Tempat Sholat Terbaik bagi Muslimah

Berjamaah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan sholat seorang diri, terlebih jika dilakukan di masjid. Namun bagi wanita, lebih dianjurkan sholat berjamaah di rumah dibandingkan di masjid. 

Dikisahkan oleh Ummu Humaid RA, istri Abu Humaid As-Sa’idi RA, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “wahai Rasulullah sungguh saya senang sholat bersamamu.” Rasulullah menjawab, “Aku sudah tahu itu, dan sholatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu dari sholat di kamar depan. Sholatmu di kamar depan lebih baik bagimu daripada sholat di kediaman keluarga besarmu. 

Sholatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik daripada sholat di masjid kaummu (perempuan), dan sholatmu di masjid kaummu lebih baik dari sholat di masjidku.” Menurut hadits yang diriwayatkan Ahmad ini, setelah bertemu dengan Rasulullah, Ummu Humaid pun memerintahkan agar dibangunkan masjid dibagikan rumahnya yang paling dalam dan paling gelap dan dia sholat disana hingga bertemu Allah (wafat). (HR. Ahmad). 

Selain itu, saat melakukan sholat berjamaah, terdapat beberapa ketentuan dalam pengaturan barisannya (shaf). Saat berjamaah, barisan yang paling baik bagi kaum Muslim adalah barisan terdepan. Sedangkan sebaik-baiknya shaf bagi para Muslimah adalah shaf paling belakang. Ketentuan tersebut telah dijelaskan langsung oleh Rasulullah SAW melalui hadits yang diriwayatkan Bukhari. 

Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya barisan laki-laki adalah di depan, dan sejelek-jeleknya adalah di belakang. Dan sebaik-baiknya barisan wanita adalah di belakang dan sejelek-jeleknya adalah di depan,” (HR. Bukhari).

Adapun ketentuan lain dalam berjamaah, jika terdapat makmum pria, maka runtutan barisannya adalah laki-laki di belakang imam, kemudian anak-anak laki-laki, baru setelahnya diisi oleh barisan perempuan (paling belakang). Menurut sebagian pendapat, ketentuan barisan ini dapat lebih menjaga kekhusyukan saat menunaikan sholat berjamaah. 

IHRAM


Kemenag Minta Jamaah Haji Kedepankan Istitha’ah Secara Utuh

Kementerian Agama (Kemenag) meminta jamaah haji tidak mengutamakan istitha’ah dari satu sisi saja. Istilah istitha’ah atau mampu harus dikedepankan secara utuh.

“Jamaah jangan terpaku istitha’ah kesehatan saja, tetapi juga harus kedepankan istitha’ah secara utuh,” kata Direktur Bina Haji Kementerian Agama, Khoirizi H. Dasir, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Selasa (15/9).

Saat mengisi webinar dengan tema “Meraih Kesempurnaan Ibadah Haji serta Tips Menjaga Kesehatan Jemaah Haji”, ia menyebut jamaah haji banyak yang masih mengutamakan istitha’ah kesehatannya saja. Sementara, terdapat pula istitha’ah perjalanan, istitha’ah materi, dan istitha’ah ibadah.

Dalam penyelenggaraan haji tahun ini, Khoirizi menyebut keberangkatannya memang ditunda. Untuk keputusan tersebut, ia meminta jamaah haji berpikir positif.

“Penundaan keberangkatan haji ini, jamaah harus positive thinking. Dengan adanya penundaan ini, jamaah haji bisa memperdalam ilmu manasiknya,” ujarnya.

Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kanwil kemenag Banten, Machdum Bachtiar, mengatakan istitha’ah dengan kesehatan haji memang satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Kedua hal ini harus dimiliki jamaah haji.

Makna istitha’ah sendiri, menurut dia banyak macamnya. Ada istitha’ah maliyah (harta), istitha’ah badaniyah (fisik), istitha’ah amniah (keamanan) dan istitha’ah kesehatan.

“Untuk berhaji, seorang Muslim harus mampu dalam segi fisik (istitha’ah badaniyah), materi (istitha’ah maliyah) dan keamanan (istitha’ah amniyah). Mampu secara materi, keamanan, dan kesehatan,” ujar Machdum.

IHRAM



Merantaulah…

Safar, merantau, adalah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk merealisasikan satu tujuan tertentu. Bisa saja seseorang safar untuk tujuan study, bisnis, menyambung hubungan kekeluargaan, atau hanya sekedar menghibur diri berlepas dari kepenatan kesibukan kerja.

Safar, merantau, termasuk kegiatan penting yang sudah digeluti oleh manusia semenjak keberadaan mereka di muka bumi ini. Bahkan kalau kita lihat, safar dan bepergian telah dipraktekkan oleh orang-orang terdahulu, dengan banyak motivasi dan tujuan sebagaimana yang disebutkan di atas.

Kita ambil contoh nabi Musa alaihissalam misalnya, beliau melakukan safar yang sangat panjang dengan tujuan menuntut ilmu kepada Khidr alaihissalaam, Allah menyebutkan sedikit kisah Musa dalam al-Quran:

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِىَ حُقُبًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.
(QS Al-Kahf: 60)

Dalam kitab al-Tafsir al-Muyassar dikatakan:

واذكر حين قال موسى لخادمه يوشع بن نون: لا أزال أتابع السير حتى أصل إلى ملتقى البحرين، أو أسير زمنًا طويلا حتى أصل إلى العبد الصالح؛ لأتعلم منه ما ليس عندي من العلم

“Dan ingatlah ketika musa berkata kepada pelayannya, Yusya’ bin Nun, ”aku akan tetap meneruskan perjalananku hingga aku sampai pada tempat pertemuan dua lautan. atau aku akan terus berjalan dalam waktu yang lama hingga berjumpa dengan orang yang shalih (Khidr) itu untuk aku timba darinya ilmu yang tidak aku miliki”.
(Al-Tafsir al-Muyassar hal:300)

Dalam sampel yang lain terkadang orang melakukan perjalanan jauh dengan tujuan untuk berbisnis, dagang, untuk memenuhi kehidupan hidupnya, seperti kebiasaan orang Qurays yang melakukan perjalanan dagang yang panjang di kala syita (musim dingin) dan di kala soif (musim panas), kisah ini Allah abadikan dalam al-Quran:

لِاِيۡلٰفِ قُرَيۡشٍۙ*اٖلٰفِهِمۡ رِحۡلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيۡفِ‌ۚ

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas”.
(QS Al-Quroys: 1-2)

Al-Syaikh Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’dy mengatakan dalam tafsir beliau:

رحلتهم في الشتاء لليمن، والصيف للشام، لأجل التجارة والمكاسب

“Rihlah/perjalanan mereka (orang-orang Quroys) di musim dingin menuju yaman, dan di musim panas menuju syam bertujuan untuk berniaga dan mencari penghasilan”.
(Taisiru al-Karimi al-Rahman juz:1 hal: 935)

Begitulah beberapa contoh ringkas kebiasaan orang terdahulu untuk bersafar, ada yang berniat untuk belajar, ada yang bertujuan untuk berbisnis, dan tentunya ada landasan yang lain untuk bersafar.

Adapun manfaat khusus seorang bersafar dan merantau, dijelaskan secara tersendiri oleh Imam al-Syafii dalam syairnya:

تغرب عن الأوطان في طلب العلا # وسافر ففي السفار خمس فوائد

تَفَرُّجُ هم واكتساب معيشة # وعلم وآداب وصحبة ماجد

“Pergilah dari kampung halaman untuk mencari kemuliaan # merantaulah! Karena merantau memiliki 5 faidah”.
“1.Hilangnya kegalauan, 2.mendapat pekerjaan untuk biaya hidup # 3.mereguk ilmu pengetahuan, 4.belajar tata karma dan 5.memperoleh banyak sahabat”.
(Diwan al-Imam al-Syafii 41)

5 faidah yang didapatkan oleh orang yang merantau menurut al-Imam al-Syafii kurang lebih maksudnya demikian:

1.Menghilangkan kegalauan
Kenapa galau? Karena orang yang menetap di satu tempat saja, tidak melakukan bepergian, lama kelamaan ia akan merasa futur dan diliputi kebosanan, tak ada tantangan hidup, yang dihadapi itu-itu saja tanpa ada variasi, ini keadaan yang didapati oleh orang-orang yang stay di satu tempat saja. Jika ia berani untuk merantau, safar, maka lingkungan yang ia hadapi akan berubah, pemandangan akan berganti, maka ketika itu mulai hilanglah kegalauan dan kebosanan hidupnya.

2.Safar untuk mencari penghidupan
Seseorang yang merasa rezekinya sempit di suatu daerah, dianjurkan baginya untuk merantau di tempat lain untuk mencari rezeki, Allah berfirman:

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya”.
(Al-Mulk: 15)

Betapa banyak contoh orang yang rezekinya sempit di daerah tertentu, kemudian ia memberanikan diri untuk merantau, kemudian Allah bukakan banyak pintu rezeki di tempat lain.

3.Untuk mencari ilmu
Para pendahulu kita yang solih dari kalangan para Nabi dan orang-orang solih yang kita teladani, mereka melakukan perantauan untuk menuntut ilmu, bahkan terkadang menempuh perjalanan yang sangat-sangat jauh hanya untuk mendengar satu hadist saja, seperti perjalanan Musa ketika ingin bertemu Khidr alaihimassalaam untuk belajar, Imam al-Syafii yang melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah, ke Yaman, kemudian ke Iraq, sampai kemudian ke Mesir, atau ulama-ulama yang lain seperti al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, kisah-kisah mereka banyak termaktub dalam karangan-karangan ulama baik yang klasik maupun yang kontemporer.

4.Belajar adab dan tatakrama
Seorang perantau yang berakal mereka bersemangat merantau untuk menemui orang-orang baik, para ulama, para ahli di bidang keilmuan dengan tujuan untuk mengeruk ilmu mereka, meneguk adab dan tatakrama dari mereka, meneladani akhlak mereka untuk menyempurnakan kepribadian, kemudian dengannya ilmu, adab dan akhlak yang sudah didapat akan dishare kepada yang lain, dengan ini menjadi baiklah masyarakat, masyarakat yang kaya dengan tatakrama dan kepribadian yang mulia.

5.Safar untuk memperoleh sahabat yang baik
Hal ini dipersaksikan oleh indra kita dan realita masyarakat, seorang yang merantau dan mempergauli orang-orang yang mulia lagi berilmu, mereka akan mendengarkan perkataan-perkataan baik mereka, orang-orang yang berkerumun disitu juga semua adalah orang-orang yang baik, mereka sama-sama belajar ilmu, adab dan akhlak, dengannya kita akan mendapatkan ganti berupa sahabat-sahabat mulia, satu sisi kita merantau meninggalkan sanak kerabat di tempat asal kita, sisi yang lain kita mendapat ganti kawan-kawan yang baik.

Al-Imam al-Syafii mengatakan dalam syairnya:

سافرْ تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ
وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Safarlah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya, karena nikmatnya kehidupan baru terasa setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam berusaha.

إني رأيتُ وقوفَ الماء يفسدهُ
إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

Sungguh aku melihat, air yang tergenang dalam diamnya, justru akan tercemar. Jika saja air tersebut mengalir, tentu ia akan baik dan menyegarkan. jika ia tidak bergerak dan mengalir maka ia akan rusak.

والأسدُ لولا فراقُ الأرض ما افترست والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يصب

Seekor singa, andai tidak meninggalkan sarangnya, niscaya ia tidak akan mampu berburu. Anak panah, andai tidak melesat meninggalkan busurnya, maka jangan pernah bermimpi akan mengenai sasaran.

والشمس لو وقفت في الفلكِ دائمة
لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ

Sang mentari, andai selalu terpaku di ufuk, niscaya ia akan dicela oleh segenap ras manusia, dari ras arabia, tidak terkecuali selain mereka.

والتبر كالترب ملقى في أماكنه
والعودُ في أرضه نوعاً من الحطب

Dan bijih emas yang masih terkubur di bebatuan, hanyalah sebongkah batu tak berharga, yang terbengkalai di tempat asalnya. Demikian halnya dengan gaharu di belantara hutan, hanya sebatang kayu, sama seperti kayu biasa lainnya.

إن تغرَّب هذا عزَّ مطلبهُ
وإنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كالذَّهَب

Andai saja gaharu tersebut keluar dari belantara hutan, ia adalah parfum yang bernilai tinggi. Dan andaikata bijih itu keluar dari tempatnya, ia akan menjadi emas yang berharga.
(Diwan al-Imam al-Syafii 26-27)

Demikian sedikit motivasi untuk merantau, jika kita ingin mendapat kelonggaran rezeki, perubahan keadaan ekonomi, bertambahnya ilmu dan pengalaman, bertambahnya kawan-kawan solih, hilangnya rasa bosan dan gabut, merantaulah, bersafarlah, jika semua itu didasari dengan niat yang baik dan benar, Allah akan bukakan berbagai pintu kebaikan kepada anda.

Wallahu a’lam

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Kapan Riya’ dan Sum’ah Menjadi Syirik Besar?

Beramal dengan ikhlas merupakan suatu hal yang selalu dituntut oleh Allah Ta’ala. Hal ini karena sebuah amal harus bersih dari riya’ atau sum’ah.

Sum’ah merupakan perbuatan menonjolkan ibadah agar didengar oleh orang atau menyebutkan amal yang dikerjakan agar orang-orang memujinya. Seperti seseorang yang melakukan suatu amalan di malam hari, lalu di pagi atau siang harinya, dia ceritakan kepada teman-temannya.

Jadi, perbedaan antara riya’ dengan sum’ah adalah bahwa riya’ itu berkaitan dengan ibadah yang ingin diliat orang. Adapun sum’ah berkaitan dengan ibadah yang ingin didengarkan orang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Siapa yang memperdengarkan amalanya (kepada orang lain), Allah akan memperdengarkan (bahwa amal tersebut bukan untuk Allah). Dan siapa saja yang ingin mempertontonkan amalnya, maka Allah akan mempertontonkan aibnya (bahwa amalan tersebut bukan untuk Allah). (HR. Bukhari)

Dan dua penyakit tersebut dihukumi syirik kecil. Sebagaiamana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ،

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”

Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)

Lalu, kapan dua syirik kecil ini dapat menjadi syirik besar?

Yaitu dengan tiga hal,

Pertama, jika dia tidak akan pernah melakukan ibadah, kecuali dengan praktek riya. atau sum’ah. Dia sembunyikan kufurnya, dan dia perlihatkan imannya. Ini yang dikatakan riya’ murni, tidak terbayangkan ada pada seseorang yang mempunyai iman melakukannya, karena riya atau sum’ah murni ini biasanya dipraktekan oleh para munafik.

Kedua, mayoritas amalannya berjalan di atas riya atau sum’ah.

Ketiga, keinginan pelaku dalam amalannya adalah dunia, tidak pernah mengharapkan wajah Allah atau balasan di akhirat.

Semoga Allah membebaskan kita dari syirik besar dan kecil.

***

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

Artikel: Muslim.Or.Id

Ciri-Ciri Orang Berilmu Menurut Ustadz Dasad Latif

Ustadz Dasad Latif menjelaskan ciri-ciri orang yang berlimu.

Seorang mahasiswa Muslim harus mampu menyeimbangkan antara belajar untuk dunia dan akhirat. Hal ini bertujuan agar mahasiswa Muslim tersebut tidak hanya mementingkan kariernya, tapi perannya dalam masyarakat.

Peran mereka dalam masyarakat yakni dengan berkontribusi mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, atau menyebarkan agama Islam dengan baik. Sehingga, terjadi keharmonisan di tengah-tengah masyarakat.

Pendakwah dan Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Ustadz Das’ad Latif mengatakan, mahasiswa memang harus mempelajari ilmu pengetahuan. Namun, yang terbaik harus bisa mengimbangi antara belajar untuk kuliah dengan untuk agama.

Ia menilai, dalam menuntut ilmu harus selalu dengan niat yang baik, dengan tujuan untuk mendapat ridha Allah SWT. Rasulullah SAW, kata Das’ad, sudah pula memerintahkan kita mempelajari keduanya agar selamat dunia dan akhirat.

Das’ad menegaskan, keduanya sama-sama memiliki nilai manfaat yang baik. Maka itu, ia mengingatkan, menjadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi Islam merupakan kesempatan besar bisa belajar dunia maupun akhirat.

“Kita harus bisa mengimbanginya dengan membuat skala prioritas,” kata Das’ad ketika menjadi pembicara Pesona Ta’aruf (Pesta) mahasiswa/mahasiswi baru Universitas Islam Indonesia (UII) tahun ajaran 2020/2021 secara daring.

Ia mengutip Ali bin Abi Thalib soal pentingnya ilmu. Banyaknya harta benda belum tentu membuat kita selamat di akhirat, tapi banyaknya ilmu membuat kita akan lebih dijamin selamat di dunia sekaligus di akhirat nantinya.

Untuk mudah memahami ilmu, ia menegaskan, yang pertama tidak boleh sombong. Hal ini sesuai dengan tujuan Islam rahmatan lil alamin yaitu bisa diterima dengan baik semua orang, dan adanya sombong membuat orang lain tidak nyaman.

“Dan, cenderung menolak. Orang berilmu tidaklah boleh sombong, ciri orang yang sombong tidak mau menerima atau mendengar pendapat orang lain,” ujar Ustadz Das’ad.

Selain itu, lanjut Das’ad, kita harus memiliki tutur kata yang baik dalam menyampaikan ilmu ke orang lain, mempersatukan persaudaraan dengan sesama masyarakat, berbakti ke orang tua, mendirikan sholat dan memperbanyak doa.

“Maksimalkan belajar dengan memperhatikan guru-guru, membaca buku sebanyak-banyaknya, beribadah dengan baik, patuh kepada orang tua dan usahakan doa pada sepertiga malam,” kata Das’ad, menutup.

(Wahyu Suryana) 

KHAZANAH REPUBLIKA

Mencela dan Menjelek-jelekkan Penguasa (Pemerintah)

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan:

Apa pendapat Engkau tentang sebagian pemuda yang membicarakan pemerintah di majelis-majelis mereka di negeri ini dengan celaan dan makian (hujatan) kepada pemerintah?

Jawaban:

Pembicaraan semacam itu sudah diketahui kalau merupakan kebatilan. Mereka itu bisa jadi memang menginginkan keburukan, atau mereka terpengaruh orang lain, yaitu para penceramah yang menyesatkan yang menginginkan tercabutnya nikmat keamanan yang kita rasakan (di negeri ini).

Kita, segala puji milik Allah Ta’ala, memiliki kepercayaan kepada pemerintah kita. Kita pun yakin dengan manhaj yang kita tempuh ini. Akan tetapi, bukanlah artinya bahwa kita sudah sempurna, tidak memiliki kekurangan dan kesalahan. Bahkan (yang benar) kita masih memiliki kekurangan. Akan tetapi, kita selalu berusaha menempuh jalan untuk memperbaiki dan mengoreksi kesalahan-kesalahan tersebut, insyaa Allah, dengan metode syar’i.

Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapati orang yang mencuri, berzina, juga didapati orang yang meminum khamr. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegakkan hukuman hadd kepada mereka.

Kita sekarang ini, segala puji bagi Allah Ta’ala, pun menegakkan hukuman hadd bagi orang yang jelas dan terbukti berhak mendapatkan hukuman hadd. Kita tegakkan hukuman qishas kepada para pelaku pembunuhan. Hal ini, segala puji bagi Allah Ta’ala, adalah kebaikan, meskipun masih terdapat kekurangan. Kekurangan itu pasti akan selalu ada, karena hal itu adalah bagian dari tabiat manusia.

Kita berharap kepada Allah Ta’ala untuk memperbaiki kondisi kita, memberikan pertolongan kepada kita, membimbing langkah-langkah kita, dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita dengan ampunannya.

Adapun menjadikan kesalahan dan ketergelinciran penguasa sebagai jalan untuk mencela penguasa, atau untuk membeicarakan (keburukan) mereka, atau agar rakyat menjadi benci dengan penguasa, maka hal ini bukanlah jalan salaf ahlus sunnah wal jama’ah. [1]

Ahlus sunnah wal jama’ah itu memiliki semangat untuk menaati pemerintah, agar rakyat (masyarakat) mencintai penguasa mereka, agar terwujud persatuan (di bawah penguasa yang sah). Inilah yang diinginkan oleh manhaj salaf.

Membicarakan (keburukan) penguasa itu termasuk dalam ghibah dan namimah (adu domba)dan kedua perkara tersebut termasuk perkara haram terbesar setelah kemusyrikan. Lebih-lebih jika ghibah tersebut ditujukan kepada ulama dan pemerintah, maka itu lebih-lebih lagi. Hal ini karena dampak buruk yang akan ditimbulkannya, berupa tercerai-berainya persatuan, buruk sangka (su’uzhan) kepada penguasa, dan juga menimbulkan rasa putus asa di tengah-tengah masyarakat. [2]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id 

Bolehkah Mencintai Ulama dan Habaib dengan Memajang Foto Mereka?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang bolehkah mencintai ulama dan habaib dengan memajang foto mereka?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Saya mau tanya Ustadz, jika kita menggunakan foto ulama atau foto habaib dijadikan profil wa atau profil sosmed apakah boleh?
Kalau dijadikan wallpaper hp atau wallpaper komputer/laptop apakah boleh atau tidak?
mohon penjelasannya Ustadz, Syukron Ustadz.

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Orang yahudi dan nasrani memvisualisasi (menggambarkan) para tokoh sebagai bentuk pernghormatan kepada tokoh mereka. Tujuan ini tak bisa lepas dari mengenang kesalehan dan jasa yang ditorehkan, baik itu dengan gambar nabi, ulama, orang shaleh, atau pun tokoh yang menjadi panutan mereka. Sampai bayi Nabi Isa bersama ibunda Maryam, mereka buat patungnya, mereka lukis gambarnya dan dibuat di ornamen-ornamen hiasan di dinding suatu bangunan, bahkan sampai dibuat kaca dan gantungan kunci sekalipun, anda akan menjumpainya.

Oleh karena itu, ketika beberapa istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti Maimunah dan Ummu Salamah yang pernah berhijrah ke Habasyah (Ethyopia) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih di Mekah.

Sepulangnya mereka dari Habasyah, dan mereka telah menjadi istri dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka pun bercerita kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai gereja yang mereka lihat di Habasyah. Di sana ada gereja Mariyah. Ummu Salamah bercerita, di dalam gereja itu ada banyak gambar-gambar tokoh nasrani.

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menimpali dengan sabdanya,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka adalah sekelompok masyarakat yang apabila ada orang soleh di antara mereka yang meninggal, maka mereka akan membangun masjid di dekat kuburannya dan menggambar wajah orang soleh itu. Merekalah makhluk paling jelek di hadapan Allah.”
(HR. Bukhari, no. 434, Ahmad, no. 24984 dan lainnya).

Hadis di atas memberi pelajaran yang sangat berharga kepada kita, bahwa cara penghormatan tokoh agama, orang soleh seperti yang dilakukan oleh orang nasrani, dengan memajang gambar dan foto tokohnya, adalah tindakan tercela. Karena ini sebab terbesar orang melakukan kultus.

Zaman pun berubah, di era digital ini, kata orang industri zaman 4.0, data yang ada adalah kebanyakan kasus foto ulama, kiay, ustadz yang dikagumi banyak berseliweran dan dipajang di media sosial sebagai profil WA (WhatsApp), di wallpaper komputer/laptop atau pun platform media sosmed lainnya oleh para ‘fans’ dan pendukungnya, semua hal ini adalah menyelisihi adab Islam, dan sebaliknya sangat dekat dengan ajaran dan tasyabbuh dengan orang-orang nasrani, oleh karenanya memajang foto ulama, atau tokoh habaib atau pun foto lainnya di media sosial adalah terlarang menurut pendapat terkuat.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Logika Sehat

Setiap muslim yang lurus fitrahnya meyakini bahwa manusia yang paling dicintai sahabat adalah Nabi Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallamSahabat ada yang dulunya pandai menggambar. Namun tidak kita jumpai satupun diantara mereka yang membuat reka wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk dipajang di masjid nabawi atau di rumah mereka masing-masing. Tidak sekalipun anjuran dan keutamaannya datang dari riwayat palsu, apatah lagi riwayat yang shahih.

Walaupun kita sangat yakin, mereka tidak mungkin sampai menyembah gambar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tauhid Dan Iman mereka jauh lebih kuat dibandingkan tauhid kita.

Cara menghormati ulama atau tokoh adalah dengan mendoakan mereka dan melestarikan ajaran dan nasehat bimbingan yang mereka bawa. Bukan dengan menggambar mereka, memajang foto mereka sebagai profil di medsos atau wallpaper di komputer, apatah lagi perbuatan tersebut tidak mendapatkan izin mereka. Apakah mereka mau??? Ulama yang lurus akan menjawab, ‘tentu tidak’.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Senin, 26 Muharram 1442 H / 15 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Jangan Pernah Berharap Dicintai Semua Orang!

Kali ini kita akan merenungkan sebuah ayat yang langsung menyentuh pada masalah yang seringkali membuat hati ini gelisah.

Tak jarang manusia merasa sedih dan menyesal ketika ada orang lain yang tidak suka padanya. Hal ini terus mengganggu pikirannya hingga ia rela melakukan apapun agar di sukai oleh orang lain.

Sadarilah bahwa setiap engkau berjalan di jalan kebenaran dan menyerukan kebenaran pasti disana banyak orang yang tidak menyukaimu. Karena itu para Nabi saja yang memiliki akhlak yang sempurna tidak bisa menjadikan semua manusia menyukainya, apalagi kita yang serba kurang ini?

Allah Swt Berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَۗ

“Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa.” (QS.Al-Furqan:31)

Maka buanglah semua rasa penyesalan dari hatimu bila ada orang lain yang tidak suka padamu. Dan jangan sampai kau rendahkan dirimu demi meraih simpati mereka !

Karena mustahil engkau akan mendapatkan kerelaan semua manusia, karena sebagian besar dari mereka tidak akan menyukaimu kecuali engkau mau bergabung di jalan kebatilan bersama mereka.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN


Gengsimu Menjauhkanmu dari Kebenaran!

Allah Swt berfirman :

وَجَحَدُواْ بِهَا وَٱسۡتَيۡقَنَتۡهَآ أَنفُسُهُمۡ ظُلۡمٗا وَعُلُوّٗاۚ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS.An-Naml:14)

Seringkali kita merasa aneh dan lucu ketika melihat pola pikir orang yang congkak dan sombong. Mereka mengingkari kebenaran walaupun ia meyakini dan menyaksikan secara jelas bahwa hal itu memang sebuah kebenaran.

Masalahnya sebenarnya simpel, mereka mengingkari kebenaran karena tidak mau berada di bawah siapapun, tidak mau di dahului oleh kelompok lain dan tidak rela mendapatkan perintah dari siapapun.

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡ كَانَ خَيۡرٗا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِۚ وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفۡكٌ قَدِيمٌ

Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” (QS.Al-Ahqaf:11)

Coba bayangkan begitu jahatnya kesombongan yang bersarang di dalam hati. Kebenaran yang gamblang di depan mata rela dia tinggalkan demi gengsi sesaat. Cahaya kebenaran sebenarnya telah tertanam dalam hati mereka namun terkubur oleh hawa nafsu dan kesombongan.

Setiap kali bukti kebenaran itu datang, maka lisan mereka dengan cepat mencerca dan menyerang bukti-bukti tersebut walau sebenarnya hati mereka meyakini akan kebenarannya. Sungguh betapa meruginya mereka menjual kebenaran demi gengsi dan kesombongan diri semata.

Karena itu, pelanggaran pertama yang dilakukan oleh Iblis ketika menolak kebenaran hanya disebabkan oleh kesombongan.

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS.Al-Baqarah:34)

Semoga kita terhindar dari penyakit-penyakit hati yang menjauhkan dari kebenaran.

KHAZANAH ALQURAN

Beristighfar Untuk Membuka Pintu Rizki

Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

Nabi Nuh ‘alaihi salam memberikan nasihat kepada kaumnya agar beristighfar kepada Allah. Mengapa Nabi Nuh memberikan nasihat seperti itu? Karena kaumnya pada saat itu banyak berbuat maksiat dan kafir kepada Allah, sehingga Dia tidak menurunkan hujan dalam jangka waktu sangat lama. Bahkan, kemarau saat itu sampai menyebabkan para wanita kaum Nabi Nuh menjadi mandul.

Mereka pun mendatangi Nabi Nuh untuk meminta saran tentang apa yang harus mereka kerjakan. Nabi Nuh akhirnya memberikan nasihat agar mereka beristighfar kepada Allah dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kekafiran mereka.

Imam al-Qusyairi mengatakan di dalam tafsirnya: “Sesungguhnya istighfar adalah mengetuk pintu-pintu nikmat (rezeki). Barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat rasa butuh kepada Allah, maka dirinya tidak akan bisa sampai kepada-Nya, kecuali dengan mengajukan istighfar sebagai pembukanya.”

Hasan al-Bashri pernah didatangi oleh tiga orang tamu. Yang pertama datang mengeluh karena tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tamu kedua mengeluh karena desanya ditimpa paceklik dan tamu ketiga mengeluh karena tidak kunjung diberikan keturunan.

Hasan al-Bashri menyuruh ketiga-tiganya memperbanyak istighfar. Ketika beliau ditanya, “Wahai Hasan, tiga orang datang kepadamu mengeluhkan permasalahan yang berbeda, mengapa engkau menyuruh mereka dengan hal yang sama, yaitu istighfar?” Hasan al-Bashri kemudian membaca ayat di atas.

Banyak kejadian yang juga disaksikan dan dialami oleh Imam Fakhruddin ar-Razi pada zamannya tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu rezeki. Kita di zaman sekarang juga dapat menyaksikan dan merasakannya.Ketika kita merasakan harta kita sedikit tersendat, barangkali istighfar kita juga kurang. Saat terjadi paceklik harta di dalam rumah tangga kita, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperbanyak istighfar kepada Allah. Jangan-jangan banyak dosa dan kemaksiatan yang menyumbat pintu rezeki dari Allah.

Di saat Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu anhu meminta rezeki dengan turunnya hujan, maka tidak banyak yang beliau lakukan. Umar hanya keluar dari rumahnya, lalu memperbanyak istighfar bersama umat Islam. Tak ada lainnya yang beliau baca.

Sungguh, kita boleh percaya atau tidak dengan kisah dan cerita di zaman dahulu. Tapi itulah kisah yang diceritakan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya ketika menafsirkan firman Allah di atas. Memang, yang diminta pada waktu itu bukanlah bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai, uang SPP anak-anak kita, atau subsidi sembako untuk menurunkan harga kebutuhan bahan pokok. Para ulama dahulu dan para sahabat tidak meminta agar perusahaannya mendapatkan investasi yang lebih banyak. Tidak pula meminta bertambahnya tender yang dimenangkan. Mereka hanya meminta hujan.

Untuk kehidupan di zaman itu, hujan adalah sumber rezeki dan kehidupan. Sebab, kebanyakan mereka mengandalkan rezeki dari bercocok tanam.

Apakah sebagai karyawan, Anda sering mengalami keterlambatan gaji? Pemotongan gaji yang berlebihan? Apakah demonstrasi menjadi solusi? Bisa jadi itu perlu dilakukan, tapi cara terbaik sebagai pembuka pintu rezeki adalah beristighfar sebanyak-banyaknya. Yakinlah dengan firman Allah di atas. Dengan izin Allah, rezeki harta akan segera diberikan.

Atau Anda seorang direktur perusahaan atau pemegang saham dan aset perusahaan? Anda baru saja mendapatkan telepon kalau perusahaan Fulan membatalkan kontraknya dengan perusahaan Anda, sehingga mengalami kerugian yang sangat besar? Karyawan Anda berdemonstrasi karena menuntut upah yang tidak mampu dibayar perusahaan? Cobalah meyakinkan diri, lalu beristighfar kepada Allah sebanyak-banyaknya, niscaya Dia akan segera membukakan pintu dan jalan keluar dari masalah tersebut.

Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu-pintu rezeki di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan: “Nabi Hud alaihi salam memerintahkan kaumnya untuk beristighfar (memohon ampunan kepada Allah) agar dosa mereka dihapus Allah dan permintaan ampun mereka diterima di sisi-Nya. Barangsiapa memiliki sifat ‘pemohon ampun’, al-mustaghfir, maka Allah akan memudahkan rezeki untuknya, melancarkan urusannya, dan menjaganya.”Al-Qur’an juga memberikan arahannya kepada kita saat pintu rezeki seakan tertutup di hadapan kita, yaitu agar kita menghadapinya dan berusaha membukanya dengan kunci pintu rezeki, berupa istighfar kepada Allah. Al-Qur’ an menyatakan:

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3)

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu” adalah Allah akan memberikan rezeki dan kelapangan kepada kalian. Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan: “Balasan-balasan itu adalah buah dari istighfar dan tobat. Allah akan memberikan kelapangan rezeki dan kenikmatan kehidupan kepada orang-orang yang beristighfar kepada-Nya.”*Nur Faizin, dari bukunya Rezeki Al-Qur’an-Solusi Al-Qur’an untuk Yang Seret Rezeki.

HAJINEWS