Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 4): Seputar Wudhu dan Tayammum

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 3): Najis dan Cara Menyucikannya.

Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan tentang macam-macam najis dan bagaimana cara menyucikan dari najis tersebut. Selanjutnya pada artikel ini kami akan membahas seputar wudhu dan tayamum.

Pembahasan tentang wudhu akan membahas tentang hal yang mewajibkan seseorang untuk berwudu, hal yang dianjurkan seseorang untuk berwudu.

Sedangkan untuk tayamum akan membahas terakit hukum tayamum, syarat sah tayamum, tata cara tayamum, hal yang membatalkan tayamum, cara bersuci jika tidak ada air dan debu, mendapati air setelah tayamum dan salat.

Simak penjelasan berikut ini.

Wudu

Wudu merupakan rukun salat yang apabila tidak dilakukan maka ibadah salat sama sekali tidak sah. Wudu memiliki keutamaan yang sangat banyak, seperti: tanda kemuliaan di hari kiamat [1], mendapatkan ampunan [2], jaminan surga [3], pembersihan dosa [4], dan meninggikan derajat [5].

Hal yang mewajiban berwudu

Terdapat tiga jenis ibadah yang dapat mewajibkan seseorang berwudu, yaitu: salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Quran.

Pertama: salat

Wudu sebelum melaksanakan salat baik fardu maupun sunah merupakan kewajiban yang bersifat mutlak, sebagiamana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. al-Maidah: 6).

Kedua: tawaf di Baitullah

Sebelum melaksanakan tawaf di Baitullah ada kewajiban mutlak yang harus ditunaikan yakni berwudu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Aisyah Radhiallahu’anha,

“Kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh orang yang mengerjakan ibadah haji kecuali bertawaf di Baitullah hingga kamu bersuci” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tawaf di Baitullah disebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salat sehingga berwudu pun menjadi syarat sebelum berthawaf. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tawaf di Baitullah adalah salat …” (HR. an-Nasai dan at-Trmidzi).

Ketiga: menyentuh mushaf

Al-Quran merupakan mushaf yang berisi kalamullah yang patut untuk mendapatkan penghormatan tertinggi dari seorang hamba-Nya. Oleh karenanya, sebelum menyentuhnya untuk melantunkan kalamullah tersebut wajib bagi seorang muslim untuk berwudu terlebih dahulu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak ada yang boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci (bersuci terlebih dahulu -pen.)” (HR. Malik, ad-Daraquthni dan al-Hakim, dari hadis ‘Amr bin Hazm dan Hakim bin Hizam serta Ibnu Umar Radhiallahu’anhum).

Hal disunahkan untuk berwudu

Syaikh As-Sa’di merangkum sepuluh keadaan yang karenanya disunahkan seseorang untuk berwudu [6] diantaranya,

a. Sebelum berzikir dan berdoa kepada Allah [7].
b. Wudu pada saat akan tidur [8].
c. Wudu setiap kali berhadas [9].
d. Wudu setiap kali salat [10].
e. Wudu setelah menunaikan fardhu kifayah (mengusung mayit) [11].
f. Wudu setelah muntah [12].
g. Wudu setelah mengonsumsi makanan yang tersentuh api [13].
h. Wudu bagi orang yang junub apabila hendak makan [14].
i. Wudu apabila hendak mengulangi hubungan badan [15].
j. Wudu bagi orang yang junub apabila hendak tidur sebelum mandi [16].

Tayamum

Tayamum merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala yang dilakukan dengan menggunakan debu bersih untuk mengusap wajah dan tangan dengan niat menghilangkan hadas bagi yang tidak mendaptkan air atau tidak bisa menggunakannya [17]. Tayamum disyariatkan apabila ada sebab seperti adanya halangan menggunakan air, baik dikarenakan ketiadaan air atau adanya bahaya apabila menggunakannya.

Hukum tayamum

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. al- Maidah: 6).

Selain dalil Al-Quran, dalil-dalil sahih dari As-Sunnah pun banyak yang menjelaskan tentang syariat tayamum sebagai ganti dari berwudu dengan air sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Syarat sah tayamum

a. Apabila tidak menemui air [18].
b. Tayamum pada bagian yang tidak terkena air [19].
c. Kemungkinan bahaya apabila menggunakan air [20].
d. Adanya halangan syar’i untuk mendapatkan air [21].

Tata cara tayamum

a. Berniat di dalam hati [22].
b. Membaca “bismillah” [23].
c. Menepukkan kedua telapak tangan ke debu yaang suci dengan sekali tepukan kemudian mengusapkan kedua telapak tangan tersebut ke wajah [24].
d. Mengusap kedua tangan dari ujung jari hingga pergelangan tangan [25].

Hal yang membatalkan tayamum

a. Semua sebab yang membatalkan wudu [26].
b. Adanya (ditemukannya) air untuk wudu [27].

Bersuci jika tidak ada air dan debu

Kita diwajibkan untuk bersuci dengan air. Bilamana ada sebab yang menghalangi kita menggunakan air -sebagaimana dijelaskan sebelumnya – maka boleh bertayammum dengan tanah yang suci. Namun demikian, apabila tidak mampu melakukan tayammum baik karena tidak adanya debu yang suci atau adanya sebab yang membahayakan jika kita menyentuh debu tersebut atau adanya halangan yang syar’i [28], maka gugurlah kwajiban taharah dan kita boleh mengerjakan salat dalam keadaan yang kita alami [29][30][31][32].

Menemukan air setelah bertayamum dan salat

Tidak perlu mengulangi salat apabila kita telah bertayamum dan telah melaksanakan salat meskipun masih ada waktu salat tersebut. Sebab seorang yang tidak mengulangi wudu dan salat sejatinya telah mengamalkan sunah sesuai dengan kamampuan. Namun, disisi lain tidak ada salahnya bagi orang yang mengulangi wudu kemudian salat sebab ia mendapakan pahala salatnya yang pertama (dengan tayamum) dan salatnya yang kedua (dengan wudu). Namun yang dimaksudkan disini adalah adanya upaya untuk menepati sunah [33].

Saudaraku, selaku umat muslim yang menginginkan pahala yang banyak dari Allah dengan melakukan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu pengetahuan tentang wudu dan tayamum secara paripurna mesti kita kejar untuk mendapatkannya. Sebab dengan mengetahui celah-celah pahala yang bisa kita peroleh dari setiap ibadah wajib dan sunah maka insyaallah adalah anugerah yang sangat berharga yang tidak semua muslim bisa mendapatkannya, wallahu’a’lam bi as-shawab.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta mengikuti jejak petunjuk Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Bersambung]

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 4)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 3).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami bahas sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman: (1) memantulkan rupa dengan tampilan yang halus; (2) menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya; (3) jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”.

Pada artikel ini akan kami lanjutkan penjelasan sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman: (4) menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui; (5) menampakkan rupamu sendiri. Simak penjelasan berikut ini.

(Lanjutan) sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Keempat, menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui

Anda bercermin saat anda ingin tahu apakah ada sesuatu yang tidak beres pada penampilan anda atau anda ingin memeriksa apakah penampilan anda sebaik yang anda harapkan.

Demikianlah manfaat cermin fisik, menampakkan sesuatu yang sulit atau anda sendiri tidak bisa mengetahuinya.

Maka demikian pula -dengan taufik Allah- status seorang mukmin sebagai cermin maknawi. Dia bisa melihat aib anda yang anda tidak merasanya dan tidak mengetahuinya [1]. Anda pun bisa melihat aibnya yang dia tidak mengetahuinya.

Tidak ada satupun diantara kita yang statusnya hanya menjadi orang penerima nasihat selamanya. Setiap kita tertuntut menasihati dan  perlu dinasihati.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadis yang agung terdapat isyarat bahwa perlunya seorang mukmin meminta nasihat kepada saudaranya, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim Rahimahullah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ

“… dan jika ia meminta dinasihati, maka nasihatilah ….”

Kelima, menampakkan rupamu sendiri

Diantara sifat cermin adalah menampakkan gambarmu sendiri, dan bukan gambar orang lain, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya. Kaum mukminin seperti satu tubuh, begitu sayangnya seorang mukmin kepada saudaranya.

Seorang mukmin dengan niat yang ikhlas menginginkan kebaikan untuk saudaranya, menyayanginya, menasihatinya dengan cara yang ia juga suka diperlakukan seperti itu, karena ia memperlakukan saudaranya seperti ia memperlakukan dirinya. Layaknya sebuah cermin menampakkan gambar diri anda, dan bukan gambar orang lain.

Banyak dalil yang menunjukkan bahwa kaum mukminin itu seperti satu tubuh dan satu jiwa.

Allah Ta’ala berfirman,

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا

“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” (QS. An-Nur: 12).

Dalam Tafsir Al-Baghawi Rahimahullah, maksud “ … tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah menafsirkan,

“(Tidak berprasangka baik) terhadap orang yang beragama dengan agama mereka (kaum mukminin yang lainnya), karena kaum mukminin itu seperti satu jiwa.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian” (QS. An-Nisa: 29).

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah dalam Tafsir Al-Baghawi Rahimahullah menafsirkan,

“(Janganlah kalian membunuh) saudara-saudara kalian” maksudnya, “Wahai kaum mukminin, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian kaum mukminin lainnya.”

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ

“Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada ‘diri kalian sendiri’” (QS. An-Nur: 61).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Rahimahullah, Said Bin Jubair, Al-Hasan Al-Bashri, Qotadah, dan Az-Zuhri Rahimahumullah menafsirkanhendaklah kalian memberi salam kepada ‘diri kalian sendiri’” sebagai,

“Hendaklah sebagian kalian memberi salam kepada sebagian (kaum mukminin) yang lain.” Maksudnya hendaklah sebagian kaum mukminin memberi salam kepada saudaranya yang seiman.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

“Dan janganlah kalian suka mencela diri kalian sendiri” (QS. Al-Hujurat: 11).

Imam Mufassirin Ibnu Jarir Ath-Thabari Rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut,

“Allah menjadikan orang yang mencela saudaranya seperti orang yang mencela dirinya sendiri, karena kaum mukminin itu seperti satu orang dalam perkara yang harus dilakukan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya, berupa memperbaiki urusan saudaranya, mencari sesuatu untuk kebaikan saudaranya dan mencintai kebaikan  untuk saudaranya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan, kasih sayang, dan belas kasih mereka bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang terasa sakit, maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasa tidak bisa tidur dan merasa demam (sakit juga)” (HR. Muslim Rahimahullah).

Wahai kaum mukminin, semangatlah anda menjadi cermin bagi saudara seiman anda, seolah-olah anda melihat dan memperlakukan diri anda sendiri.

Anda perbaiki kesalahannya dan anda ingatkan ketika ia lupa dengan kalimat terbaik, waktu yang paling tepat, serta metode menasihati yang termudah diterima olehnya, tanpa melanggar syariat Islam yang agung ini. Sebagaimana selayaknya anda suka diperlakukan seperti itu juga.

[Bersambung, insyaallah]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

10 Tips Agar Tegar Menghadapi Cobaan

  1. Sadarlah bahwa Anda tidak sendirian, ada Allah bersama Anda.
  2. Ingatlah bahwa di balik takdir Allah pasti ada hikmah yang indah.
  3. Tidak ada yang dapat memberi kebaikan dan menyelamatkan dari keburukan kecuali Allah, maka janganlah menggantungkan harapan kecuali kepadaNya.
  4. Apapun yang ditakdirkan menimpamu; ia tidak akan meleset darimu. Dan apapun yang ditakdirkan meleset darimu; ia tidak akan dapat menimpamu.
  5. Ketahuilah hakekat dunia, maka jiwa Anda akan menjadi tenang.
  6. Berbaik-sangkalah kepada Rabb Anda.
  7. Pilihan Allah untuk Anda, itu lebih baik daripada pilihan Anda untuk diri Anda sendiri.
  8. Cobaan yang semakin berat, menunjukkan pertolongan Allah semakin dekat.
  9. Jangan pikirkan bagaimana datangnya pertolongan Allah, karena jika Allah berkehendak, Dia akan mengaturnya yang cara yang tidak terlintas di akal manusia.
  10. Anda harus berdoa meminta kepada Allah, yang di tangan-Nya ada kunci-kunci kemenangan.

Kalau kita perhatikan, kebanyakan prinsip di atas mengaitkan kita dengan Allah ta’ala. Karena memang manusia itu makhluk lemah, dan dia tidak akan menjadi kuat kecuali jika mendapatkan suntikan kekuatan dari luar, dan tidak ada yang mampu memberikan kekuatan seperti Allah azza wajalla.

Dari sini, kita juga bisa memahami, mengapa semakin orang dekat dengan Allah, semakin kuat pula jiwanya.. dan mengapa semakin kuat akidah seseorang, semakin kuat pula kepribadiannya, wallohu a’lam.

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini

Artikel Muslim.Or.Id

Melihat Kegelisahan Manusia dalam Menghadapi Cobaan

Allah Swt berfirman :

أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱلۡفُلۡكَ تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ لِيُرِيَكُم مِّنۡ ءَايَٰتِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّكُلِّ صَبَّارٖ شَكُورٖ – وَإِذَا غَشِيَهُم مَّوۡجٞ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ فَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞۚ وَمَا يَجۡحَدُ بِـَٔايَٰتِنَآ إِلَّا كُلُّ خَتَّارٖ كَفُورٖ

“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.” (QS.Luqman:31-32)

Ayat di atas membicarakan tentang watak manusia ketika menghadapi bencana dan cobaan.

Manusia bisa berubah seketika disaat ia menghadapi sebuah cobaan ataupun bencana. Ia menjadi penuh ketakutan, gelisah dan memohon pertolongan. Ia ingin segera terlepas dari musibah ini bagaimanapun caranya. Disaat musibah ini semakin berat dan ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, maka ia akan mencari pertolongan dan bantuan. Dan bagi seorang yang beriman, musibah ini akan menjadi titik ia kembali kepada Allah Swt.

Ia akan mengingat masa lalunya yang penuh dosa dan kesalahan, ia akan bertaubat, memohon ampun dan berharap agar semua musibah ini akan segera diangkat oleh Allah.

“Ya Allah wahai Tuhan kami, jika Engkau selamatkan kami dari musibah ini dan Engkau keluarkan kami dari cobaan yang berat dalam keadaan sehat dan selamat maka kami akan menyembah-Mu dengan benar dan tidak akan bermaksiat kepada-Mu.”

Begitulah ia selalu berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Swt ketika berada dalam musibah dan bencana.

Tetapi manusia tetaplah manusia. Ketika musibah itu telah diangkat, kebanyakan dari mereka mengingkari semua janji dan sumpahnya dihadapan Allah. Ia kembali melakukan kemaksiatan dan lupa dengan ketaatan yang ia janjikan.

Kita pun mungkin pernah berada dalam kondisi semacam ini. Ketika terkena cobaan, kita bertaubat dan berjanji akan menjadi hamba yang sholeh dan ketika cobaan itu telah hilang, kita kembali menjadi manusia yang lalai.

Karena itu Al-Qur’an mengharapkan kita memiliki iman yang kuat kepada Allah Swt. Dalam kondisi senang maupun susah!

Dalam kondisi tenang,aman,tentram dan memiliki segalanya, siapa yang menjamin Allah tidak akan mencabut semua kenikmatan itu dalam sekejap jika Allah menghendaki?

Sebagaimana kita membutuhkan Allah dan selalu memohon dengan penuh kepasrahan saat kita sedang susah, begitu juga kita membutuhkan Allah saat kita dalam kenikmatan dan kesenangan agar Allah menjaganya dan tidak mencabutnya.

Hari-hari itu ada ditangan Allah. Hari ini kau berada di atas, mungkin besok engkau berada dibawah. Karena itu Allah ingin agar manusia bergantung kepada Allah dalam kondisi senang maupun susah.

Maka hendaklah manusia membina dan terus menguatkan keimanannya. Jadikan iman dalam hati itu bagaikan ruh dalam jasad.

Ketika sakit ataupun sehat, ruh senantiasa berada dalam jasad. Ketika senang atau susah, ruh itu juga tetap menyertai jasad.

Maka jadikan keimanan dalam hati itu bagaikan ruh yang selalu menyertai jasad dalam kondisi apapun. Dalam keadaan susah ataupun senang, iman selalu menyertai akal dan hati kita.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Lima Amalan untuk Dapatkan Keberuntungan Dunia dan Akhirat

Seorang mukmin sejati akan patuh dan tunduk kepada Penciptanya, ia sadar bahwa dirinya mampu berbuat kebaikan maupun menjauhi segala larangan atas izin dari-Nya. Segala gerak langkahnya selalu diawasi sehingga hidupnya semakin terarah.

Abu Naim al-Asfihani mengutip perkataan Abu Abdillah as-Saji yang memaparkan lima hal yang harus diketahui oleh orang mukmin.

Pertama, mengenal Allah (makrifatullah) sebagai sang penciptanya. Seseorang yang telah mengenal Tuhannya tetapi tak mampu mengenal kebenaran maka makrifatnya kurang sempurna.

Kedua, mengetahui kebenaran. Bila seseorang tak mampu membedakan kebenaran dan kesalahan maka ia akan tersesat dalam bertindak.

Ketiga, ikhlas beramal. Ini merupakan kunci agar amal ibadah diterima oleh Allah.

Keempat, mengamalkan Sunnah Nabi. Salah satu bukti cinta kepada Nabi adalah mengikuti Sunnahnya.

Kelima, mengkonsumsi makanan yang halal. Salah satu kunci terkabulnya doa adalah mengonsumsi makanan yang baik dan diperbolehkan oleh Agama.

Dari kelima hal ini bila dipraktikkan dalam kehidupan maka ia akan beruntung di dunia dan akhirat serta akan menjadi pribadi mukmin yang dekat dengan Allah.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Hukum Shalat Tanpa Wudhu dan Tayamum Bagi Tenaga Medis Covid19?

Salah satu yang berjasa besar untuk memutus mata rantai Covid 19 adalah tenaga medis. Sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19, tenaga medis dalam bertugas harus dibekali Alat Pelindung Diri (APD) yang mempuni. Nah, dalam pemakaian APD pun terdapat Standar Operasional Prosedur ketat yang harus dilaksanakan. Timbul persoalan, para tenaga medis yang muslim ini, ketika ingin melaksanakan shalat tanpa berwudhu dan tayammum terlebih dahulu. Pasalnya akan sulit bila terlebih dahulu harus membuka APD. Nah, bagaimana hukum shalat tanpa wudhu dan tayamum bagi tenaga medis Covid19?

Dalam literatur yurisprudensi Islam, shalat tanpa berwudhu dan tayammum dikenal dengan istilah faqid ath-thahurain. Para ulama dari beberapa negara Islam telah mengeluarkan fatwa, bahwa boleh hukumnya bagi tenaga medis Covid 19 untuk melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum.

Fatwa tentang boleh shalat tenaga medis Covid-19 tanpa wudhu dan tayamum

Lembaga Fatwa Tinggi Islam Aljazair mengeluarkan bahwa berbunyi;”boleh hukumnya tenaga medis Covid 19 melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum”. Ada dua alasan utama di balik keluarnya fatwa ini. Pertama, karena khawatir para tenaga medis akan terpapar virus corona apabila membuka APD mereka. Dan para tenaga medis rentan terkena Covid 19. Alasan kedua, tenaga medis tidak dimungkinkan meninggalkan pekerjaan mereka. Pasalnya, banyak pasien yang bergantung terhadap pelayanan mereka. Apabila  pesien ditinggalkan para tenaga medis, akan menimbulkan darurat.

Berikut kutipan fatwa tersebut;

أن المكلّف العاجز عن الوضوء والتيمّم معا كما هو شأن الأطباء والممرضين ومن في حكمهم كرجال الأمن والحماية المدنية وغيرهم ممن يستحيل عليهم ترك أعمالهم, التي تتوقف عليها ضرورة العلاج وإنقاذ حياة إنسان، فعليه أن يؤدي صلاته ولو بغير وضوء ولا تيمُّم، إذا عجز عنهما

Artinya:sesungguhnya orang yang tidak dapat berwudhu dan melakukan tayamum bersama-sama, seperti yang terjadi pada dokter, perawat, dan orang-orang yang sederajat seperti petugas keamanan dan perlindungan sipil dan lain-lain yang tidak mungkin untuk meninggalkan pekerjaan mereka di mana kebutuhan perawatan dan penyelamatan hidup seseorang bergantung, atau mereka diharuskan memakai pakaian pelindung yang menutupi sebagian besar tubuh mereka dan mereka tidak dapat melepaskannya,  maka  mereka dibolehkan melaksanakan shalat tanpa wudhu atau tayamum, jika dia tidak mampu melakukannya.

Selanjutnya, Dar al-Ifta Mesir pun telah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya tenaga medis Covid 19 untuk shalat tanpa wudhu dan tayamum. Para ulama dari Dar al-Ifta menjadikan dalil keringanan tersebut firman Allah dalam  Q.S al-Haj ayat 78:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

Dan juga sabda Nabi Muhammad:

إذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» رواه البخاري

 Artinya: apabila aku larang kamu akan sesuatu, maka kerjakanlah, dan apabila akun perintahkan tentang suatu perkara maka datangi kamulah apa yang kamu mampu memperbuatnnya.

Berikut penjelasan Lembaga Fatwa Mesir tentang bolehnya tenaga medis Covid 19 shalat tanpa wudhu dan tayamum:

دَخَل وقت الصلاة وأراد أداءها: فإذا تَعذَّر على الطبيبِ المعالج خَلْع الملابس الوقائية التي يرتديها للوضوءِ للصلاة فإنه يتيمم؛ فإن تَعذَّر التيمم عليه أيضًا؛ فحكمه في ذلك حكم فاقد الطهورين؛ فعليه الصلاة على حاله بلا وضوءٍ ولا تَيَمُّمٍ مراعاةً لحُرْمة الوقت، ولا يجب عليه إعادة ما صلَّاه.

 Artinya: masuk waktu shalat, tenaga medis berkeinginan untuk melaksanakan shalat; Maka apabila ada uzur bagi tenaga medis utuk membuka APD ketika berwudhu untuk shalat, maka dia bisa melaksanakan tayamum. Jika lemah/uzur dari melaksanakan tayamum atasnya, maka hukum demikian (shalat tanpa wudhu dan tayamum) adalah hukum faqid ath-thahurain, Maka salatlah tenaga medis dalam keadaannya tanpa wudhu dan  tayamum untuk menghormati waktu,dan tak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalatnya.

Lembaga Fatwa Arab Saudi pun memberikan keringan kepada para tenaga medis, boleh melaksanakan salat tanpa wudhu dan tayamum. Fatwa ini keluar sebagai jalan kemudahan bagi tenaga medis dalam melaksanakan tugasnya untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Dan juga untuk melindungi diri mereka dari penyakit menular tersebut.

Pendek kata, boleh hukumnya tenaga medis shalat tanpa wudhu dan tayamum. Dalam fiqih Islam keadaan ini dinamakan dengan istilah Faqid at thahuroin. Lantas, apa yang dinamakan Faqid at thahuroin? Para ulama klasik dan kontemporer telah membahas persoalan ini secara lengkap.

Definisi dan hukum shalat dalam faqid at thahurain

Salah satunya adalah Syaikh Athiyah Saqar, Mufti Mesir dan Guru Besar Universitas Al-Azhar. Ulama senior Mesir ini menyebut bahwa faqid at thahurain adalah ketika luput alat yang dibuat untuk bersuci yakni air dan debu.  Dalam keadaan demikian seseorang boleh melaksanakan shalat. Dan tak ada kewajiban untuk mengulangi shalatnya.

Syaikh Saqar mengatakan:

 الطهوران هما: الماء والتراب، والذي يفقدهما يصلى على حسب حاله، ولا إعادة عليه

Artinya: yang mensucikan itu ada dua yakni debu dan air; dan ketika keduanya luput, maka salatlah mereka dalam keadaan demikian, dan tidak ada kewajiban mengulanginya.

Menurut Syaikh Saqar, dalam keadaan darurat hukum faqid at thuharain ini dapat dipergunakan. Ia memberikan contoh, di kawasan yang turun salju, dan tak memungkinkah untuk berwudhu karena dingin. Dan tak ditemui debu untuk tayamum. Maka seseorang bisa melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum.

Lihat penjelasan beliau:

ومثل ذلك من وجد في منطقة جليدية ليس بها تراب، ولم يتحمل أن يتطهر بالثلج لشدة برودته، وعدم وجود ما يدفئه به فيعتبر فاقد الطهورين يصلي حسب حاله دون إعادة عليه

Artinya:  Dianggap  faqid at thuharain  untuk seseorang yang tinggal di daerah salju yang tidak memiliki debu, dan tidak mampu untuk menyucikan dirinya di salju karena sangat dingin, dan tidak ada kehangatan di dalamnya,dan dia dianggap dalam keadaan faqid at thuharain  dan shalat ia sesuai dengan kondisinya tanpa mengulanginya.

Ulama kontemporer dari Suriah, Syekh Wahbah az Zuhaili pun memberikan penjelasan tentang faqid at thurain . Ia mendefinisikan tentang keadaan ini dengan lengkap. Dalam Wahbah az-Zuhaili al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid I, halaman 606-607, Wahbah Zuhaili berkata:

فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد تراباً ندياً ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معاً بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.

Artinya: faqid at thurain: adalah keadaan yang luput dari air dan debu, seolah-olah dia terkurung di tempat yang tidak ada  salah satu dari debu dan air. Atau ia berada di tempat najis, dan tak ada  tanah yang mensucikan. Atau seolah-olah ada air namun terbatas, tetapi ia dia butuhkan untuk menghilangkan haus, atau dia menemukan tanah yang lembab dan tidak mampu mengeringkannya dengan api. Demikian juga, orang yang disalibkan dan penumpang di kapal yang tidak mencapai air, dan sama juga orang  tidak  mampu berwudhu dan tayamum karena penyakit dan sejenisnya, seperti orang yang  memiliki luka yang tidak dapat disentuh kulitnya dengan wudhu atau tayamum.

Dalam teks yang diungkapkan oleh Syekh Wahbah Zuhaili, tampak pengertian faqid at thurain lebih lengkap. Dan tentu lebih kontemporer. Lantas, ketika shalat dalam keadaan faqid at thurain, apakah seseorang mengulangi shalatanya? Atau tak perlu shalat? Wahbah Zuhaili menerangkan pendapat empat ulama mazhab terkemuka dalam massalah ini.

Pertama, pendapat kalangan ulama dari mazhab Imam Syafi’i, bahwa orang yang dalam keadaan faqid at thurain, boleh melaksanakan shalat fardu saja. Tidak diperkenankan melaksanakan shalat sunat. Dan ia wajib mengulangi shalatnya kembali ketika ada air atau debu atau ketika keadaan darurat hilang.

الشافعية: يصلي فاقد الطهورين الفرض وحده في المذهب الجديد على حسب حاله بنية وقراءة، لأجل حرمة الوقت، ولا يصلي النافلة ويعيد الصلاة

Artinya: Ulama dari kalangan Syafi’i berpendapat shalatlah orang yang luput dari air dan debu, tetapi hanya shalat fardu saja, untuk menghormati waktu, dan tak diperkenankan shalat sunat, dan ia juga mengulangi lagi nanti shalat tersebut.

Kedua, Mazhab Imam Hanbali berpendapat hukumnya wajib shalat orang yang dalam keadaan (baca: faqid at thoharain) tetapi salat fardu saja. Dan tak ada kewajiban mengulangi shalatnya.

لحنابلة: يصلي فاقد الطهورين الفرض فقط، على حسب حاله وجوباً، ولا إعادة عليه

Artinya: Orang yang luput dari air dan debu hanya shalat fardu saja. Dan tidak mengulanginya.

Ketiga , mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang luput dari air dan debu boleh melaksanakan shalat dengan gerakan shalat, tapi tak perlu membaca surat Alfatiha dan bacaan lainnya. Di lain waktu, ia dianjurkan untuk mengqadha (mengganti) shalatnya.

Imam Wahbah az-Zuhaili menulis:

الحنفية: المفتى به عندهم ما قاله الصاحبان: وهو أن فاقد الطهورين يتشبه بالمصلين وجوباً، فيركع ويسجد، إن وجد مكاناً يابساً، وألا يومئ قائماً، ولا يقرأ ولا ينوي، ويعيد الصلاة متى قدر على الماء أو التراب

Artinya; bagi mazhab Hanafi , orang yang faqid at thuharain menyerupailah ia dengan orang yang shalat, maka ia rukuk dan sujud, apabila ia mendapati tempat yang kering, dan bukan untuk memberi isyarat berdiri, tidak membaca fatiha dan tidak berniat, dan mengulangi shalatnya apabila bertemu atau sanggup menyentuh air dan debu.

Keempat Mazhab Maliki, mereka berpendapat tak ada kewajiban melaksanakan shalat. Lebih lanjut,  ulama maliki mengatakan bahwa orang yang tak menjumpai air dan debu atau hilang kemampuan memakai keduanya seperti, orang disalib maka gugur kewajiban shalat dan qadha. Tak ada tuntutan syariat shalat dan  qadha.

المالكية: المذهب المعتمد أن فاقد الطهورين وهما الماء والتراب، أو فاقد القدرة على استعمالهما كالمكره والمصلوب، تسقط عنه الصلاة أداء وقضاء، فلا يصلي ولا يقضي، كالحائض؛ لأن وجود الماء والصعيد شرط في وجوب أداء الصلاة

Artinya: Kalangan mazhab Maliki memberikan penjelasan  bahwa orang yang faqid at thuharain atau uzdur dalam menggunakan air dan debu seperti orang yang disalib atau terpaksa, maka seketika gugur kewajiban shalat dan qadha. Keadaan ini  (baca: shalat dan debu) diqiyaskan kepada orang yang haid—tak ada kewajiban bagi wanita haid shalat dan mengqadha shalatnya—, sebab air dan debu menjadi syarat untuk melaksanakan shalat.

Kesimpulan dari pelbagai teks yang menerangkan tentang definisi  dan tata cara shalat faqid ath-thahurain , maka para tenaga medis tergolong orang yang dalam hukum fiqih disebut sebagai faqid ath-thahurain. Pasalnya mereka digolongkan orang yang uzhur atau darurat ketika hendak wudhu dan tayamum.

Demikian penjelasan tentang bagaimana hukum shalat tanpa wudhu dan tayamum bagi tenaga medis covid-19?

BINCANG SYARIAH

Amalan-Amalan yang Bisa Menjadi Investasi Pahala di Akhirat

Dr. H. Tohari Musnamar menuliskan tentang kematian, “Ketika roh keluar dari jasadnya, ibarat burung keluar dari sangkarnya. Ia terbang membawa seluruh amalnya. Amal baik dan amal buruk semuanya ia bawa. Tidak ada satu pun yang tersisa. Amal baik membawa pengharapan. Amal buruk membawa penyesalan. Tidak ada lagi yang dapat dihapus, karena suratan sudah terputus. Pintu amal sudah ditutup dan pintu kubur mulai mengatup

Berbicara tentang kematian adalah berbicara tentang sesuatu yang penuh dengan misteri. Namun hakikatnya kematian bukanlah suatu kejadian yang tiba-tiba. Peringatan-peringatan akan kematian di sekitar kita yang dikirim oleh Allah Swt sebenarnya adalah hal alamiah yang harus kita maknai.

Allah telah memperingatkan kita akan datangnya kematian, namun itu semua kembali kepada diri kita memaknai peringatan tersebut. Imam al-Qurthubi menjelaskan tentang peringatan kematian ini bisa bermacam-macam. Ada yang berpendapat bahwa peringatan kematian adalah kematian kerabat, tetangga, teman, atau saudara, maupun kematian orang lain. Dengan mendengar kabar kematian dari orang lain, akan menggiring hati kita mengingat bahwa kita juga akan mengalami hal yang serupa. Ada juga yang mengatakan bahwa yang memberi peringatan kematian adalah akal yang sempurna.

Kematian adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri. Saat kematian datang, canda tawa akan menjadi tangisan sedang rasa gembira menjadi kesedihan. Saat-saat yang akan menentukan nasib kita, akankah berada di kebahagiaan atau justru dalam siksaan yang kekal. Satu kata yang dapat menggambarkan suasana itu adalah sakaratul maut.

Imam al-Ghazali melukiskan bahwa sakaratul maut ialah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa sehingga tidak ada lagi satupun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. (hlm. 13)

Datangnya kematian adalah datangnya rasa tersendiri bagi orang-orang beriman maupun orang-orang yang durhaka. Bagi orang-orang yang berimna, ia akan merasakan keistimewaaan tersendiri. Adapun orang-orang yang durhaka baginya kerugian yang sangat besar.

Demikian kematian adalah suatu hal yang memaksa. Tak ada yang dapat kita lakukan, kecuali mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan amal kebaikan. Kita tidak dapat menghindarinya, tak dapat pula bersembunyi darinya karena kematian ibarat pemburu yang profesional. Sekalipun kita mencoba bersembunyi di tempat yang menurut kita aman pun, jika ajal telah tiba, pasti kematian akan menemukan dan menjemput kita. Karena ia adalah bagian dari ketentuan Allah Swt.

Tampaknya tak ada yang paling setia menunggu kita di dunia ini selain kematian kita sendiri. Sayang, tidak semua orang menyadari hal itu sehingga menyebabkan manusia lalai dalam hidupnya. Beruntunglah orang yang selalu mengingat kematian. “ketika seseorang sering mengingat kematian, hatinya akan terasa lembut. Hal yang penting dengan mengingat kematian, seseorang akan termotivasi dan tergugah untuk memeprsiapkan diri dengan amal kebaikan” (hlm. 34)

Allah mencatat bentuk amal yang kita kerjakan dan pengaruh dari amal itu. Jika baik, maka dicatat sebgai kebaikan. Namun, jika buruk maka dicatat sebagai keburukan. Orang bahagia adalah yang ketika mati, maka dosanya ikut mati bersamanya. Sedangkan orang celaka adalah orang yang ketika mati, dosanya tidak ikut mati bersamanya justru masih terus tumbuh berkembang. Na’udzubillah.

Dalam suasana kubur yang mengerikan, ada beberapa orang yang kebaikannya selalu mengalir. Ruh mereka pun bersemayam dengan tenang, namun pahala terus berdatangan tak kunjung berhenti. Inilah masa pensiun di alam kubur yang teramat indah, yang dunia seisinya pun tak cukup untuk membelinya.

Dalam hadis Anas bin Malik ra. Rasulullah Saw bersabda, “Ada tujuh amalan yang pahalanya tetap mengalir untuk seorang hamba setelah ia meninggal dunia, padahal ia berada di alam kuburnya. (1) Orang yang mengajarkan ilmu agama (2) Orang yang mengalirkan sungai (yang mati), (3) Orang yang membuat sumur, (4) Orang yang menanam kurma, (5) Orang yang membangun masjid, (6) Orang yang memberi mushaf al-Qur’an, (7) Orang yang meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah ia meninggal dunia” (HR. Al-Bazzar dalam musnadnya 7289, al-Baihaqi dalam Syuabul Iman 3449) (hlm. 48)

Penulis menjelaskan bahwa ada sepuluh amal yang pahalanya terus mengalir. Tiga yang lainnya adalah sedekah jariyah, berjuang untuk tanah air, dan menyediakan rumah singgah. Amal-amal di atas adalah investasi pahala kita. Mari menanam investasi itu selama kita masih di dunia. Adapun yang selain ilmu bermanfaat dan anak soleh, amal-amal itu bisa sebut sebagai sodaqah jariyah karena keberadaannya yang terus dimanfaatkan oleh orang lain walau kita telah tiada.

Namun pahala dari apa yang telah kita lakukan itu akan juga dialirkan kepada kita oleh Allah Swt. Maka, jangan lewatkan walau semenit waktu kita supaya bisa beramal dan bertaubat mengingat Allah. Karena semenit saja yang kita lewatkan adalah angan-angan berjuta manusia. Jadikan “angan-angan orang mati” senantiasa hadir dalam benak dan membasahi bibir. Insya Allah kita akan menjalani menit-menit dengan ketaatan hingga kita tidak menyesal kemudia.

Judul Buku       : 10 Amalan Dahsyat yang Pahalanya Terus Mengalir Meski Kematian Memisahkan

Penulis             : Ahmad Kamil al-Jauzi

Penerbit           : Araska

Tahun Terbit     : Oktober 2019

Halaman         : 240 hlm

ISBN               : 978-623-7145-81-3

BINCANG SYARIAH

Tafsir Surat al-Waqi’ah: 83-87: Kematian Pasti Datang Menjemput

Allah berfirman dalam surat al-Waqi’ah: 83-87,

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ- 83 – وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ- 84 –  وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ – 85 –  فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ.- 86 – تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ – 87 –

Maka kenapa tidak (kalian cegah) ketika nyawa di kerongkongan (83) Padahal kalian melihatnya (sakaratul maut kalian itu) (84) Dan kami lebih dekat kepada kamatian itu namun kalian tidak melihatnya (85) kemudian kenapa pula jika kalian bukan orang-orang yang dikuasai (86) kalian tidak kembali lagi jika kalian adalah orang-orang yang benar (87).

Dalam Tanwirul Miqbas, Ibnu Abbas menafsiri ayat ini diperuntukkan untuk orang-orang ahli Mekkah saat itu. Di riwayat lain dijelaskan bahwa ini dimaksudkan bagi orang-orang kafir yang mengatakan “seandainya mereka bersama kami, mereka tidak akan mati” seperti yang disebutkan dalam Q.S. Ali Imron ayat 156.

Sehingga tantangannya adalah ketika naza’ (sakaratul maut) sudah sampai tenggorokan, seharusnya mereka (kaum kafir yang sombong) bisa menolak dan mengembalikaan ruh mereka. Ternyata mereka tetap tidak bisa menolak dan mengembalikannya. Padahal jelas-jelas mereka juga mengetahui proses naza’ tersebut. Di riwayat lain disebutkan bahwa ini sebagai bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa yang membinasakan mereka adalah karena lamanya waktu atau masa usia mereka, sehingga mereka bisa menahannya sampai usia yang lama.

Seperti ayat sebelumnya, ayat ini juga berisi tantangan bagi mereka yang merasa bahwa dirinya bukan makhluk yang dikuasai Allah. Maka kenapa mereka tidak kembalikan saja ruhnya yang telah keluar dari jasad untuk kembali? Dengan demikian, dari beberapa ayat ini, hal yang sangat perlu kita teladani adalah bagaimana kematian pasti datang menjemput. Selain itu takdir kematian sudah merupakan kepastian Allah, jangan pernah mengatakan jika seperti ini maka tidak akan mati dan sebagainya. Di luar itu juga tidak ada satupun makhluk di dunia ini yg tidak dikuasai Allah, semuanya dimiliki oleh Allah, kita tidak mempunyai apa-apa, bahkan jiwa yg kita gunakan sekarang tidaklah atas kuasa kita sendiri. Oleh sebab itu, hina sekali kalau ada perasaan-perasaan sombong dalam diri kita.

BINCANG SYARIAH

Kematian Pintu Pertama Menuju Akhirat, Kita Harus Persiapkannya

Jika bicara akhirat, tentu tidak lepas dari yang namanya kematian. Mengingat-ingat dahsyatnya kematian merupakan satu keharusan bagi diri para pecinta akhirat. Sederet nama sahabat nabi seperti sayyidina Ustman bin Affan hingga generasi ulama salaf semisal Sufyan Al Tsaury, mereka kerap kali mendatangi kuburan atau menziarahi orang yang tengah sakaratul maut.

Mereka lalukan semua itu dengan tujuan membangkitkan semangat diri dalam mempersiapkan kehidupan akhirat sebaik mungkin. Jika orang-orang mulia selevel sahabat Nabi dan para ulama salaf saja sudah terbiasa mengingat-ingat kematian, tentunya kita pun lebih memerlukan lagi, dengan demekian kita akan lebih banyak memperoleh manfaat darinya.

الموت هو إنقطاع تعلق الروح بالبدن ومفارقته والحيلولة بينهما ، وتبدل الحال، وانتقال من دار الفناء الى دار الخلد ، وهو حتم لازم لا مناص منه لكل حي من المخلوقة

Kematian adalah terputusnya ikatan ruh dengan badan, terpisahnya keduanya, bergantinya keadaan serta berpindahnya negeri penuh kerusakan menuju negeri kebaikan. Kematian merupakan ketetapan pasti yang tidak terhindarkan bagi setiap makhluk yang hidup.

Namun yang perlu kita khawatirkan adalah keadaan setelah mati. Apakah alam barzakh itu nantinya bakal menjadi tempat persinggahan yang nyaman bagi kita setelah sekian lamanya disibukkan dengan hiruk pikuk dunia, atau justru menjadi lahan pertama dalama menerima hukuman akhirat.

Tidak ada jalan terbaik bagi kita selain bersiap semaksimal mungkin demi meraih kebahagian setelah kematian itu tiba, dengan terus menjaga akidah dan keimanan kita masing-masing  serta berupaya istiqomah dalam melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya.

Nabi Sholallahu alaihi wasallam bersabda:

الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت ، والعاجز من اتبع نفسه هواها ، ويتمنى على الله الأماني

Sang jenius itu adalah orang yang berusaha memperbaiki dirinya dan melakukan perbuatan demi kehidupan setelah matinya, sedangkan orang yang lemah adalah yang selalu mengikuti bisikan nafsu namunbia berharap kebaikan dari allah (HR. Tirmidzi).

Semoga kita tergolong sebagai umat nabi shollallahu alaihi wasallam yang memperoleh apresiasi baik dari beliau sebagai hamba allah yang cerdas, cerdik lagi berhati penuh cahaya. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Mempersiapkan Diri Menuju Kematian?

Setiap mukmin memandang dirinya sedang dalam perjalanan yang tanpa henti. Dan Al-Qur’an mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدۡحٗا فَمُلَٰقِيهِ

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.” (QS.Al-Insyiqaq:6)

Manusia berjalan dari suatu tempat ke tempat yang lain dan kematian hanyalah salah satu pos yang harus di lalui setiap manusia.

Setiap perjalanan memerlukan bekal, apalagi perjalanan menuju alam barzakh adalah sebuah perjalanan yang menegangkan, maka tentu manusia memerlukan bekal yang akan menemani dan membantunya dalam perjalanan. Bekal itu telah dipesankan oleh Allah Swt dalam firman-Nya :

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ

“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS.Al-Baqarah:197)

Manusia sering dilanda takut dan kegelisah dalam urusan kehidupannya. Dalam urusan bisnisnya, keluarganya, masa depannya, kesuksesannya dan banyak lagi lainnya.  Apabila hal-hal ini mendatangi pikiran kita, maka seharusnya kita lebih memikirkan masa depan yang pasti. Bahwa didepan ada pintu kematian, ada alam barzakh, ada hari mahsyar, apakah semua itu pernah kita pikirkan?

Satu-satunya kunci untuk mengingat kematian adalah kesadaran bahwa setiap kita lebih banyak mengingat kematian maka kita akan semakin bersemangat untuk menyiapkan bekal. Dan disaat kita alpa tentang kematian maka akan semakin sedikit persiapan kita dalam menyambutnya.

Dari sini kita memahami sabda Baginda Nabi Saw :

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang menghancurkan seluruh kenikmatan (yaitu kematian).”

Karena itu orang yang selalu mengingat kematian akan meraih beberapa hal :

1. Akan cepat bertaubat ketika melakukan kesalahan.

2. Akan lebih qona’ah (merasa cukup) dalam menerima ketentuan Allah.

3. Akan bersungguh-sungguh dalam beramal dan beribadah.

Dan sebaliknya, siapa yang lupa dengan kematian akan membuat hatinya keras, menunda-nunda taubat dan akan terjerumus dalam kecintaan dunia.

Karena itu mari kita siapkan diri untuk menyambut kematian dan siapkan bekal sebanyak-banyaknya. Jangan sampai kita menyesal ketika waktu telah habis dan kesempatan telah sirna, seperti yang diceritakan oleh Allah dalam Firman-Nya :

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ – لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ كَلَّآۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَاۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرۡزَخٌ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.” (QS.Al-Mu’minun:99-100)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN