Khadijah, Dicintai Allah, Malaikat, dan Rasulullah

Allah bahkan menyampaikan salam kepada Khadijah melalui Jibril.

Istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Khadijah binti Khuwailid merupakan sosok mukminah yang secara tulus menerima Allah sebagai Rabbnya, sehingga Dia pun ridha terhadapnya.

Dikutip dari buku Hasan & Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, disampaikan oleh Nabi, “Jibril berkata padaku: ‘Jika Khadijah datang kepadamu, maka sampaikanlah kepadanya salam dari Rabbnya, dan juga dariku’,” hadist riwayat Al-bukhari dan Muslim.

Ibnu Qayyim radhiyallahu anhu menuturkan: “Ucapan salam seperti itu merupakan keistimewaan yang tidak pernah dianugerahkan kepada seorang wanita pun, selain dia”.

Khadijah benar-benar merupakan hamba yang dicintai Allah, para malaikat, dan suaminya sendiri, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau menuturkan: “Sungguh, aku dikaruniai rasa cinta kepadanya”, sahih Muslim. Karena itu, setiap kali membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan Khadijah, Nabi selalu menjunjung kedudukannya dan berterima kasih atas pendampingannya selama ini.

Aisyah menuturkan: “Saat menyebut ihwal Khadijah, Nabi tidak pernah jemu memuji dan memohonkan ampunan untuknya,” hadist riwayat Ath-Thabrani.

Khadijah merupakan potret istri yang berbakti kepada suaminya, sekaligus ibu yang begitu menyayangi anak-anaknya. Semua anak Nabi lahir dari rahimnya, kecuali Ibrahim. Sebagai sosok istri yang santun dan berakhlak luhur, dia tidak pernah membantah perkataan suaminya atau menyakiti perasaannya sekali pun.

Untuk itu, Khadijah berhak mendapatkan balasan yang layak atas segala kebaikannya. Nabi bersabda: “Jibril pernah mendatangiku lalu berkata: ‘Sampaikanlah berita gembira kepada Khadijah bahwa dia akan mendapatkan sebuah rumah di surga. Rumah itu terbuat dari mutiara berongga. Dia tidak akan mendapati hiruk pikuk atau merasakan keletihan di dalamnya'”.

Adapun agama, akal, dan akhlaknya benar-benar sempurna. Sosok istri yang begitu agung di hati Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi, dan beliau tidak memadunya hingga ia wafat. Sungguh, kepergian Khadijah merupakan kesedihan tersendiri bagi Nabi.

MOZAIK REPUBLIKA


Inilah Sebaik-baik Rezeki Pemberian Allah SWT

“Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya (tanpa ukuran) tentulah mereka akan melampaui batas (berbuat Zalim) di muka bumi, tetapi Allah menurunkannya (rezeki) dengan ukuran yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hambaNya lagi Maha Melihat,” (QS. AsSyura: 42).

ITULAH Allah SWT Maha Pemberi sebaik-baiknya rezeki. Rezeki yang baik adalah yang tidak membuat lalai dari-Nya, tidak menjadikan keliru, zalim dalam memilikinya, tidak menghabiskan siang malam penuh dengan kepenatan. Rezeki yang baik tidak menguras tenaga dan pikiran untuk menghitung, menakar, menimbang-nimbang keuntungan dan kerugiannya.

Sebaik-baik rezeki pula adalah yang tidak menghantui seseorang untuk melepaskannya, tidak membuat mati rasa dalam mensyukuri rezeki-Nya sehingga menyebabkan seorang hamba kehilangan hakikat ‘memiliki’ sejatinya, bahkan hanya untuk sekedar mencicipi nikmatnya tidur nyenyak diatas kasur empuk, kamu tak sanggup memilikinya.

Maka Allah SWT dengan segala hikmah dan kehendak-Nya menentukan ukuran takaran rezeki-rezeki yang diturunkan, agar tidak membebani para hamba-hamba-Nya di hari Hisab (perhitungan) kelak. Supaya perjalanan orang-orang mukmin menuju surga yang menantinya semakin ringan, mudah, tanpa harus dibebani dengan hal-hal duniawi. []\

SUMBER: NEGERIQURAN

ISLAMPOS

Rahasia Magnet Rezeki, Menarik Rezeki dengan Cara Allah

JIKA engkau melihat ada orang yang resah karena rezeki, maka ketahuilah bahwa sebenarnya dia jauh dari Allah. Seandainya ada yang berkata kepadamu, “Besok kamu tak perlu kerja! Cukup kamu kerjakan ini saja! Saya akan memberimu Rp 2 juta,” pastilah engkau akan percaya dan mematuhi perintahnya.

Nah, ternyata ada 12 cara yang bisa menjadi magnet untuk menarik rezeki.

[1]. Letakkanlah sedikit makanan kucing dan semangkuk air di luar rumah untuk kucing-kucing yang datang. [2]. Sisihkanlah sedikit dari hasil gaji atau upah jerih payahmu, untuk di sumbangkan kepada anak yatim dan orang miskin.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=6wVYfofGGcU#action=share

ISLAMPOS

Tetap Melakukan Shalat Malam Setelah Bulan Ramadhan

Selama bulan Ramadhan kita melakukan shalat malam. Shalat tarawih merupakan shalat malam di bulan Ramadhan. Ketika waktu sahur juga masih merupakan waktu shalat malam, sehingga kaum muslimim setelah atau sebelum makan sahur bisa melaksanakan shalat malam. Sangat disayangkan jika kebiasaan baik ini tiba-tiba tidak pernah dilakukan sama sekali setelah bulan Ramadhan berakhir. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk tetap terus beribadah dengan ibadah sebagaimana di bulan Ramadhan.

Ada sebagian orang yang rajin beribadah dan shalat malam hanya di bulan Ramadhan saja. Bahkan ada di antara mereka yang mencukupkan diri mengerjakan amalan wajib di bulan Ramadhan, sedangkan di luar bulan Ramadhan mereka tidak melakukannya lagi dan tidak mengenal Allah. Lantas dikatakan kepada mereka:

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها

“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya mengenal Allah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang shalih adalah orang yang rajin beribadah dan bersungguh-sungguh di sepanjang tahun.”

Amal yang baik dan dicintai oleh Allah adalah amalan yang tetap dilakukan secara konsisten walaupun sedikit.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

ﺃَﺣَﺐُّ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺃَﺩْﻭَﻣُﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﻗَﻞَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan yang kontinyu/istiqamah walaupun itu sedikit.”[1]

Semoga kita bisa konsisten melaksanakan shalat malam, karena shalat malam memiliki banyak keutamaan. Shalat malam merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ

“Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Iapun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari perbuatan dosa.”[2]

Kita mengaku hamba Allah “ibadurrahman”? Allah telah menyebutkan cirinya yaitu melakukan shalat malam.

Allah berfirman,

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺒِﻴﺘُﻮﻥَ ﻟِﺮَﺑِّﻬِﻢْ ﺳُﺠَّﺪًﺍ ﻭَﻗِﻴَﺎﻣًﺎ

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al-Furqaan/25: 64)

Di waktu malam, terutama di sepertiga malam yang terakhir mereka mengerjakan shalat malam dan banyak meminta ampun kepada Rabbnya.

Allah berfirman,

ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻣَﺎ ﻳَﻬْﺠَﻌُﻮﻥَ ﻭَﺑِﺎﻟْﺄَﺳْﺤَﺎﺭِ ﻫُﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻭﻥَ

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat/51: 17-18)

Jika terasa berat maka hendaknya kita melatih diri untuk mengerjakan shalat malam secara bertahap, misalnya:

-Bangun 10 atau 15 menit sebelum subuh lalu mengerjakan shalat malam

-Pilih waktu yang keesokan harinya merupakan hari libur untuk bisa mengerjakan shalat malam

-Jika sangat sulit, bisa shalat witir sebelum tidur dan hal itu termasuk shalat malam

-Jika masih sangat sulit, perbanyak istigfar dan berdoa agar dipermudah

Semoga kita tetap diberi keistiqamahan setelah bulam Ramadhan dan semoga kita disampaikan di bulan Ramadhan berikutnya.

Demikian semoga bermanfaat

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/31453-tetap-melakukan-shalat-malam-setelah-bulan-ramadhan.html

Berdasarkan Hadis, Inilah Amalan-Amalan Sunah di Bulan Syawal

ADA beberapa amalan sunah di bulan Syawal. Anjurannya terdapat dalam hadis dan keterangan para ulama. 

Nah, berikut ini beberapa amalan sunah tersebut:

1. Salat hari raya Idul Fitri (id) di lapangan

Ummu ‘Athiyah mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al Bukhari & Muslim)

2. Puasa sunah 6 hari

Dari Abu Ayyub, bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)

Hanya saja, ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal ini.

Pendapat pertama mengatakan, dianjurkan untuk menjalankan puasa syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarok. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.

Pendapat kedua mengatakan, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah idul fitri. Karena itu adalah hari makan dan minum. Namun sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. (Lathaiful Ma’arif, hlm. 244)

3. I’tikaf

Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.

Dari Aisyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi SAW, kemudian di pagi harinya, Nabi SAW melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)

Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)

4. Menikah

 Aisyah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Ahmad & Muslim)

n Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami (syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182).

Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.

Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah menceritakan hal ini adalah dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini membawa sial.

Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan syawal. (Baca juga: Amalan Idul Fitri, Pahalanya Bisa Seperti Jihad Perang Badar). []



Dia Bagaikan Ibu Bagi Nabi Muhammad

Kita ketahui bersama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggal wafat oleh ibunya saat beliau berusia kurang lebih enam tahun. Di usia kanak-kanak itu, ia diasuh oleh kakek kemudian pamannya. Saat bersama pamannya, Abu Thalib, inilah beliau mendapatkan seseorang yang tampil sebagai seorang pengganti ayahnya dan pengganti ibunya. Pengganti ayahnya adalah sang paman yang begitu menyayangi beliau. Dan pengganti ibunya adalah istri dari Abu Thalib yang juga masih bibi beliau dari sisi nasab. Ia adalah Fatimah binti Asad radhiallahu ‘anha.

Fatimah binti Asad adalah seorang sahabat perempuan yang saat wafat dikafani dengan pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut ini secuplik tentang kisah kehidupannya, radhiallahu ‘anha.

Fatimah binti Asad radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita dengan ketakwaan dan keimanan yang kuat. Ia memeluk Islam di Mekah setelah wafatnya suaminya, Abu Thalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya setelah ia wafat,

رحِمَكِ اللهُ يَا أُمِّي، كُنْتِ أُمِّي بَعْدَ أُمِّي؛ تَجُوعِينَ وَتُشْبِعِينِي ،وَتَعْرَيْنَ وَتُكْسِينِي وَتَمْنَعِينَ نَفْسَكِ طَيِّبًا وَتُطْعِمِينِي تُرِيدِينَ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ وَالدَّارَ الآخِرَةَ

“Semoga Allah merahmatimu hai ibuku. Engkau adalah sosok seorang ibu setelah ibu kandungku. Engkau merasakan lapar untuk membuatku kenyang. Engkau tak berpakaian (baru pen.) agar aku memiliki pakaian. Engkau tahan dirimu dari sesuatu yang baik untuk memberiku makanan. Semua itu kau lakukan berharap wajah Allah dan negeri akhirat.”

Kehidupannya

Nama dan nasabnya adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf al-Qurasyiyyah al-Hasyimiyyah. Ia adalah ibu dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu (Ibnul Atsir: Asadul Ghabah, 7/212). Ibu dari Fatimah adalah Hubba binti Haram bin Rawahah. Juga seorang wanita Quraisy (Ibnu Qutaibah: al-Ma’arif, 1/203).

Fatimah tumbuh besar di masa jahiliyah, di Kota Mekah (az-Zarkali: al-A’lam, 5/130). Ia menikah dengan Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Dari keduanya lahirlah Ali bin Abu Thalib dan saudara-saudaranya. Yaitu: Thalib, Aqil, Ja’far, Jumanah, Ummu Hani’. Semuanya memeluk Islam (Ibnu Qutaibah: al-Ma’arif, 1/203).

Kedudukan lainnya yang dimiliki oleh Fatimah binti Asad adalah wanita Bani Hasyim pertama yang memiliki putra seorang khalifah. Kemudian disusul oleh Fatimah binti Rasulullah. Yang putranya, Hasan bin Ali, juga menjadi seorang khalifah. Lalu Zubaidah, istri Harun al-Rasyid, ibu dari khalifah Abbasiah, al-Amin (Ibnul Atsir: Asadul Ghabah, 7/212). Merekalah wanita-wanita ahlul bait nabi yang melahirkan khalifah.

Memeluk Islam

Fatimah binti Asad memeluk Islam setelah wafatnya suaminya, Abu Thalib. Kemudian ia bersama anak-anaknya hijrah ke Madinah (Ibnul Atsir: Asadul Ghabah, 3/130). Ia juga seorang periwayat hadits. Ada 40 hadits yang ia riwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Umar Ridha Kahhalah: A’lamun Nisa Fi ‘Alamil Arabi wal Islam, 4/33).

Tidak hanya mengandalkan sisi kekerabatan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah juga berusaha menjadi pribadi yang baik. Ia adalah seorang wanita shalihah dan bagus agamanya. Di antara bentuk kedekatan Nabi dengannya adalah Nabi sering mengunjunginya dan tidur siang di rumahnya (Ibnu Hajar: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 8/269).

Wafatnya

Ada yang meriwayatkan bahwa Fatimah binti Asad radhiallahu ‘anha wafat sebelum hijrah. Pendapat ini tentu tidak benar. Yang benar adalah beliau wafat sekitar tahun kelima hijrah (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 9/41).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, tatkala Fatimah Ummu Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anha wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas bajunya dan memakaikannya pada bibinya itu. Nabilah yang membaringkan sang bibi di makamnya. Ketika kuburnya sudah ditimbun, orang-orang bertanya,

يا رسول الله، رأيناك صنعت شيئًا لم تصنعه بأحدٍ، فقال صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي أَلْبَسْتُها قَمِيصِي لِتَلْبَسَ مِنْ ثِيَابِ الْجَنَّةِ، وَاضْطَجَعْتُ مَعَهَا فِي قَبْرِهَا لَيُخَفَّفَ عَنْهَا مِنْ ضَغْطَةِ الْقَبْرِ، إِنَّهَا كَانَتْ أَحْسَنَ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ صَنِيعًا بَعْدَ أَبِي طَالِبٍ».

“Hai Rasulullah, kami lihat Anda melakukan sesuatu yang tidak Anda lakukan kepada orang lain.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku pakaikan untuknya bajuku agar ia memakai pakaian dari surga. Aku masuk ke dalam pembaringannya di kuburnya agar ringan untuknya sempitnya kubur. Sesungguhnya dia adalah makhluk Allah yang paling berbuat baik kepadaku setelah Abu Thalib.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (6935) 7/87).

Dari Anas bin Malik radahillahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala Fatimah bin Asad bin Hasyim Ummu Ali radhiallahu ‘anhuma wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepalanya. Beliau bersabda,

رحِمَكِ اللهُ يا أمِّي كنْتِ أمِّي بعدَ أمِّي تجوعين وتُشْبِعيني وتَعْرَينَ وتُكْسيني وتَمْنعينَ نفسَكِ طيِّبًا وتُطْعِميني تُريدين بذلك وجهَ اللهِ والدَّارَ الآخرةَ»

“Semoga Allah merahmatimu hai ibuku. Engkau adalah sosok seorang ibu setelah ibu kandungku. Engkau merasakan lapar untuk membuatku kenyang. Engkau tak berpakaian (baru pen.) agar aku memiliki pakaian. Engkau tahan dirimu dari sesuatu yang baik untuk memberiku makanan. Semua itu kau lakukan berharap wajah Allah dan negeri akhirat.”

Kemudian beliau perintahkan agar dimandikan tiga kali. Tatkala telah tersedia air yang sudah dicampuri dengan kapur barus, Nabi tuangkan air tersebut dengan tangannya. Kemudian beliau buka bajunya dan dikafankan kepada bibinya. Setelah itu dilapiskan di atasnya kain burdah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin al-Khattab, dan seorang budak laki-laki yang hitam untuk menggalikan makamnya.

Saat kedalaman tanah telah mencapai batas tertentu, Rasulullah sendiri yang menggalikan untuknya. Setelah cukup, Nabi turun ke liang kuburnya dan meletakkan sang bibi di pembaringannya. Beliau berdoa:

اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ اغْفِرْ لِأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Ya Allah Yang Maha menghidupkan dan mematikan. Dialah Allah Yang Maha hidup tidak mengalami kematian. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad. Bimbinglah dia dalam hujahnya (menjawab pertanyaan kubur pen.). Lapangkanlah untuknya liang kuburnya dengan hak nabimu dan para nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”

Beliau menshalatkan bibinya dengan empat kali takbir. Dan memasukkanya ke liang lahad bersama Abbas dan Abu Bakar ash-Shiddiq (Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam Mujma’ az-Zawaid, 9/259. Dalam hadits ini terdapat Ruh bin Shalah. Seorang yang ditsiqatkan oleh Ibnu Hibban. Namun terdapat kedha’ifan padanya. Sementara perwai lainnya adalah rijal yang shahih. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath 12/351 (871), dan Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya, 3/121).

Sumber: https://islamstory.com/ar/artical/3408527/فاطمة-بنت-اسد?fbclid=IwAR2ZbaliY_qJwkYUDoPex-klDwY6gXCuxf5Q_zcQgzlz4vPV2UNCwSmk65I

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6439-dia-bagaikan-ibu-bagi-nabi-muhammad.html

Mengapa Nabi Muhammad Diutus di Arab?

Usia bumi telah tua. Lebih tua dari masa pertama saat Adam dan istrinya, Hawa, menginjakkan kaki di permukaannya. Silih berganti zaman dan keadaan. Manusia yang hidup di atasnya pun bergiliran. Allah utus rasul-rasul untuk mereka. Menyempurnakan fitrah yang telah dibawa. Hingga akhirnya diutus Muhammad bin Abdullah ﷺ di Jazirah Arab.

Lalu timbul pertanyaan, “Mengapa Arab?” “Mengapa tanah gersang dengan orang-orang nomad di sana dipilih menjadi tempat diutusnya Rasul terakhir ini?” Tidak sedikit umat Islam yang bertanya-tanya penasaran tentang hal ini. Mereka berusaha mencari hikmahnya. Ada yang bertemu. Ada pula yang meraba tak tentu arah.

Para ulama mencoba menyebutkan hikmah tersebut. Dan dengan kerendahan hati, mereka tetap mengakui hakikat sejati hanya Allah-lah yang mengetahui. Para ulama adalah orang yang berhati-hati. Jauh lebih hati-hati dari seorang peneliti. Mereka jauh dari mengedepankan egoisme suku dan ras. Mereka memiliki niat, yang insya Allah, tulus untuk hikmah dan ilmu.

Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Fiqh as-Sirah menyebutkan di antara latar belakang diutusnya para rasul, khusunya rasul terakhir, Muhammad ﷺ, di Jazirah Arab adaalah:

Pertama: Jazirah Arab adalah tanah merdeka.

Jazirah Arab adalah tanah merdeka yang tidak memiliki penguasa. Tidak ada penguasa yang memiliki kekuasaan politik dan agama secara absolut di daerah tersebut. Berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lain. Ada yang dikuasai Persia, Romawi, dan kerajaan lainnya.

Kedua: Memiliki agama dan kepercayaan yang beragam.

Mereka memang orang-orang pagan penyembah berhala. Namun berhala mereka berbeda-beda. Ada yang menyembah malaikat. Ada yang menyembah bintang-bintang. Dan ada pula yang menyembah patung –ini yang dominan-.

Patung yang mereka sembah pun bermacam ragam. Setiap daerah memiliki patung jenis tertentu. Keyakinan mereka beragam. Ada yang menolak, ada pula yang menerima.

Di antara mereka juga terdapat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan sedikit yang masih berpegang kepada ajaran Nabi Ibrahim yang murni.

Ketiga: Kondisi sosial yang unik mungkin bisa dikatakan istimewa tatkala itu. Mereka memiliki jiwa fanatik kesukuan (ashabiyah).

Orang Arab hidup dalam tribalisme, kesukuan. Pemimpin masyarakat adalah kepala kabilah. Mereka menjadikan keluarga sendiri yang memimpin suatu koloni atau kabilah tertentu. Dampak positifnya kentara saat Nabi ﷺ memulai dakwahnya. Kekuatan bani Hasyim menjaga dan melindungi beliau dalam berdakwah.

Apabila orang-orang Quraisy menganggu pribadi beliau, maka paman beliau, Abu Thalib, datang membela. Hal ini juga dirasakan oleh sebagian orang yang memeluk Islam. Keluarga mereka tetap membela mereka.

Keempat: Jauh dari peradaban besar.

Mengapa jauh dari peradaban besar merupakan nilai positif? Karena benak mereka belum tercampuri oleh pemikiran-pemikiran lain. Orang-orang Arab yang tinggal di Jazirah Arab atau terlebih khusus tinggal di Mekah, tidak terpengaruh pemikiran luar. Jauh dari ideologi dan peradaban majusi Persia dan Nasrani Romawi. Bahkan keyakinan paganis juga jauh dari mereka. Sampai akhirnya Amr bin Luhai al-Khuza’I kagum dengan ibadah penduduk Syam. Lalu ia membawa berhala penduduk Syam ke Jazirah Arab.

Jauhnya pengaruh luar ini, membuat jiwa mereka masih polos, jujur, dan lebih adil menilai kebenaran wahyu.

Kelima: Secara geografi, Jazirah Arab terletak di tengah dunia.

Memang pandangan ini terkesan subjektif. Tapi realitanya, Barat menyebut mereka dengan Timur Tengah. Geografi dunia Arab bisa berhubungan dengan belahan dunia lainnya. Sehingga memudahkan dalam penyampaian dakwah Islam ke berbagai penjuru dunia. Terbukti, dalam waktu yang singkat, Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ke Eropa dan Amerika.

Keenam: Mereka berkomunikasi dengan satu Bahasa yaitu bahasa Arab.

Jazirah Arab yang luas itu hanya memiliki satu bahasa untuk komunikasi di antara mereka, yaitu Bahasa Arab. Adapun wilayah-wilayah lainnya memiliki banyak bahasa. Saat itu, di India saja sudah memiliki 15 bahasa resmi (as-Sirah an-Nabawiyah oleh Abu al-Hasan an-Nadawi, Cet. Jeddah: Dar asy-Syuruq. Hal: 22).

Bayangkan seandainya di Indonesia, masing-masing daerah berbeda bahasa, bahkan sampai ratusan bahasa. Komunikasi akan terhambat dan dakwah sanag lambat tersebar karena kendala bahasa saja. Dalam waktu yang lama, dakwah Islam mungkin belum terdengar ke belahan dunia lainnya karena disibukkan dengan kendala ini.

Ketujuh: Banyaknya orang-orang yang datang ke Mekah.

Mekah telah menjadi tempat istimewa sejak masa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam. Oleh karena itu, banyak utusan dari wilayah Arab lainnya datang ke sana. Demikian juga jamaah haji. Pedagang. Para ahli syair dan sastrawan. Keadaan ini mempermudah untuk menyebarkan risalah kenabian. Mereka datang ke Mekah, lalu kembali ke kampung mereka masing-masing dengan membawa berita risalah kerasulan.

Kedelapan: Faktor penduduknya.

Ibnu Khladun membagi bumi ini menjadi tujuh bagian. Bagian terjauh adalah kutub utara dan selatan. Inilah bagian yang ia sebut dengan bagian satu dan tujuh. Kemudian ia menyebutkan bagian dua dan enam. Kemudian bagian tiga dan lima. Kemudian menunjuk bagian keempat sebagai pusatnya. Ia tunjuk bagian tersebut dengan mengatakan, “wa sakanaha (Arab: وسكانها).

Penduduk Arab adalah orang-orang yang secara fisik proporsional; tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Tidak terlalu besar dan tidak kecil. Demikian juga warna kulitnya. Serta akhlak dan agamanya. Sehingga kebanyakan para nabi diutus di wilayah ini. Tidak ada nabi dan rasul yang diutus di wilayah kutub utara atau selatan. Para nabi dan rasul secara khusus diutus kepada orang-orang yang sempurna secara jenis (tampilan fisik) dan akhlak. Kemudian Ibnu Khaldun berdalil dengan sebuah ayat:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali Imran: 110). (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Cet. Bairut: Dar al-Kitab al-Albani. Hal: 141-142).

Karena pembicaraan pertama dalam ayat tersebut ditujukan kepada orang Arab, yakni para sahabat. Kemudian barulah umat Islam secara umum.

Secara realita, kita juga meyakini, memang ada bangsa yang unggul secara fisik. Contohnya ras Mongoloid. Sebuah istilah yang pernah digunakan untuk menunjuk karakter umum dari sebagian besar penghuni Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Oseania. Memiliki ciri mata sipit, lebih kecil, dan lebih pendek dari ras Kaukasoid.

Ras Kaukasoid adalah karakter umum dari sebagian besar penghuni Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, Pakistan dan India Utara. Walaupun penelitian sekarang telah merubah steorotip ini. Namun hal ini bisa kita jadikan pendekatan pemahaman, mengapa Ibnu Khladun menyebut Timur Tengah sebagai “sakanaha”.

Artinya ada fisik yang lebih unggul. Mereka yang sipit ingin mengubah kelopak mata menjadi lebih lebar. Mereka yang pendek ingin lebih tinggi. Naluri manusia menyetujui bahwa Kaukasia lebih menarik. Atau dalam bahasa lain lebih unggul secara fisik.

Namun Allah Ta’ala lebih hikmah dan lebih jauh kebijaksanaannya dari hanya sekadar memandang fisik. Dia lengkapi orang-orang Kaukasia yang ada di Timur Tengah dengan perangai yang istimewa. Hal ini bisa kita jumpai di buku-buku sirah tentang karakter bangsa Arab pra-Islam. Mereka jujur, polos, berkeinginan kuat, dermawan, dll. Kemudian Dia utus Nabi-Nya, Muhammad ﷺ di sana.

Mudah-mudahan bermanfaat…

Daftar Pustaka:
– Az-Zaid, Zaid bin Abdul Karim. 1424 H. Fiqh as-Sirah. Riyadh: Dar at-Tadmuria.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5006-mengapa-nabi-muhammad-diutus-di-arab.html

Mall dan Pasar Dibuka, Mengapa Masjid Ditutup?

Akhir-akhir ini, kita dapat ungkapan kekecewaan sebagian kaum muslimin yang merasa “terkhianati” ketika mereka sudah patuh dengan himbauan pemerintah untuk tidak shalat di masjid dan shalat di rumah. Karena di sisi lain, menurut mereka, ketegasan itu hanya berlaku untuk masjid, dan tidak untuk tempat yang lainnya, misalnya pasar, mall, atau tempat-tempat umum lainnya. Sebagian mereka bahkan menuduh bahwa himbauan menutup masjid itu hanyalah “akal-akalan” untuk menghambat aktivitas ibadah umat Islam. Dan sebagian pun kemudian berusaha membuka masjid kembali untuk beraktivitas, yang nampaknya mereka menganggap ini sebagai “pembalasan” atas ketidak-tegasan aturan tersebut.

Tulisan singkat ini kami tujukan bagaimanakah kita menyikapi hal tersebut dengan bijaksana, sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah syariat. 

Pemimpin adalah cerminan dari rakyat yang dipimpin

Satu hal yang patut menjadi renungan kita semua adalah sunnatullah yang berlaku bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyat yang dipimpin. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amal rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka penguasa mereka juga akan lurus. Jika rakyat adil, maka penguasa mereka juga akan adil. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan ikut berbuat zhalim.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1: 253).

Oleh karena itu, jika kita menginginkan seorang pemimpin yang amanah, jadilah rakyat yang amanah. Jika kita menginginkan sosok pemimpin yang adil, jadilah rakyat yang adil dan tidak zhalim. 

Kalau pun kita melihat pemimpin kita memiliki kesalahan, misalnya tidak tegas dalam mengambil kebijakan, kita pun memiliki ruang untuk memberikan nasihat. Kita pun bersyukur kepada Allah Ta’ala bahwa di negeri ini, masih banyak para ulama yang memberikan nasihat di masa wabah ini ketika mungkin pemerintah sedang berpikir atau menimbang-nimbang untuk mengambil keputusan tertentu. 

Hal ini sebagai realisasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama adalah nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)

Pemimpin dan rakyat, masing-masing memiliki kewajiban sendiri-sendiri

Seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk mengambil suatu kebijakan yang paling mendatangkan kebaikan (maslahat) untuk rakyatnya. Seorang pemimpin tidak boleh mengambil kebijakan atas dasar suka-suka, tanpa ada pertimbangan yang jelas dan matang, atau semaunya sendiri, atau bahkan demi menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan rakyat banyak. 

Hal ini sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqh yang masyhur,

التصرف في أمور الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan (pemimpin) yang berkaitan dengan urusan rakyat, harus dikaitkan dengan maslahat”.

Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu mati dalam keadaan tidak menginginkan kebaikan untuk rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142).

Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam hafidzahullah berkata,

“Kebijakan seorang pemimpin dan siapa saja yang diberi kewenangan untuk mengatur urusan kaum muslimin, maka (setiap kebijakan atau keputusan yang diambil) wajib dibangun dan ditujukan untuk mewujudkan maslahat (kebaikan) bagi masyarakat secara umum. Jika tidak, maka tidak sah secara syariat.” (Taudhiihul Ahkaam, 1: 61)

Beliau hafidzahullah juga berkata,

“Wajib atas pemimpin untuk memperhatikan kebijaksanaan yang terbaik untuk mewujudkan maslahat masyarakat secara umum.” (Taudhiihul Ahkaam, 1: 61-62)

Inilah kewajiban seorang pemimpin yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat.

Adapun rakyat, mereka memiliki kewajiban untuk taat kepada pemimpinnya, selama tidak memerintahkan maksiat. Allah Ta’ala befirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Jika ada kebijakan pemimpin yang tidak disukai oleh rakyat, maka syariat memerintahkan kita untuk bersabar. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)

Jika pemimpun berbuat salah dan zhalim, bukan berarti hal itu adalah pembenaran bagi rakyat untuk membalas berbuat salah dan zhalim. Karena masing-masing pihak akan mempertanggungjawabkan apakah dia sudah menunaikan kewajibannya masing-masing ataukah belum. Sehingga kewajiban kita adalah tetap patuh dengan aturan pemerintah tersebut, meskipun mungkin di sisi lain ada warga negara lainnya yang tidak patuh, atau mungkin pemerintah sendiri yang kurang tegas menegakkan aturan. Karena sekali lagi, masing-masing kita akan diminta pertanggungjawaban atas kewajiban kita masing-masing dan kita tidak akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat oleh pihak lain, termasuk pemerintah. 

Salamah bin Yazid Al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟

“Wahai Nabi Allah, apa pendapatmu ketika berkuasa atas kami seorang penguasa yang mereka meminta kepada kami untuk menunaikan hak mereka (penguasa), namun mereka tidak mau menunaikan hak kami. Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya, kemudian sang penanya pun bertanya lagi (ke dua kali), namun Nabi tetap berpaling. Sang penanya kemudian bertanya lagi untuk kali ke tiga, kemudian dia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu. 

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat. Sesungguhnya kewajiban atas mereka (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada mereka (penguasa) dan menjadi kewajiban kalian (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada kalian (rakyat).” (HR. Muslim no. 1846)

Hadits di atas jelas memberikan tuntunan jika pemerintah berbuat kesalahan, itu bukan pembenaran bagi rakyat untuk ikut-ikutan berbuat salah dan zhalim.

Para ahli kesehatan dan juga dikuatkan dengan himbauan pemerintah sudah menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 ini bisa segera diakhiri dengan kedisiplinan kita mematuhi aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), physical distancing, menghindari kerumunan massa termasuk dengan menutup masjid, rajin mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan tindakan-tindakan pencegahan lainnya. 

Kedisiplinan kita, bukan hanya untuk menyelamatkan diri kita sendiri, namun juga orang lain. Kita pun tidak ingin apabila masjid dan Islam secara umum terkena fitnah dan cacian dengan adanya berita viral atau temuan “cluster COVID-19 dari Masjid X” atau “cluster COVID-19 dari Masjid Y”, seolah-olah agama Islam yang mulia dan sempurna ini tidak memiliki panduan dan tuntunan bagi umatnya tentang bagaimanakah mencegah dan menghindar dari wabah.

Kita sebagai kaum muslimin haruslah bisa memberi teladan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang mungkin tidak taat dan patuh terhadap aturan PSBB. Sedikit usaha kita tersebut semoga memberikan keteladanan tersebut, yang bisa jadi dengan sebab itulah Allah Ta’ala segera mengangkat wabah ini di tengah-tengah negeri kaum muslimin dan negeri-negeri lainnya secara umum. Sebagaimana dulu ada wabah SARS-CoV tahun 2002-2003 yang bisa diatasi -alhamdulillah- dengan kedisiplinan penduduk negeri-negeri yang terdampak untuk menerapkan isolasi, karantina, PSBB, lockdwon, atau usaha-usaha pencegahan lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56745-mall-dan-pasar-dibuka-mengapa-masjid-ditutup.html

Hadist Qudsi : Manusia hanya Berusaha, Allah yang Memenuhi Segalanya

Dalam Hadist Qudsi-Nya, Allah berfirman, “Wahai Anak Adam, engkau lah yang mengisi (buku catatan amalmu) dan Aku yang mencatatnya.

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ -١٠- كِرَاماً كَاتِبِينَ -١١- يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ -١٢-

“Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Infithar 10-12)

هَذَا كِتَابُنَا يَنطِقُ عَلَيْكُم بِالْحَقِّ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ -٢٩-

(Allah Berfirman), “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Kami telah Menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Jatsiyah 29)

يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا -٤٩-

 “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” (Al-Kahf 49)

Engkau lah yang bersyukur, nanti Aku yang akan menambah.

لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ -٧-

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan Menambah (nikmat) kepadamu.” (Ibrahim 7)

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ -٣٠-

“Agar Allah Menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan Menambah karunia-Nya.” (Fathir 30)

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ-٢٦-

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus 26)

Engkau lah yang berusaha, nanti Aku yang akan memenuhinya.

وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ -٦-

“Dan barangsiapa berusaha, maka sesungguhnya usahanya itu untuk dirinya sendiri.” (Al-Ankabut 6)

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا -٦٩-

“Dan orang-orang yang berusaha untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut 69)

جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ -١٧-

 “Sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah 17)

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى -٣٩- وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى -٤٠- ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاء الْأَوْفَى -٤١-

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (An-Najm 39-41)

Engkau lah yang bersabar, nanti Aku yang akan membalas (kesabaranmu).

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ -١٠-

“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Az-Zumar 10)

وَجَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيراً -١٢-

“Dan Dia Memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera.” (Al-Insaan 12)

Engkau lah yang meminta, nanti Aku yang akan memberi.

وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ -٣٢-

“Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (An-Nisa’ 32)

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ -٣٤-

“Dan Dia telah Memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya.” (Ibrahim 34)

*Walaupun dalam Hadist Qudsi lain Allah telah memberi hamba-Nya sebelum meminta.

Engkau lah yang bertaubat, nanti Aku yang akan menerima (taubat itu).

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ -٢٥-

“Dan Dia-lah yang Menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.” (As-Syuro 15)

غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ -٣-

“Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat.” (Ghofir 3)

أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ -١٠٤-

“Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah Menerima tobat hamba-hamba-Nya.” (At-Taubah 104)

Engkau lah yang berdoa, nanti Aku yang akan mengabulkan.”

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ  -٦٠-

Dan Tuhan-mu Berfirman, ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan untukmu.” (Ghofir 60)

وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ -٢٦-

“Dan Dia Mengabulkan (doa) orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan.” (As-Syura 26)

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ -٦٢-

“Bukankah Dia (Allah) yang Mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan Menghilangkan kesusahan.” (An-Naml 62)

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ -١٨٦-

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (Al-Baqarah 186).

KHAZANAH ALQURAN

Mengapa Arah Kiblat Dipindahkan?

PERISTIWA perpindahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab tahun ke-12 pasca Hijrah. Saat Rasulullah melaksanakan shalat Dzuhur kemudian turun wahyu untuk memindahkan arah kiblat. Maka dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi sempat shalat dua rakaat menghadap Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa) dan dua rakaat berikutnya menghadap Ka’bah, di masjidil Haram.

Wahyu yang turun tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 144, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah:144)

Makna Perpindahan Kiblat

Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah shalat dan menghadap ke Masjid al-Aqsha (Palestina), hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan.

Ketika itu, kondisi Masjid al-Haram (Kabah) yang merupakan tempat keberangkatan Isra’ dan Mi’raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Sehingga, di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunai kan ibadah shalat di tempat tersebut.

Selain itu, jika Rasulullah SAW saat itu melaksanakan shalat dengan menghadap ke Masjid al-Haram tentu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir quraisy, bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (al-Aqsha).

Dalam surah Al Baqarah ayat 142, Allah SWT menjelaskan mengapa perpindahan kiblat itu dilakukan.

Orang-orang sufaha diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.

Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan mengenai tafsir ayat ini :

Yang dimaksud dengan sufaha ialah kaum musrik Arab, para pendeta Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu Rasulullah saw. Disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Mekkah, beliau shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka`bah berada dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah beliau hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Kemudian mereka berselisih, apakah perintah itu melalui Al-Qur`an atau melalui yang lainnya? Para ulama terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi saw.

Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah Nabi saw. Tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka`bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memenuhi doanya dan diperintahkan menghadap ke Ka`bah. Maka Nabi saw. Memberitahukan hal itu kepada Khalayak. Shalat pertama yang menghadap Ka`bah adalah shalat ashar, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadits al-Barra` r.a. (137), “Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka`bah. Shalat pertama menghadap Ka`bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang. Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid lainnya yang ternyata sedang ruku`. Dia berkata, Aku bersaksi dengan nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw sambil menghadap ke Mekkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah”. Menurut Nasa`I shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani Salamah. Dalam hadits Nuwailah binti Muslim dikatakan (138), “Bahwa sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, “Maka jama`ah laki-laki bertukar tempat dengan jama`ah perempuan (untuk menyesuaikan posisi).”

Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Kuba pada saat shalat fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata (139), “Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Al-Qur`an kepada Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka`bah, maka menghadaplah kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka mereka pun berputar menghadap Ka`bah. Hadits ini mengandung dalil bahwa keterangan yang menasakh tidak dapat ditetapkan hukumnya kecuali setelah diketahui, meskipun telah lama turun dan disampaikan. Karena mereka tidak disuruh mengulangi shalat ashar, maghrib dan isya. Wallahu a`lam.

Tatkala ini terjadi, timbullah pada sebagian kaum musyrik, munafiqin, dan ahli kitab keraguan, penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan meragukan kejadian.

Mereka berkata, “Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?” Yakni, apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke Ka`bah?

Maka Allah menurunkan ayat
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah.” (QS. Al Baqarah (2) : 115)

Yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, “Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah” dan “Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ketimur atau kebarat, namun kebaktian itu dengan berimannya seseorang kepada Allah.”

Yakni kemanapun Allah mengarahkan kita, maka kesanalah kita menghadap. Karena kesempurnaan ketaatan itu adalah dengan menjalankan berbagai perintah-Nya walaupun setiap hari Allah mengarahkan kita ke berbagai arah. Karena kita adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan-Nya. Di antara perhatian-Nya yang besar terhadap umat Muhammad ialah Dia menunjukkan mereka ke kiblat al-Khalil Ibrahim a.s. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Katakanlah, Kepunyaan Allahlan timur dan barat, Dia menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)

Dapat ditarik hikmah:

Perpindahan kiblat tersebut adalah dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka’bah itu menjadi tujuan, tetapi wujud berserah diri kepada Allah bukan untuk menyembah ka’bah seperti yang difitnahkan para pecundang pembenci Islam. Mereka menuduh muslim menyembah ka’bah dan Allah hanya ada di sana.

Ka’bah merupakan pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat. Sama seperti al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Ini adalah menunjukkan sangat pentingnya persatuan umat Islam.

Menghadap kiblat adalah wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah karena memang diperintahkan demikian. Kemanapun arah diperintahkan, maka wajib melaksanakannya sehingga menjadi salah satu syarat syahnya sholat. []

Sumber: mediabilhikmah/ISLAMPOS