keininginan kuat untuk beribadah dengan baik.

Dalam Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali menjelaskan ada tiga alasan mengapa kita harus menjauhkan diri dari memakan makanan yang haram dan syubhat:

Pertama, takut pada neraka Jahannam. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepunuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (QS: al-Nisa’ ayat 10)

Kedua, orang yang memakan makanan haram dan syubhat tidak pantas beribadah, sebab ibadah yang dikerjakannya ditolak Allah SWT. Hanya orang-orang yang bersih dan suci yang berhak beribadah kepada-Nya.

Ketiga, orang yang makan barang haram dan syubhat, maka ia terhalang untuk melakukan kebaikan, meskipun ia melakukan kebaikan, namun perbuatannya ditolak Allah SWT. Semua yang dilakukannya hanyalah kepayahan, kesedihan, dan mengisi waktu luang belaka saja, tidak lebih dari itu.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Islami.co

BINCANG SYARIAH

Uang Amplop Kondangan Itu Hadiah Atau Hutang?

Di antara hal yang menjadi problem di kalangan masyarakat adalah mengenai status uang amplop kondangan saat menghadiri undangan walimah, baik walimah nikah, walimah khitan dan lainnya. Apakah uang amplop kondangan saat walimah tersebut disebut sebagai hadiah biasa sehingga tidak perlu mengembalikan, atau disebut sebagai hutang sehingga dalam kesempatan walimah lain waktu harus dikembalikan?

Para ulama berbeda pendapat mengenai uang amplop kondangan saat menghadiri walimah, baik walimah nikah, walimah khitan atau walimah lainnya. Menurut sebagian ulama, uang amplop kondangan berstatus sebagai hutang. Sementara sebagian ulama lain mengatakan bahwa statusnya bukan hutang, namun sebagai hadiah biasa. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa status uang amplop kondangan bergantung pada kebiasaan masyarakat setempat. Jika kebiasaan masyarakat setempat tidak ada tuntutan untuk mengembalikan dalam kesempatan walimah lain waktu, maka sumbangan tersebut berstatus sebagai hadiah biasa atau pemberian murni.

Namun sebaliknya, jika kebiasaan masyarakat setempat ada tuntutan untuk dikembalikan dalam kesempatan walimah lain waktu, maka sumbangan tersebut berstatus sebagai hutang. Pihak tuan rumah wajib mengembalikan pada pihak pemberi jika pihak pemberi nantinya mengadakan walimah.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوْطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرْحِ فِيْ يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُوْنِهِ هَلْ يَكُوْنُ هِبَّةً أَوْ قَرْضًا؟ أَطْلَقَ الثَّانِيَ جمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ..وَجَمَّعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يُعْتَدِ الرُّجُوُعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِيْ عَلَى مَا إِذَا اِعْتِيْدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَا ذُكِرَ

Artinya:

Kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam uang dalam sebuah perayaan, baik secara langsung kepada tuan rumahnya atau kepada wakilnya, apakah semacam itu termasuk ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai utang? Mayoritas ulama memilih mengategorikannya sebagai utang.

Namun ulama lain lebih memilih untuk mengkategorikannya sebagai hibah atau pemberian cuma-cuma. Dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan menggabungkan dua pendapat tersebut dengan kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk dikembalikan.

Ini akan bermacam-macam sesuai dengan keadaan pemberi, jumlah pemberian, dan daerah. Adapun pemberian yang distatuskan sebagai utang apabila memang di daerah tersebut ada kebiasaan untuk mengembalikan. Apabila terjadi praktek pemberian yang berbeda dengan kebiasaan, maka dikembalikan pada motif pihak yang memberikan.

BINCANG SYARIAH

Baca Doa Ini Ketika Khawatir Kesehatan Menurun

Kita tidak selamanya sehat terus, namun dalam kondisi tertentu kita pasti mengalami sakit. Bahkan dalam fase umur kita, biasanya umur empat puluh tahun ke atas, kesehatan kita pasti mengalami penurunan. Karena itu, jika kita mengalami hal tersebut, atau kita khawatir kesehatan menurun, maka hendaknya kita membaca doa berikut agar kesehatan tetap dijaga oleh Allah. Lafadz doanya sebagai berikut;

يا حي يا قيوم يا واحد يا مجيد يا بر يا كريم يا رحيم يا غني تمم علينا نعمتك، وهب لنا  كرامتك وألبسنا عافيتك

Yaa hayyu, yaa qoyyuumu, yaa waahidu, yaa majiidu, yaa barru, yaa kariimu, yaa rohiimu, yaa ghaniyyu, tammim ‘alainaa ni’mataka wa hab lanaa karoomataka wa albisnaa ‘aafiyataka.

Wahai Dzat Yang Maha Hidup, wahai Dzat Yang Berdiri Sendiri, wahai Dzat Yang Esa, wahai Dzat Maha Terpuji, wahai Dzat Yang Melimpahkan Kebaikan, wahai Dzat Yang Mulia, wahai Dzat Yang Maha Pengasih, wahai Dzat Yang Maha Kaya, sempurnakan nikmat-Mu atas kami, berikan kemuliaan-Mu kepada kami, dan pakaikan kesehatan-Mu kepada kami.

Doa ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Biharul Anwar berikut;

عن النبي صلى الله عليه وآله: ما من عبد يخاف زوال نعمة أو فجاءة نقمة أو تغير عافية ويقول: يا حي يا قيوم يا واحد يا مجيد يا بر يا كريم يا رحيم يا غني تمم علينا نعمتك، وهب لنا كرامتك وألبسنا عافيتك  إلا أعطاه الله تعالى خير الدنيا والآخرة

Dari Nabi Saw, beliau bersabda; Tiada seorangpun hamba yang khawatir kehilangan nikmat, atau datangnya bahaya, atau menurunnya kesehatan, kemudian ia berdoa, ‘Yaa hayyu, yaa qoyyuumu, yaa waahidu, yaa majiidu, yaa barru, yaa kariimu, yaa rohiimu, yaa ghaniyyu, tammim ‘alainaa ni’mataka wa hab lanaa karoomataka wa albisnaa ‘aafiyataka’, kecuali Allah memberinya kebaikan dunia dan akhirat.

BINCANG SYARIAH

Hadits-Hadits tentang Bahaya Hutang

Banyak sekali hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang bahaya berhutang. Semua hadis tersebut memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak bermudah-mudah dalam berhutang, kecuali darurat. Dan bersemangat untuk melunasi hutang sesegera mungkin. Berikut ini beberapa hadis yang menjelaskan tentang bahaya berhutang.

Hadis 1: Jangan meneror dirimu sendiri, padahal sebelumnya sudah aman!

Dari Uqbah bin Amir Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا تُخِيفوا أنفُسَكم بعْدَ أَمْنِها. قالوا: وما ذاكَ يا رسولَ اللهِ؟ قال: الدَّيْنُ

“‘Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.’ Para sahabat bertanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Itulah hutang!’ (HR. Ahmad [4/146], At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir [1/59], disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [2420]).

Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan, “Karena hutang itu menjadi teror bagi sang penghutang di siang hari. Dan menjadi kegelisahan baginya di malam hari. Maka seorang hamba jika dia mampu untuk tidak berhutang, maka janganlah dia meneror dirinya sendiri. Hadis ini juga berisi larangan bermudah-mudahan untuk berhutang dan menjelaskan kerusakan dari mudah berhutang, yaitu dalam bentuk rasa takut. Karena Allah jadikan ada hak bagi pemilik harta (untuk menagih hartanya)” (At Tanwir Syarhu Al Jami’ Ash Shaghir, 11: 92).

Hadits 2: Hutang yang belum dilunasi akan dibayar di akhirat dengan pahala dan dosa

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 437).

As Sindi Rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, akan diambil kebaikan-kebaikannya, dan akan diberikan kepada si pemberi hutang sebagai ganti dari hutang yang belum terbayar” (Hasyiah As Sindi ‘ala Sunan Ibnu Majah, 2: 77).

Hadis 3: Ruh seseorang terkatung-katung karena hutangnya

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نفس المؤمن مُعَلّقة بدَيْنِه حتى يُقْضى عنه

“Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena hutangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. At Tirmidzi no. 1079, ia berkata, “(Hadits) hasan”, disahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Al Mula Ali Al Qari Rahimahullah menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia.’ Al Iraqi mengatakan, ‘Maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung. Tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?’” (Mirqatul Mafatih, 5: 1948).

Hadis 4: orang yang mati syahid mendapat kesulitan karena hutang

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ

“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali hutang” (HR. Muslim no. 1886).

Al Munawi Rahimahullah menjelaskan, “Semua dosa yang terkait dengan hak orang lain, baik dalam masalah darah, harta, kehormatan, semua ini tidak diampuni dengan syahadah (status syahid). Dan ini berlaku untuk orang yang mati syahid di darat. Adapun orang yang mati syahid di laut, maka semua dosanya diampuni termasuk dalam masalah hutang, karena terdapat hadis khusus tentang hal ini. Dan yang dibahas oleh hadis di atas adalah orang yang bermaksiat dalam hutangnya. Adapun orang yang berhutang ketika memang mampu untuk melunasi dan dia tidak mangkir dari pelunasan, maka dia tidak akan tertahan untuk masuk ke surga, baik dia syahid atau tidak” (Faidhul Qadir, 6: 463).

Hadis 5: dibangkitkan sebagai pencuri

Dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيما رجلٍ تديَّنَ دَيْنًا ، و هو مجمِعٌ أن لا يُوفِّيَه إياه لقي اللهَ سارقًا

“Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no.5561, disahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 2720).

Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, dia akan dibangkitkan dalam rombongan para pencuri dan akan diberi ganjaran sebagaimana yang didapatkan para pencuri. Karena dia berniat untuk tidak melunasi hutangnya, sehingga dia menjadi seperti pencuri, bahkan lebih parah lagi. Karena dia telah menipu si pemilik harta” (At Tanwir Syarhu Al Jami’ Ash Shaghir, 4: 427).

Hadits 6: menunda pembayaran hutang adalah kezaliman

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃُﺗْﺒِﻊَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻰٍّ ﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ ‏

“Penundaan pelunasan hutang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezaliman, maka jika hutang kalian ditanggung oleh orang lain yang mampu maka setujuilah” (HR. Bukhari no.2287).

Syaikh As Sa’di Rahimahullah menjelaskan, “Mempersulit penunaian hak orang lain yang wajib ditunaikan adalah sebuah kezaliman. Karena dengan melakukan demikian, maka ia meninggalkan kewajiban untuk berbuat adil. Orang yang mampu wajib untuk bersegera menunaikan hak orang lain yang wajib atasnya. Tanpa harus membuat si pemilik hak tersebut untuk meminta, mengemis atau mengeluh. Orang yang menunda penunaikan hak padahal ia mampu, maka ia orang yang zalim” (Bahjatul Qulubil Abrar, hal.95).

Hadits 7: terhalangi masuk surga

Dari Tsauban Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

“Barang siapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: kesombongan, ghulul (harta khianat), dan hutang, maka dia akan masuk surga” (HR. Ibnu Majah no. 1971. Disahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Dalam Mausuah Haditsiyyah Durar Saniyyah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf dijelaskan, “[Barang siapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya] ini adalah kiasan dari kematian. [dan dia terbebas dari tiga hal], maksudnya dia tidak terjerumus dalam salah satu perkara ini. Atau, dia pernah terjerumus namun telah bertaubat darinya dan mengembalikan hak kepada yang berhak menerimanya, [dia akan masuk surga] …  dan yang dimaksud hutang adalah mengambil harta orang lain karena ada suatu kebutuhan, kemudian meninggal dalam keadaan belum melunasinya (maka ia tidak masuk surga). Sebagian ulama mengatakan, ini berlaku bagi orang yang mampu melunasinya namun dia mangkir dari pelunasan”.

Hadits 8: hutang membuat seseorang mudah berdusta

Dari Aisyah radhillahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَدْعُو في الصَّلَاةِ: اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِن عَذَابِ القَبْرِ، وأَعُوذُ بكَ مِن فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ، وأَعُوذُ بكَ مِن فِتْنَةِ المَحْيَا، وفِتْنَةِ المَمَاتِ، اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ المَأْثَمِ والمَغْرَمِ فَقَالَ له قَائِلٌ: ما أكْثَرَ ما تَسْتَعِيذُ مِنَ المَغْرَمِ، فَقَالَ: إنَّ الرَّجُلَ إذَا غَرِمَ، حَدَّثَ فَكَذَبَ، ووَعَدَ فأخْلَفَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa di dalam salatnya,

/allahumma inni a’udzubika min ‘adzabil qobri, wa a’udzubika min fitnatil masihid dajjal, wa a’udzubika min fitnatil mahya, wa fitnatil mamat, allahumma inni a’udzubika minal ma’tsam wal maghram/

(Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari azab kubur. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah al Masih ad Dajjal. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah orang yang hidup dan orang yang sudah mati. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari dosa dan hutang).

Lalu seseorang bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, betapa seringnya Engkau berlindung dari hutang?’ Beliau pun menjawab, ‘Sesungguhnya seseorang yang biasa berhutang, jika dia berbicara dia akan berdusta, jika dia berjanji dia akan mengingkarinya’” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 1325).

Ibnu Mulaqqin Rahimahullah menjelaskan, “Berhutang yang Nabi berlindung darinya, adalah hutang yang tidak disukai oleh Allah karena (sejak awal) tidak ada kemampuan untuk membayarnya. Atau hutang yang tidak bisa dibayar sehingga membuat harta saudaranya binasa. Atau orang yang berhutang mampu membayar, namun dia berniat untuk tidak melunasinya, sehingga dia termasuk orang yang bermaksiat kepada Allah dan menzalimi dirinya sendiri” (At Taudhih li Syarhil Jami’ Ash Shahih, 15: 423).

Mengapa orang yang suka berhutang cenderung suka berbohong dan mengingkari janji? Syaikh Abdul Karim Al Khudhair menjelaskan, “Dia akan berdusta agar bisa menghindarkan diri dari si pemberi hutang. Dan dia juga akan mudah ingkar janji agar bisa menghindarkan diri dari si pemberi hutang” (Syarhul Muharrar fil Hadits, 21: 11).

Hadits 9: Rasulullah tidak mau mensalati orang yang berhutang

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ’anhu ia mengatakan,

تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ

“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan, ‘Apakah baginda akan menyalatkannya?’ Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Kami menjawab, ‘Dua dinar.’ Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut.

Ketika kami mendatanginya, Abu Qotadah berkata, ‘Dua dinar itu menjadi tanggunganku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Betul-betul Engkau tanggung hutang mayit sampai lunas?’ Qatadah mengatakan, ‘Iya betul’. Maka Nabi pun mensalatinya. “(HR. Abu Daud no. 3343, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan. “Tidak semestinya seseorang untuk bermudah-mudahan berhutang, kecuali sangat darurat. Karena hutang dapat menghalangi syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menolak untuk mensalati orang yang punya hutang. Karena salatnya beliau adalah syafaat. Dan hutang membuat terhalangnya syafaat. Bahkan sampai orang yang syahid fi sabilillah yang semua dosanya diampuni, namun dosa hutangnya tidak diampuni” (Fathu Dzil Jalalil wal Ikram, 4: 157).

Hadits 10: akan diberikan kehancuran oleh Allah

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,

ن أخَذَ أمْوالَ النَّاسِ يُرِيدُ أداءَها أدَّى اللَّهُ عنْه، ومَن أخَذَ يُرِيدُ إتْلافَها أتْلَفَهُ اللَّهُ

“Orang yang mengambil harta orang lain (berhutang), dengan niat untuk melunasinya kelak, maka Allah akan menolong dia untuk melunasinya. Adapun orang yang mengambil harta orang lain dengan niat tidak akan melunasinya, maka Allah akan hancurkan dia” (HR. Bukhari no. 2387).

Al Mula Ali Al Qari Rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, orang yang berhutang tanpa kebutuhan dan tidak bermaksud untuk melunasinya, maka Allah akan hancurkan dia. Yaitu, Allah tidak akan menolongnya dan tidak Allah beri keluasan rezeki. Bahkan Allah akan menghancurkan dia karena dia sejak awal sudah berniat menghancurkan harta seorang Muslim” (Mirqatul Mafatih, 5: 1957).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/68043-hadits-hadits-tentang-bahaya-hutang.html

Pacaran tanpa Niat Menikahi, Bagaimana Hukumnya?

Pacaran dalam koridor syariat masih diperbolehkan dalam batas wajar

Dalam Islam, tujuan dilakukannya pernikahan adalah untuk menyempurnakan agama, selain juga sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW. 

Sedangkan berpacaran meski dalam batasan syariat ada dispensasinya, namun bila dilakukan dengan tanpa disertai niat menikahi memiliki konsekuensi hukum yang menyertainya.

Prof Huzaemah Tahido Yanggo dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menjelaskan, berpacaran dapat dianggap pendahuluan perkawinan yang disebut bertunangan atau meminang jika pacaran tersebut masih dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan dalam fikih Islam, bertunangan atau peminangan disebut dengan al-khitbah.

Syekh Wahbah Zuhaili, sebagaimana dikutip Prof Huzaemah, menyebutkan bahwa bertunangan menunjukkan keinginan untuk kawin dengan seorang wanita tertentu. Serta memberitahukan kepadanya, atau walinya tentang hal itu. Kemudian, pemberitahuan itu dapat dianggap sempurna, langsung, atau dengan perantara walinya.

Bertunangan adalah apabila seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya. Baik dengan cara terang-terangan, maupun dengan cara sindiran.

Sedangkan menurut Sulaeman Rasyid, meminang adalah menyatakan permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.

Sehubungan dengan kedudukan perkawinan merupakan dasar dan awal pembentukan masyarakat, maka Islam membenarkan kepada calon yang akan mendirikan rumah tangga untuk meninjau pasangan hidupnya dari berbagai segi melalui pertunangan atau peminangan. Pertunangan atau peminangan itu merupakan mukaddimah perkawinan.

Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk melestarikan keturunan dan mengandung unsur mendidika jiwa manusia agar bertambah kelembutan jiwanya dan kecintaannya. Terutama, kata Prof Huzaemah, di masa sekarang ini di mana masalah seksual erat kaitannya dengan kebutuhan biologis manusia.  

Seorang pria yang bermaksud akan melakukan akad nikah dengan seorang wanita, perlu mengenal calon istrinya itu (begitu pun sebaliknya). Dengan mengetahui seluk beluk dan hal-ihwal calon istri, sehingga akan menimbulkan kemantapan atau gambaran yang konkret tentang kemampuan calon suami istri itu dalam mengemban rumah tangga.

Memilih calon pasangan hidup dengan meninjau latar belakang, sikap, serta agamanya adalah tuntunan agama. Sedangkan apabila seseorang melakukan pacaran tanpa niat menikahi, hal ini sama sekali bukan tuntunan agama melainkan tuntunan setan. Sebab dalam pacaran pada umumnya terdapat unsur-unsur pendekatan terhadap zina. Allah berfirman dalam Alquran surat Ar Rum ayat 21.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Wa min aayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaaja litaskunuu ilaiha wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmatan inna fii dzalika la-aayati liqaumi yatafakkarun.” 

Yang artinya, “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Dijelaskan bahwa dalam kompilasi hukum Islam, apabila perwakinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, maka tidak demikian dengan pacaran yang dilakukan tanpa adanya niat keseriusan. 

Terlebih pacaran yang dilakukan hanya menjerumuskan satu sama lainnya ke dalam jurang kemaksiatan, hal ini jelas dilarang agama. Sebab untuk mendekati zina saja, umat Islam tidak diperkenankan. Terlebih, Nabi Muhammad SAW juga bersabda: 

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ “Apabila seseorang dari kamu meminang perempuan dan sanggup dia melihat darinya sebagian apa yang menarik untuk menikahinya, hendaklah dia lakukan.” 

Sehingga apabila terdapat seseorang yang menyatakan cinta kepada pacarnya tanpa ada sedikit pun niat keseriusan menikahi, sudah dipastikan apa yang dikatakannya itu hanyalah isapan jempol semata.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Perbedaan Hibah dan Wasiat

Bismillahirrahmanirrahim

Kedua akad ini sama-sama akad memberi.

Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :

Pertama, kalau wasiat, harta baru bisa diterima setelah pemberinya meninggal. Adapun hibah adalah harta sudah bisa menjadi hak milik seketika ketika akad diucapkan, tidak harus menunggu pemberi hibah meninggal dunia.

Kedua, wasiat tidak boleh lebih dari ⅓ harta peninggalan, adapun hibah boleh lebih bahkan boleh seluruh hartanya. (Referensi : Fatawa Islam nomor 598)

Sebagaimana keterangan dalam Sa’ad bin Abi Waqos berikut,

يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Ya Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan ⅔ hartaku?”

“Jangan.” Jawab Nabi.

Aku bertanya kembali, “Bagaimana kalau aku sedekah dengan setengahnya ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Jangan.”

“Kalau sepertiganya bagaimana ya Rasulullah?”

Beliau menjawab “Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada orang.” Muttafaqun ‘alaihi.

Ketiga, hibah tidak sah jika pemberinya adalah orang safih (dungu dalam urusan duit/harta). Berbeda dengan wasiat, ia sah meski pemberinya adalah orang yang safih.

Keempat, hibah boleh diberikan kepada ahli waris, adapun wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris kecuali jika ahli waris yang lain rela.

Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لا وصية لوارث إلا أن يجيز الورثة

Tidak boleh ada wasiat kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain membolehkan/merelakan.” (HR. Daruqutni, dari sahabat Amr bin Syu’aib)

Hadis ini dikuatkan oleh pernyataan sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

لا تجوز وصية لوارث إلا أن يشاء الورثة.

“Tidak boleh wasiat diberikan kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain merelakannya.”

Baca tulisan kami terkait tema ini :
Status Harta Wasiat untuk Ahli Waris
https://muslim.or.id/67879-status-harta-wasiat-untuk-ahli-waris.html

Wallahua’lam bis showab.

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/68000-perbedaan-hibah-dan-wasiat.html

4 Bukti Keterkaitan Risalah Kenabian dengan Ekonomi

Risalah kenabian mengajak pentingnya prinsip keadilan ekonomi

Ayat-ayat Alquran  yang berbicara tentang kehidupan, alam semesta dan manusia, menegaskan adanya hubungan korelasional antara peristiwa yang berbeda, berdasarkan hukum kausalitas atau sebab-akibat. 

Norma-norma yang dihadirkan dan ditampilkan Alquran itu mengambil bentuk dan dimensi tertentu. Oleh karena itu, seseorang diajak untuk meneliti, mendalami, mengkaji dan menganalisis sunnah dan hukumnya. Allah SWT berfirman:  

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌۙ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi…” (QS Ali Imran 137). 

Ada banyak ayat Alquran  yang menegaskan adanya sunnah, atas dasar bahwa risalah adalah aturan dan landasan untuk menerangi jalan di tengah kegelapan. Allah SWT berfirman:  

وَلَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكُمْ اٰيٰتٍ مُّبَيِّنٰتٍ وَّمَثَلًا مِّنَ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِيْنَ “Dan sungguh, Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penjelasan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS An Nur 34). 

Alukah telah menguraikan secara singkat beberapa risalah kenabian yang disampaikan Alquran berkaitan dengan masalah ekonomi. 

Pertama, keterkaitan misi kenabian dengan keberadaan kaum borjuis. Allah SWT berfirman:  

وَمَاۤ اَرۡسَلۡنَا فِىۡ قَرۡيَةٍ مِّنۡ نَّذِيۡرٍ اِلَّا قَالَ مُتۡـرَفُوۡهَاۤ ۙاِنَّا بِمَاۤ اُرۡسِلۡـتُمۡ بِهٖ كٰفِرُوۡنَ‏. وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ

“Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, “Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan.” Dan mereka berkata, “Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (QS Saba 34-35).

Ayat-ayat Alquran  ini menjelaskan kepada kita sebuah sunnah objektif, menerjemahkan korelasi antara perilaku dan reaksi kaum borjuis dengan para rasul dan nabi yang menyerukan kepada agama Allah SWT dan meluruskan penyimpangan ideologi, sosial, politik, dan ekonomi.  

Kedua, hubungan antara kehancuran bangsa dan sikap kaum borjuis. Ayat-ayat Alquran  menunjukkan penegasan adanya hubungan objektif antara terjadinya ketidakadilan dan korupsi ekonomi dan sosial dalam suatu masyarakat, dan antara kehancuran, kehancuran dan pembusukan bangsa-bangsa sepanjang perjalanan sejarahnya.  Allah SWT berfirman:  

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS Al Isra 16).

Ayat ini menegaskan bahwa tindakan dan perilaku kaum borjuis dan orang-orang boros, yang dikendalikan pandangan utilitarian materialistis, mengarah pada penyebaran korupsi dan ketidakadilan, penyebaran kemiskinan dan kesengsaraan, dan pemborosan uang dan energi, yang berarti keruntuhan dan kemerosotan entitas ekonomi, disintegrasi struktur sosial dan ekonomi, dan penyebaran korupsi yang menyebabkan kehancuran seluruh masyarakat. 

Ketiga, hubungan antara keutuhan bangsa dengan status ekonominya. Allah SWT berfirman:  

وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ مِّنْ رَّبِّهِمْ لَاَكَلُوْا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْۗ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Alquran ) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (QS Al Maidah 66). Dan Allah SWT berfirman:  

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ  “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS Al Araf 96). 

Melalui ayat-ayat tersebut terlihat adanya hubungan dan keterkaitan objektif dan kondisional antara tingkat dan derajat keutuhan bangsa dan tingkat kelimpahan amal, kelimpahan produksi, dan kemakmuran serta kemakmuran bangsa. 

Dengan kata lain, ayat-ayat ini menegaskan kepada kita hubungan langsung antara keadilan distributif, kelimpahan dan kemakmuran produksi dan situasi ekonomi dalam masyarakat. Dan Allah SWT berfirman: 

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ 

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS Ath Thalaq  2-3) 

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kesalehan dan ketergantungan pada Tuhan diikuti efek langsung dan tidak langsung, diwakili dalam pemeliharaan ilahi, kebijaksanaan ilahi, dan dukungan dalam kehidupan ekonomi dan sosial. 

Keempat, hubungan individu dengan masyarakat. Allah SWT berfirman: 

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ  “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar Rad  11). 

Ayat ini menegaskan kepada kita sejauh mana hubungan erat antara individu dan masyarakat dalam bentuk dan isinya, antara kandungan eksternal individu dan bangsa, dan antara kandungan internalnya. Allah SWT berfirman: 

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Al Anfal 53).  

KHAZANAH REPUBLIKA

“Pengalihan Isu” Strategi Melupakan Tujuan Utama Umat Manusia

Pengalihan isu merupakan sebuah cara untuk melupakan atau melenyapkan tujuan dari masyarakat banyak, yang awalnya memiliki sebuah tekad dan niat yang kuat  tiba-tiba berubah menjadi berbalik atau melenceng karena pengaruh sebuah isu yang kuat.

Hal ini biasa digunakan untuk memobilisasi massa dalam jumlah yang sangat banyak untuk beralih pada hal yang lain dengan menggunakan sebuah media, baik media cetak, televisi, media social ataupun media yang lainnya yang dapat memberikan informasi pada masyarakat luas.

Strategi ini juga sebetulnya digunakan oleh syetan dalam menyesatkan manusia dari jalan Allah, tujuan utama manusia diciptakan adalah untuk beribadah pada Allah ‘azza wa jalla, seperti tercantum dalam surat Adz Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Namun karena syetan memiliki tugas untuk menggoda manusia maka strategi ini digunakan agar manusia lupa dengan tujuan semulanya, yaitu beribadah pada Allah. Syetan mengalihkan tujuan utama manusia dengan dunia, sejatinya manusia beribadah adalah untuk perbekalan menuju akhirat yang kekal abadi.

Manusia yang taat beribadah pasti akan mendapatkan balasan berupa kenikmatan yang kekal yaitu surga. Dan itulah tujuan utama manusia agar kembali ke kampung halamannya yaitu surga, sementara syetan yang dipimpin Iblis menginginkan agar manusia menjadi shabatnya di neraka.

Selain beribadah pada Allah tujuan yang lain adalah Allah ingin melihat dan menilai hambanya di dunia melalui amal yang baik seperti tercantum dalam surat Al Mulk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,

Keberadaan syetan yang membutuhakn teman di neraka membuat mereka berusaha sekuat tenaga menggoda manusia dengan berusaha melupakan tujuan utama manusia.

Langkah setan yang paling utama adalah memalingkan umat manusia dari akhirat menuju dunia yang fana, ada yang dialihkan dengan harta, tahta, wanita, bahkan keluarga, hal ini dilakukan oleh syetan agar kita tersesat dan lupa pada tujuan kita di dunia ini.

Oleh kerena itu hendaknya kita selalu mengingat tujuan hidup kita dan jangan mau dialihkan terhadap dunia karena sejatinya itu adalah godaan syetan, bagaimanapun juga syetan akan berusaha mengalihkan tujuan kita dan kita harus selalu siap menghalau isu atau godaan yang dapan melupakan kita dari Allah (Abd.N)

ISLAM KAFFAH

Hukum Menggunakan Fasilitas Kantor di Luar Jam Kerja

Hampir bisa dipastikan sebuah lembaga memiliki berbagai barang inventaris, seperti: AC, komputer, karpet dan lain sebagainya. Namun, disaat karyawan lelah dan merasa jenuh terkadang barang tersebut juga digunakan  untuk mencari hiburan, seperti melihat foto, video, atau main game di komputer. Lantas, bagaimanakah hukum menggunakan fasilitas kantor di luar jam kerja?

Pada dasarnya, seorang karyawan tidak diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas kantor kecuali sesuai dengan persayaratan dan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati oleh Lembaga. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir juz 4, halaman 275,

عن رافع بن خديج قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : المسلمون عند شروطهم فيما أحل

Dari Rafi’ ibn Khodij berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Kaum Muslimin wajib mematuhi segala persyaratan mereka dalam hal-hal yang dihalalkan oleh syariat.”

Imam Abdurrouf Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir juz 6 halaman 453 memberi keterangan lebih lanjut mengenai hadis diatas. Menurut beliau segala syarat yang ditetapkan oleh kantor harus ditepati oleh seluruh karyawan selama tidak berkaitan dengan perkara yang diharamkan oleh syariat. Sebagaimana dalam penjelasan beliau berikut ini,

المسلمون عند شروطهم فيما أحل بخلاف ما حرم فلا يجب بل لا يجوز الوفاء به

Artinya : “(Kaum Muslimin wajib mematuhi segala persyaratan mereka dalam hal-hal yang dihalalkan oleh syariat) tidak seperti perkara yang dilarang, maka hukumnya tidak wajib (mematuhi), bahkan tidak diizinkan untuk mematuhinya.”

Namun demikian, apabila ada izin dari pihak yang bewenang dalam masalah itu atau sudah diketahui kerelaannya maka diperbolehkan.

Hal ini sebagaimana dalam kitab Fatawa Syabkah al-Islamiyah berikut :

فاعلم أنه يجوز لكل أحد أن يأخذ من مال غيره حاضراً أو غائباً، سواء كان هذا المأخوذ نقداً أو طعاماً أو غيرهما، إذا علم رضا صاحبه ولو بقرينة قوية تفيد رضاه، أما إذا شك فلا.

Artunya : “ Ketahuilah bahwa diperbolehkan bagi setiap orang untuk mengambil harta orang lain, baik hadir atau ghoib, baik itu mata uang, makanan, atau sesuatu yang lain, jika dia mengetahui persetujuan pemiliknya, sekalipun hanya dengan praduga kuat yang menunjukkan persetujuannya. Tetapi jika  ragu (mengenai persetujuan pemilik), maka tidak diperbolehkan.”

Keterangan diatas juga selaras dengan penjelasan dalam kitab Fatawa Fiqhiyyah Kubra juz 4 halaman 116 berikut:

وسئل بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيء أم مخصوص بطعام الضيافة فأجاب بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا

Artinya : “Timbul suatu pertanyaan berikut : Apakah boleh mengambil semua jenis harta dengan adanya pengetahuan tentang kerelaan pemilik, atau khusus untuk jamuan makanan tamu saja? Kemudian dia menjawab terkait pertanyaan tersebut, bahwa kebolehan itu tidak khusus untuk tamu saja, dan para ulama telah menjelaskan bahwa dugaan kuat itu hukumnya seperti pengetahuan dalam hal kerelaan pemilik. Kemudian ketika seseorang memiliki dugaan kuat bahwa pemiliknya akan mengizinkannya mengambil sesuatu dari hartanya, maka diperbolehkan baginya untuk mengambilnya.  Kemudian jika nyatanya pemilik tidak setuju dengan perbuatannya, maka dia harus menggantinya.”

Dari penjelasan diatas diatas dapat diketahui bahwa karyawan tidak diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas kantor diluar jam kerjanya. Tetapi, apabila ada izin dari pihak yang bewenang dalam masalah itu atau sudah diketahui kerelaannya maka diperbolehkan.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah?

Bismillahirrahmanirrahim

Ucapan selamat dalam bahasa fikih disebut at-tahni-ah (التهنئة) yang kemudian melebur ke dalam bahasa Melayu menjadi tahniyah. Dari penjelasan para ulama tentang tahni-ah, dapat kami simpulkan berikut:

Pertama, tahni-ah seorang berupa respon baik atas hal-hal mubah yang didapat saudaranya.

Seperti ucapan selamat atas kelahiran anak, pernikahan, kelulusan sekolah, selamat dari musibah, usaha sukses dll.

Alasan dibolehkan karena tergolong perkara adat bukan ibadah.

Bahkan bisa beralih menjadi dianjurkan karena dapat membuat saudara kita bahagia. Sebagaimana keterangan dalam situs ilmiah dorar.net berikut,

فهذه من الأمور العادية المباحة التي لا حرَجَ فيها، ولعلَّ صاحبها يُؤجَر عليها؛ لإدخالِه السرورَ على أخيه المسلمِ، فالمباح – كما قال شيخُ الإسلام ابنُ تيميَّة: (بالنيَّة الحَسنة يكون خيرًا، وبالنيَّة السيِّئة يكون شرًّا)؛ فالتهنئةُ بهذه الأمورِ تَدورُ بين الإباحةِ والاستحباب.

“Ucapan-ucapan selamat seperti ini masuk katagori mubah, tidak mengapa dilakukan. Bahkan orang yang melakukan bisa mendapatkan pahala, karena ia telah memasukkan rasa bahagia ke hati saudaranya semuslim. Karena segala amalan yang mubah itu seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Bisa menjadi pahala jika diniatkan berbuat baik, bisa menjadi dosa jika diniatkan berbuat buruk.” Jadi, hukum ucapan selamat yang seperti ini, berkisar antara mubah dan anjuran (mustahab).”

Kedua, tahni-ah atas tibanya waktu tertentu.

Seperti tahun baru, bulan baru, hari tertentu atau hari raya. Hukumnya terbagi menjadi 3:

1. Boleh

Yaitu ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Karena ada dasarnya dari riwayat-riwayat para sahabat dan ulama salafus sholih.

2. Dilarang

Yaitu ucapan selamat yang mengandung tasyabuh (keserupaan) dengan orang kafir, seperti selamat ulang tahun, selamat tahun baru (masehi), apalagi selamat hari raya orang-orang kafir.

3. Diperdebatkan kebolehannya

Yaitu ucapan selamat tahun baru Islam/hijriyah.

Perbedaan pendapat terkait ucapan tahun baru Islam

Ada ulama yang mengatakan:

1. boleh, karena ini masuk ke ranah adat (budaya) bukan ibadah, sehingga hukum asalnya boleh. Selain itu juga ada amal ibadah memasukkan bahagia ke hati seorang muslim.

Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah Syekh Abdul Karim Al-Khudhoir.

2. tidak boleh, karena ada unsur menyerupai kaum kafir, ciri khas mereka suka mengucapkan selamat tahun baru. Selain itu juga masuk ke ranah bidah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat, padahal sebabnya ada di zaman beliau dan tidak ada penghalang untuk melakukannya.

Diantara yang berpendapat ini adalah Syekh Sholih Al Fauzan dan Syekh Ali bin Abdul Qodir Assegaf (pengasuh situs Ilmiyah dorar.net) –hafidzohumallah

3. boleh merespon saja, tidak mengawali.

Diantara yang berpendapat ini adalah Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Sholih Al Utsaimin –rahimahumallah-.

Kami condong kepada pendapat yang ketiga ini; yaitu tidak mengawali ucapan selamat tahun baru Islam namun tetap merespon baik orang yang mengucapkan selamat tahun baru Islam kepada kita. Alasannya karena pendapat ini pertengahan/moderat antara kubu yang melarang dan yang membolehkan.

Karena memang riilnya tidak ada dalil yang melarang tahni-ah seperti ini, tidak pula ada dalil yang memerintahkan. Sebagaimana penjelasan Syekh Abdul Karim Al-Khudhoir saat menukil pernyataan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah,

لا ابتدئ بالتهنئة فإن ابتدأني أحد أجبته

“Aku tidak memulai tahni-ah, tapi jika ada orang yang mengucapkan tahni-ah kepadaku, maka akan aku respon baik.”

Syekh lalu menjelaskan,

لأن جواب التحية واجب وأما الابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمورا بها ولا هو أيضا مما نهي عنه

“Karena menjawab ucapan selamat itu kewajiban. Adapun memulai ucapan selamat (tahun baru), bukan termasuk sunah yang diperintahkan, namun bukan pula termasuk perbuatan yang dilarang” (Islamqa.info).

Sehingga sebagai respon untuk kubu yang melarang; yang argumen mereka juga sangat layak dipertimbangkan: kita tidak mengawali ucapan selamat tahun baru.

Kemudian respon terhadap kubu yang membolehkan yang argumen mereka juga kuat: jika ada yang mengucapkan selamat tahun baru, kita respon baik.

Alasan mengapa harus merespon baik

Alasan mengapa harus merespon dengan baik, diantara karena:

Pertama, mengamalkan ayat,

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 86).

Kedua, Islam tidak melarang ucapan selamat secara mutlak: Nabi pernah mengucapkan selamat atas tibanya Ramadhan, sahabat Tholhah bin Ubaidillah pernah menyampaikan ucapan selamat kepada sahabat Ka’ab bin Malik di hadapan Nabi, namun Nabi Shalallahu alaihi wasallam tidak mengingkari.

Ketiga, ada unsur amalan berpahala besar berupa memasukan kebahagiaan ke dalam hati seorang muslim (jika diniatkan mengharap pahala itu).

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

“Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan rasa bahagia kedalam hati seorang muslim, mengangkat kesusahan orang lain, membayarkan hutangnya atau menyelamatkannya dari rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Demikian paparan yang kami sampaikan berdasarkan pada keterbatasan ilmu yang sampai kepada kami, semoga Allah memaafkan kesalahan kami dan menerima tulisan ini sebagai pahala di akhirat.

Wallahua’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/67998-ucapan-selamat-tahun-baru-hijriyah-bolehkah.html