Mall dan Pasar Dibuka, Mengapa Masjid Ditutup?

Akhir-akhir ini, kita dapat ungkapan kekecewaan sebagian kaum muslimin yang merasa “terkhianati” ketika mereka sudah patuh dengan himbauan pemerintah untuk tidak shalat di masjid dan shalat di rumah. Karena di sisi lain, menurut mereka, ketegasan itu hanya berlaku untuk masjid, dan tidak untuk tempat yang lainnya, misalnya pasar, mall, atau tempat-tempat umum lainnya. Sebagian mereka bahkan menuduh bahwa himbauan menutup masjid itu hanyalah “akal-akalan” untuk menghambat aktivitas ibadah umat Islam. Dan sebagian pun kemudian berusaha membuka masjid kembali untuk beraktivitas, yang nampaknya mereka menganggap ini sebagai “pembalasan” atas ketidak-tegasan aturan tersebut.

Tulisan singkat ini kami tujukan bagaimanakah kita menyikapi hal tersebut dengan bijaksana, sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah syariat. 

Pemimpin adalah cerminan dari rakyat yang dipimpin

Satu hal yang patut menjadi renungan kita semua adalah sunnatullah yang berlaku bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyat yang dipimpin. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amal rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka penguasa mereka juga akan lurus. Jika rakyat adil, maka penguasa mereka juga akan adil. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan ikut berbuat zhalim.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1: 253).

Oleh karena itu, jika kita menginginkan seorang pemimpin yang amanah, jadilah rakyat yang amanah. Jika kita menginginkan sosok pemimpin yang adil, jadilah rakyat yang adil dan tidak zhalim. 

Kalau pun kita melihat pemimpin kita memiliki kesalahan, misalnya tidak tegas dalam mengambil kebijakan, kita pun memiliki ruang untuk memberikan nasihat. Kita pun bersyukur kepada Allah Ta’ala bahwa di negeri ini, masih banyak para ulama yang memberikan nasihat di masa wabah ini ketika mungkin pemerintah sedang berpikir atau menimbang-nimbang untuk mengambil keputusan tertentu. 

Hal ini sebagai realisasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama adalah nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)

Pemimpin dan rakyat, masing-masing memiliki kewajiban sendiri-sendiri

Seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk mengambil suatu kebijakan yang paling mendatangkan kebaikan (maslahat) untuk rakyatnya. Seorang pemimpin tidak boleh mengambil kebijakan atas dasar suka-suka, tanpa ada pertimbangan yang jelas dan matang, atau semaunya sendiri, atau bahkan demi menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan rakyat banyak. 

Hal ini sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqh yang masyhur,

التصرف في أمور الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan (pemimpin) yang berkaitan dengan urusan rakyat, harus dikaitkan dengan maslahat”.

Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu mati dalam keadaan tidak menginginkan kebaikan untuk rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142).

Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam hafidzahullah berkata,

“Kebijakan seorang pemimpin dan siapa saja yang diberi kewenangan untuk mengatur urusan kaum muslimin, maka (setiap kebijakan atau keputusan yang diambil) wajib dibangun dan ditujukan untuk mewujudkan maslahat (kebaikan) bagi masyarakat secara umum. Jika tidak, maka tidak sah secara syariat.” (Taudhiihul Ahkaam, 1: 61)

Beliau hafidzahullah juga berkata,

“Wajib atas pemimpin untuk memperhatikan kebijaksanaan yang terbaik untuk mewujudkan maslahat masyarakat secara umum.” (Taudhiihul Ahkaam, 1: 61-62)

Inilah kewajiban seorang pemimpin yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat.

Adapun rakyat, mereka memiliki kewajiban untuk taat kepada pemimpinnya, selama tidak memerintahkan maksiat. Allah Ta’ala befirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Jika ada kebijakan pemimpin yang tidak disukai oleh rakyat, maka syariat memerintahkan kita untuk bersabar. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)

Jika pemimpun berbuat salah dan zhalim, bukan berarti hal itu adalah pembenaran bagi rakyat untuk membalas berbuat salah dan zhalim. Karena masing-masing pihak akan mempertanggungjawabkan apakah dia sudah menunaikan kewajibannya masing-masing ataukah belum. Sehingga kewajiban kita adalah tetap patuh dengan aturan pemerintah tersebut, meskipun mungkin di sisi lain ada warga negara lainnya yang tidak patuh, atau mungkin pemerintah sendiri yang kurang tegas menegakkan aturan. Karena sekali lagi, masing-masing kita akan diminta pertanggungjawaban atas kewajiban kita masing-masing dan kita tidak akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat oleh pihak lain, termasuk pemerintah. 

Salamah bin Yazid Al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟

“Wahai Nabi Allah, apa pendapatmu ketika berkuasa atas kami seorang penguasa yang mereka meminta kepada kami untuk menunaikan hak mereka (penguasa), namun mereka tidak mau menunaikan hak kami. Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya, kemudian sang penanya pun bertanya lagi (ke dua kali), namun Nabi tetap berpaling. Sang penanya kemudian bertanya lagi untuk kali ke tiga, kemudian dia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu. 

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat. Sesungguhnya kewajiban atas mereka (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada mereka (penguasa) dan menjadi kewajiban kalian (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada kalian (rakyat).” (HR. Muslim no. 1846)

Hadits di atas jelas memberikan tuntunan jika pemerintah berbuat kesalahan, itu bukan pembenaran bagi rakyat untuk ikut-ikutan berbuat salah dan zhalim.

Para ahli kesehatan dan juga dikuatkan dengan himbauan pemerintah sudah menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 ini bisa segera diakhiri dengan kedisiplinan kita mematuhi aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), physical distancing, menghindari kerumunan massa termasuk dengan menutup masjid, rajin mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan tindakan-tindakan pencegahan lainnya. 

Kedisiplinan kita, bukan hanya untuk menyelamatkan diri kita sendiri, namun juga orang lain. Kita pun tidak ingin apabila masjid dan Islam secara umum terkena fitnah dan cacian dengan adanya berita viral atau temuan “cluster COVID-19 dari Masjid X” atau “cluster COVID-19 dari Masjid Y”, seolah-olah agama Islam yang mulia dan sempurna ini tidak memiliki panduan dan tuntunan bagi umatnya tentang bagaimanakah mencegah dan menghindar dari wabah.

Kita sebagai kaum muslimin haruslah bisa memberi teladan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang mungkin tidak taat dan patuh terhadap aturan PSBB. Sedikit usaha kita tersebut semoga memberikan keteladanan tersebut, yang bisa jadi dengan sebab itulah Allah Ta’ala segera mengangkat wabah ini di tengah-tengah negeri kaum muslimin dan negeri-negeri lainnya secara umum. Sebagaimana dulu ada wabah SARS-CoV tahun 2002-2003 yang bisa diatasi -alhamdulillah- dengan kedisiplinan penduduk negeri-negeri yang terdampak untuk menerapkan isolasi, karantina, PSBB, lockdwon, atau usaha-usaha pencegahan lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56745-mall-dan-pasar-dibuka-mengapa-masjid-ditutup.html

Masjid Ditutup Karena Wabah

Sejarah Islam dahulu menjelaskan bahwa masjid dahulu pernah ditutup karena ada wabah. Ini berarti tidak ada shalat berjamaah dan shalat jumat. Adz-Zahabi menceritakan,

وكان القحط عظيما بمصر وبالأندلس وما عهد قحط ولا وباء مثله بقرطبة حتى بقيت المساجد مغلقة بلا مصل وسمي عام الجوع الكبير

“Dahulu terjadi musim paceklik besar-besaran di Mesir dan Andalus,  kemudian terjadi juga paceklik dan wabah di Qordoba sehingga masjid-masjid ditutup dan tidak ada orang yang shalat. Tahun itu dinamakan tahun kelaparan besar.” [Siyar A’lam An-Nubala 18/311]

Sebagaimana kita ketahui bahwa wabah itu penyakit yang menular dengan sangat cepat. Lebih cepat menular apabila berada pada manusia dengan kumpulan massa yang banyak. Oleh karena itu para ulama sejak dahulu maupun sekarang telah menfatwakan bolehnya tidak shalat berjamaah dan tidak shalat Jumat di masjid apabila ada udzur syar’iy dan sesuai arahan ulil amri, para ulama (ustadz) atau ahli kesehatan setempat. (catatan penting: kebijaksanaan tidak shalat berjamaah dan tidak shalat jumat, dikembalikan lagi ke daerah masing-masing karena setiap daerah berbeda-beda keadaannya)

Hal ini berdasarkan kaidah fikh bahwa mencegah madharat didahulukan daripada mendatangkan mashalat. 

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.”

Demikian juga kaidah bahwa yang namanya bahya itu harus dihilangkan,

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

 (Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)

Mencegah wabah yang sudah pasti menyebar dan berbahaya tentu harus didahulukan daripada mendatangkan mashalat yaitu mendapatkan pahala shalat berjamaah.

Salah satu dalil yang dibawa ulama bolehnya tidak shalat berjamaah adalah terlarangnya seseorang hadir shalat berjamaah ke masjid karena bau bawang putih yang akan menganggu orang yang shalat. Haditsnya sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: ” مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسَاجِدَنَا، حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا، يَعْنِي الثُّومَ “

Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Barangsiapa yang memakan sayuran ini, maka janganlah mendekati masjid kami hingga hilang baunya” – yaitu bawang putih [HR. Muslim no. 561].

 Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan bahwa bau bawang putih dapat diqiyaskan dengan orang yang punya pengakit kusta yang menular, bahkan penyakit kusta lebih berbahaya daripada bau bawang putih. Terlebih ada wabah yang menular dengan cepat dan kita tidak tahu siapa saja yang menularkan. Beliau berkata,

أو عاهة مؤذية كالجذام وشبهه وكل ما يتأذى به الناس إذا وجد في أحد جيران المسجد وأرادوا إخراجه عن المسجد وإبعاده عنه كان ذلك لهم 

” Atau memiliki penyakit berbahaya seperti kusta dan semisalnya. Setiap hal yang mengganggu manusia apabila ada pada seseorang di masjid lalu mereka ingin mengeluarkan dan menjauhkannya dari masjid, maka mereka berhak melakukanitu.” [At-Tamhiid, 6/422-423].

Fatwa ulama kontemporer saat ini bolehnya shalat berjamaah di masjid cukup banyak. misalnya fatwa Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily dari laman twitter beliau,

إذا وجد فيروس الكورونا في المنطقة أو منعت الدولة من التجمعات جاز تعطيل الجمعة والجماعة ويرخص للناس في الصلاة في بيوتهم ويصلون جماعة بأهل بيوتهم

“Apabila ada virus korona di suatu tempat dan dilarang oleh negara untuk berkumpul (dengan jumlah massa), maka boleh meniadakan shalat jumat dan shalat berjamaah. Manusia mendapat rukhshah shalat di rumah mereka bersama kelurarga.” [https://twitter.com/solyman24]

Demikian juga fatwa MUI tentang hal ini. Silahkan baca [https://mui.or.id/berita/27675/mui-putuskan-fatwa-penyelenggaraan-ibadah-dalam-situasi-terjadi-wabah-covid-19/]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55384-masjid-ditutup-karena-wabah.html