Sindiran Pedas Umar Bin Khattab Kepada Yang Sudah Layak Menikah Tetapi Belum Menikah

Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata kepada seseorang yang belum menikah padahal ia sudah layak menikah (tidak ada lagi penghalang menikah baginya dan tidak ada target yang lebih penting dari menikah untuk sementara),

ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

“Tidak ada yang menghalangimu menikah kecuali kelemahan (lemah syahwat) atau kemaksiatan (ahli maksiat)”[1]

Tentunya kita sudah pernah membaca motivasi agar segera menyempurnakan setengah agama dari Al-Quran dan Sunnah. kali ini, kita akan membawakan motivasi atau sindiran penyemangat dari ulama yang mempraktekkan Al-Quran dan Sunnah dan menjadi tauladan.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

ليست العزبة من أمر الإسلام في شيء وقال من دعاك إلى غير التزويج فقد دعاك إلى غير الإسلام

 “Hidup membujang bukanlah termasuk ajaran Islam.” ,Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam.”[2]

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

لو لم يبقَ من أجلي إلا عشرة أيام، ولي طولٌ على النكاح لتزوجت كراهية أن ألقى الله عزباً

“Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi, dan aku mempunyai kemampuan menikah, maka aku akan menikah. Karena aku tidak suka bertemu dengan Allah dalam keadaan membujang.” [3]

Thawus (seorang tabi’in) rahimahullah berkata,

لا يتم نسك الشاب حتى يتزوج

 “Tidaklah sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.”[4]

Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada Sa’id bin Jubair yang belum menikah setelah ditanya, ia berkata,

تزوج يا سعيد فإن خير رجال هذه الأمة أكثرهم نساءً.

“Menikahlah wahai Sa’id, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang banyak isterinya.’”[5]

Ucapan Umar dijadikan hujjah sesuai keadaan

وقال إبراهيم بن ميسرة قال لي طاوس لتنكحن أو لأقولن لك ما قال عمر لأبي الزوائد ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid, “Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau kemaksiatan (ahli maksiat).’”[6]

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

11 Shafar 1434 H

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMAFIYAH

Jangan Beralasan Menunda Menikah Dengan “Ulama Tidak Nikah Karena Sibuk Dengan Ilmu”

Sebaiknya jangan beralasan menunda menikah dengan mengatakan :

“ulama tidak menikah karena disibukkan dengan ilmu, semisal Imam An-Nawawi dan Ibnu Taimiyyah ”

Ini kurang tepat:

  1. Dari mana kita tahu niat mereka tidak menikah karena sibuk dengan ilmu
  2. Ada ulama yang menjelaskan bahwa walaupun mereka tidak menikah, tetapi mereka “tasarriy” (punya budak wanita)

Imam Ahmad saja berkata di zamannya

“Berhutanglah kalian untuk menikah” (bagaimana dengan zaman sekarang?)

😉

[tapi jangan gegabah ngutang saja tanpa perhitungan  ]

Atau perkataan Umar bin Khattab bagi mereka yang menunda-nunda padahal sangat mampu dan mudah mencari,

ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

 “Tidak ada yang menghalangimu menikah kecuali kelemahan (lemah syahwat) atau kemaksiatan (ahli maksiat)”

[Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/4, Darul Fikr, Beirut, syamilah]

Bagi yang masih bujang, semoga dimudahkan segera menikah dan mendapat pasangan terbaik dan shalih, menyejukkan mata dan dada.

Karena memang menikah sangat banyak menfaatnya, kami sebutkan beberapa saja:

Pertama:

menenangkan hati

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Kedua:

Melaksanakan sunnah para nabi dan orang shalih.

Allah berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

” Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa orang rosul sebelum kamu (Muhammad) dan Kami telah menjadikan bagi mereka isteri isteri dan turunan-turunan.” (QS. Ar Ro’du : 38).

Ketiga:

Bisa kaya dan mendapat rezeki dengan menikah

Allah berfirman,

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wnaita. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nuur: 32]

Dan masih banyak manfaat dan faidah yang lainnya.

@Pogung Dalangan,  Yogyakarta Tercinta

Penyusun:   Raehanul Bahraen

MUSLIMAFIYAH

Banyak Ulama Besar tak Menikah, Apa Alasan Mereka?

Para ulama membaktikan hidup mereka untuk ilmu.

Dalam sejarah banyak didapati fakta para ulama yang memutuskan tidak menikah, salah satunya adalah Imam an-Nawawi dan Ibn al-Jawzi. Menurut Syekh Abd al-Fattah Abu Ghaddah, dalam Al-Ulama’ al-‘Uzzab Alladzina Atsarul ‘ilma ‘Ala az-Zawaj, keputusan membujang mereka bukanlah bentuk pengingkaran terhadap sunah Rasulullah SAW, yaitu menikah.

Apalagi jika menengok dampak negatif akibat membujang, kecil kemungkinan mereka melakukannya begitu saja tanpa sebab. Lantas mengapa mereka memutuskan pernikahan, ibadah yang sangat ditekankan agama itu? 

Menurut Syekh Abu Ghadah, keputusan tersebut adalah jalan yang sangat personal yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Dengan naluri dan mata hati mereka yang sangat tajam, mereka memilih antara dua pilihan yang sama-sama berat yaitu menikah atau atau tetap membujang dengan berbakti pada kebaikan ilmu.

Dan yang penting digarisbawahi, para ulama tersebut tidak pernah mengajak, mengampanyekan, dan mempropagandakan jalan membujang yang mereka tempuh. 

Sekalipun juga tidak pernah mengklaim bahwa membujang lebih baik dibandingkan menikah. Apa yang mereka lakoni juga sama sekali tak ada hubungannya dengan pandangan sebagian filsuf Abad Pertengahan bahwa menikah dan berketurunan adalah kriminalitas, mereka beranggapan berketurunan berarti membukakan pintu kerusakan dan malapetaka yang ada di dunia ini dengan sengaja bagi anak-anak. 

Kehidupan membujang justru sebaliknya, di mata para tokoh ulama tersebut, semakin mendekatkan kecintaan mereka terhadap ilmu Allah SWT.”Ilmu sudah menjadi ruh bagi jasad mereka, menjelma bak air bagi tanaman, dan layaknya udara bagi kehidupan,” tutur dia.

Para ulama itu, terlepas dari keutamaan dan keistimewaan menikah, beranggapan jika mereka menikah justru akan membuat mereka lemah dan semakin menjauh dari semangat menggali ilmu.

KHAZANAH REPUBLIKA


Sulit Tidur, Begini Teladan Rasulullah SAW

Gangguan sulit tidur bisa menimpa siapa saja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gangguan sulit tidur bisa menimpa siapa saja. Namun, sebagian orang yang mengalami gangguan sulit tidur memilih untuk mengatasinya dengan cara instan, seperti meminum obat tidur. Akan tetapi, cara ini dalam jangka panjang justru menghasilkan dampak yang kurang baik.

Gangguan sulit tidur sendiri bisa disebabkan berbagai hal, termasuk dari munculnya kegelisahan, kecemasan yang terus menghantui pikiran dan hati. Di dalam Islam, gangguan tidur karena sebab itu bisa diatasi dengan cara mengingat Allah (dzikrullah).

Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan cara untuk mengatasi gangguan sulit tidur dengan membaca do’a. Seperti yang terjadi pada Zaid bin Tsabit ra, saat ia mengadu kepada Rasulullah saw, bahwasannya ia ditimpa sulit tidur.

Dikutip dari buku berjudul “444 Do’a Rasulullah” karya Samir Mahmud al-Hushni, Nabi saw kemudian meminta Zaid membaca do’a yang bunyinya seperti ini, “Wahai Tuhan yang mengorbitkan bintang-bintang, Yang membuat mata terpejam, Engkau adalah Yang Hidup dan Terjaga, wahai yang Hidup dan Terjaga, lelapkanlah mataku dan redupkanlah malam.”

Setelah itu, Zaid dikatakan bisa tertidur. Riwayat Zaid ini tercantum dalam kitab al-Adzkar karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya al-Nawawi dan di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabrani.

Hal serupa juga pernah dialami oleh Khalid bin Walid al-Makhzumi ra. Buraidah mengisahkan bahwa Khalid pernah mengeluh kepada Rasulullah saw tentang sulit tidur. Lantas, Rasulullah saw menjawab, “Apabila engkau telah berbaring di tempat tidur, maka ucapkanlah, ‘Ya Allah, Tuhan Pencipta tujuh langit dengan segala yang dinaunginya, Tuhan Pencipta seluruh jagat raya dengan apa yang dikandungnya, Tuhan Pencipta setan-setan dengan segala yang disesatkannya, jadilah Engkau Ya Allah Pendamping yang Melindungiku dari segala kejahatan yang akan diperbuat makhluk-makhluk-Mu kepadaku, atau siapa saja yang akan menyakiti dan menyerangku. Matatinggi Engkau dan tiada Tuhan selain Engkau’ (HR. at-Tirmidzi).

Di dalam Islam, tidur tidak hanya rutinitas yang dilakukan sekehendaknya. Namun, ada tuntunan bagaimana persiapan menjelang tidur dan setelah tidur seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah saw sendiri memiliki sejumlah kebiasaan yang dilakukannya menjelang tidur. Dikutip dari buku berjudul “Meneladani Akhlak Nabi” karya Abu asy-Syaikh al-Ashbahani, ketika hendak tidur Rasulullah saw seperti diriwayatkan Aisyah, beliau merapatkan dan meniup kedua telapak tangannya serta membaca do’a perlindungan pada kedua telapak tangan tersebut, lalu mengusapkannya ke sekujur badannya. Dalam hadits riwayat Muslim, beliau mengusapkan tangannya ke badannya dimulai dari kepala, wajah, lalu bagian depan badannya, dan beliau melakukannya 3 kali.

Selain itu, Nabi saw juga membaca surat-surat permohonan perlindungan. Di antaranya, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, ayat Kursi, dan beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah.

Kemudian apabila Rasulullah saw mulai berbaring sebelum tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipinya sembari mengucapkan do’a. Do’a tersebut berbunyi, “Ya Allah, jagalah aku dari azab-Mu pada hari ketika Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.”

Selain itu, Qatadah bercerita, apabila Rasulullah hendak beristirahat pada malam hari, beliau mempersiapkan air suci (wudhu), bersiwak, dan menyisir rambutnya. Hal ini juga diriwayatkan oleh Anas ibn Malik ra dan Aisyah.

Di antara kebiasaan lainnya, Rasulullah saw juga kerap mencelak matanya saat hendak tidur. Menurut Aisyah, Rasulullah saw memiliki itsmid (zat celak) yang biasa digunakan olehnya untuk bercelak menjelang tidur pada masing-masing mata sebanyak tiga celakan. Hal ini juga diriwiyatkan oleh Ibnu Abbas ra.

Sebagai perisai jelang tidur, hendaklah membersihkan tempat tidur terlebih dahulu. Hal ini seperti yang kerap dilakukan Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian ingin tidur, hendaklah dia menyimpulkan ujung kainnya lalu membuang debu-debu yang ada, kemudian membaca bismillahirrahmaanirrahiim, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi di tempat tidurnya setelah itu. Apabila ingin berbaring, hendahkah berbaring di atas lambung kanan.” Kemudian, Rasulullah saw berdo’a. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud.

Dari hadits tersebut dijelaskan, bahwa Rasulullah saw mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan. Selanjutnya, apabila bangun dari tidur, hendaknya membaca do’a sebelum berdiri dari pembaringan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Cincin, Kalung, dan Gelang Emas Anda Apakah Wajib Dizakati?

Emas termasuk salah satu perhiasan mahal yang kerap dipakai kaum Hawa. Sejumlah kaum Hawa terkadang mempunyai simpanan emas. Baik yang dipergunakan sehari-hari ataupun investasi. Emas kategori apakah yang wajib dizakati?  

Jawaban atas pertanyaan itu disampaikan anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai berikut: 

Emas adalah aset wajib zakat, jika memenuhi syarat wajibnya, yaitu mencapai minimum 85 gram emas (20 dinar), dimiliki secara sempurna, telah melewati 12 bulan (haul), serta dikeluarkan 2,5 persen.

Kewajiban tersebut sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang memiliki emas atau perak, tapi tidak mengeluarkan zakatnya, melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya…” (HR Muslim). Begitu pula seluruh ulama telah konsensus (ijma) bahwa emas yang memenuhi syarat wajibnya itu wajib ditunaikan zakatnya. Selanjutnya, seperti apa jenis-jenis aset yang masuk dalam ruang lingkup emas wajib zakat bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut:

Pertama, emas yang tidak digunakan sebagai perhiasan kaum hawa dalam batas yang wajar, seperti anting, gelang, dan perhiasan sejenis itu wajib zakat. Begitu pula, emas yang diguna kan kaum hawa sebagai perhiasan dalam jumlah yang berlebih-lebihan (di atas kelaziman) maka tetap wajib zakat menurut Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Asma binti Abu Bakar dan Aisyah RA.

Standar berlebihan atau tidak didasarkan pada tradisi (urf sahih) di setiap masyarakat. Oleh karena itu, emas yang digunakan kaum hawa sebagai perhiasan dalam batas yang wajar itu tidak wajib zakat karena emas halal bagi perempuan sebagai perhiasan atau kebutuhan pribadi.

Kedua, emas berbentuk logam mulia, seperti logam mulia yang disimpan sendiri ataupun dititipkan di pihak lain itu wajib zakat. Kedua jenis emas tersebut (emas perhiasan atau logam mulia tersebut) wajib zakat sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah dan konsensus para ulama tersebut di atas yang bermakna umum dan tidak membeda-bedakan emas sebagai objek wajib zakat, baik itu emas perhiasan ataupun logam mulia.

Ketiga, emas yang digunakan untuk peruntukan yang tidak halal, seperti cincin dan kalung yang dipakai oleh laki-laki, dan alat-alat hiasan, seperti piring, mangkuk yang terbuat dari emas itu wajib zakat. Sebagai mana kaidah fikih: “Setiap sesuatu yang tidak boleh digunakan dan dijadi kan perhiasan, maka wajib dizakati.”

Menurut sebagian ulama, maqashid (tujuan) larangan setiap lakilaki menggunakan cincin emas juga larangan membuat dan memiliki alatalat hiasan dari emas tersebut adalah berlebih-lebihan dan membiarkan aset-aset yang seharusnya produktif, tetapi menjadi tidak produktif.

Oleh karena itu, setiap aset yang bernilai, berkembang, dan berpotensi jadi modal, tetapi tidak dikembangkan dan tidak digunakan untuk kebutuhan asasinya itu wajib zakat. Seperti memiliki tanah dan bangunannya yang hanya digunakan untuk kebutuhan pelengkap. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW; “Kembangkanlah (dagangkan lah) harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat.” (HR Thabrani).

KHAZANAH REPUBLIKA


Nasihat Imam Nawawi Soal Etika Berbangsa dan Bernegara

Karya Syekh Nawawi al-Bantani berjudul al-Futuhat al-Madaniyah fis Syu’ab al-Imaniyah merupakan kitab penuh hikmah yang mengajarkan masyarakat tentang keimanan. Dia menjelaskan beberapa akhlak yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti mengemban kekuasaan dengan adil pada poin ke-50. Pemimpin harus membuat keputusan dengan benar di tengah masyarakat.

Hindari hawa nafsu yang hanya membawa pemimpin kepada kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kemaslahatan masyarakat luas. Kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di kehidupan dunia sekaligus akhirat. Masyarakat akan menilai apakah kepemimpinan berjalan dengan baik atau tidak. Allah juga akan mengganjar kepemimpinan baik dengan pahala atau bahkan siksaan.

Kekuasaan yang paling kecil adalah atas diri sendiri dan seluruh anggota tubuh. Laksanakanlah segala aturan Allah pada diri Anda karena Anda adalah wakil Allah atas segala kondisi pada diri sendiri dan semua yang lebih luas dari itu, tulis syekh kelahiran 1813 masehi.

Termasuk akhlak berbangsa adalah patuh kepada pemimpin (ulul amr). Meskipun pemimpin itu adalah seorang budak buruk rupa, masyarakat wajib menaatinya, selama apa yang diperintahkan adalah kebaikan.

Dalam menjelaskan poin ke-51 ini, Syekh Nawawi menuliskan kisah seorang non-Muslim memasuki sebuah daerah. Ketika itu dia melihat masyarakat ramai ber kerumun untuk menyaksikan pemimpin mereka datang. Orang tersebut ikut berkumpul. Ketika itu dia tercengang, karena pemimpin yang dimuliakan itu dulunya dia kenal sebagai budak.

Sejak itu dia menyadari bahwa Allah de ngan kuasanya mampu mengubah mem bolak-balik keadaan manusia. Dia ke mudian mengikrarkan keimanan kepada Allah dan Rasulullah.

Secara tersirat Syekh Nawawi menjelaskan bahwa iman tak sekadar tertanam dalam hati atau sebatas kata-kata manis. Lebih dari itu, keyakinan harus terwujud dalam laku-kata yang terpuji, yang tidak menyakiti hati orang lain, mendukung kemajuan hidup, dengan dasar keimanan yang kokoh.

KHAZANAH REPUBLIKA


Tidak Hanya Memikirkan Amalan untuk Diri Sendiri

Ada dua amalan yang perlu kita kenal, yaitu: amalan muta’addi dan amalan qashir.

  • Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
  • Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.

Para fuqoha menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.

Dalil pertama:

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)

Dalil kedua:

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426).

Dalil ketiga:

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini –masjid Nabawi– selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jaami’ no. 176). Lihatlah memenuhi hajat orang lain dibandingkan dengan amalan iktikaf. Memenuhi hajat orang lain termasuk amalan muta’addi, lebih besar pahalanya dibanding dengan amalan iktikaf yang merupakan amalan qaashir.

Dalil keempat:

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552)

Contoh beberapa amalan muta’addi yang bisa kita praktikkan:

  1. Berdakwah ilallah (mengajaka pada agama Allah) karena orang yang berdakwah telah memiliki perkataan terbaik.
  2. Mengajarkan ilmu agama. Imam Syafii dan ulama Syafiiyah mengatakan bahwa belajar agama dan mengajarkan ilmu agama lebih baik daripada amalan sunnah.
  3. Membangun masjid, balasannya adalah akan dibangun istana di surga.
  4. Memberi nasihat dan mewujudkan kebaikan terkait hak Allah, kitab Allah, Rasul Allah, penguasa, ulama, dan kaum muslimin secara umum.
  5. Mendamaikan yang berselisih.
  6. Memberi syafaat (menjadi perantara) untuk orang lain agar terpenuhi hajatnya.
  7. Menolong orang yang dizalimi.
  8. Membantu hajat kaum muslimin dan menolong orang yang terkena musibah.
  9. Bersedekah pada fakir miskin dan yang membutuhkan.
  10. Memberikan pinjaman pada orang lain tanpa memberikan riba dan memberikan tenggang waktu jika ia sulit melunasi utang.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22113-khutbah-jumat-tidak-hanya-memikirkan-amalan-untuk-diri-sendiri.html

Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi

Contoh Amalan Muta’addi #11: Al-Qordh Al-Hasan (Peminjaman Utang yang Baik) dan Memberikan Tenggang Waktu bagi yang Susah

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sahih lighairihi).

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, 5:360. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawinya terpercaya termasuk perawi syaikhain kecuali Sulaiman bin Buraidah, ia merupakan perawi Muslim. Syaikh Al-Albani juga menyatakan sanad hadits ini sahih sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 86, 1:170).

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ

Beberapa malaikat menjumpai ruh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, ‘Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?’ Kemudian dia mengatakan, ‘Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tenggang waktu dan membebaskan utang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.’ Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari, no. 2077)

Contoh Amalan Muta’addi #12: Memberi makan

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Islam yang bagaimana yang paling baik?’ Beliau bersabda, ‘Memberi makan (pada yang butuh), juga mengucapkan salam pada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (HR. Bukhari, no. 12 dan Muslim, no. 39)

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا. فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi, no. 1984. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فُكُّوا الْعَانِىَ – يَعْنِى الأَسِيرَ – وَأَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ

Bebaskanlah tahanan, berilah makan orang yang lapar, dan jenguklah orang sakit.”(HR. Bukhari, no. 3046)

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22197-memberi-pinjaman-dan-memberi-makan.html

Allah Mengampuni Dosa dengan Amalan Hari Jumat

HARI Jumat adalah hari yang mulia bagi kaum muslimin. Banyak keutamaan yang terkandung pada Hari Jumat. Dan kita bisa meraih banyak pahala sekaligus ampunan Allah bila kita mengamalkan amalan yang khusus ada pada Hari Jumat. Yakni ibadah shalat Jumat.

Barangsiapa yang berwudhu lalu memperbagus wudhunya kemudian dia mendatangi shalat Jumat, dia mendengarkan khutbah dan diam, maka akan diampuni dosa-dosanya antara Jumat dengan Jumat yang akan datang, ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang bermain kerikil, sungguh ia telah berbuat sia-sia,. (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits di atas, dosa-dosa kita dari Hari Jumat ke Jumat akan Allah ampuni dengan sebab amalan yang kita lakukan pada Hari Jumat.

Tahapan amalan Hari Jumat agar Allah mengampuni dosa kita adalah yang pertama kita berwudhu dengan sempurna dalam rangka menghadiri shalat Jumat. Dan sebaiknya wudhu ini dilakukan di rumah. Sebab hal ini memiliki keutamaan tersendiri.

Berikutnya datang ke masjid lebih awal agar kita tidak tertinggal khutbah dari pertama khatib/imam naik mimbar. Hal ini memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah kita akan mendapatkan shaf lebih dekat dengan imam dan ini adalah keutamaan, juga nama kita akan dicatat malaikat yang ada di pintu masjid karena kita datang sebelum khatib naik mimbar.

Kita diam khusyuk mendengarkan khutbah imam dari awal hingga selesai. Bukan tertidur maupun melakukan suatu hal/perbuatan meskipun hal itu baik. Misalnya dalam rangka amar maruf nahi mungkar, saat khutbah berlangsung kita menegur jamaah yang lain untuk diam. Maka itu sebuah kesia-siaan.

Mari dirikan ibadah shalat Jumat dengan memerhatikan hadits di atas agar kita mendapatkan keutamaan berupa diampuninya dosa kita oleh Allah dari Jumat ke Jumat.

Allahu Alam.

INILAH MOZAIK

Jalan Hidup Tak Selalu Lurus Kadang Belok Mendadak

Kiai Semar melanjutkan dawuh: “Hidup ini unik, dan seringkali sulit ditebak. Ada orang yang dipenjara dan dihinakan dengan putusan kejam para hakim yang biasa terima suap. Sekeluar dari penjara, orang itu menjadi jauh lebih mulia dibandingkan para hakim laknat itu yang akhirnya terhina karena tertangkap KPK.” Unik, bukan? Jangan sedih kalau kalian dihinakan kini, yang penting tetap bersama Allah maka kamu akan menjadi mulia. Sudah, sana pulang, jangan lupa selalu rajin ke pengajian. Salam saya ke pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim itu ya.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK