Keutamaan Menunaikan Ibadah Haji (1)

 Haji merupakan ibadah yang dirindukan setiap muslim di atas bumi ini. Ada banyak cerita tentang kerinduan kaum muslimin terhadap ibadah haji.

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Dr. Firanda Andirja, Lc, MA, penulis menyebutkan sebagian dalil-dalil dari Alquran maupun hadist shahih yang menyebutkan keutamaan berhaji.

Pertama, Haji merupakan rukun islam yang kelima. “…melaksanakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (QS:Ali Imran:97).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadatain, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa pada bulan Ramadhan”, (HR Bukhari dan Muslim).

Kelima perkara ini merupakan pondasi utama islam. Oleh sebab itulah, seorang berusaha mendirikan bangunan islamnya dengan sesempurna mungkin. Semakin sempurna bangunan islamnya, semakin sempurna keimanannya dan makin baik surganya di akhirat.

Kedua, balasan haji adalah surga. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa-dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga”, (HR Bukhari dan Muslim)

Dalil tersebut merupakan bukti bahwa haji yang mabrur akan mendapatkan balasan yang setara, yaitu surga. Hal tersebut berbeda dengan umrah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membedakan umroh dengan haji.

Umroh yang satu dengan yang lainnya akan menghapuskan dosa-dosa di antara kedua umroh tersebut. Sementara itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebut bahwa haji yang mabrur, dalam hal ini ada perbedaan antara pahala haji dengan pahala umrah akan mendapatkan balasan yang setimpal, yaitu surga.

Ketiga, haji menghilagkan dosa dan kemiskinan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tunaikanlah haji dan umroh secara silih berganti, karena haji dan umroh itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa sebagaimana alat tiup pandai besi untuk menghilangkan kotoran besi/karat besi, emas, dan perak,” (HR At-tirmidzi dan An-Nasai)

Kata-kata ‘Tunaikanlah haji dan umrah secara silih berganti’ dapat diartikan bahwa ketika menjadikan atau mengerjakan salah satunya, jadikanlah atau kerjaan yang lainnya. Dalam hal ini jika sudah berhaji maka umrahlah dan jika sudah berumrah maka berhajilah. Hadits tersebut memperlihatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menyertakan haji dan umrah bagi orang yang mampu. Hal ini karena, ‘haji dan umrah itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa’.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan keutamaan haji dan umrah bukan hanya berkaitan dengan masalah akhirat atau sekedar menghilangkan dosa-dosa, melainkan juga menghilangkan kefakiran. Jadi, apabila seseorang ingin agar kesejahteraan ekonominya bertahan, ia hendaknya berhaji dan umrah karena keduanya akan menghilangkan kefakiran pada dirinya.

Keempat, haji merupakan jihad bagi kaum wanita. Ummul Mukminin Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Wahai Rasulullah, kami (para wanita) melihat jihad merupakan amalan yang paling utama, apakah kami (kaum wanita) tidak berjihad?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Laa (Tidak), bagi kalian (para wanita) ada jihad yang terbaik, yaitu haji mabrur” (HR Bukhari).

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan olh Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya, Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah wajib bagi para wanita untuk berjihad?’ kata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Iya, wajib bagi kalian untuk berjihad yang tidak ada peperangan di dalamnya: (yaitu) haji dan umrah'”.

Hadits di atas merupakan dalil bahwa haji dan umrah khususnya haji, merupakan jihad bagi wanita. Hal ini tentu benar mengingat beratnya kondisi para wanita dalam melaksanakan ibadah haji, apalagi pada zaman sekarang.

Dahulu yang memberatkan para wanita adalah safar atau perjalanan menempuh medan yang berat dan jarak yang jauh untuk melaksanakan ibadah haji. Pada zaman sekarang ini, hal yang memberatkan adalah kepadatan jamaah haji. Mereka harus berdesakan atau saling dorong serta menghadapi kemacetan yang luar biasa.

Bukan hanya haji reguler yang mengalami kesulitan, bahkan haji plus yang biayanya lebih mahal pun tetap merasakan kesulitan. Apalagi bagi para jamaah wanita. Oleh karena itu, haji dan umrah dianggap jihad untuk para wanita.

IHRAM

Kegiatan dan Larangan Jamaah Haji Selama di Pesawat

Selama di dalam pesawat dalam penerbangan Tanah Air (Indonesia) ke Arab Saudi (Jeddah atau Madinah), jamaah haji hendaknya:

a. Mematuhi petunjuk yang disampaikan awak kabin (pramugara/i) atau petugas kloter;

b. Menyimpan tas tentengan di tempat yang telah disediakan di kabin;

c. Menggunakan sabuk pengaman, duduk dengan tenang;

d. Memperbanyak dzikir dan doa serta membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an sebagai    bentuk berserah diri dan tawakkal kepada Allah;

e. Memperhatikan  tata  cara menggunakan WC,   berhati-hati dalam menggunakan air agar tidak tercecer di lantai WC pesawat karena ceceran air bisa    membahayakan keselamatan penerbangan;

f. Melihat petunjuk bila hendak buang air kecil/besar, misalnya duduk di atas kloset, menggunakan tisu yang tersedia untuk menyucikan diri, membasahi tisu dengan air    kran.  Bila masih ragu jangan segan meminta tolong kepada awak kabin atau petugas kloter;
g. Membersihkan kloset dengan menekan tombol yang bertuliskan FLUSH setelah selesai buang air kecil/besar;

h. Menjaga pakaian yang dikenakan tetap bersih dan suci selama buang air kecil/besar;

i. Memperhatikan ceramah pembimbing dan menonton film manasik haji yang dipertun-jukkan selama dalam penerbangan;

j. Menghubungi petugas kesehatan bila jemaah haji sakit.

k. Bersuci dengan cara tayamum

Selama dalam penerbangan, jamaah haji dilarang:

a. Membuat kegaduhan, berjalan hilir mudik kecuali ada keperluan;

b. Merokok dan mengaktifkan handphone;

c. Berwudhu di toilet pesawat.

Sumber: Tuntunan Manasik Haji dan Umrah 2020 Kemenag / Kemenag.go.id

IHRAM

Dampak Meniup Air Panas Bagi Kesehatan

Ketika ada hidangan makanan atau minuman yang panas maka kita akan berusaha meniup supaya cepat dingin dan dinikmati. Namun, ada baiknya hal tersebut harus dihindari. Mengapa? Oleh karena dapat menimbulkan berbagai hal yang merugikan dan berbahaya bagi kesehatan tubuh.

Larangan Nabi Tentang Bernafas Atau Meniup Di Dalam Bejana Air

Nabi ﷺ melarang meniup-niup saat minum. Seseorang berkata, “Bagaimana jika ada kotoran yang aku lihat di dalam wadah air itu?” Beliau bersabda, “Tumpahkan saja.” Ia berkata, “Aku tidak dapat minum dengan satu kali tarikan nafas.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, jauhkanlah wadah air (tempat mimum) itu dari mulutmu.” (HR. Tirmidzi no. 1887 dan Ahmad 3: 26).

“Nabi ﷺ melarang dari bernafas di dalam wadah air (bejana) atau meniupnya.” (HR. Tirmidzi no. 1888, Abu Daud no. 3728, dan Ibnu Majah no. 3429).

Penjelasan Ilmiah

Kita tahu air adalah senyawa H2O dan tiupan mengandung senyawa CO2 (karbondioksiada). Uap air ini akan bereaksi dengan gas karbondioksida yang berasal dari tiupan dan menghasilkan senyawa asam karbonat. Senyawa ini akan terbentuk di dalam air putih yang akan kita minum.  Senyawa asam karbornat adalah senyawa yang sifatnya asam. Oleh karena sifatnya ini maka bisa timbul kedaaan yang tidak seimbang pada pH (kadar keasaman) dalam darah

Uap air yang bereaksi dengan CO2 atau gas karbondioksida yang keluar dari mulut, akan membentuk senyawa asam karbonat (carbonic acid). Karena bersifat asam, hal ini bisa memicu ketidakseimbangan pH dalam darah.

Banyak dari kita yang tidak menyadari pentingnya menjaga keseimbangan kadar asam dan basa darah kita. Ini sangat penting untuk kelangsungan hidup kita. pH darah normal berkisar pada nilai 7,4. Bilamana pH darah bernilai kurang dari 7,2 atau lebih dari 7,6 maka akan menimbulkan gangguan pada otak. Kadar pH darah kurang dari 6,9 atau lebih dari 7,9 maka dapat mencetuskan gangguan kesehatan fatal.

Allah adalah Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Allah SWT menciptakan organ paru-paru, ginjal, dan buffer yang mengatasi perubahan pH yang terjadi dalam ambang batas yang kecil. Oleh karena itu, perubahan pH yang hanya dalam nilai kecil tidak memberikan dampak yang berarti bagi tubuh.

Buffer paling penting yang kita miliki dalam tubuh kita adalah campuran karbon dioksida (CO2) dan ion bikarbonat (HCO3). CO2 membentuk asam karbonat (H2CO3) ketika larut dalam air dan bertindak sebagai asam yang melepaskan ion hidrogen (H +) bila diperlukan. HCO3 adalah basa dan menyerap ion hidrogen (H +) ketika jumlahnya terlalu banyak. Singkatnya, pH darah ditentukan oleh keseimbangan antara bikarbonat dan karbon dioksida.

Kita perlu tahu bahwa ada darah dalam H2CO3 yang berguna untuk mengatur pH (tingkat keasaman) dalam darah. Darah adalah buffer (yang dapat mempertahankan pH larutan) dengan H2CO3 asam lemah dan basa konjugat HCO3-sehingga darah memiliki pH 7,35 hingga 7,45 dengan reaksi berikut:

CO2 + H20 <= H2CO3 => HCO3- + H +

Reaksi dikatalisis oleh enzim manusia yang disebut Carbonic anhydrase. Salah satu fungsi enzim adalah untuk mengkonversi karbon dioksida dan bikarbonat untuk menjaga keseimbangan asam-basa dalam darah dan jaringan lain, dan untuk membantu mengangkut karbon dioksida keluar dari jaringan.

Tubuh menggunakan buffer pH (buffer) dalam darah sebagai perlindungan terhadap perubahan yang terjadi tiba-tiba dalam pH darah. Abnormalitas pada mekanisme pengontrolan pH, dapat menyebabkan satu dari dua kelainan utama pada keseimbangan asam-basa, yaitu asidosis atau alkalosis.

Asidosis adalah suatu kondisi di mana darah memiliki terlalu banyak asam (atau basa yang sangat rendah) dan sering menyebabkan penurunan pH darah. Sedangkan Alkalosis adalah suatu kondisi di mana darah memiliki terlalu banyak basa (atau terlalu sedikit asam) dan kadang-kadang menyebabkan peningkatan pH darah.

Seiring dengan penurunan pH darah, pernapasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat karena upaya tubuh untuk mengurangi asam berlebih dalam darah dengan menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga mencoba mengkompensasi situasi ini dengan mengeluarkan lebih banyak asam dalam urin.

Walaupun begitu, perihal penjelasan (H2O) dan CO2 ini masih diperdebatkan. Pendapat sebagiannya bahwasanya reaksi uap berlangsung pada tekanan dan suhu yang tinggi. Asam karbonat pun akan terbentuk pada suhu 25 derajat Celcius. Lagi pula asam karbonat ini termasuk asam yang lemah seperti halnya cuka. Oleh sebab itu, dibutuhkan jumlah yang banyak untuk menimbulkan gangguan kesehatan.

Apapun itu, sebaiknya kita menghindari hal-hal semacam ini. Disarankan untuk menjauhkan nafas dari bejana air minum terutama bila air masih panas. Kalaupun bukan manfaat kesehatan yang kita dapat maka minimal pahala mengikuti nabi yang kita dapat. Mudah-mudahan ditemukan fakta ilmiah lainnya seputar hadits nabi yang satu ini.*/dr. Amrizal Zuhdy Sachmud, dokter medis yang mengabdi di salah satu puskesmas di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu juga aktif berbagi informasi kesehatan melalui website DrZuhdy.com dan PenyakitJantung.id

HIDAYATULLAH


Saudaraku, Inilah Ilmu Paling Utama

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Hubungan Ibadah dengan Tauhid

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah samar bagi kita bahwa seorang muslim memiliki tujuan yang jelas dalam kehidupan ini. Tidak lain dan tidak bukan yaitu untuk mewujudkan penghambaan kepada Allah secara total. Penghambaan yang bersih dari noda syirik dan pemberhalaan.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), 

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ 

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”  (QS. Aadz-Dzariyat : 56). 

Para ulama diantaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan bahwa perintah beribadah maksudnya adalah untuk mewujudkan tauhid kepada Allah (silahkan periksa dalam Tafsir Imam al-Baghawi)

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalah-nya Tsalatsatul Ushul menjelaskan bahwa hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Tauhid inilah perintah Allah yang paling agung. Allah perintahkan segenap manusia untuk mentauhidkan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), 

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ 

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (QS. An-Nisa: 36)

“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Ibadah kepada Allah tidak diterima kecuali jika dilandasi dengan tauhid. Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalah ringkasnya yang berjudul Qawa’id Arba’ mengatakan, “Sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali jika bersama dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah maka ia merusaknya dan menghapuskan amalan, dan pelakunya menjadi orang yang akan kekal berada di dalam neraka Jahannam.”

Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya),

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٨٨ 

 “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan terhapus apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Aal-An’am : 88)

Allah juga berfirman (yang artinya),

وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥ 

 “Dan sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; bahwa jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (QS. Aaz-Zumar : 65) 

Tauhid, Kunci Kebahagiaan Hidup

Dengan demikian menjaga tauhid dari kerusakan adalah tugas dan kewajiban setiap insan. Inilah kunci kebahagiaan hidupnya. Tidaklah seorang muslim meraih ketentraman dan tambahan hidayah kecuali dengan meniti jalan tauhid dan memurnikan aqidahnya dari segala kotoran kezaliman. Allah berfirman (yang artinya),

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ ٨٢ 

 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Aal-An’am : 82)

Syirik disebut sebagai kezaliman karena pelakunya telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Karena ibadah adalah hak Allah, tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain-Nya. Memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), 

إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣ 

“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman : 13)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dari sinilah, kita mengetahui bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu tauhid. Sebagaimana faidah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ubaidah as-Sidawi hafizhahullah dalam ceramah beliau pengantar kajian kitab Qawa’id fit Tauhid. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ ١٩ 

 “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan mintalah ampunan atas segala dosamu.” (QS. Muhammad : 19)

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa memahami ilmu agama ini adalah kunci kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ilmu tauhid merupakan ilmu yang paling wajib dipahami dan paling utama untuk dipelajari. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ketika mengutusnya untuk berdakwah di negeri Yaman, “Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal milik Bukhari)

Dalam rangka mewujudkan tujuan yang agung inilah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada umat manusia. Allah berfirman (yang artinya),

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥ 

 “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Aal-Anbiya’ : 25) (lihat kitab Tajrid at-Tauhid min Daran asy-Syirki wa Syubah at-Tandid, hal. 11)

Nabi Nuh ‘alaihis salam -rasul yang pertama- pun diutus oleh Allah kepada kaumnya untuk mengajarkan tauhid yaitu penghambaan kepada Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), 

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ إِنِّيٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ ٥٩ 

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia pun berkata : Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian ilah/sesembahan selain-Nya.” (QS. Aal-A’raf : 59)

Begitu pula Allah mengutus Nabi Hud ‘alaihis salam kepada kaumnya dengan membawa misi dakwah tauhid. Allah berfirman (yang artinya),

۞وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمۡ هُودٗاۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٦٥ 

 “Dan kepada kaum ‘Aad Kami pun mengutus saudara mereka Hud. Dia berkata : Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Aal-A’raf : 65)  

Dan demikian itulah misi dakwah para rasul di sepanjang masa. Allah berfirman (yang artinya),

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ 

 “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (QS. Aan-Nahl : 36)

Tauhid adalah Intisari Agama Islam

Tauhid inilah intisari agama Islam. Yang mana Allah tidak menerima agama kecuali Islam. Allah berfirman (yang artinya),

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥ 

“Dan Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85)  

Semua agama yang bertentangan dengan tauhid maka tertolak. Karena hakikat islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan dan membersihkan diri dari syirik dan berlepas diri dari pelakunya. Inilah hakikat agama Islam yang dibawa oleh segenap rasul dari yang pertama hingga yang terakhir (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 22).

Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita telah mengetahui betapa besar keutamaan ilmu tauhid dan tingginya kedudukan tauhid dalam agama ini maka sudah semestinya seorang muslim bersemangat untuk mempelajarinya dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan bimbingan para ulama dan para da’i yang memahaminya dengan baik dan mengamalkannya dalam kehidupan. 

Semoga sedikit catatan faidah ini bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Kepada Allah semata kita memohon taufik untuk meniti jalan yang lurus ini agar bisa masuk ke dalam surga dan memandang wajah-Nya yang mulia…

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56823-saudaraku-inilah-ilmu-paling-utama.html

Hindari Kata Menunda!

Setan memiliki satu agenda besar dalam menjerumuskan manusia. Salah satunya adalah dengan mempengaruhi manusia untuk menunda pekerjaan dan mengulur waktu.

“Ya, nanti akan saya kerjakan..”

Kalimat semacam ini akan membawa kita pada kerugian dan penyesalan.

Berapa banyak orang yang ingin bersedekah kemudian ditunda dan akhirnya batal.

Berapa banyak orang ingin berbuat baik lalu ditunda dan ia kehilangan kesempatan.

Berapa banyak orang yang ingin bertaubat lalu ditunda kemudian ia mati dengan membawa dosa-dosa itu.

Al-Qur’an selalu mengingatkan kita agar jangan menunda dan mengulur waktu.

Salah satu metodenya adalah dengan merangsang kita untuk berlomba dan bercepat-cepat dalam melakukan kebaikan.

۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali ‘Imran:133)

Begitupula Allah menyifati para Nabi dalam firman-Nya.

إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’:90)

Begitupula salah satu sifat orang mukmin yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah bercepat-cepat dalam berbuat kebaikan.

أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ

“Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS.Al-Mu’minun:61)

Menunda perbuatan yang paling merugikan adalah ketika kita dirayu untuk menunda kebaikan. Dan yang lebih berbahaya adalah ketika kita menunda untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah swt.

Setidaknya ada dua bahaya dibalik menunda taubat :

1. Dosa akan bertumpuk dan semakin menjauhkan kita dari keinginan untuk bertaubat.

2. Bisa saja kematian tiba-tiba datang sebelum kita sempat bertaubat.

Hindari kata “nanti” dan lakukan semua kebaikan itu sesegera mungkin. Hindari kata “nanti” dan laksanakan taubatmu secepat mungkin. Karena bisa saja kesempatan itu akan hilang ketika engkau menundanya sekarang.

Ingatlah bahwa sifat menunda adalah bala tentara setan yang tidak ingin melihatmu berbuat kebaikan dan kembali kepada Allah swt.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Kepada Siapa Saya Harus Bertanya?

ORANG ini sepertinya sudah buntu pikirannya setalah kesana-kemari mencari solusi masalah hidupnya dan ternyata tak pernah ada yang cocok sebagai solusi. Masalah hidupnya sebenarnya sangat klasik dan juga dialami banyak orang. Orang tuanya yang dahulunya terkenal sebagai orang paling kaya di desa kini jatuh bangkrut.

Sawah ladang yang menjadi simbol kekayaan orang desa satu persatu lepas dan kini sudah habis sama sekali. Orang kaya itupun kini terbaring di rumah sakit, anaknya pontang panting mencari hutangan demi merawat orang tuanya. Tak ada yang bernani memberikan hutangan karena hutang-hutang yang sebelumnya tidak ada yang terbayar.

Tidak selesai sampai di situ kisah deritanya. Tatangganya memusuhinya, ada yang mefitnah dan ada pula yang mencibir atau menghina. “Apa salahku? Mengapa hidupku menjadi begini?” Pertanyaan ini diulang-ulangnya dan berulang-ulang ditanyakannya kepada siapapun yang berjumpa tak ada yang menyangka nasibnya setragis ini. Membaca kejayaannya pada jaman dahulu yang sampai menjadikan keluarga ini sebagai “tuan desa,” seakan tak mungkin hancur secepat ini. Namun beginilah kisah dunia, sangat banyak kemungkinan bisa terjadi di luar dari duga dan sangka.

Adalah pelajaran berharga kepada kita agar tidak terlalu yakin dan percaya diri akan duga dan sangka kita sendiri dengan melupakan Allah yang Mahakuasa menentukan apapun yang Allah suka. Jawaban yang diterima orang itu saat berkeluh kepada setiap yang berjumpa dengannya adalah: “Sabar ya. Dunia memang sulit ditebak.” Jawaban lainnya adalah: “Entah ya, apa yang dimaui Allah.” Jawaban-jawaban begini membuatnya semakin bingung: “Lalu saya harus bagaimana? Haruskah saya mati sesangsara dan terhina?” Orang ini akhirnya juga bertaya kepada saya dengan pertanyaan yang sama. Lama tak saya jawab, karena saya masih menjadi jawaban apa yang harus saya sampaikan.

Teringatlah saya pada dawuh orang lama: “Kalau kamu mendapatkan masalah apapun dalam hidupmu, bertanyalah kepada SIAPA YANG PALING TAHU AKAN MASALAHMU.” Iya, kesalahan kita seringkali adalah bahwa saat kita punya masalah kita biasanya bertanya kepada setiap orang yang ada di dekat kita. Sementara orang yang ada di dekat kita itu bisa jadi juga sedang bingung dengan masalahnya sendiri. Bisa jadi nantinya, keluhannya akan mendapat jawaban keluhan, sehingga jalan pikirannya semakin runyam.

Guru saya memberikan syarah (penjelasan) akan dawuh orang lama tersebut di atas. Beliau berkata kepada saya: “Bertanyalah dan berkonsultasilah dengan YANG TAK PERNAH BINGUNG DAN GELISAH. Dialah ALLAH SWT. Di sanalah dan dari sanalah Anda akan mendapatkan jawaban pasti.” Saya terperangah dengan penjelasan beliau. Inilah yang saat ini jarang dilakukan oleh kebanyakan manusia. Guru saya kemudian melanjutkan dawuhnya: “Lalu, tanyakan pula masalahmu kepada ORANG YANG PALING TAHU TENTANG DIRIMU.” Saya terdiam lama, dan beliau juga terdiam lama sambil senyum-senyum. Saya bertanya pelan: “Siapakah yang paling tahu tentang saya, guruku?” Beliau menjawab: “DIRIMU sendiri yang paling tahu tentang dirimu.”

Beliau melihat ke atap-atap langgar sambing tersenyum. Sepertinya beliau sedang berdialog dengan seseorang. Saya tak paham, karena kita hanya berdua. Saya memecahkan keheningan dengan memberanikan bertanya sambil memijat betis beliau yang sedang selonjor: “Bagaimana cara atau teknik bertanya kepada Allah dan kepada diri sendiri yang paling tepat, guruku?” Langsung dijawabnya: “Tunggu jadwal buka puasa.” Saya pijat kuat-kuat saraf betisnya. Beliau setengah teriak sambil tertawa: “Ow sakit Cong.” Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Rasulullah ﷺ Pun Menjilat Jarinya Setelah Makan

ADA beberapa hadis yang menyatakan seperti itu. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik  berikut ini:

“Ketika Rasulullah   selesai menyantap suatu hidangan, beliau akan menjilati ketiga jarinya (yang digunakan untuk makan) .”

Anas  melanjutkan:

“Beliau juga bersabda, ‘Jika ada sebagian makanan milik seseorang di antara kalian jatuh, hendaknya ia mengambil makanan tersebut. Kemudian membersihkan kotorannya dan memakannya. Jangan biarkan sebagian makanan tersebut menjadi milik setan.’

Masih kata Anas:

Beliau memerintah kita untuk menghabiskan sisa sisa makanan yang masih ada di mampan atau piring dan bersabda, “Sungguh, kalian tidak tahu pada sebagian mana barakah makanan itu ada.”

Dari hadis di atas terkandung ada:

• Makan dengan tiga jari. Tidak disebutkan jari mana saja. Umumnya, jari yang dipakai makan adalah ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Ini termasuk adab yang disenangi Rasulullah . Tetapi jangan dipaksakan bila tidak memungkinkan. Misalnya makannya berkuah.

• Menjilati jemari yang digunakan makan. Dilakukan setelah benar benar selesai menghabiskan seluruh hidangan.  Bukan di tengah tengah makan. Ini tidak baik dilakukan karena dapat menimbulkan rasa jijik hadirin.

• Imam Nawawi menjelaskan, setiap makanan yang dihidangkan terdapat barakah di dalamnya. Namun tidak diketahui pada bagian mana barakah itu ada. Bisa pada yang sudah dimakan. Bisa di jari. Bisa yang tersisa di piring. Bisa pula yang jatuh. Karenanya seyogyanya kita tidak menyia-.nyiakan barakah yang ada dalam makanan tersebut.

Secara medis sudah banyak yang meneliti makan pakai jari. Salah satunya adalah  dr. Charles Gerba dari University of Arizona, Amerika Serikat. Dia menjelaskan, makan menggunakan tangan dan menjilat jari jemari sesudahnya memiliki manfaat kesehatan. Asal sebelum makan, mencuci tangan terlebih dahulu. Ia mengakui bahwa di sela-sela jari manusia mengandung enzim Rnase.

Enzim Rnase berfungsi sebagai pengikat bakteri untuk menekan aktivitas bakteri ketika masuk bersamaan dengan makanan.

Selain manfaat tersebut, enzim ini juga berfungsi sebagai kekebalan tubuh manusia. Tangan yang setiap hari memegang benda-benda, dapat mendatangkan kuman dan bakteri disinilah enzim ini bekerja sebagai kekebalan tubuh manusia.*

*Dikutip dari Syarah Syamail oleh Syaikh Abdurazak bin Abdul Muchsin Al_badrun Badr

HIDAYATULLAH

Tawakalnya Seorang Mukmin

Tawakal adalah gabungan dari doa dan ikhtiar yang saling melengkapi.

Seorang sufi terkenal Ibrahim bin Adham (wafat 162 H) mempunyai seorang sahabat yang tak kalah zuhudnya dari beliau bernama Syaqiq al-Balkhi (wafat 194 H). Keseharian mereka tidak pernah lepas dari berpuasa, shalat, zikir, dan berniaga sebagai pemenuhan lahiriyah.

Suatu waktu, Syaqiq al-Balkhi berpamitan kepada sahabatnya tersebut untuk melakukan perjalanan niaga yang jarak tempuhnya sangat jauh dari tempat mereka tinggal. Sehingga, perbekalan pun disiapkan secukupnya.

Dalam setiap perjalanan, Syaqiq tidak pernah lupa untuk menunaikan kewajiban layaknya seorang mukmin. Hingga tibalah Syaqiq di sebuah tempat penuh dengan rerumputan hijau dan pepohonan yang menyejukkan mata. Beliau berhenti untuk singgah dan menunaikan keperluannya.

Tanpa sengaja beliau melihat seekor burung kecil kurus dan buta sendiri di peraduannya. Dalam hati ia berucap, “Dari manakah rezeki burung ini, sehingga sampai detik hari ini burung ini masih hidup?”

Tanpa disadari dan sedikit terkejut, tetiba datanglah seekor burung lainnya membawakan makanan lalu menyuapi burung buta tersebut sampai kenyang. Sekali lagi beliau berucap dalam hatinya, “Mahasuci Allah yang telah membagi rezeki secara adil, sehingga setiap makhluk-Nya merasakan anugerah nikmat-Nya.”

Peristiwa itu menjadikannya semakin yakin bahwa rezeki itu sudah ada yang mengatur tanpa harus ada usaha dan kerja keras. Akhirnya niat beliau untuk berniaga ke tempat yang dituju pun urung dilakukan. Dia putar arah untuk kembali ketempat tinggalnya dan akan lebih fokus untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemberi Rezeki.

Sebelum memasuki kampung halamannya, Syaqiq bersua dengan sahabat karibnya Ibrahim bin Adham. Ia menceritakan apa yang ditemuinya di sepanjang perjalanan sehingga memutuskan untuk kembali dan berhenti berniaga. Kaget bercampur heran, itulah yang dirasakan Ibrahim bin Adham. Dengan wajah penuh keteduhan layaknya seorang alim dan sahabat yang mengingatkan, beliau elus pundak sahabatnya tersebut, dan beliau pun tersenyum dengan penuh rasa hormat.

Lalu beliau berucap, “Mahasuci Allah, wahai saudaraku Syaqiq, apakah engkau rida menjadi burung yang buta dan pesakitan yang selalu menunggu bantuan dari burung lainnya. Apabila dia datang, maka dia akan makan dan bila tidak dia akan mati kelaparan, kenapa wahai saudaraku? Apakah engkau tidak ingin dan rida memilih menjadi burung yang satunya lagi, dia terbang bebas dan sehat, tidak terbelenggu dengan apa pun dan dia bisa menjemput rezeki kapan pun dan dimana pun, kemudian memberikannya kepada siapa pun yang dia mau, dan apakah engkau tidak ingat wahai saudaraku dengan nasihat Nabi kita, bahwa tangan di atas itu jauh lebih baik dari tangan di bawah.”

Mendengar nasihat tersebut, Syaqiq al-Balkhi kemudian berdiri memeluk, mencium dahi dan tangan sahabatnya tersebut, seraya menitikkan air mata dia berucap, “Engkau adalah guruku, penasihatku dan sahabat yang selalu menuntunku kearah yang lebih baik, semoga Allah memperbanyak orang sepertimu wahai sahabatku.”

Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas, bahwasannya tawakal adalah gabungan dari doa dan ikhtiar, satu dan lainnya saling melengkapi, ibarat seekor burung dia tidak bisa terbang dengan sempurna kecuali kedua sayapnya sehat dan berfungsi. Semoga kita semua digolongkan menjadi hamba Allah yang benar-benar bertawakal kepada-Nya.

OLEH RONI FAJAR V

KHAZANAH RRPUBLIKA

Fikih Puasa Syawal

Di antara rahmat Allah ta’ala bagi hamba-Nya adalah Ia mensyariatkan puasa Syawal setelah bulan Ramadan, agar mereka bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun penuh. Berikut ini pembahasan ringkas mengenai fikih puasa Syawal, semoga bermanfaat.

Hukum Puasa Syawal

Puasa Syawal hukumnya mustahab (sunah), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:

صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُسْتَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ

“Puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab menurut mayoritas para ulama” (Al-Mughni, 3/176).

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (28/92): “Jumhur ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan ulama Hanafiyah yang muta’akhir (kontemporer) berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadan itu mustahab. Dan dinukil dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh secara mutlak, baik jika dilaksanakan berurutan atau tidak berurutan. Dan dinukil dari Abu Yusuf (ulama Hanafi) bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh jika berurutan, namun boleh jika tidak berurutan. Namun jumhur (mayoritas) ulama Hanafiyah muta’akhirin berpendapat hukumnya tidak mengapa. Ibnu Abidin (ulama Hanafi) dalam kitab At-Tajnis menukil dari kitab Al-Hidayah yang mengatakan: ‘Pendapat yang dipilih para ulama Hanafi muta’akhirin hukumnya tidak mengapa. Karena yang makruh adalah jika puasa Syawal berisiko dianggap sebagai perpanjangan puasa Ramadan, sehingga ini tasyabbuh terhadap Nasrani. Adapun sekarang, ini sudah tidak mungkin lagi’. Al-Kasani mengatakan: ‘Yang makruh adalah puasa di hari Id, lalu puasa lima hari setelahnya. Adapun jika di hari Id tidak puasa lalu besoknya baru puasa enam hari, ini tidak makruh, bahkan mustahab dan sunah’.”

Maka yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab (sunah) sebagaimana ditunjukkan oleh hadis.

Keutamaan puasa Syawal

Secara umum, semua keutamaan ibadah puasa juga terdapat dalam puasa Syawal. Mengenai keutamaan ibadah puasa, simak artikel tulisan kami “Ternyata Puasa Itu Luar Biasa”

Namun puasa Syawal memiliki keutamaan khusus, yaitu menyempurnakan ibadah puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh. sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

من صام ستَّةَ أيَّامٍ بعد الفطرِ كان تمامَ السَّنةِ من جاء بالحسنةِ فله عشرُ أمثالِها

Barangsiapa yang puasa enam hari setelah Idul Fitri, maka baginya pahala puasa setahun penuh. Barangsiapa yang melakukan satu kebaikan, baginya ganjaran sepuluh kali lipatnya

Dalam riwayat lain:

جعل اللهُ الحسنةَ بعشر أمثالِها ، فشهرٌ بعشرةِ أشهرٍ ، وصيامُ ستَّةِ أيامٍ بعد الفطرِ تمامُ السَّنةِ

Allah menjadikan satu kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya, maka puasa sebulan senilai dengan puasa sepuluh bulan. Ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri membuatnya sempurna satu tahun” (HR. Ibnu Majah no. 1402, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no.1402 dan Shahih At-Targhib no. 1007).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ

“Pahala puasa Syawal seperti puasa setahun penuh. Karena satu kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan. Puasa Ramadan sebulan senilai dengan sepuluh bulan, dan puasa 6 hari senilai dengan dua bulan (60 hari)” (Syarah Shahih Muslim, 8/56).

Buah dari puasa Syawal

  • Puasa Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh.
  • Puasa Syawal dan puasa Sya’ban sebagaimana salat sunah rawatib sebelum dan sesudah salat, ia menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada pada ibadah yang wajib. Karena ibadah-ibadah wajib akan disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunah pada hari kiamat kelak. Kebanyakan orang, puasa Ramadannya mengandung kekurangan dan cacat, maka membutuhkan amalan-amalan yang bisa menyempurnakannya.
  • Terbiasa puasa selepas puasa Ramadan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena ketika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberikan ia taufik untuk melakukan amalan shalih selanjutnya. Sebagaimana perkataan sebagian salaf:ثواب الحسنة الحسنة بعدها“Balasan dari kebaikan adalah (diberi taufik untuk melakukan) kebaikan selanjutnya”Maka barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan kebaikan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut diterima oleh Allah. Sebagaimana barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, namun kemudian diikuti dengan keburukan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut tidak diterima oleh Allah.
  • Orang-orang yang berpuasa Ramadan disempurnakan pahalanya di hari Idul Fitri dan diampuni dosa-dosanya. Maka hari Idul Fitri adalah hari pemberian ganjaran kebaikan. Sehingga puasa setelah hari Idul Fitri adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut. Sedangkan tidak ada nikmat yang lebih besar selain pahala dari Allah ta’ala dan ampunan dari Allah.

Tata cara puasa Syawal

Tata cara puasa Syawal secara umum sama dengan tata cara puasa Ramadan. Silakan simak tata cara puasa Ramadan pada artikel kami Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan. Perbedaannya ada pada beberapa hal:

1. Boleh niat puasa setelah terbit fajar

Telah kita ketahui bersama bahwa disyaratkan untuk menghadirkan niat pada malam hari sebelum puasa, yaitu sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من لم يبيِّتِ الصِّيامَ قبلَ الفَجرِ، فلا صيامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. An-Nasai no. 2331, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasai)

Namun para ulama menjelaskan bahwa ini berlaku untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunah) maka boleh menghadirkan niat setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha:

قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ

يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟

قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء

قال فإني صائمٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ

“Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama bahwa dalam puasa sunah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal (matahari mulai bergeser dari tegak lurus)” (Syarah Shahih Muslim, 8/35).

2. Tidak harus berurutan

Tidak sebagaimana puasa Ramadan, puasa Syawal tidak disyaratkan harus berurutan (mutatabi’ah) dalam pelaksanaannya. Boleh dilakukan secara terpisah-pisah (mutafarriqah) harinya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan,

صيام ست من شوال سنة ثابتة عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ويجوز صيامها متتابعة ومتفرقة ؛ لأن الرسول – صلى الله عليه وسلم – أطلق صيامها ولم يذكر تتابعاً ولا تفريقاً ، حيث قال – صلى الله عليه وسلم

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر

أخرجه الإمام مسلم في صحيحه

“Puasa enam hari di bulan Syawal telah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan boleh mengerjakannya secara mutatabi’ah (berurutan) atau mutafarriqah (terpisah-pisah). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan puasa Syawal secara mutlaq (baca: tanpa sifat-sifat tambahan) dan tidak disebutkan harus berurutan atau harus terpisah-pisah. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia mendapatkan pahala puasa setahun penuh‘ (HR. Muslim dalam Shahihnya)” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah, 15/391).

3. Boleh membatalkan puasa dengan atau tanpa uzur

Dibolehkan membatalkan puasa nafilah (sunnah) baik karena suatu udzur syar’i maupun tanpa udzur. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu’anha,

دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال : هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ، ثم أتانا يوما آخر فقلنا : يا رسول الله أهدي لنا حيس ، فقال أرينيه فلقد أصبحت صائما ، فأكل

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari masuk ke rumah dan bertanya: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’. Aisyah menjawab: ‘tidak’. Beliau bersabda: ‘kalau begitu aku akan berpuasa’. Kemudian di lain hari beliau datang kepadaku, lalu aku katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, ada yang memberi kita hadiah berupa hayis (sejenis makanan dari kurma)’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu tunjukkan kepadaku, padahal tadi aku berpuasa’. Lalu Nabi memakannya” (HR. Muslim no. 1154).

Juga berdasarkan hadis dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya:

لقدْ أفطرتُ وكنتُ صائمةً فقال لها أكنتِ تقضينَ شيئًا قالتْ لا قالَ فلا يضرُّكِ إنْ كانَ تطوعًا

Wahai Rasulullah, aku baru saja membatalkan puasa sedangkan tadi aku berpuasa, bolehkah? Nabi bertanya: ‘apakah itu puasa qadha?’ Aku menjawab: ‘bukan’. Nabi bersabda: ‘Jika demikian maka tidak mengapa, yaitu jika puasa tersebut puasa tathawwu’ (sunah)‘” (HR. Abu Daud no. 2456, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

إذا كان الصوم نافلة فله أن يفطر، ليس بلازم، له الفطر مطلقاً، لكن الأفضل ألا يفطر إلا لأسباب شرعية: مثل شدة الحر، مثل ضيف نزل به، مثل جماعة لزَّموا عليه أن يحضر زواج أو غيره يجبرهم بذلك فلا بأس

“Jika puasa tersebut adalah puasa sunah, maka boleh membatalkannya, tidak wajib menyempurnakannya. Ia boleh membatalkannya secara mutlak. Namun yang lebih utama adalah tidak membatalkannya kecuali karena sebab yang syar’i, semisal karena panas yang terik, atau badan yang lemas, atau ada orang yang mengundang ke pernikahan, atau hal-hal yang memaksa untuk membatalkan puasa lainnya, maka tidak mengapa.” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/11778)

4. Bagi wanita hendaknya meminta izin kepada suaminya

Bila seorang wanita ingin mengerjakan puasa sunah, termasuk puasa Syawal, maka wajib meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu atau ia mengetahui bahwa suaminya mengizinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يحِلُّ للمرأةِ أن تصومَ وزَوجُها شاهِدٌ إلَّا بإذنِه، ولا تأذَنْ في بيته إلا بإذنِه

Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya. Dan tidak halal seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Bukhari no. 5195).

Dan puasa yang dimaksud dalam hadis ini adalah puasa sunah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تصومُ المرأةُ وبعلُها شاهدٌ إلا بإذنِه غيرَ رمضانَ ولا تأذنْ في بيتِه وهو شاهدٌ إلا بإذنِه

Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya, jika puasa tersebut selain puasa Ramadan. Dan tidak boleh seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sunan Abu Daud).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

قَوْلُهُ شَاهِدٌ أَيْ حَاضِرٌ قَوْلُهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْنِي فِي غَيْرِ صِيَامِ أَيَّامِ رَمَضَانَ وَكَذَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ مِنَ الْوَاجِبِ إِذَا تَضَيَّقَ الْوَقْتُ

“Sabda beliau [sedangkan suaminya hadir] maksudnya sedang tidak safar. [kecuali dengan seizinnya] maksudnya selain puasa Ramadan. Demikian juga berlaku pada puasa wajib selain puasa Ramadan jika waktunya sempit (maka tidak perlu izin, -pent.)”.

Beliau juga mengatakan:

وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ حَقَّ الزَّوْجِ آكَدُ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ التَّطَوُّعِ بِالْخَيْرِ لِأَنَّ حَقَّهُ وَاجِبٌ وَالْقِيَامُ بِالْوَاجِبِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْقِيَامِ بِالتَّطَوُّعِ

“Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa hak suami lebih ditekankan bagi wanita daripada ibadah sunah. Karena menunaikan hak suami itu wajib dan wajib mendahulukan yang wajib daripada yang sunah” (Fathul Baari, 9/296).

Bolehkah mendahulukan puasa Syawal sebelum menunaikan hutang puasa?

Dalam masalah ini kami nukilkan penjelasan bagus dari Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi dan ini pendapat yang lebih kami condongi dalam masalah ini:

“Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan dan kebolehan puasa sunah sebelum qadha puasa. Mereka khilaf (berselisih) dalam dua pendapat dan dua riwayat dari Imam Ahmad ada pada dua pendapat tersebut. Dan yang sahih hukumnya boleh.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits sahih yang marfu’:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Sabda beliau “…puasa Ramadan lalu mengikutinya…” dimaknai oleh sejumlah ulama kepada wajibnya menyempurnakan puasa Ramadan sebelum mengerjakan puasa sunah. Dan ini juga zahir perkataan dari Sa’id bin Musayyab yang dibawakan Al-Bukhari secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanad secara lengkap), beliau berkata tentang puasa sunah sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) sebelum qadha puasa Ramadan:

لا يصلح حتى يبدأ برمضان

Tidak dibenarkan kecuali diawali dengan (qadha) puasa Ramadan

Al-Baihaqi dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Utsman bin Muhib, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah ketika ditanya seseorang:

إن عليّ أياماً من رمضان أفأصوم العشر تطوعاً؟ قال: لا، ولم؟ إبدأ بحق الله ثم تطوع بعد ما شت

Saya memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, bolehkah saya puasa sunah sepuluh hari? Abu Hurairah menjawab: tidak boleh. Orang tersebut bertanya: mengapa? Abu Hurairah menjawab: dahulukan hak Allah, kemudian baru kerjakan yang sunah semaumu“.

Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha bahwa beliau menganggap hal itu makruh.

Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Sufyan, dari Hammad bahwa ia berkata:

سألت إبراهيم وسعيد بن جبير عن رجل عليه أيام من رمضان أيتطوع في العشر؟ قالا: يبدأ بالفريضة

Aku bertanya kepada Ibrahim bin Sa’id bin Jubair tentang seorang lelaki yang memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, bolehkah ia puasa sunah sepuluh hari? Ibrahim bin Sa’id berkata: tidak boleh, dahulukan yang wajib.

Dan mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga bulan Sya’ban hukumnya boleh, berdasarkan perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Salamah, ia berkata: aku mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان

Aku pernah memiliki hutang puasa Ramadan, dan aku tidak bisa menunaikannya hingga di bulan Sya’ban

Pendapat yang sahih adalah boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan walaupun bukan karena darurat, dengan cacatan bahwa menyegerakannya lebih utama. Jika tanpa darurat saja boleh, tentu mengakhirkannya karena mengerjakan puasa Syawal lebih layak untuk dibolehkan. Dan ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. Dengan catatan, bahwa ulama sepakat bahwa yang lebih utama adalah mendahulukan qadha puasa dan melepaskan diri dari tanggungan. Dalam pandangan kami, inilah makna yang diinginkan oleh Abu Hurairah, Sa’id bin Musayyib, Atha, Sa’id bin Jubair, Ibrahim bin Sa’id pada riwayat-riwayat di atas.

Dan perlu dicatat juga, bahwa orang yang tidak puasa Ramadan karena suatu uzur maka ditulis baginya pahala puasa untuk hari yang ia tinggalkan tersebut walaupun ia belum menunaikan qadha puasanya. Karena orang yang terhalang karena suatu uzur itu dihukumi sebagaimana orang yang mengamalkan amalan yang sah. Sebagaimana dalam sebuah hadis:

إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل وهو صحيح مقيم

Jika seorang hamba sakit atau sedang safar, maka ditulis baginya pahala amalan yang biasa ia lakukan dalam keadaan sehat dan tidak safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Dan qadha puasa Ramadan waktunya luas, sedangkan puasa Syawal waktunya terbatas, sempit dan cepat berlalu” (Sumber: http://www.altarefe.com/cnt/ftawa/312).

Menggabung niat puasa Syawal dengan puasa lainnya

Masalah ini dikenal dalam ilmu fikih sebagai masalah tasyrik an niyyat atau tasyrik ibadatain fi niyyah (menggabung beberapa niat dalam ibadah). Ada tiga rincian dalam masalah ini, yaitu sebagai berikut:

فَإِنْ كَانَ مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأِنَّ مَبْنَى الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ، فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.

أَمَّا التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأِنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأْخْرَى

“[1] Jika latar belakang pelaksanaan kedua ibadah tersebut karena sifatnya tadakhul (saling bertemu satu sama lain), sebagaimana mandi Jum’at dan mandi janabah (ketika dalam kondisi junub di hari Jum’at, -pent.), atau mandi janabah dan mandi haid, atau mandi Jum’at dan mandi untuk salat Id, atau [2] salah satu dari ibadah tersebut ghayru maqshudah bidzatiha (yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya, -pent.) sedangkan ibadah yang lain adalah ibadah wajib atau sunah, maka ini tidak mencacati ibadah (baca: boleh). Karena landasan dari taharah memang at-tadakhul dan salat tahiyyatul masjid dan yang semisalnya yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya, namun yang dituntut adalah mengerjakan shalat ketika masuk masjid (apapun salat itu, -pent.). Maka ibadah tersebut bisa masuk pada ibadah yang lain. Adapun [3] menggabungkan niat antara dua ibadah maqshudah bi dzatiha (yang dituntut adalah dzat ibadahnya), seperti menggabungkan salat zuhur dengan salat rawatib zuhur, maka tidak sah menggabungkan keduanya dalam satu niat, karena keduanya adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, yang tidak bisa masuk antara satu dengan yang lain” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 12/24).

Maka dari kaidah ini bisa kita jawab permasalah-permasalahan berikut:

1. Menggabung puasa Syawal dengan qadha puasa

Hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena puasa Syawal dan qadha puasa Ramadan keduanya adalah ibadah yang maqshudah bi dzatiha. Keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri, sehingga tidak sah jika digabungkan dalam satu niat.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

أما أن تصوم الست بنية القضاء والست فلا يظهر لنا أنه يحصل لها بذلك أجر الست، الست تحتاج إلى نية خاصة في أيام مخصوصة

“Adapun jika anda puasa Syawal dengan menggabung niat puasa qadha dan puasa Syawal, maka saya memandang puasa Syawalnya tidak sah. Karena puasa Syawal membutuhkan niat khusus dan membutuhkan hari-hari yang khusus” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/4607).

2. Menggabung puasa Syawal dengan puasa ayyamul bidh

Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa ayyamul bidh adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Ketika seseorang melaksanakan puasa 3 hari dalam satu bulan, kapanpun harinya dan apapun jenis puasa yang ia lakukan (yang disyariatkan) maka ia sudah mendapatkan keutamaan puasa ayyamul bidh.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:

إذا صام ست أيام من شوال سقطت عنه البيض ، سواء صامها عند البيض أو قبل أو بعد لأنه يصدق عليه أنه صام ثلاثة أيام من الشهر ، وقالت عائشة رضي الله عنها : ” كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر لا يبالي أصامها من أول الشهر أو وسطه أو آخره ” ، و هي من جنس سقوط تحية المسجد بالراتبة فلو دخل المسجد

“Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawal, gugur darinya tuntutan puasa ayyamul bidh. Baik ia puasa Syawal ketika al-bidh (ketika bulan purnama sempurna), sebelumnya atau setelahnya, karena ia telah berpuasa tiga hari dalam satu bulan. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa tiga hari setiap bulan, tanpa peduli apakah itu awal bulan atau tengah bulan atau akhirnya’. Ini sejenis dengan gugurnya tuntutan shalat tahiyatul masjid dengan mengerjakan salat rawatib jika seseorang masuk masjid” (Sumber: https://islamqa.info/ar/4015).

3. Menggabung puasa Syawal dengan puasa Senin-Kamis

Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa Senin-Kamis adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Karena puasa Senin-Kamis disyariatkan bukan karena dzatnya, namun karena diangkatnya amalan di hari itu sehingga dianjurkan berpuasa, apapun puasa yang dilakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الأعمال ترفع يوم الاثنين والخميس فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

Sesungguhnya catatan amalan diangkat pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika catatan amalanku diangkat ketika aku sedang puasa” (HR. Ibnu Wahb dalam Al-Jami’, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1583).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan:

إذا اتفق أن يكون صيام هذه الأيام الستة في يوم الاثنين أو الخميس فإنه يحصل على أجر الاثنين بنية أجر الأيام الستة، وبنية أجر يوم الاثنين أو الخميس

“Jika puasa Syawal bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka ia mendapatkan pahala puasa Senin-Kamis dengan niat puasa Syawal atau dengan puasa Senin-Kamis” (Fatawa Al-Islamiyah, 2/154).

Demikian pembahasan singkat mengenai fikih puasa Syawal. Semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, dan semoga Allah ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkannya.

Wabillahi at-taufiq was-sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

HSimak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30930-fikih-puasa-syawal.html

Tidak Boleh Berbicara Tentang Agama Tanpa Ilmu

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apa nasihat Anda terhadap suatu kaum yang berdakwah kepada Allah Ta’ala, juga mengunjungi masyarakat dan mengajak mereka ke masjid, namun sebagian dari mereka tidak memiliki bekal ilmu syar’i sama sekali?

Jawaban:

Adapun jalan untuk memperbaiki kondisi masyarakat, maka pendapatku adalah dengan menempuh sarana-sarana yang sesuai, selama sarana tersebut tidak dilarang. Karena sarana-sarana tersebut pada asalnya tidak memiliki hukum tertentu. Akan tetapi, hukum sarana tersebut mengikuti hukum tujuan.

Adapun sarana yang hukumnya terlarang, maka tidak boleh ditempuh (diikuti). Seperti orang yang menjadikan tari-tarian (dansa) dan nyanyian (lagu) sebagai sarana untuk menarik manusia dan mendakwahi mereka menuju jalan Allah Ta’ala. Hal itu haram dan tidak ada manfaatnya. Hal ini karena Allah Ta’ala tidak akan menjadikan obat bagi umat ini melalui sesuatu yang diharamkan. 

Maka sarana apapun dalam dakwah kepada Allah Ta’ala itu diperbolehkan selama tidak terlarang (dalam syariat). Karena sarana-sarana itu pada asalnya bukanlah ibadah itu sendiri. Akan tetapi, sebagai jalan menuju tujuan yang diinginkan. Maka kondisi jamaah tersebut yang mengunjungi manusia (di rumah-rumah mereka, pent.), membacakan kepada mereka Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mudah bagi mereka, juga keluar berdakwah (khuruj) bersama mereka dengan tujuan untuk mengajarkan dan memberikan bimbingan kepada mereka, maka ini perkara yang baik tanpa perlu diragukan.

Adapun keadaan mereka yang berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, maka tidak boleh bagi manusia untuk berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 33)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36)

Kemudian terkait dengan hal ini, saya juga ingin mengingatkan bahwa banyak dari para penceramah yang menyebutkan dalam nasihat atau ecramah mereka hadits-hadits yang tidak jelas, yaitu hadits-hadits yang bisa jadi statusnya dha’if (lemah) atau maudhu’ (palsu). Merka mengklaim bahwa mereka tidak akan bisa menarik (memikat) perhatian manusia kecuali dengan membawakan hadits-hadits tersebut. Ini adalah kekeliruan yang besar. Hal ini karena hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dalam kitabullah (Al-Qur’an) itu sudah mencukupi dari hadits-hadits yang palsu (maudhu’) dan lemah (dha’if) tersebut.

[Selesai]

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56800-tidak-boleh-berbicara-tentang-agama-tanpa-ilmu.html