Hakikat Pemberian Menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Kitab Arbain Fi Ushuluddin mengulas tentang memelihara atau menjaga pemberian kepada orang lain, agar pemberian mendapatkan keutamaan dan pahala dari Allah. Baik pemberian itu berupa zakat, sedekah, atau yang lainnya.

Imam Al-Ghazali menegaskan:

فاعلم أن إنفاق المال في الخيرات أحد أركان الدين؛ وإنما سر التكليف به بعدما يرتبط به من مصالح البلاد والعباد، وسد الخلات والفاقات

Artinya: “Ketahuilah bahwasanya menginfakkan harta di jalan kebaikan merupakan salah satu dari tiang agama, dan bahwasanya hikmah dari diperintahkannya menginfakkan harta tersebut hanya setelah adanya hubungan harta tersebut dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan kemaslahatan negara, masyarakat, pemenuhan kebutuhan dan menolong orang yang membutuhkan.

Selanjutnya Imam Al-Ghazali menuturkan, kita harus menjaga lima perkara di saat kita memberi sesuatu kepada orang lain. Adapun uraiannya sebagai berikut:

Pertama, samarkan pemberianmu. Pemberian secara samar akan memadamkan murka Allah. Orang yang memberi sesuatu kepada orang lain secara terang-terangan akan menimbulkan sifat riya’ atau ingin dipuji oleh orang lain. Jika pemberian secara terang-terangan akan menimbulkan sifat riya’ sebaiknya pemberian dilakukan secara samar. Allah berfirman:

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.(QS. Al Baqarah: 271)

Kedua, Jangan mengungkit-ungkit pemberianmu. Hakikat mengungkit-ungkit pemberian adalah merasa berbuat baik kepada orang lain, dan mengharapkan ucapan terima kasih dari orang lain. Adapun obat mengungkit-ungkit pemberian, yaitu, harus beranggapan bahwa orang lain telah berbuat baik kepadamu, karena ia bisa menerima pemberianmu, dan menerima hak Allah lewat perantara hartamu.

Ketiga, pemberian dari barang yang  bagus. Harta yang diberikan kepada orang lain harus dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram. Pemberian barang bagus menunjukkan derajat kecintaan kepada Allah. Jika kita cinta kepada Allah, maka akan memberikan atau mempersembahkan dengan sesuatu yang paling bagus.

Keempat, memberi dengan muka yang senang atau gembira. Ketika kamu memberi sesuatu kepada orang lain jangan sampai disertai dengan kemarahan atau merasa bersedih. Pemberian yang sedikit disertai dengan rasa riang gembira, itu lebih baik dari pada pemberian yang banyak dengan disertai kemarahan atau kesedihan.

Kelima, memilih orang yang menerima pemberian. Pemberian harus tepat sasaran, memberi kepada ahli maksiat, maka akan ia gunakan untuk bermaksiat. Oleh karena itu, pemberian lebih diutamakan kepada orang-orang yang bertakwa atau orang-orang saleh, supaya pemberian digunakan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam bissawab.

ALIF

Memahami Konsep Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan merupakan sebuah gagasan yang menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang universal di atas perbedaan agama. Gagasan ini berpendapat bahwa semua manusia, terlepas dari agamanya, memiliki nilai dan martabat yang sama. Nah berikut penjelasan lanjut dari konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan.

Di tengah konflik peperangan Palestina dan Israel banyak dari kalangan umat tentu yang tentu tak hanya umat Islam menyerukan perdamaian, hal ini tidak terlepas dari hak asasi kemanusiaan atau yang dikenal dengan HAM, mengapa demikian karena apa yang terjadi di tanah Palestina khususnya Gaza mengalami krisis kemanusiaan, banyak dari penduduk palestina baik anak kecil wanita bahkan orang tua terbunuh sebab bom-bom gempuran tentara Israel.

Menjadi manusia yang memanusiakan manusia sudah memang diserukan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat Al-Hujurat ayat 13;

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya; “Wahai manusia! sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat ayat 13).

Konsep Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Kemanusian sebelum keberagamaan menjadi penting dibahas agar tidak salah paham tentang slogan atau konsep tersebut. karena banyak orang yang turut bersuara tentang konsep tersebut kurang memahami kehendak dari konsep itu sendiri. sehingga mengira bahwa agama berada di klister kedua setelah manusia, padahal tidak demikian pemahamannya. 

Habib Ali Al-Jufri juga memiliki pemikiran tentang pentingnya kemanusiaan sebelum keberagamaan. Habib Ali di dalam bukunya yang berjudul Al-Insaniyyah qabla Al-Din yang kemudian diterjemahkan menjadi Kemanusiaan sebelum Keberagamaan, beliau berpendapat bahwa agama tetap nomor satu. Namun Habib Ali ingin membedakan antara agama dengan pandangan dan sikap keberagamaan yaitu Religion dan Religiolity.

Jadi pada dasarnya konsep kemanusiaan dan keberagamaan adalah berkutat di dalam cara kita bersikap, sehingga tak salah jika bersikap peduli antar manusia itu lebih di dahulukan dari pada bersikap persoalan agama, karena sudah menjadi hal yang pasti bahwa Al-Qur’an dan Hadits itu benar dan suci, sedangkan pandangan dan sikap kita soal agama belum tentu benar apalagi suci.

Contoh mudahnya adalah banyak orang yang membela dan seolah memperjuangkan agama, padahal boleh jadi yang mereka bela adalah sikap dan pandangan tentang agamanya. Pemikiran tersebut adalah buah dari kegagalan paham dari berbedanya agama dan keberagamaan. 

Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, karena kegagalan memisahkan agama dan keberagamaan akan membuat apa yang kita pahami dari kitab suci seolah dianggap sama mutlaknya dengan kebenaran kitab suci itu sendiri. 

Sehingga hal inilah yang menjadi alasan mengapa kemanusiaan lebih didahulukan dari keberagamaan, karena sudah pasti sikap berkemanusiaan akan berpusat pada sudut pandang yang sama yaitu kesejahteraan manusia, berbeda dengan keberagamaan yang kadang lebih mengutamakan kelompok sendiri sehingga apa yang berbeda dengan kelompoknya seolah mutlak salah.

Demikian penjelasan mengenai konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Keagungan Masjidil Aqsa: Sejarah Suci dan Simbol Spiritualitas Umat

Masjidil Aqsa, terletak di Kota Tua Al-Quds (Baitul Maqdis) atau Yerusalem, Palestina. Ia bukan sekedar sebuah bangunan suci bagi umat Islam, tetapi juga sebuah tempat yang sarat dengan sejarah dan nilai-nilai spiritual. Dalam pandangan umat Islam, masjidil Aqsa merupakan masjid kedua yang dibangun setelah masjidil haram dengan jarak 40 tahun berdasarkan hadist Nabi.

Para ulama sebagian mengatakan bahwa pembangunan Masjidil Aqsa pertama kali dilakukan oleh malaikat yang menggariskan dan menentukan lokasinya. Mayoritas ulama mengatakan orang yang pertama kali membangun masjid tersebut adalah Nabi Adam. Nabi Ibrahim kemudian merenovasi dan meninggikannya seperti yang dilakukan terhadap bangunan Kakbah.

Ada pula sejarah yang mencatat, bangunan masjid pertama kali dibangun oleh Nabi Sulaiman putra Nabi Daud dalam wilayah kerajaannya. Peristiwa ini diperkirakan pada tahun 950 tahun SM dan bertahan hingga 370 tahun sebelum bangsa Babilonia merobohkan bangunan tersebut.

Keterkaitan Sejarah Masjidil Aqsa dengan Islam

Masjidil Aqsa memiliki tempat istimewa dalam sejarah Islam. Pertama, peristiwa Isra Mi’raj, Rasulullah Muhammad (SAW) melakukan perjalanan malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa dan dari sana naik ke langit. Peristiwa ini menjadi salah satu momen paling luar biasa dalam kehidupan Nabi Muhammad. Dalam surat Al-Israa (17:1), Allah berfirman, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”

Kedua, kiblat pertama umat Islam sebelum pindah ke masjidil haram. dalam sebuah hadist dari ibnu Umar : “Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau shalat menghadap Baitul Maqdis, yaitu Masjidil Aqsa, selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah menurunkan ayat yang mengubah kiblat dari Masjidil Aqsa ke Ka’bah di Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, pembangunan Ulang oleh Khalifah Umar bin Khattab (RA). Setelah penaklukan Baitul Maqdis oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 638 M, beliau membangun kembali Masjidil Aqsa. Pembangunan ini merupakan simbol kejayaan Islam dan keadilan di Baitul Maqdis.

Keempat, pembangunan Ulang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan: Pada abad ke-7, Khalifah Abdul Malik bin Marwan memulai proyek pembangunan besar-besaran untuk memperindah Masjidil Aqsa. Kubah emas yang terkenal (Dome of the Rock) dibangun selama masa pemerintahannya dan menjadi salah satu lambang terkenal di Baitul Maqdis.

Pada tahun 1099 M, Perang Salib antara umat Islam dan Kriesten Eropa meletus dan merusak Masjid Al Aqsa. Wilayah tersebut dikuasai oleh tentara Salib dan kompleks masjidil aqsa berubah menjadi lapangan tentara, kandang kuda dan gudang senjata. Namun, kembali umat Islam melalui pasukan Shalahudin al-Ayyubi merebut kembali Yarussalem. Masjid Al Aqsa dan situs berharga lainnya dirawat seperti sedia kala.

Dalam kekuasaan Daulah Mamluk dan Daulah Utsmaniyah, Kawasan masjidil Aqsa terus dijaga bentuk bangunan, memberikan inovasi menara-menara adzan, dan membangun pagar-pagar besar untuk menutupi seluruh Masjid Al Aqsa.

Melindungi Masjidil Aqsa

Dalam kehidupan Umat Islam, Masjidil Aqsa dianggap sebagai salah satu tempat suci terpenting ketiga dalam Islam, setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini memiliki nilai spiritual dan sejarah yang besar bagi umat Islam. Bagi umat Islam, Masjidil Aqsa bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga lambang keagungan, kedamaian, dan spiritualitas.

Dalam konteks konflik di Palestina, terutama di sekitar Masjidil Aqsa, umat Islam merasakan penderitaan yang mendalam. Kekerasan dan konflik di daerah tersebut telah menyebabkan kerugian jiwa dan penderitaan bagi warga Palestina, khususnya mereka yang tinggal dekat dengan Masjidil Aqsa.

Solidaritas umat Islam terhadap Palestina menjadi respons yang mendalam terhadap panggilan kemanusiaan dan agama. Keberagaman, keadilan, dan kepedulian terhadap penderitaan sesama umat Islam di Palestina menjadi fokus utama bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebagai umat Islam, tugas kita adalah memperjuangkan perdamaian, keadilan, dan perlindungan terhadap tempat-tempat suci agama, termasuk Masjidil Aqsa.

ISLAMKAFFAH

Cara Tepat Mendidik Anak di Zaman Fitnah (Khutbah Jumat)

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Jagalah diri kita dan keluarga kita dari panasnya api neraka. Sebagaimana hal ini Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Keluarga di dalam Islam memiliki kedudukan yang amat krusial dan penting. Darinyalah masyarakat Islam terbentuk, dan darinya pula sebuah generasi emas akan terwujud.

Islam sangat perhatian terhadap keluarga. Sebelum sebuah keluarga itu terbentuk, Islam telah memberikan bimbingan dan arahan tentang langkah yang seharusnya diambil oleh laki-laki sehingga dirinya insyaAllah sukses membangun bahtera rumah tangganya. Yaitu, dengan memilih istri yang salehah bagi dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فاظفَرْ بذات الدين تَرِبَتْ يداك

Maka, pilihlah (wanita) karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

Bukan hanya dari sisi calon suami saja, demikian pula halnya dengan para wali calon istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasihat kepada para wali perempuan untuk menerima lamaran dari laki-laki yang saleh dan baik agamanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا جاءَكم من ترضَونَ دينَهُ وخلُقَهُ فأنكِحوهُ إلَّا تفعَلوا تكُن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

“Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian rida pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan.”

Ketika mendengar hal tersebut para sahabat pun bertanya, Wahai Rasulullah, meskipun mereka tidak kaya?

Beliau bersabda, “Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian rida pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia.” Beliau mengatakannya tiga kali. (HR. Tirmidzi no. 1085 dan Al-Baihaqi no. 13863)

Salah satu langkah terpenting di dalam membangun keluarga yang harmonis dan sarat akan kesalehan dan kebaikan adalah kepedulian dan pengawasan penuh dalam mendidik anak-anak kita. Sedari mereka masih kecil, para orang tua sudah dituntut untuk membimbing ibadah mereka dan budi pekerti mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُروا أولادَكم بالصلاةِ وهم أبناءُ سبعِ سنينَ واضربوهُم عليها وهمْ أبناءُ عشرٍ وفرِّقوا بينهُم في المضاجعِ

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan salat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun. Dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun, maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya. Dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.(HR. Abu Dawud no. 495)

Kepedulian terhadap pendidikan dan perkembangan anak bukan hanya pada perkara makan, pakaian, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya saja seperti yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita di zaman sekarang. Lebih jauh dari itu, orang tua dan para wali bertanggung jawab penuh juga terhadap akhlak dan agama anak-anaknya. Dan ini bukanlah tugas ibu semata, di dalam mendidik anak-anak. Seorang ayah juga dituntut untuk ikut andil dan ambil bagian di dalamnya. Di manakah letak keteladanan jika seorang ayah tidak mampu dan tidak mau ikut andil di dalam mendidik anak-anaknya?!

Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Perkara terpenting yang harus kita ajarkan dan kita tanamkan kepada anak-anak kita adalah keyakinan perihal kebesaran Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, bergantung kepada-Nya dalam segala hal, dan takut kepada-Nya baik di dalam keramaian maupun saat sendirian.

Kenapa? Karena anak-anak kita hidup di zaman di mana kemaksiatan sangat mudah dijangkau, peluang untuk bermaksiat amatlah besar, pintu-pintu kemaksiatan tersebut bahkan ada dalam setiap genggaman kita. Tanpa perlu bersusah payah keluar rumah, atau bahkan keluar kamar, seorang anak sangat dimungkinkan untuk melakukan kemaksiatan dan melakukan hal-hal yang Allah haramkan. Di dalam menghadapi hal tersebut, ketakwaan dan merasa diawasi Allah Ta’ala adalah perkara terpenting yang harus dimiliki oleh setiap anak.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, perkara kedua yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita adalah tentang esensi menjaga salat dan larangan dari menyia-nyiakannya. Karena kesuksesan dan keberhasilan seorang hamba baik di dunia ini maupun di akhirat nanti tidaklah terwujud, kecuali dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menyebutkan tentang perkara salat, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من حافَظَ عليها كانت لَه نورًا وبُرهانًا ونجاةً إلى يومِ القيامةِ ومن لَم يُحافِظ عليها لم يَكن لَه نورٌ ولا برهانٌ ولا نجاةٌ وَكانَ يومَ القيامةِ معَ فرعونَ وَهامانَ وأبَيِّ بنِ خلفٍ

“Siapa yang menjaga salat, maka ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan sampai hari kiamat. Dan siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan. Nantinya di hari kiamat, ia akan dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad no. 6576, Ibnu Hibban no. 1467, dan At-Thabrani, 14: 127 no. 14746)

Sangat disayangkan, kita hidup bersama generasi yang banyak sekali di antara mereka menyia-nyiakan perkara salat. Bahkan, tidak jarang sebagian dari mereka meninggalkan salat dalam pengawasan dan pengetahuan orang tuanya. Padahal di dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan secara jelas,

العَهدُ الذي بَينَنا وبَينَهُم الصلاةُ، فمن تَرَكَها فَقَد كَفَرَ

Batas antara kita dan mereka (orang-orang kafir) adalah salat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka telah kafir. (HR. Tirmidzi no. 2621 dan An-Nasa’i no. 463)

Di dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala juga sudah mengabarkan akan adanya sebagian dari generasi kaum muslimin yang menyia-nyiakan salat, dan di ayat itu juga Allah sebutkan balasan dan hukumannya bagi mereka. Ia berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka, mereka kelak akan menemui kesesatan dan keburukan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)

Sebagian ahli tafsir tatkala menjelaskan kata “al-ghayya” di dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa maknanya adalah nama salah satu sungai di neraka Jahanam yang penuh keburukan dan kepedihan. Naudzubillahi min dzalik.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga diri kita dan keluarga kita dari panasnya azab neraka Jahanam.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di antara pendidikan yang harus kita tanamkan terutama kepada anak-anak perempuan kita adalah rasa malu. Rasa malu adalah perhiasan hakiki bagi wanita muslimah. Dengannya martabat seorang muslim terjaga, dan dengannya pula aib serta kekurangan-kekurangan yang ia miliki akan tertutup. Di dalam hadis disebutkan,

الْحَياءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.

“Malu itu semuanya baik.” (HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)

Malu yang dimaksudkan di sini adalah rasa malu yang membuat diri kita terhindar dari melakukan kemaksiatan dan dosa. Rasa malu yang membuat seseorang menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, baik itu di tempat keramaian maupun di tempat yang sepi.

Wahai jemaah sekalian, ada anggapan salah terkait sifat malu ini yang tersebar di masyarakat kita, yaitu anggapan bahwa sifat malu tidak pantas untuk laki-laki, sifat malu hanya khusus untuk perempuan saja.

Tentu saja anggapan ini keliru dan salah. Karena seseorang yang malu jika dilihat oleh manusia lainnya tatkala berbuat kemaksiatan, maka tentu saja seharusnya ia lebih malu kepada Rabbnya. Dan siapa saja yang malu kepada Rabbnya, maka rasa malunya tersebut akan mencegahnya dari melalaikan kewajiban ibadahnya dan dari melakukan kemaksiatan.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, bagi kita sebagai orang tua, ada tiga hal penting yang harus kita lakukan agar pendidikan kita kepada anak-anak kita sukses mencapai tujuannya.

Pertama: Jadilah teladan yang baik untuk anak-anak kita.

Keteladan memiliki andil besar di dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan anak-anak kita. Saat orang tua bisa menjadi teladan dan contoh yang baik untuk anak-anaknya, maka itu memudahkan anak-anak untuk memahami pengajaran dan pendidikan yang hendak disampaikan orang tuanya. Sebaliknya, saat orang tua tidak bisa menjadi teladan yang baik untuk anak-anaknya, maka sang anak akan mencoba mencari sosok lainnya yang akan ia jadikan teladan. Tidak mengherankan bila kemudian mereka mencontoh artis-artis di TV dan selebgram-selebgram yang bertebaran di dunia maya.

Keteladanan di dalam mendidik banyak sekali Allah tekankan di dalam Al-Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan nabi-nabi lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (QS. Al-An’am: 90)

Kedua: Selalu mengawasi anak-anak kita.

Saudaraku, jangan sampai anak-anak kita menjadi korban para pemuja syubhat dan syahwat. Kita hidup di zaman di mana pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang merajarela. Setiap individu bebas menyampaikan opininya. Sebuah keterbukaan yang membuat syubhat dan syahwat mengepung anak-anak kita. Pergaulan bebas yang tidak terkontrol, keberanian wanita yang mengaku muslimah untuk melepas hijabnya, berdalih dengan kebebasan individu. Podcast-podcast yang dipenuhi dengan orang-orang yang tidak beres dan bahkan tayangan-tayangan anak kecil yang terkadang diselipi oleh adegan-adegan yang tidak selayaknya dipertontonkan.

Agar terhindar dari semua hal yang kita sebutkan, hal itu membutuhkan pengawasan orang tua kepada anaknya, meskipun mereka sudah besar. Jangan sampai anak-anak perempuan kita pergi keluar sendirian untuk bekerja di tempat yang masih campur baur antara laki-laki dan perempuan. Jangan sungkan juga untuk memberikan batasan waktu bermain atau keluar rumah bagi anak laki-laki kita. Karena tanpa adanya pengawasan orang tua, maka ini akan membuka pintu-pintu setan untuk mengganggu dan menyesatkan kita dan anak-anak kita.

Ketiga: Jangan lupa untuk mendoakan kebaikan bagi anak-anak kita.

Doa orang tua adalah doa yang mustajab. Manfaatkanlah hal ini untuk mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita. Sebaliknya, jangan sampai mendoakan keburukan untuk anak-anak kita meskipun mereka sedang nakal sekalipun. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita, keluarga kita, dan anak-anak kita dari siksa api neraka, menjaga mereka dari bahaya fitnah syahwat dan syubhat. Ya Allah, jadikanlah kami orang tua yang baik untuk anak-anak kami. Jadikanlah kami orang tua yang bisa memberikan contoh yang baik untuk anak-anak kami. Jadikanlah kami orang tua yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak-anak kami, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang mendoakan anak-anaknya,

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40)

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89782-cara-tepat-mendidik-anak-di-zaman-fitnah.html

Genealogi Bani Israil dan Negara Israel : Benarkah Zionisme Pelanjut Keturunan Nabi Ya’kub?

Menyaksikan kekejaman bangsa Israel melakukan genosida di tanah Palestina, ada pertanyaan, benarkah mereka pemilik jalur nasab keturunan Nabi Ya’kub?

Pertanyaan ini dijawab oleh hasil riset Eran Elhaik yang dimuat dalam jurnal Genome Biology and Evolutions terbitan Oxford, berjudul “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypotheses,” 5 (1): 61–74.

Bangsa Israel modern adalah keturunan bangsa Khazar. Bangsa yang terdiri dari kumpulan beberapa suku, yakni suku Slavia, Scythian, Hunnic-Bulgaria, Irans, Alans dan Turki. Mereka memeluk Yudaisme.

Zionisme adalah gerakan nasional Yahudi yang muncul pada akhir abad ke-19 dengan tujuan mendirikan dan mempertahankan sebuah negara Yahudi di Tanah Israel atau Palestina. Pendiri gerakan ini adalah Theodor Herzl, seorang wartawan dan penulis Austria-Hongaria kelahiran Hungaria. Ia menyampaikan gagasan bahwa solusi terbaik untuk mengatasi masalah antisemitisme adalah dengan mendirikan negara Yahudi yang bebas di Tanah yang dianggap menjadi tanah warisan masa lalu dari bani Israil.

Berdasarkan hasil riset ini bisa dinyatakan, kelompok Zionis yang mendirikan negara Israel sekarang bukan keturunan Bani Israil yang disebutkan dalam al Qur’an. Mereka menjadi Yahudi karena menjadi pengikut Yudaisme.

Hasil riset di atas merupakan bantahan terhadap teori Rhineland yang mengatakan, Yahudi yang bermigrasi ke Eropa, terutama ke Polandia dan Jerman, adalah keturunan asli timur tengah. Nasab mereka bersambung kepada Kanaan.

Bani Israil yang disebutkan dalam al Qur’an adalah keturunan Nabi Ya’kub. Sedangkan Zionis yang sekarang mendirikan negara Israel sama sekali bukan keturunan dari Nabi Ya’kub sebagaimana klaim bangsa Israel modern sekarang.

Nabi Ya’kub, sebagaimana termaktub dalam Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, adalah putra Nabi Ishak bin Nabi Ibrahim. Israil sendiri adalah nama lain dari Ya’kub. Dalam al Qur’an Ya’kub dipanggil dengan nama Israil sebanyak dua kali.

Semula, keturunan Ya’kub tinggal di Palestina bagian tengah, kemudian bermigrasi ke suatu desa di gurun Naqab selatan Palestina berdekatan dengan Semenanjung Sinai.

Anak-anak Nabi Ya’kub berjanji dihadapan beliau akan menyembah Allah, serta tunduk dan patuh kepada-Nya. (Al Baqarah: 133).

Yang penting diketahui dari Nabi Ya’kub, beliau bukan pemeluk agama Yahudi melainkan pemeluk agama hanifiyah (agama yang lurus), penganut agama tauhid. Yakni, agama Nabi Ibrahim. Hal ini karena kitab Taurat yang menjadi kitab suci agama Yahudi turun setelah masa Nabi Ya’kub. (Ali Imran: 65-67).

Bani Israil mulai keras kepala sejak dibimbing oleh Nabi Musa. Mereka banyak orang kufur keluar dari agama Nabi Ibrahim. (As Shaffat: 112-113). Kemudian sebagian dari mereka taubat dan kembali kepada agama Nabi Ibrahim (Al A’raf: 156).

Kembali pada tema di atas, apa hubungan Bangsa Israel dengan Bani Israil? Tidak ada hubungan nasab. Yahudi sekarang secara genetik bukan keturunan Nabi Ya’kub yang telah diceritakan. Yahudi sekarang di Eropa biasa dipanggil Jew atau Jewish.

Kata Jew atau Jewish berasal dari Joshua atau dalam bahasa Arab Yoshuwa yang berasal dari kata Yosha. Yosha adalan nama seseorang, yaitu Yosha bin Nun, salah seorang murid Nabi Musa.

Kesimpulannya, Kaum Yahudi yang sekarang mendirikan negara Israel bukan keturunan Bani Israil yang disebutkan dalam al Qur’an. Sehingga klaim teologis terhadap tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan adalah kebohongan besar. Klaim tersebut hanya alat politik untuk merampas tanah Palestina.

ISLAMKAFFAH

Pembelaan Tokoh dan Ulama Indonesia untuk Palestina

Dalam video Reels yang diupload di Instagram @Bincangsyariah, Ustadz Hanifuddin menjelaskan dalam videonya bahwa bangsa Indonesia selalu bersama rakyat Palestina. Hal ini dibuktikan dengan pembelaan tokoh dan ulama Indonesia untuk Palestina.

Lebih jauh, menurut Ustadz Hanif, sapaan akrabnya, pembelaan tokoh dan ulama Indonesia untuk Palestina telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan Palestina.

Nah berikut tokoh yang berjasa dalam membela Palestina. Pertama, Presiden Soekarno. Soekarno pernah mengunjungi Palestina pada tahun 1950 dan menyampaikan pidato di hadapan Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya, Soekarno menyerukan kepada dunia untuk mendukung kemerdekaan Palestina.

Bung Karno, dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955, mengundang Palestina. Dalam pidato pembukaannya, secara tegas, Presiden Sukarno mendukung kemerdekaan Palestina.

Kedua, pada tahun 1938, KH. Mahfudz Siddiq, Ketua Umum PBNU menginisiasi aksi solidaritas untuk Palestina. Moment peringatan Isra’ Mi’raj 27 Rajab, dijadikan sebagai momentum penggalangan dana bantuan Palestina.

Ketiga, KH. Muhammad Ilyas, mantan Menteri Agama RI, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Di tahun 1969, menyerukan pembahasan khusus mengenai Palestina di Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Rabat maroko.

Keempat, Lukman Harun, Ketua Hubungan Luar Negeri Muhammadiyah, tahun 1973, memelopori terbentuknya Panitia Pembantu Perjuangan Pembebasan Palestina.

Kelima, Gus Dur. Tahun 1984, menginisiasi Malam Solidaritas Palestina.Tahun 2003, dalam kunjungannya di Jalur Gaza, di depan para senator AS dan pemimpin agama dari berbagai dunia, Gus Dur menyerukan hak kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat Palestina.

Sejatinya, para tokoh dan ulama Indonesia telah banyak menyerukan dukungan untuk Palestina. Mereka menyampaikan pernyataan-pernyataan yang mendukung perjuangan rakyat Palestina.

Para tokoh dan ulama ini, melakukan aksi langsung untuk membantu rakyat Palestina. Lebih lanjut, ulama Indonesia juga telah melakukan aksi langsung untuk membantu rakyat Palestina. Misalnya, mereka telah menggalang dana untuk membantu pembangunan rumah sakit dan sekolah di Palestina.Pun mengirimkan bantuan kemanusiaan, seperti makanan, obat-obatan, dan pakaian.

Demikian pembelaan tokoh dan ulama Indonesia untuk Palestina. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sebab-Sebab Makmurnya Negeri

Pertanyaan: 

Apa saja penyebab makmurnya negeri?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Kemakmuran negeri merupakan bentuk nikmat dari Allah ta’ala. Dan semua nikmat itu hakikatnya hanya dari Allah dan diminta kepada Allah. Allah ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53).

Oleh karena itu kemakmuran suatu negeri tidaklah didapatkan kecuali dengan mencari keridhaan Allah ta’ala. Dan hal-hal yang Allah ridhai yang mendatangkan kemakmuran negeri adalah:

  1. Mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya

Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang berhak mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang berhak mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).

Dalam ayat ini Allah menjanjikan siapa saja yang beriman kepada Allah dan tidak berbuat syirik maka Allah akan berikan keamanan di dunia dan akhirat. Ini bentuk kemakmuran negeri, yaitu rasa aman.

  1. Beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya

Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).

Dalam ayat ini Allah ta’ala menjanjikan kepada penduduk negeri yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, akan dibukakan keberkahan bagi negeri tersebut dari langit dan bumi. Ini adalah bentuk kemakmuran, yaitu keberkahan negeri.

  1. Jauhi maksiat

Maksiat adalah sumber musibah dan kesengsaraan. Allah ta’ala berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An-Nahl: 112).

Allah ta’ala jugaa berfirman:

وَلَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nahl: 113). 

Oleh karena itu, penduduk negeri yang menginginkan kemakmuran dan keselamatan, wajib untuk menjauhkan diri dari segala bentuk maksiat.

  1. Bekerja sama dengan pemerintah dalam perkara yang makruf

Allah ta’ala menakdirkan semua bentuk kenikmatan dengan didahului sebab-sebab. Tidak diragukan lagi bahwa bekerja sama dengan pemerintah adalah sebab terbesar untuk meraih kemakmuran suatu negeri. Oleh karena itu, kita diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah dalam perkara yang ma’ruf (baik). Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59).

Rakyat yang taat dan mau bekerja sama dengan pemerintahnya dalam perkara yang makruf, akan mendapatkan kemuliaan dan kemakmuran. Dari Abu Bakrah Nafi bin Al-Harits Ats-Tsaqafi, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَكرم سُلطانَ اللهِ أَكرمَه اللهُ ، ومَنْ أهانَ سُلطانَ اللهِ أهانه اللهُ

“Barang siapa yang memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakan dia. Barang siapa yang menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakan dia” (HR. Tirmidzi no. 2224, Ahmad no. 20433, dihasankan Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus Sunnah li Abi Ashim no. 1017).

  1. Banyak bersyukur

Di antara sebab datangnya kemakmuran adalah banyak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang Allah berikan, betapa pun kecil nikmat itu. Nikmat yang kecil, ketika disyukuri maka akan Allah tambahkan lagi. Sebaliknya, ketika nikmat tidak disyukuri maka Allah akan tambahkan azab, wal’iyyadzu billah. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7).

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من لم يشكرِ القليلَ لم يشكرِ الكثيرَ

“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan mensyukuri nikmat yang banyak” (HR. Ahmad no.18449, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.976

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S. Kom .

KONSULTASI SYARIAH

Fatwa MUI untuk Palestina : Suarakan Amanat Konstitusi dan Nurani Umat

Kenapa Majelis Ulama Indonesia harus mengeluarkan fatwa untuk mendukung Palestina? Bukankah sudah secara tegas negara juga mengutuk penjajahan dan agresi Isarel di Palestina?

Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi landasan hukum dan moral bagi umat Muslim Indonesia dalam menanggapi konflik antara Palestina dan Israel. Dalam fatwa tersebut, terdapat beberapa poin penting yang mencerminkan pandangan Islam dan implikasinya di tingkat nasional dan internasional.

Fatwa ini dengan tegas menyatakan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel adalah sebuah kewajiban hukum. Pernyataan ini tidak hanya merujuk pada dukungan moral, tetapi menciptakan dasar yang kuat berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan dalam Islam.

Dalam Surah Al-Maidah ayat 32, Allah SWT berfirman, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” Dengan demikian, mendukung perdamaian dan melawan agresi adalah sebuah panggilan moral.

Fatwa ini dengan jelas menyatakan bahwa mendukung Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk melalui pembelian produk dari produsen yang mendukung Israel, adalah haram. Ayat Al-Quran dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan larangan bersekutu dengan orang-orang yang memerangi umat Islam karena keyakinan mereka.

Adapun dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membantu dalam membunuh seorang Muslim, walaupun hanya dengan seteguk air, maka Allah akan memberinya minum dari air neraka.” (HR. Ahmad).

Dalam konteks bernegara dengan amanat konstitusi yang mendukung perdamaian abadi dan anti penjajahan di muka bumi, Fatwa ini menciptakan konsistensi dalam dukungan terhadap hak asasi manusia dan perdamaian abadi dengan nilai dasar Pancasila. Karena itulah, Fatwa MUI sudah sejalan dengan konstitusi dan nurani umat.

Dengan merujuk pada Al-Quran dan hadis, fatwa ini memberikan argumen kuat bagi umat Muslim Indonesia untuk berdiri teguh dalam mendukung prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. MUI sebagai representasi umat Islam di Indonesia sudah tepat memberikan suara tegas untuk Palestina.

Fatwa ini memiliki dampak tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga memberikan sinyal moral dan kemanusiaan di tingkat internasional. Dengan tegas menolak dukungan terhadap Israel, Indonesia membawa suara Islam yang damai dan menegaskan komitmennya terhadap perdamaian global.

Fatwa MUI ini mengajak umat Muslim Indonesia untuk tidak hanya sebatas dukungan moral, tetapi juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas. Ini menjadi panggilan untuk mengintensifkan bantuan kemanusiaan, diplomasi, dan advokasi guna mencapai perdamaian yang berkelanjutan.

Dengan demikian, fatwa ini menciptakan landasan hukum dan moral yang kokoh bagi umat Muslim Indonesia untuk bersatu dalam mendukung perjuangan Palestina, menciptakan solidaritas kemanusiaan, dan memberikan kontribusi nyata dalam mencapai perdamaian dunia.

Tinggal langkah kongkret berikutnya sangat dibutuhkan. Jangan fatwa ini justru menjadi landasan bagi kelompok kepentingan untuk menyebarkan kampanye produk-produk tertentu yang dilarang tanpa dasar yang jelas. Boikot produk Israel terkadang ditunggangi perang bisnis yang menyesatkan literasi masyarakat.

Tentu tidak berhenti di fatwa, harus ada edukasi dan sosialisasi tentang produk-produk Israel yang diboikot. Karena banyak di tengah masyarakat justru bertebaran kampanye-kampanye tanpa dasar yang memberikan list produk yang diboikot tanpa dasar yang jelas.

Membantu Palestina adalah kewajiban umat Islam seluruh dunia. Apapun yang bisa dilakukan dari hal kecil, tentu bukan perjuangan yang sia-sia. Langkah kongkret itu harus dimulai dengan tidak memberikan dukungan sedikitpun terhadap para penjajah seperti Israel.

ISLAMKAFFAH

Ikut Berperan dalam Dakwah

Bismillah.

Dakwah adalah suatu amalan yang sangat utama

Tidak diragukan bahwa dakwah merupakan suatu amalan yang sangat utama. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru menuju Allah dan dia beramal saleh, dan dia pun berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk dari kaum muslimin.’” (QS. Fushshilat: 33)

Para ulama menjelaskan bahwa dakwah itu membutuhkan ilmu. Karena berdakwah tanpa ilmu berarti beramal dengan kebodohan. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata.’” (QS. Yusuf: 108)

Pada masa ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan media sosial, hal itu telah membuka pintu bagi siapa pun untuk menyebarkan ucapan dan ajakan. Tidak terkecuali dalam urusan dakwah. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari kapasitas dirinya. Akhirnya, mereka berbicara sesuatu yang bukan keahlian dan di luar wewenangnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Inilah di antara fenomena yang melanda masyarakat masa kini. Ketika ‘semua orang’ berbicara tanpa mengenal adab dan etika.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa keimanan akan menjaga seorang muslim dari keburukan lisannya. Di antara keburukan lisan itu adalah berbicara dalam urusan agama tanpa ilmu dan tanpa adab. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“.. Dan kalian berbicara dengan mengatasnamakan Allah apa-apa yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (QS. Al-A’raf: 33)

Di dalam Al-Qur’an, Allah juga mengaitkan perintah takwa dengan perintah untuk berucap dengan ucapan yang lurus. Bahkan, ketika memerintahkan Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Fir’aun, maka Allah juga menyuruh mereka berdua untuk berbicara dengan ucapan yang lembut kepadanya.

Jagalah lisanmu!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kalian apa yang paling banyak menjerumuskan orang ke dalam neraka?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan, “Yaitu, dua buah lubang: kemaluan dan mulut. Dan apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga? Ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR. Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Takhrij At-Targhib. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, hal. 123)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang diam, maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad no. 6481. Sanadnya disahihkan Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ dalam Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 21-22; Bab Najatul Insan bi Ash-Shamti wa Hifzhi Al-Lisan)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?” Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 20: 127-128; disahihkan sanadnya oleh Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ dalam Ar-Risalah Al-Mughniyah, hal. 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara kedua jenggotnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka dia akan masuk surga.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)

Di dalam Al-Adzkar, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semestinya bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syariat) untuk menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali ucapan-ucapan yang tampak jelas kemaslahatannya. Apabila ternyata setara antara kemaslahatan berbicara atau tidak berbicara, maka yang dianjurkan adalah menahan diri darinya. Sebab bisa jadi ucapan-ucapan yang pada dasarnya mubah menyeret kepada ucapan yang haram atau makruh. Bahkan, hal semacam ini banyak terjadi dan lebih dominan dalam kebiasaan (sebagian orang). Padahal, keselamatan diri (dari bahaya lisan) adalah sebuah perkara yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun.” (Lihat Al-Fitnah wa Atsaruha Al-Mudammirah, hal. 302)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 84)

Thawus rahimahullah berkata, “Lisanku adalah binatang buas. Apabila aku melepaskannya dengan bebas, niscaya ia akan memakan diriku.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 90)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)

Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)

Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)

Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah, beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam setahun lamanya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S,Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89344-ikut-berperan-dalam-dakwah.html

Muhasabah: Apakah Kita Pantas Disebut Aktivis Dakwah?

Kita hanyalah makhluk yang teramat dan acapkali khilaf serta salah. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan yang ada, seharusnya tidak menjadikan kita besar kepala seraya membusungkan dada atas setiap ikhtiar perjuangan dakwah kita. Dengan segala kekurangan kita pula, tidak menjadikan kita memiliki seribu alasan untuk tidak memberikan segala yang terbaik bagi perjuangan dakwah ini. Hanya kepada Tuhan yang Maha Esalah segala perkara dikembalikan. Hal inilah yang semestinya menjadi sebuah kesadaran yang perlu ditanamkan bagi segenap aktivis dakwah. Kesadaran ini menuai pertanyaan, “Apa pantas kita disebut sebagai aktivis dakwah?”

Maka, kita pikirkan kembali dengan berhenti sejenak untuk muhasabah dan memikirkan apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam diri. Hal ini dilakukan agar kita kembali meluruskan tujuan dan niat kita untuk menguatkan gerak langkah yang benar sebagai aktivis dakwah yang terarah atas capaiannya. Kesadaran ini sangat penting bagi aktivis dakwah atas kehadirannya di ruang lingkup kehidupan, baik lingkungan akademik, lingkungan kerja, maupun lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan agar jangan sampai aktivis dakwah setelah melewati masa dinamika di dalam aktivitas kehidupan kesehariannya, tidak memperoleh kebermanfaatan dari dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, penting bagi seorang aktivis dakwah sunah pada khususnya, yang berikhtiar mengamalkan sunah-sunah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam untuk merenungi kembali urgensi, “Apa pantas disebut sebagai aktivis dakwah?”

Sudah menjadi fitrah manusia bahwa niat dalam diri pasti mudah berubah-ubah. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi setiap aktivis kebaikan “muhasabah diri” dan senantiasa meluruskan niat dalam mengisi aktivitas diri, baik dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja. Dinamika dan regenerasi dalam masyarakat, apalagi di dalam negara Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Dinamisnya suasana dalam pergantian struktural adalah keharusan. Dalam kondisi kritis ini, bisa menjadi sebuah peluang untuk bagaimana kita ambil menjadi salah satu langkah dan motif kebaikan dakwah sunah bagi setiap aktivis penggiat dakwah. Sehingga, keistikamahan dan kolaborasi dakwah sunah semakin masif dan menjadi satu hal penting yang perlu dicari dan diterapkan dalam kehidupan keseharian.

Apabila setiap aktivis dakwah sebagian ataupun keseluruhan menanamkan hati yang istikamah, maka aktivitas dakwah ini pada satu kondisi akan menemui satu kondisi saling menguatkan dan mengingatkan untuk saling mengisi kekosongan dalam setiap ruang hampa problematika dakwah dan ibadah dalam masyarakat, untuk saling bekerja sama dan berkolaborasi dalam kebaikan dan perjuangan agar dakwah sunah semakin nyaman dan mudah diikuti oleh masyarakat awam pada umumnya.

Maka, yang harus dicari, dikejar, dan diperbaiki dengan sabar dan sadar oleh setiap aktivis dakwah sunah bahwa dirinya berada di dalam langkah gerak aktivitas dakwah masyarakat yang majemuk yang perlu mengenalkan dakwah sunah dengan perilaku akhlaqul karimah dan mampu memberi contoh dengan sikap yang santun. Sebab, bagi aktivis dakwah tidak cukup apabila hanya mengandalkan ilmu agama dan pengetahuan saja. Karena aktivis  dakwah sunah itu adalah simbol akhlak dalam bermuamalah di lingkungan sekitar, yang menjadi wasilah (perantara) dalam tegaknya tauhid di kalangan masyarakat umum dengan berbagai ujian dan langkah yang tidak selalu mulus.

Seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha mengetahui, Mahakuasa. (QS. Ar-Rum: 54)

Hal wajib lainnya yang mesti dilakukan oleh aktivis dakwah dalam lingkungan masyarakat ialah dengan menjadikan kehidupan bermasyarakat sebagai sebuah wadah untuk tempat berlatih menjadi orang yang peka terhadap lingkungan sekitar dan peka terhadap permasalahan yang ada di kehidupan kita baik dalam lingkup keluarga, bertetangga, dan sebagai warga negara, untuk mampu menumbuhkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

Sudah semestinya aktivis dakwah sunah menjadikan teladan dan wasilah dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan kerjanya sebagai pintu gerbang untuk menanamkan prinsip-prinsip pribadi yang memiliki pengetahuan agama yang syar’i, sesuai sunah dan Qur’an. Oleh karena itu, output-nya adalah wise dalam bersikap dan outcomenya adalah kebijaksanaan dalam bermuamalah. Selain itu, hal mutlak yang mesti dilakukan oleh aktivis dakwah sunah ialah mengasah diri untuk memiliki budi pekerti yang tinggi. Budi pekerti yang tinggi akan terwujud dengan akhlaqul karimah yang baik dan benar sesuai tuntunan sunah, respect terhadap orang lain, sifat yang lembut, dan sikap tegas dalam bertindak.

Dengan demikian, sudah seharusnya pola dan corak pemikiran yang terbangun dalam aktivis dakwah masyarakat ialah sebuah keseimbangan dan kebersamaan dalam memperoleh kesepemahaman yang menjadi wadah untuk menjawab apa yang dicari dan dibutuhkan bagi masyarakat sesuai tuntunan sunah. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi.

Hasbunallahu wani’mal-wakil, ni’mal-maula wani’man-nashir.

Allahu’alam bish-shawab.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89346-apakah-kita-pantas-disebut-aktivis-dakwah.html