Saudara-Saudara Nabi Yusuf Bukanlah Nabi

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad hafizhahullah Ta’ala [1]

Pertanyaan:

Apakah saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihis salaam adalah para Nabi?

Jawaban:

الإجابة: نص الإجابة: ليسوا بأنبياء، وقد ذكر ذلك ابن كثير وغيره، ومعلوم أن الصفات التي ذكرها الله عنهم في القرآن تدل على أنهم ليسوا بأنبياء

Mereka bukanlah Nabi. Ibnu Katsir [2] dan ulama lain Rahimahumullah telah menyebutkan perkara ini. Telah diketahui bersama bahwa sifat-sifat mereka yang telah difirmankan Allah Ta’ala menunjukkan bahwa mereka bukanlah Nabi.

[Selesai]

Sumber: http://iswy.co/e42ls

Penerjemah: Muhammad Fadhli, ST.

Muslim.or.id

_________________________

Catatan kaki:

[1] Beliau adalah seorang ahli hadis, ahli fikih, pengajar di masjid Nabawi asy-Syarif. Beliau juga rektor Universitas Islam Madinah periode 1384-1399 H.

[2] Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan,

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ عَلَى نُبُوَّةِ إِخْوَةِ يُوسُفَ، وَظَاهِرُ هَذَا السِّيَاقِ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَزْعُمُ أَنَّهُمْ أُوحِيَ إِلَيْهِمْ بَعْدَ ذَلِكَ، وَفِي هَذَا نَظَرٌ. وَيَحْتَاجُ مُدّعي ذَلِكَ إِلَى دَلِيلٍ، وَلَمْ يَذْكُرُوا سوَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ} [الْبَقَرَةِ: 136] ، وَهَذَا فِيهِ احْتِمَالٌ؛ لِأَنَّ بُطُونَ بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُمُ: الْأَسْبَاطُ، كَمَا يُقَالُ لِلْعَرَبِ: قَبَائِلُ، وَلِلْعَجَمِ: شُعُوبٌ؛ يَذْكُرُ تَعَالَى أَنَّهُ أَوْحَى إِلَى الْأَنْبِيَاءِ مِنْ أَسْبَاطِ بَنِي إِسْرَائِيلَ، فَذَكَرَهُمْ إِجْمَالًا لِأَنَّهُمْ كَثِيرُونَ، وَلَكِنَّ كُلَّ سِبْطٍ مِنْ نَسْلِ رَجُلٍ مِنْ إِخْوَةِ يُوسُفَ، وَلَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ عَلَى أَعْيَانِ هَؤُلَاءِ أَنَّهُمْ أُوحِيَ إِلَيْهِمْ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

“Ketauilah bahwa tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kenabian dari saudara-saudara laki-laki Nabi Yusuf Alaihissalam. Zahir dari rangkaian ayat-ayat ini (dalam surat Yusuf, red.) bahkan menunjukkan yang sebaliknya. Ada di antara ulama yang mengklaim bahwasanya mereka -para saudara laki-laki Nabi Yusuf Alaihissalam- diberi wahyu setelah itu. Pembawa argumen ini dituntut untuk mendatangkan dalil. Dan mereka tidaklah membawakan dalil kecuali firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan Al-Ashbath” (QS. Al-Baqarah: 136).

Terdapat beberapa probabilitas di sini. Karena suku-suku Bani Israil memang disebut dengan al-Ashbath. Sebagaimana suku-suku Arab disebut dengan al-Qaba’il (kabilah-kabilah). Dan di kalangan ‘ajam (non-Arab) disebut dengan syu’ub. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia menurunkan wahyu kepada para Nabi dari al-Ashbath di kalangan Bani Israil. Maka di sini, Allah Ta’ala menyebutkannya secara umum saja. Dikarenakan jumlah al-Ashbath itu yang banyak. Dan setiap orang dari kalangan al-Ashbath itu memang termasuk saudara Nabi Yusuf Alaihissalam. Tapi tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa setiap individu dari mereka diberi wahyu. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 4: 327, Asy-Syamilah)

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Dahulu, manusia bersatu di atas tauhid

Pada awalnya, manusia itu umat yang satu, karena mereka bersatu di atas agama tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan” (QS. Al-Baqarah: 213).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كان بين نوح وآدم عشرة قرون كلهم على شريعة من الحق فاختلفوا فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين

“Antara Nabi Adam (Nabi dan manusia pertama) dan Rasul Nuh (Rasul pertama) ada 10 abad. Mereka semua berada di atas syariat dari Al-Haq (Allah). Kemudian mereka saling berselisih [1]. Kemudian Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan [2].”

Ikrimah Rahimahullah berkata,

كان بين آدم ونوح عشرة قرون كلهم على الإسلام

“Antara Nabi Adam dan Rasul Nuh ada 10 abad. Mereka semua berada di atas Islam (Tauhid) [3].”

Sebab kesyirikan pertama di muka bumi

Tahukah Anda, apa penyebab kesyirikan pertama kali yang terjadi di muka bumi ini?

Penyebabnya adalah karena mereka bersikap melampaui batas (ghuluw) terhadap orang-orang saleh pada kaum Rasul Nuh Alaihis salaam.

Dalam Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’” (QS. Nuuh: 23).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا، وسموها بأسمائهم، ففعلوا. ولم تعبد حتى إذا هلك أولئك ونُسي العلم عُبدت

“Ini adalah nama-nama orang-orang saleh di kaum Nabi Nuh Alaihis salam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan godaannya kepada kaum mereka,’Dirikanlah patung-patung di majelis-majelis yang dahulu didatangi orang-orang saleh itu, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Kemudian kaum itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut. Dan sewaktu itu, patung-patung tersebut belumlah disembah. Sampai orang-orang yang mendirikan patung tersebut telah mati dan (ketika itu) ilmu (tentang tauhid dan tujuan awal pembuatan patung) telah dilupakan, akhirnya disembahlah patung-patung tersebut.”

Ibnul Qayyim Rahimahullah Ta’ala menjelaskan, lebih dari seorang Salafusshalih yang mengatakan,

لما ماتوا عكفوا على قبورهم، ثم صوروا تماثيلهم، ثم طال عليهم الأمد فعبدوهم

“Tatkala orang-orang shalih itu meninggal dunia, mulailah orang-orang berlama-lama berdiam diri di makam mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung orang-orang saleh tersebut. Berlalulah masa yang panjang, hingga mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut.”

Dari kutipan di atas, nampak bahwa pakar tafsir di kalangan sahabat Radhiyallahu ‘anhum, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, menafsirkan ayat di atas bahwa kaum Nabi Nuh Alaihis salam berwasiat agar manusia terus menyembah tuhan-tuhan selain Allah tersebut. Padahal Nabi mereka, Nuh Alaihis salam, telah melarang mereka berbuat syirik.

Dan pada asalnya, tuhan-tuhan mereka itu adalah orang-orang saleh di kalangan mereka. Namun setan menggoda kaum tersebut agar bersikap melampaui batas terhadap orang-orang saleh itu setelah mereka meninggal dunia. Berawal dari sikap berlebihan dengan cara mendirikan patung-patung mereka, sampai akhirnya keturunan kaum pendiri patung itu menyembah orang-orang saleh tersebut.

Sekilas tahapan kesyirikan pertama di muka bumi

Tahap Pertama

Kaum Rasul Nuh Alaihis salam, mereka turun temurun berasal dari keturunan Nabi Adam Alaihis salam. Sedangkan keturunan Nabi Adam Alaihis salam berada di atas tauhid hingga kehadiran orang-orang saleh yang taat kepada Allah Ta’ala, yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuuts, Ya’uuq, dan Nasr.

Kemudian ketika mereka meninggal dunia, tersebar di tengah-tengah manusia sikap cinta dunia dan jauh dari mengingat akhirat. Sehingga banyak orang-orang ketika itu – jika ingin menambah semangat dalam beribadah – mereka pergi ke makam orang-orang saleh tersebut, berlama-lama berdiam diri, merenung, dan menangis di sisi makam tersebut, lalu menjadi bertambahlah semangat manusia dalam beribadah sepulang dari makam tersebut.

Suatu saat setan pun datang di makam tersebut dan membisiki mereka agar membuat patung dari orang-orang saleh itu, lalu orang-orang itu pun membuat patung-patung tersebut dan mereka letakkan di makam-makam mereka. Memang awal mulanya mereka tidak menyembah patung-patung tersebut. Mereka sebatas memandang patung-patung itu, sehingga mereka mengenang kembali kesalehan orang-orang saleh yang dipatungkan tersebut.

Tahap Kedua

Umur kaum Rasul Nuh Alaihis salam itu panjang, sehingga setan memiliki kesempatan untuk membuat tipu daya pada tahapan tipu daya yang kedua, yaitu agar mereka meletakkan patung-patung tersebut di rumah-rumah mereka, agar semangat mereka dalam beribadah bisa semakin mudah terdorong, seperti ibadahnya orang-orang saleh tersebut. Lalu mereka pun memindahkan patung-patung itu di rumah-rumah mereka, bahkan terkadang mereka pun membawanya ketika sedang safar.

Jadi, pada tahapan awal patung-patung tersebut tidaklah disembah, namun sekedar untuk mengenang kesalehan orang-orang saleh tersebut. Sehingga diharapkan bisa mendorong semangat mereka dalam beribadah.

Tahap Ketiga

Masa panjang pun berlalu. Ketika ilmu tauhid sudah banyak hilang dan hilang pula (ilmu tentang) maksud awal pembuatan patung di dada-dada banyak manusia, lalu orang-orang yang tidak memiliki ilmu itu pun beranggapan bahwa tidaklah kakek moyang kami membuat patung-patung itu kecuali karena patung-patung tersebut adalah sesembahan yang layak untuk disembah atau karena patung-patung tersebut dikeramatkan.

Akhirnya, mereka pun berdoa kepada patung-patung tersebut dengan anggapan ruh-ruh orang-orang saleh itu bisa memperantarai diri mereka dan menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah. Mereka menyembah patung-patung tersebut.

Dengan sebab inilah mereka terjatuh dalam kesyirikan akbar [4].

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Muslim.or.id

Penyebab Ghuluw (Ekstrem) dalam Beragama Menurut Syekh Yusuf Al-Qardawi

Melihat perkembangan isu-isu nasional dan internasional, selalu ada kelompok yang masih berpikir ghuluw (ekstrem) dalam beragama atau memandang agama, baik kanan (konservatif, tradisional, dan tekstualis) maupun kiri (liberal, progresif, dan reformis). Pikiran-pikiran tadi sering kali menuai banyak masalah misalnya tindakan makar dan teror, memicu konflik antar umat atau antar ormas dan sebagainya.

Ghuluw bukan lahir tanpa sebab, Dr. Yusuf al-Qardawi menjelaskan panjang lebar perihal faktor-faktor timbulnya pemikiran tadi dalam kitabnya, as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf. Di sini kami tampilkan 3 faktor saja, sebagiamana berikut;

Kurangnya Pengetahuan yang Memadai Tentang Hakikat Agama

Yang dimaksud dengan kurangnya pengetahuan bukan berarti tidak tahu sama sekali tentang agama melainkan kurangnya ilmu. Indikator ini misalnya ketika seseorang merasa dirinya sudah masuk dalam kategori ulama padahal masih banyak yang belum ia ketahui seperti misalnya al-Maqashid ar-Raisiyyah atau tujuan-tujuan pokok syariat Islam. Abdullah bin Umar bin al-‘Ash berkata;

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Saya mendengar Nabi bersabda; sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari para hambanya melainkan akan mencabutnya dengan cara mencabut ulama sehingga bila tidak ada orang alim satupun niscaya masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai tokohnya. nantinya mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu akhirnya mereka tersesat dan menyesatkan.(HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j; 1, h; 32)

Imam Malik bin Anas berkata; Robi’ah pernah menangis dengan tangisan yang sangat menyedihkan, lalu dia ditanya; apakah engkau ditimpa musibah? Dia menjawab; tidak, melainkan masyarakat sudah minta fatwa kepada orang yang tidak berilmu. Sesungguhnnya kurangnya pengetahuan yang diselimuti oleh rasa ‘ujub dan tipu daya lebih membahayakan dari pada tidak tahu sama sekali namun mengakui kebodohan itu.(as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 63)

Berpedoman pada Makna Tekstual dalam Memahami Teks-Teks Agama

Menurut Syekh Yusuf al-Qardawi sudah tidak asing lagi bahwa banyak di antara mereka (kelompok ghuluw) yang berpedoman pada makna harfiyyah dan makna eksplisit saja tanpa meninjun pada makna implisit dan maqashidnya. Model pemahaman semacam inilah yang sering mengabaikan hukum syariat yang dikaitkan dengan alasan-alasan atau ‘illat yang rasional, menolak qiyas, dan memandang bahwa syariat membedakan dua hal yang sama dan menyatukan dua yang yang berbeda.

Beliau dan para pakar hukum Islam lainnya memandang bahwa ada perbedaan antara prinsip dalam ibadah dan muamalah;

أَنَّ الْاَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ هُوَ التَّعَبُّدُ بِهَا دُوْنَ نَظَرٍ إِلَى مَافِيْهَا مِنْ مَصَالِحَ وَ مَقَاصِدَ بِخِلَافِ مَايَتَعَلَّقُ بِالْعَادَاتِ وَ الْمُعَامَلَاتِ

Sesungguhnya asas dalam ibadah adalah at-ta’abbud(penghambaan secara total) tanpa harus menalar alasan hukum baik berupa maslahat atau maqashid. Berbeda dengan hal-hal yang berkaitan dengan adat dan muamalah.(as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 64)

Berikut hadis-hadis yang berkaitan dengan muamalah di mana alasan-alasan hukum-hukum di dalamnya bisa dinalar dan dipahami.

Hadis pertama diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa;

Nabi saw melarang seseorang bepergian ke daerah orang kafir atau musuh sambil membawa al-Qur’an. (HR. Muslim, Shohih Muslim,  j; 6, h; 30)

Alasan atau ‘illat dari larangan ini ialah khawatir orang kafir menghina atau merendahkan Al-Qur’an. Dengan demikian orang muslim boleh membawa al-Quran bila alasan tadi tidak ada. Tentunya kita melihat konteks saat ini di mana kitab suci baik milik umat Islam atau nonmuslim sengaja dipublikasikan dan disebarkan ke berbagai negara dengan tujuan dakwah dan itu tidak dipermasalahkan bahkan al-Quran sendiri sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 65)

Hadis kedua diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda;

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً.

Apabila seseorang lama pergi maka jangan pulang ke rumah keluarganya di waktu malam.(HR. Al-Bukhori, Shohih al-Bukhori, j; 7, h; 50)

Salah satu alasan kenapa dilarang pulang di malam hari sebab istri tidak tahu kapan datangnya suami sehingga tidak sempat berdandan, menyambutnya dengan ceria, bahagia, dan menyediakan makanan yang baik, dan sebagainya. Sementara dengan berkembangnya teknologi, suami bisa memberi tahu kapan dia akan datang misalnya dengan menelpon, chattingan, atau video call. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 66-67)

Minimnya Pengetahuan akan Sejarah, Konteks, Hukum Alam dan Kehidupan.

Tidak asing lagi dipikiran kita mengenai kelompok-kelompok ghuluw yang kadang kala melakukan aksi bunuh diri (dalam bahasa Arab dikenal dengan intihariyyah) dengan alasan jihad, membela Islam, dan meneruskan perjuangan Rasulullah, padalah sesungguhnya kalau melihat sejarah, perbuatan itu tidak patut dan tidak tepat.

Selama 13 tahun di Makkah, Nabi hanya mengajak dan mendidik di saat yang bersamaan kemusyrikan mengelilingi kanan dan kiri beliau. Ka’bah di penuhi kurang lebih 360 berhala sedangkan Nabi tetap salat dan tawaf di sana bukan malah sibuk menyingkirkan dan membuang berhala itu.  beliau tahu kalau itu dilakukan berarti sama saja dengan bunuh diri. Karena di waktu awal-awal Islam, kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup besar.

Meski misalnya dibuang atau dihancurkan, orang kafir akan mengganti dengan patung yang baru. Hal ini disebabkan ajaran watsaniyyah (menyembah berhala) sudah tertanam kokok di pikiran mereka.

Akhirnya Nabi bukan sibuk menghancurkan berhala yang terlihat namun sibuk membasmi kepercayaan yang tertanam di hati dan pikiran orang kafir dengan cara mengajak untuk mengesakan Tuhan, menyucikan hati mereka dilengkapi dengan akhlakul karimah beliau yang sudah masyhur di tanah Arab saat itu. Dan hasilnya kita nikmati sampai saat ini, rahmatan lil alamin. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 98-99). Semoga Allah menjaga kita dari sikap ghuluw dalam beragama.

BINCANG SYARIAH

Ucapan Salam Lengkap Ketika Bertamu ke Rumah Orang Lain

Ketika kita hendak memasuki rumah kita, atau hendak masuk rumah orang lain saat bertamu, maka kita dianjurkan untuk mengucapkan salam. Ucapan salam paling sedikit adalah sebagai berikut;

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

Assalamu ‘alaikum.

Semoga keselamatan atas kalian.

Adapun ucapan salam yang paling lengkap adalah sebagai berikut;

السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْل الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin, assalaamu ‘alaikum ahlal baiti wa rohmatullaahi wa barokaatuh.

Semoga keselamatan atas kita dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Semoga keselamatan atas kalian, wahai penghuni rumah, juga rahmat Allah dan keberkahan-Nya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

يُسْتَحَبُّ إِذَا دَخَل بَيْتَهُ أَنْ يُسَلِّمَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ أَحَدٌ وَلْيَقُل: السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ وَكَذَا إِذَا دَخَل مَسْجِدًا، أَوْ بَيْتًا لِغَيْرِهِ فِيهِ أَحَدٌ، يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَلِّمَ وَأَنْ يَقُول: السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْل الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Disunnahkan bagi seseorang ketika hendak memasuki rumahnya untuk mengucapkan salam meskipun tidak ada orang. Hendaknya dia mengucapkan; Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Begitu juga ketika dia hendak memasuki masjid, atau hendak memasuki orang lain yang ada orangnya, maka dia dianjurkan mengucapkan salam dan mengatakan; Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin, assalaamu ‘alaikum ahlal baiti wa rohmatullaahi wa barokaatuh.

BINCANG SYARIAH

Trik Terhindar dari Sifat Ujub Menurut al-Ghazali

Adakah cara atau trik terhindar dari sifat ujub ? Ulama banyak membahas kalau sifat ujub (berbangga diri) merupakan salah satu penyakit hati. Seseorang yang terjangkit penyakit ini akan merasa mulia dan menganggap dirinya besar, sementara kepada orang lain cenderung ada rasa meremehkan dan merendahkan.

Al-Ghazali mengatakan bahwa buah dari penyakit ujub ini adalah banyaknya sifat keakuan. Aku lebih baik dari itu, aku begini, begitu dan lain sebagainya. Lebih lanjut al-Ghazali menuturkan bahwa sifat ujub mirip dengan sifat takabbur dalam hal definisi. Orang yang takabur merasa dongkol atau kesal saat diberi nasehat sementara kasar ketika memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain maka dialah orang yang sombong sejatinya.

Lantas, bagaimana agar seseorang bisa terhindar dari sifat ujub ini? Berikut 5 trik terhindar dari sifat ujub menurut al-Ghazali yang dikutip dari kitabnya Bidayatu al-Hidayah (h.135-136),

بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

Selayaknya ketahuilah olehmu bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah kelak di akhirat. Hal itu merupakan perkara yang ghaib (tidak diketahui) sehingga menunggu adanya kematian. Keyakinanmu bahwa dirimu lebih baik dari orang lain merupakan sebuah kebodohan. Sepantasnya engkau tidak memandang orang lain melainkan dengan pandangan bahwa ia ebih baik dari dirimu dan mempunyai kelebihan daripada dirimu.”

Secara gamblang, trik-trik agar seseorang terhidar dari sifat ujub, takabbur, atau berbangga diri tersebut adalah berikut ini,

  1. bila memandang anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah sementara engkau yang lebih tua darinya justru sebaliknya. Sehingga dengan demikian sudah jelas bahwa ia lebih baik darimu.
  2. Bila melihat orang lain yang lebih tua maka yakinlah bahwa dirinya lebih dulu beribadah kepada Allah, sehingga ia lebih baik dari dirimu.
  3. Bila orang lain tersebut berilmu maka yakinlah bahwa ia mendapatkan anugerah yag tidak engkau dapatkan, menjangkau apa yang belum engkau jangkau dan mengetahui apa yang tidak engkau tahu. Jika sudah demikian, bagaimana engkau bisa sepadan dengannya atau bahkan lebih unggul?
  4. Bila orang lain itu bodoh maka anggaplah bahwa ia melakukan maksiat dengan kebodohannya. Sementara engkau bermaksiat dengan berlandaskan ilmu. Inilah yang menjadi bukti penguat kelak di pengadilan akhirat.
  5. Bila orang lain itu kafir maka yakinlah bahwa kondisi akhir (kematian) seseorang tidak ada yang tahu. Bisa saja orang kafir itu masuk Islam sebelum mati dengan amalan baik (husnul khatimah). Sementara dirimu bisa jadi menjadi sesat dan menjadi kafir sebelum kematian menjemputmu, sehingga engaku meninggal dengan amalan buruk (su’ul khatimah).
  6. Itulah kiat-kiat supaya seorang hamba bisa terhindar dari sifat ujub ataupun takabbur yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, semoga kita semua bisa terhindar dari penyakit hati tersebut, amin.Wallahu a’lam

Bincang Syariah.com

Cara Berbakti Kepada Orang Tua

Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Minhajul Islam menyebut setidaknya ada empat cara berbakti kepada orang tua yang masih hidup, yakni:

Menaati keduanya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya dalam hal perbuatan yang bukan termasuk maksiat kepada Allah:

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,” (QS. Luqman: 15).

Menghormati dan mengagungkan keduanya, merendahkan diri kepadanya, memuliakannya dengan perkataan atau perbuatan hingga memanggil keduanya dengan namanya tapi dengan sebutan ayah dan ibu.

Berbakti kepada keduanya dengan memberikan makanan dan pakaian, mengobati penyakit hingga menghidari gangguan yang mengusik keduanya.

Bersilaturahim dengan kerabat orang tua, mendoakan dan memohonkan ampunan bagi kerabat-kerabatnya.

Adapun bagi orang tua yang telah meninggal, kita bisa berbakti dengan melakukan anjuran Nabi Muhammad SAW seperti yang disebut dalam hadist riwayat Abu Daud. Dalam hadis tersebut seorang pemuda Anshar bertanya tentang cara berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal. Nabi lalu bersabda yang artinya:

“Ada empat hal yang bisa kamu lakukan, mendoakan keduanya agar memperoleh rahmat, memohon ampunan untuk keduanya, menunaikan haji untuk keduanya, memuliakan tamu keduanya, serta menyambung tali silaturahim kepada orang yang belum pernah bersilaturahim denganmu kecuali melalui keduanya. Itulah kesempatan bagimu yang bisa kamu lakukan untuk berbakti kepada keduanya setelah keduanya meninggal.” 

Sementara doa yang bisa dibaca untuk orang tua bisa kita ambil dari banyak ayat dalam Alquran:

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Latin: “Rabbanaghfirlanaa wa li ikhwanina alladzina sabaqunaa bil iiman, wa laa taj’al fii quluubina gillallilladziina aamanuu rabbana innaka rouufurrohiim,”

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hasyr: 10).

Atau juga sepeeti firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 24:

رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

Latin: “Rabbirhamhuma kama rabbayani shaghira,”

“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”  

IHRAM

Taat Tanpa Harus Mengetahui Hikmahnya

Jika atasan anda, atau orang yang anda hormati memerintahkan anda untuk melakukan sesuatu atau melarang anda terhadap sesuatu, tentu anda pun akan mematuhinya bukan? Maka bagaimana lagi jika larangan itu datang dari Dzat yang menciptakan anda, memberikan nikmat berlimpah, menghembuskan kehidupan pada diri anda, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dzat Yang Menguasai Hari Pembalasan kelak, tentu lebih layak kita mematuhinya bukan?

Demikianlah sikap seorang hamba Allah yang sejati. Segera menaati perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana dicirikan sendiri oleh Allah Ta’ala:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51).

Kita menaati Allah dan Rasul-Nya agar menjadi hamba Allah yang sejati, sebagai perwujudan iman yang hakiki. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa” (QS. Al Hujurat: 13).

Dan kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berharap agar Allah Ta’ala jadikan kita sebagai ahli surga. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَن أَبَى، قالوا: يا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَن يَأْبَى؟ قالَ: مَن أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ، وَمَن عَصَانِي فقَدْ أَبَى

“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan masuk surga?”. Beliau bersabda: “barangsiapa menaatiku ia masuk surga, barangsiapa bermaksiat terhadap perintahku ia enggan masuk surga” (HR. Al Bukhari no.7280)

Dan kita wajib menaati apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, walaupun kita tidak mengetahui hikmahnya.

Dari Rafi’ bin Khadij radhiallahu’anhu, ia berkata:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548).

Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat.

Umar bin Khathab radhiallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata:

إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).

Bagi Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau.

Syaikh Shalih As Suhaimi hafizhahullah ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6).

Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama:

الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27).
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Muslimah.or.id

10 Ucapan Selamat Hari Ibu dalam Islam Beserta Doanya

Ucapan selamat Hari Ibu bisa kamu bagikan tidak hanya kepada orangtua tetapi juga teman yang sudah menjadi ibu. Yuk intip ucapan selamat Hari Ibu yang Islami.

Hari Ibu dirayakan setiap tanggal 22 Desember. Ucapan selamat Hari Ibu juga bisa sekaligus diiringi dengan doa. Doa menjadi satu-satunya hadiah terbaik untuk ibu. Allah SWT memerintahkan setiap umatnya untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua.

Allah SWT berfirman dalam surat Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Berikut ini ucapan selamat hari Ibu dalam Islam :

1. “Ketika hati tak menentu, jagalah lidah dari ucapan. Terkadang diam mempunyai peran penting agar tak menyakiti seseorang, terutama dari ibumu.”

2. “Teruntuk ibu terbaik di dunia, kau membuatku tersenyum, mencerahkan hariku, dan memberiku hidupku arti. Tak bisa kubayangkan hidup tanpa senyummu. Selamat Hari Ibu!”

3. “Pada Hari Ibu ini, semoga semua yang terbaik dan yang termanis terjadi di hidupmu. Dan semoga Allah SWT selalu melindungi di setiap langkah Ibu.”

4. “Ibu memberiku masa kecil yang indah dan membawa kegembiraan dalam hidupku. Selamat Hari Ibu.”

5. “Hanya ingin memastikan, engkau tahu betapa aku mencintai dan menghargaimu, tidak hanya di Hari Ibu tetapi setiap hari.”

6. Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku”. (QS : An-Nuh : 28)

7. Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi.”

8. “Ya Allah. Balaslah kebaikan mereka (ibu dan bapak) karena telah mendidikku. Berikan ganjaran kepada mereka karena telah memuliakanku. Jagalah mereka sebagaimana mereka memeliharaku pada masa kecilku.”

9. “Duhai Tuhanku. Bagaimana harus kubalas budi kedua orangtua. Lamanya kesibukan mereka untuk mengurusku. Beratnya kelelahan mereka menjagaku. Dan penanggungan mereka akan kesempitan untuk memberikan keleluasaan bagiku.”

10. Be respectful to women, for they are the mothers of mankind. – Ali bin Abi Thalib


Adapun doa yang bisa dibaca agar ibu senantiasa diberikan perlindungan serta kesehatan oleh Allah SWT adalah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِوَ الِدَىَّ وَارْ حَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَا نِى صَغِيْرًا

Allaahummaghfirlii waliwaalidayya warham humma kamaa rabbayaa nii shaghiiraa

Artinya: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (ibu dan bapakku), sayangi-lah mereka seperti mereka menyayangiku sewaktu kecil.”

Dan kamu bisa juga membaca doa memohon ampun dari surat Ibrahim ayat 41 yang berbunyi:

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ

rabbanagfir lii wa liwaalidayya wa lil-mu`miniina yauma yaqụmul-ḥisaab

Artinya: “Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).”

Selamat Hari Ibu untuk semua para Bunda di Indonesia.

WOLIPOP

Hari Ibu Setiap Hari, Bukan Setahun Sekali

Berbakti kepada orang tua khususnya ibu memang lebih dianjurkan oleh agama Islam. Karena memang ibu sangat besar jasanya bagi anak-anaknya melebihi bapak. Oleh karena itu berbakti kepada Ibu didahulukan daripada berbakti kepada Bapak. Sebagaimana dalam hadits berikut,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi’, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).

Akan tetapi haruskah hari Ibu diperingati setiap setahun sekali? Perlukah memperingati hari ibu? Bagaimana hukum Islam mengenai hal ini?

Hari Ibu Setiap Hari

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta ditaati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il no. 535 2/302, Darul wathan, 1413 H, Asy Syamilah).

Pandangan Islam Terhadap Perayaan Hari Ibu

Hari ibu biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, berikut fatwa Al-Lajnah Ad- Daimah (semacam MUI di Saudi) mengenai hal ini. Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “kapan tanggal yang tepat untuk memperingati hari ibu?”

Mereka menjawab:

“Tidak boleh mengadakan peringatan yang dinamakan dengan peringatan hari ibu, dan tidak boleh juga memperingati perayaan peringatan tahunan yang dibuat-buat (tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan As-sunnah, karena perayaan (ied) tahunan yang diperbolehkan dalam Islam hanya Idul Fitri dan Idul Adha, pent).

Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam bersabda,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan itu tertolak

Perayaan hari ibu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, para sahabat radhiallahu anhum dan para imam salafus shalih. Perayaan ini adalah sesuatu yang diada-adakan dan menyerupai orang kafir (tasyabbuh) (Fatawa Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi, jilid 3 hal.85, http://goo.gl/sU2cG2).

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.Or.Id

Pentingnya Menghargai Kebaikan Orang Lain

Syariat Islam yang suci selalu mengajak manusia untuk berbuat kebaikan demi meraih kerelaan Allah Swt dan demi mendapat pahala dari-Nya. Berulang kali Al-Qur’an memberikan contoh tentang orang-orang yang selalu berbuat kebaikan sehingga mereka layak mendapat Surga Allah Swt.

Salah satu yang dicontohkan dalam Al-Qur’an adalah Firman Allah Swt :

إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kalian.” (QS.Al-Insan:9)

Maka sudah selayaknya bagi setiap mukmin yang ingin berbuat kebaikan agar mengikhlaskan niatnya hanya untuk Allah dan tidak menanti balasan dari sesama makhluk. Apabila Islam memandang buruk seorang yang mengharap balasan dari kebaikannya kepada orang lain, maka yang lebih buruk dari itu adalah seorang yang tidak menghargai kebaikan orang lain dan tidak pernah berterima kasih atas kebaikan yang dilakukan orang lain kepadanya.

Allah Swt Berfirman :

هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ

“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS.Ar-Rahman:60)

Walaupun ayat ini sedang membicarakan mengenai perhatian dan anugerah Allah bagi hamba-Nya yang berbuat baik, belum lagi pahala dan ganjaran yang telah disiapkan untuk mereka, namun ayat ini juga memberi pesan agar kita saling membalas kebaikan.

Rasulullah Saw bersabda :

“Siapa yang menerima kebaikan dari orang lain lalu ia mengucapkan Jazakallahu Khoiron (semoga Allah membalas kebaikan kepadamu) maka ia telah memberikan penghargaan yang tertinggi.”

Dalam kesempatan lain beliau bersabda :

“Siapa yang memberi kebaikan kepada kalian maka balaslah kebaikan tersebut. Dan apabila kalian tidak memiliki sesuatu untuk membalasnya maka berdoalah untuknya hingga tampak seakan engkau telah membalas (kebaikannya).”

Banyak orang berpikir bahwa membalas kebaikan orang harus dengan hal-hal yang berupa materi. Hal itu tentu baik bahkan Rasul pun sering menerima hadiah dan membalas hadiah tersebut. Tapi tidak semua orang mampu untuk membalas kebaikan dengan sebuah materi yang berharga. Lalu apakah ia dikatakan tidak menghargai orang yang berbuat baik kepadanya?

Tentu tidak. Rasulullah Saw telah mengajarkan, apabila kita tidak mampu membalas kebaikan seseorang dengan materi maka balaslah denga pujian dan doa.

Rasulullah Saw bersabda :

“Sesungguhnya manusia yang paling bersyukur kepada Allah adalah yang paling banyak berterima kasih kepada manusia.”

Pada masa sekarang khususnya, sangat penting bagi kita untuk menghidupkan kembali akhlak semacam ini. Agar kebaikan itu senantiasa tumbuh di antara kita dan semakin subur. Kita harus membiasakan diri untuk menghargai kebaikan orang lain, memujinya dan mendoakannya, karena itulah yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Saw.

Teringat kisah ketika Nabi Syuaib as ketika memanggil Nabi Musa as yang telah membantu putrinya mengambil air, Al-Qur’an menceritakan :

إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَاۚ

“Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” (QS.Al-Qashash:25)

Penghargaan terhadap kebaikan adalah sebab yang akan menyuburkan kebaikan itu sendiri. Bila kita tidak pernah menghargai kebaikan orang lain maka hal itu akan menyurutkan semangatnya untuk terus berbuat kebaikan.

Mari kita sebar kebaikan kepada siapapun dan hargai setiap kebaikan yang datang kepada kita. Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN