Hikmah Wukuf : Haji Mabrur Wujudkan Kepedulian Sosial, dan Tebarkan Kedamaian

Arafah (Kemenag) — Setiap jemaah haji dipastikan ingin menjadi haji yang mabrur, lalu apa saja tanda haji mabrur?

Naib Amirul Hajj KH Bunyamin Ruhayat mengatakan, “bila ingin mendapat haji mabrur dengan balasan surga, maka wujudkan kepedulian sosial, dan tebarkan kedamaian di tengah masyarakat setelah kembali ke tanah air”.

Dalam khutbah wukuf yang disampaikan di Arafah, ia berharap agar para jemaah haji, sekembalinya ke tanah air, dapat menjadi duta perdamaian dan kepedulian sosial, yang akan melakukan perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik.

KH Bunyamin mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar haji yang laksanakan menjadi mabrur.

“Tidak seorang pun tahu secara pasti, apakah mabrur atau tidak hajinya. Itu prerogatif Allah. Kita hanya bisa mengenali kemabruran haji melalui tanda-tandanya,” ujarnya.

Ketika ditanya tanda-tanda haji mabrur, Rasulullah SAW menjawabnya dengan dua hal yakni memberi makan orang miskin, dan menebar salam.

“Memberi makan fakir miskin adalah simbol kepedulian, dan menebar salam adalah simbol kedamaian,” imbuhnya.

KH Bunyamin juga menerangkan bahwa cara memperoleh haji mabrur adalah berhaji dengan dilandasi niat karena Allah semata.

“Meski dalam berhaji diperkenankan melakukan aktifitas lain, seperti berdagang atau mencari manfaat dunia lainnya, tetapi tujuan utama berhaji adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridaan-Nya,” tuturnya.

Naib Amirul Hajj ini juga menyampaikan bahwa para jemaah haji yang dapat memperoleh predikat haji mabrur adalah mereka yang mengeluarkan biaya haji dari sumber yang halal.

Sebagaimana Hadist Riwayat AlThabrani dari Abu Hurairah :

Apabila seseorang pergi berhaji dengan biaya yang bersumber dari yang baik, meletakan kakinya dalam kendaraan, lalu membaca talbiyah, seseorang akan memanggilnya dari arah langit, “aku terima panggilanmu dan berbahagialah, bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur, serta tidak berdosa”. Bila ia melakukannya dengan biaya yang bersumber dari yang tidak baik, meletakkan kakinya di kendaraan, lalu berkata, “labbayka”, ada suara panggilan dari arah langit, “1ô labbayka walô sa ‘dayka” (anda tertolak), bekalmu haram, biaya yang kamu gunakan haram, dan hajimu tidak mabrur” (HR. AlThabrani dari Abu Hurairah).

Sedangkan cara selanjutnya agar memperoleh predikat haji mabrur adalah melaksanakan ibadah haji sesuai dengan syariat Rasulullah SAW

“Melaksanakan ibadah haji adalah napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim,” tutur KH Bunyamin.

Beliaulah yang pertama kali diperintahkan berhaji dengan tatacara (manasik) yang ditetapkan-Nya. Dalam perjalanannya, ibadah haji mengalami banyak penyimpangan. Sampai pada akhirnya Allah mengutus Nabi Muhammad Saw.

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah,” (QS. Al-Baqarah: 196).

KEMENAG RI


Kurban di Daerah Domisili atau Daerah Lain?

Pertimbangan berqurban di daerah yang kita tinggali atau qurban di daerah lain, kita lihat mana yang lebih besar maslahatnya. Di antaranya, dengan melihat masyarakat mana yang lebih fakir dan butuh daging qurban. Karena sasaran yang dimaksudkan dalam penetapan hukum syar’i ini adalah kemaslahatan. Mana yang maslahatnya lebih besar, itulah yang kita pilih.

Terlebih, tidak ditemukannya dalil eksplisit (nash) yang membatasi qurban harus di daerah domisili. Syaikh As-Sa’di menerangkan dalam Mandzumah Qawaid Fiqhiyyah,

الدين مبنىّ على المصالح ** في جلبها والدرء للقبائح

فإن تزاحم عدد المصالح ** يقدم الأعلى من المصالح

“Agama ini dibangun di atas maslahat. Baik dalam rangka mendatangkan maslahat atau mencegah mudharat.”

Bila terjadi pertemuan antara sejumlah maslahat. Maka dahulukan mana yang lebih besar maslahatnya.

Maka menimbang hal tersebut di atas, apabila daerah lain dipandang lebih miskin dan lebih butuh, atau karena alasan lain di sana ada kerabat kita (dalam rangka silaturahim), maka boleh berqurban di daerah tersebut. Karena apabila zakat saja yang hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan ulama (ijma’), boleh dioper ke daerah lain yang lebih membutuhkan, terlebih sembelihan qurban yang hukumnya sunah.

Di samping itu, amal kebaikan apabila semakin banyak manfaatnya, akan semakin besar pula pahalanya. Menyalurkan qurban ke daerah lain yang dipandang lebih butuh akan lebih besar manfaatnya dari pada daerah domisili, yang masyarakatnya kaya. Manfaat akan benar-benar dirasakan oleh kaum miskin dan juga untuk orang yang berqurban, berupa pahala dan keberkahan, karena harta yang ia dermakan benar-benar dirasakan manfaat dan maslahatnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan, setelah beliau mempelajari dalil-dalil qur`an dan hadits,

ولكنَّ خيرَ الأعمال ما كان لله أطوع، ولصاحبه أنفع

Sebaik-baik amal shalih, adalah yang paling besar unsur ketaatannya kepada Allah dan yang paling besar manfaatnya bagi pelakunya’’ (Majmu’ Fatawa 22/313).

Namun, bila bukan karena alasan di atas, artinya di daerah lain masyarakatnya sudah berkecukupan dan bukan karena motivasi menyambung silaturahim (kerabat atau keluarga), tentu lebih utama berqurban di daerah domisili. Karena berqurban di tempat kita domisili, lebih memudahkan dalam menjalankan sunah-sunah qurban. Seperti menyembelih hewan qurbannya sendiri, menghadiri penyembelihan, memakan 1/3 dari daging qurban, dan dapat berbagi kepada tetangga dan kerabat kita yang dekat. Hal-hal seperti ini akan sulit dilakukan bila berqurban dilakukan di daerah lain.

Syaikh Abdullah Jibrin rahimahullah menjelaskan dalam salahsatu fatwa beliau,

يفضل ذبحها في البلد الذي أنت فيه ، لتحضر الذبح وتسمي عليها وتأكل وتهدي وتتصدق أثلاثًا، لكن إن كان البلد غنيًا ولا يوجد فيه فقراء ، وإذا أعطيت بعضهم خزنه أيامًا ولديهم اللحوم متوفرة طوال السنة ، جاز إرسالها لمن يحتاجها من البلاد الفقيرة الذين يعوزهم اللحم ، ولا يوجد عندهم إلا نادرًا، ولابد من تحقق ذبحه في أيام الذبح، وتحقق ذبح السن المجزئة السالمة من العيوب ، وتحقق أمانة من يتولى ذلك ، والله أعلم

“Yang lebih utama, berqurban di daerah domisili Anda. Supaya Anda dapat menghadiri prosesi penyembelihan, menyebut nama Allah saat menyembelih, kemudian memakan 1/3 nya, menghadiahkan 1/3 dan menyedekahkan 1/3.”

Namun, apabila di daerah tersebut penduduknya berkecukupan, tidak ditemui kaum fakir, sehingga apabila anda berqurban disitu justru masyarakat setempat akan menyimpannya beberapa hari kedepan, karena mereka memiliki stok daging yang sangat cukup sepanjang tahun, maka boleh mengirimkan qurban ke daerah miskin yang kurang suplai daging, atau ada persediaan daging namun jarang.

Asal dipastikan, penyembelihan dilakukan di hari raya atau tiga hari tasyrik. Kemudian hewan qurbannya juga dipastikan yang sah untuk berqurban; bebas dari cacat, serta orang yang dijadikan wakil penyembelihan haruslah orang yang amanah.”

(http://cms.ibn-jebreen.com/fatwa/home/section/1261).

Demikian pula dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah no. 43778,

إن كانت هنالك مصلحة راجحة تقتضي إرسالها إلى بلد آخر جاز ذلك، وكانت أضحية تجزيء عنه ما دام قد نوى بها الأضحية

“Apabila di daerah lain terdapat maslahat yang kuat, yang menuntut untuk mengirimkan hewan qurban ke daerah tersebut, maka boleh-boleh saja berqurban di daerah lain. Sembelihan qurban tersebut dihukumi sah selama seorang mendermakan hewan qurbannya dengan meniatkan sebagai sembelihan qurban.’’

***

Penulis: Ahmad Anshori 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/31748-kurban-di-daerah-domisili-atau-daerah-lain.html

Bolehkah Berkurban dengan Kerbau?

Sebagaimana kita ketahui bahwa kewan kurban hanya ada tiga jenis yang disebut dengan “bahimatul an’am” yaitu unta, sapi dan kambing. Selain tiga hewan ini, tidak sah kurban yang dikurbankan. Muncul pertanyaan bagaimana apabila ingin berqurban dengan kerbau? terlebih di beberapa daerah di Indonesia jumlah kerbau cukup banyak

Jawabannya: boleh dan sah berkurban dengan kerbau karena kerbau sejenis dan mirip dengan sapi

Berikut sedikit pembahasannya:

Hewan kurban harus dalam bentuk “bahimatul an’am” sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” [Al-Hajj Ayat 34]

Bahimatul an’am adalah unta, sapi dan kambing. Beberapa ulama menyamakan antara sapi dan kerbau.Al-Fayumi berkata,

الجاموس : نوع من البقر

“Di antara jenis sapi adalah kerbau.” [Al-Mihbah Al-Munir 1/108]

Bahkan ada klaim ijma; bahwa kerbau itu sebagaimana hokum sapi yaitu termasuk bahimatul an’am. Ibnu Mundzir berkata,

و أجمعوا على أن حكم الجواميس حكم البقر

“Para ulama bersepakat bahwa hukum kerbau sebagaimana hukum sapi.” [Al-Ijma’ hal. 52]

Syaikh Muhammad bins Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan demikian, beliau berkata:

الجاموس نوع من البقر، والله عز وجل ذكر في القرآن المعروف عند العرب الذين يُحرّمون ما يريدون، ويبيحون ما يريدون، والجاموس ليس معروفًا عند العرب.

“Kerbau merupakan jenis sapi. Allah menyebutkan dalam Al-Quran hewan-hewan yang telah dikenal oleh bangsa Arab yang mereka diharamkan dan mereka diperbolehkan. Kerbau memang tidak dikenal oleh bangsa Arab.” [Liqa’ Babil Maftuh 200/27]

Secara ilmu taksonomi kerbau dan sapi juga berdekatan yaitu sama-sama berasal dari subfamilia yang subfamilia Bovinae, hanya berbeda genus saja. Kerbau dan sapi memiliki hukum yang sama, kerbau juga bisa untuk tujuh orang sebagaimana sapi.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50659-bolehkah-berkurban-dengan-kerbau.html

Hadits: Pagi Beriman dan Sorenya Kafir

Terdapat sebuah hadits menjelaskan bahwa seseorang bisa beriman pada pagi, namun sorenya menjadi kafir, sebaliknya sore hari beriman, menjadi kafir pada pagi hari. Waktu yang berubah sangat cepat dalam jangka waktu tidak sampai sehari. Bisa jadi paginya ia masih beriman adanya Rabb pencipta Alam, sorenya ia sudah kafir/mengingkari mengenai ada Rabb pencipta di dunia. Apakah benar bisa demikian?

Jawabnya: bisa saja, terlebih di zaman ini di mana syubhat (kerancuan) sangat cepat menyebar melalui internet dan media sosial. Ternyata banyak menyebar tulisan, video dan materi yang bisa menyebabkan orang ragu akan keimanannya dan akhirnya mengingkari (kafir). Tulisan tentang orang yang tidak percaya akan adanya Rabb pencipta (atheis) sangat banyak menyebar. Demikian juga keyakinan bahwa semua agama itu sama saja yang penting menjalani hidup. Bisa saja pagi harinya dia beriman, tetapi sore harinya dia sudah kafir sebagaimana hadits berikut

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” [HR. Muslim]

Maksud dari kafir di sini bukanlah makna kiasan, tetapi makna sesungguhnya yaitu lawan dari iman atau tidak beriman lagi dengan agamanya. Al-Qurthubi menjelaskan hal ini, beliau berkata

ولا إحالة ولا بعد في حمل هذا الحديث على ظاهره، لأن المحن والشدائد إذا توالت على القلوب أفسدتها بغلبتها عليها، وبما تؤثر فيها من القسوة و الغفلة التي هي سبب الشقوة

“Bukan tidak mungkin untuk memaknai hadits ini dengan makna dzahirnya (benar-benar kafir), karena ujian dan fitnah apabila datang berturut-turut akan merusakn hati dan mengalahkannya. Akan memberikan pengaruh/dampak berupa kerasnya hati, kelalaian yang merupakan sebab kebinasaan.” [Al-Mufhim 1/326]

Hadits di atas juga memotivasi kita agar bersegera untuk beramal sebelum datang waktu di mana kita tidak mampu beramal lagi seperti sakit parah mendadak atau kematian mendadak yang cukup banyak terjadi di zaman ini. Inilah yang ditekankan oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata:

المؤمن يبادر بالأعمال، يحذر قد يبتلى بالموت العاجل، موت الفجأة، قد يبتلى بمرض يفسد عليه قوته، فلا يستطيع العمل، يبتلى بهرم، يبتلى بأشياء أخرى

“Seorang mukmin hendaknya segera beramal dan berhati-hati apabila diuji dengan kematian yang disegerakan atau kematian mendadak, demikian juga diuji dengan penyakit yang melumpuhkan kekuatannya atau diuji dengan ketuaan yang lemah atau diuji dengan hal lainnya.”/ [https://binbaz.org.sa/fatwas/20125]

Para ulama memperingatkan kita bahwa zaman ini adalah zamannya fitnah dan ujian serta sibuknya manusia dengan urusan duniannya yang melalaikan. Dua sumber utama fitnah yaitu syubhat dan syahwat sangat mudah menyambar manusia di era internet dan sosial media saat ini. Fitnah tersebut perlahan-lahan akan mengeraskan hati sebagaimana tikat yang dianyam,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا

“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]

Semoga Allah menjaga kita dari berbagai fitnah yang begitu dahsyat di zaman ini.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50528-hadits-pagi-beriman-dan-sorenya-kafir.html

Pilih Kurban Sapi Tujuh Orang atau Satu Kambing Sendiri?

Assalamu ‘alaikum.  Umumnya masyarakat di tempat kami lebih menyuukai urunan atau patungan sapi dari pada kurban kambing (perorangan). Mana yg lebih afdhal, ikut urunan sapi atau kurban sendiri dengan satu kambing? Jazaakumullah khoiran

Tri S.

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam
Sebagian ulama menjelaskan, kurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau unta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (Shahih Fiqh Sunnah, 2:375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 dan Syarhul Mumthi’ 7:458).
Imam As-Saerazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Kambing (sendirian) lebih baik dari pada urunan sapi tujuh orang. Karena orang yang berkurban bisa menumpahkan darah (menyembelih) sendirian.” (Al Muhadzab 1:74).

Di antara alasan lain yang menunjukkan lebih utama kurban sendiri dengan seekor kambing adalah sebagai berikut:
Kurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun unta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 unta (urunan dengan sahabat).

Kegiatan menyembelihnya menjadi lebih banyak. Ada hadis yang menyebutkan keutamaan menumpahkan darah ketika ‘Idul Adha, namun hadisnya lemah.

Ada sebagian ulama yang melarang urunan dalam berkurban, diantaranya adalah Mufti Negeri Saudi, Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa Lajnah Daimah 11:453). Namun pelarangan ini didasari dengan kiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunah, sehingga jelas salahnya. Akan tetapi, berkurban dengan satu ekor binatang utuh, setidaknya akan mengeluarkan kita dari perselisihan ulama.
Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Read more https://konsultasisyariah.com/8180-kurban-sapi-atau-kambing.html

Macam-Macam Syirik dalam Ibadah (bag. 15): Menyembelih yang Bernilai Tauhid

Menyembelih yang bernilai tauhid

Menyembelih yang bernilai ibadah dan tauhid adalah berciri khas sebagai berikut :

– Ritual pengaliran darah binatang tersebut dipersembahkan untuk Allah semata,

– dalam rangka mengagungkan-Nya semata (ta’zhimullah wahdah),

– merendahkan diri kepada-Nya semata (tadzallul lillah wahdah),

– mendekatkan diri kepada-Nya semata (taqarrub ilallah wahdah),

– memohon keberkahan (tabarruk) dari-Nya semata,

– memohon pertolongan hanya kepada-Nya semata dalam aktifitas menyembelih tersebut (isti’anah billah wahdah),

menyebut nama-Nya (tasmiyyah) saja ketika akan menyembelih, – hati bergantung hanya kepada-Nya semata (ta’alluqul qolb billah wahdah).

– mengharap pahala dari Allah Ta’ala semata.

– dan dengan tata cara yang sesuai dengan Sunnah.

Menyembelih yang bernilai ibadah seperti ini tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah dan wajib dipersembahkan hanya kepada-Nya saja.

Allah Ta’ala menjelaskan ibadah menyembelih itu wajib dipersembahkan hanya kepada-Nya saja dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

(162) Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadah menyembelih yang kulakukan, hidupku dan matiku hanyalah untuk dan milik Allah, Tuhan semesta alam.

لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

(163) Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)”.[QS. Al-An’aam:162-163].

Demikian agungnya ibadah menyembelih yang dipersembahkan untuk Allah semata itu, maka pantaslah apabila ulama menjelaskan bahwa dalam ibadah menyembelih terdapat berbagai macam peribadatan, baik ibadah-ibadah hati sebagaimana telah disebutkan di atas, maupun ibadah lahiriyyah, yaitu : menggerakkan tangan untuk mengiriskan pisau di leher binatang dengan tata cara sesuai Sunnah, dan menyebut nama Allah dengan lisannya.

Contoh menyembelih yang bernilai tauhid

1 Menyembelih binatang yang dipersembahkan untuk Allah Ta’ala semata, mendekatkan diri kepada-Nya semata dan dilakukan dengan menyebut nama Allah Ta’ala saja dengan cara yang disyari’atkan, seperti: menyembelih hewan qurban di Hari Raya Idul Adha, dan saat menunaikan ibadah haji.

Orang yang melakukan bentuk menyembelih yang seperti ini berarti ia telah menggabungkan dua macam tauhid, yaitu: Tauhid Uluhiyyah, karena tujuan menyembelihnya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala semata, dan Tauhid Rububiyyah, karena menyebut nama Allah Ta’ala saja, dan memohon pertolongan dan keberkahan kepada-Nya semata. Hal ini mengandung pengesaan Allah dalam perbuatan-Nya.

2. Menyembelih binatang dengan menyebut nama Allah Ta’ala saja, dan dengan cara menyembelih yang sesuai Sunnah, dengan tujuan untuk dimakan atau dihidangkan kepada tamu dalam rangka menjamunya. Tidak ada niat pada diri pelakunya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada selain Allah, dantidak ada niat pula mengagungkan selain Allah Ta’ala.

Maka bentuk menyembelih yang seperti ini masih ada unsur tauhidnya, yaitu: menyebut nama Allah Ta’ala saja, ini adalah Tauhid Rububiyyah.

Dan pada cara menyembelih yang sesuai Sunnah terdapat Tauhid Uluhiyyah, karena mentaati Allah dalam tata cara menyembelih binatang. Sedangkan tidak ada bentuk kesyirikan, karena tidak ada niat pada diri pelakunya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada selain Allah, dan tidak ada niat pulamengagungkan selain Allah Ta’ala, serta tidak menyebut nama selain Allah.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Said Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50479-macam-macam-syirik-dalam-ibadah-bag-15-menyembelih-yang-bernilai-tauhid.html

Tuntunan Hari Raya dan Takbiran

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum
Ana mau tanya bagaimana tuntunan dalam berhari raya? Bagaimana juga tuntunan mengumandangkan takbir?

Jawaban Ustadz:

Adapun berkenaan dengan tuntunan berhari-raya dapat kami simpulkan sebagai berikut di bawah ini dari kumpulan beberapa kitab dan risalah berkenaan masalah 2 hari raya:

Pertama, Bersuci dengan mandi untuk hari raya, berdasarkan riwayat dari Nafi’ bahwa Abdullah Bin Umar mandi di hari raya ‘Idul Fitri sebelum berangkat ke Musholla (tanah lapang untuk sholat) (HR. Imam Malik)

Kedua, Makan pada hari raya ‘Idul Fitri sebelum melaksanakan sholat dan tidak makan di hari raya ‘Idul Adha sampai selesai sholat, hal ini berdasarkan hadits dari Anas Bin Malik beliau berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau memakan beberapa butir kurma.” (HR. Bukhari), dan riwayat lain dari Buraidah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya Idul Adha tidak makan sampai kembali, lalu makan dari sembelihan kurbannya (HR. Tirmidzi)

Ketiga, berhias dan mempercantik diri dengan memakai pakaian yang terbaik yang ada serta memakai minyak wangi dan bersiwak, sebagaimana Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad (I/441) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki Hullas (sebuah jenis pakaian khusus) untuk berhari raya.

Keempat, disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, tenang dan santai ke Musholla (tanah lapang), dan pulang melewati jalan yang lain, berdasarkan perkataan Imam Sa’id bin Mussayib, “Sunah Idul Fitri ada tiga: berangkat ke Musholla, makan sebelum berangkat dan mandi.” Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad ( I/449) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki dan keluar melalui jalan yang berbeda pada hari raya.” (Riwayat Al-Firyabi dengan sanad shahih lihat Irwaul Gholil 2/104)

Adapun masalah tuntunan mengumandangkan takbir dalam hal ini kami jelaskan dulu tentang jenis-jenis takbir, bahwa takbir terdiri dari 2 jenis yaitu Takbir Mutlak (bebas) dan Takbir Muqoyyad (terikat). Takbir Mutlak menurut pendapat yang rajih (kuat), disyaratkan pada dua malam hari raya sampai selesai khutbah demikian juga disyaratkan di 10 hari pertama bulan Zulhijah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah di dalam Al Mughni (3/256) berkenaan takbir di malam dua hari raya dimulai dari melihat hilal bulan syawal (jika memungkinkan dan jika tidak maka dimulai dari sampai berita ‘Id melalui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari tanggal 30 Ramadhan), sedangkan pada malam ‘Idul Adha mulai dari terbenamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskannya, “Pendapat yang rajih dalam masalah takbir yang menjadi amalan mayoritas salaf dan ahli fikih dari kalangan sahabat dan para imam adalah bertakbir dari fajar hari Arafah sampai akhir hari tasyrik setelah sholat, disyaratkan bagi setiap orang mengeraskan takbirnya ketika keluar dari sholat ‘Id dan inilah kesepakatan dari 4 imam mazhab. Adapun takbir Idul Fitri dimulai dari melihat hilal dan berakhir dengan selesainya ‘Ied yaitu selesainya imam dari khutbah menurut pendapat yang benar.” (Lihat Majmu Fatawa XXIV/220-221).

***

Penanya: Partono
Dijawab oleh: Ust. Jundi Abdullah, Lc.
(Staf Pengajar Islamic Centre Bin Baz)

Sumber: muslim.or.id

Read more https://konsultasisyariah.com/335-tuntunan-hari-raya-dan-takbiran.html

Kurban dengan Kambing Betina

Pertanyaan, ‘Assalamu alaikum, maaf mau tanya, apakah hewan kurban harus jantan? Boleh tidak berkurban dengan kambing betina?

Jazaakumullah khairan

Tri jogja (trXXXXX@yahoo.com)

Kurban dengan Kambing Betina

Wa alaikumus salam…

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan kurban. Sehingga boleh berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Dalilnya, hadis dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو إناثا

“Akikah untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (H.r. Ahmad 27900 dan An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

Berdasarkan hadis ini, As Sayrazi As Syafi’i mengatakan,  “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika akikah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berkurban.” (Al Muhadzab 1/74).

Hanya saja, bagi Anda yang mampu membeli hewan jantan, sebaiknya tidak berkurban dengan betina. Mengingat hewan jantan umumnya lebih mahal dan lebih bagus dari pada betina. Sementara kita disyariatkan agar memilih hewan sebaik mungkin untuk kurban. Sehingga pahalanya lebih besar. Allah berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Siapa yang mengagungkan syiar Allah maka itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Q.s. Al-Haj: 32)

Ibn Abbas mengatakan, “Mengagungkan syiar Allah (dalam berkurban) adalah dengan mencari yang paling gemuk dan paling bagus.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/421)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Read more https://konsultasisyariah.com/7963-kurban-dengan-kambing-betina.html

Hukum Mengumumkan Barang Hilang Di Masjid

Ketika seseorang kehilangan barangnya di masjid, apakah yang harus dilakukan? Bolehkah mengumumkan kehilangan barang di masjid? Karena terdapat dalil-dalil yang melarang mengumumkan kehilangan barang di masjid. Mari kita simak pemaparan berikut ini.

Dalil-Dalil Larangan Mengumumkan Kehilangan Barang

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ : لَا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ ؛ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

“Barangsiapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, maka katakanlah kepadanya: semoga Allah tidak mengembalikan barang tersebut kepadamu. Karena masjid tidak dibangun untuk itu.” (HR. Muslim no.568).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk mendoakan keburukan kepada orang yang mengumumkan barang hilang di masjid, ini menunjukkan celaan terhadap perbuatan tersebut.

Dari Buraidah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ : مَنْ دَعَا إِلَى الْجَمَلِ الْأَحْمَرِ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا وَجَدْتَ ؛ إِنَّمَا بُنِيَتْ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ ) .

“Pernah ada seseorang di masjid, ia berkata: siapa yang bisa menunjukkan untaku yang berwarna merah? Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: semoga untamu tidak ditemukan, sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk itu.” (HR. Muslim no.569).

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وقد ذكر الله تعالى المساجد بأنها بيوت أذن الله أن ترفع ويذكر فيها اسمه وأن يسبح له فيها بالغدو والآصال، فلهذا بنيت ، فينبغي أن تنزه عن كل ما لم تبن له

“Allah Ta’ala menyebut masjid sebagai “rumah-rumah yang disebutkan di sana dzikir-dzikir kepada Allah, dan tasbih di setiap pagi dan sore” (QS. An Nur: 36). Inilah tujuan dibangunnya masjid. Maka hendaknya masjid dijauhi dari setiap hal yang bukan menjadi tujuan dibangunnya masjid” (Al Istidzkar, 2/368).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

جاء رجل ينشد ضالة في المسجد فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم:((لا وجدت))

Datang seseorang yang mengumumkan barang hilangnya di masjid. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: semoga tidak ditemukan.” (HR. An Nasa-i no.716, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

An Nawawi rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَرَ أَنْ يُقَال مِثْل هَذَا , فَهُوَ عُقُوبَة لَهُ عَلَى مُخَالَفَته وَعِصْيَانه

“Nabi perintahkan untuk mendoakan demikian sebagai hukuman bagi orang yang melakukannya terhadap pelanggaran yang ia lakukan dan maksiat yang ia lakukan.” (Syarah Shahih Muslim, 19/47).

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu, ia berkata:

نهى عن الشراء والبيع في المسجد، وأن تنشد فيه ضالة، وأن ينشد فيه شعر، ونهى عن التحلق قبل الصلاة يوم الجمعة

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual-beli di masjid, melarang mengumumkan barang hilang di masjid, melarang melantunkan sya’ir di masjid, dan melarang membuat halaqah sebelum shalat Jum’at di masjid.” (HR. Abu Daud no.1079, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Demikian juga terdapat riwayat dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu,

إِنَّ عمرَ بنَ الخطابِ بنَى إلى جانِبِ المسجِدِ رحْبَةً فسمَّاها البُطَيْحَاءَ فكانَ يقولُ منْ أرادَ أنْ يَلْغَطَ أو يُنشِدَ شعْرًا أو يرفَعَ صوْتًا فليخرُجْ إلى هذِهِ الرحبَةِ

“Bahwa Umar bin Khathab radhiallahu’anhu membangun suatu teras khusus di sisi masjid kemudian teras tersebut dinamakan Al Bathiha. Kemudian Umar mengatakan: siapa yang ingin bermain-main atau ingin membacakan sya’ir atau ingin mengumumkan sesuatu dengan suara keras maka keluarlah ke teras ini.” (HR. Al Baihaqi, 2/368, Syaikh Al Albani dalam Islahul Masajid [112] mengatakan: “semua perawinya tsiqah namun sanadnya munqathi’“).

Hukum Mengumumkan Kehilangan Barang Di Masjid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengumumkan kehilangan barang di masjid menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama:

Hukumnya makruh. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari empat madzhab. Argumen jumhur ulama adalah bahwa larangan tersebut bukan larangan yang sifatnya ta’abbudiy (ibadah), namun larangan tersebut ma’qul lil ma’na (bisa dipahami maksudnya), yaitu karena menimbulkan tasywisy (gangguan terhadap ibadah), adanya raf’us shaut (suara keras), dan laghat (kesia-siaan).

Pendapat kedua:

Hukumnya haram. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Berdasarkan zahir hadits-hadits yang menunjukkan celaan kepada orang yang melakukannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

لا يجوز أن ينشد الضالة في المسجد بل هو حرام وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر من سمعه أن يَدْعُوَ عليه فيقول (لا ردها الله عليك)

“Tidak diperbolehkan mengumumkan barang hilang di masjid, bahkan hukumnya haram. Karena Nabi Shallalalhu’alaihi Wasallam memerintahkan orang yang mendengarnya untuk mendoakan: semoga Allah tidak mengembalikan barangmu” (Ta’liqat ‘alal Kafi, 5/227).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

إنشاد الضوال عن طريق مكبرات الصوت في المسجد لا يجوز ولو كان قصد الخير والمنفعة، فما دام في المسجد فلا يجوز؛ لعموم الحديث، وهو قوله ﷺ: من سمع رجلًا ينشد ضالته في المسجد فليقل: لا ردها الله عليك. وهذا حديث صحيح؛ ولأن المساجد ما بنيت لهذا

“Mengumumkan barang hilang di masjid melalui pengeras suara tidak diperbolehkan, walaupun niatnya baik dan walaupun bermanfaat. Selama itu dilakukan di dalam masjid maka tidak diperbolehkan. Berdasarkan keumuman hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: Barangsiapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, maka katakanlah kepadanya: semoga Allah tidak mengembalikan barang tersebut kepadamu. Karena masjid tidak dibangun untuk itu. Ini adalah hadits yang shahih. Karena masjid bukan dibangun untuk itu” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/20447).

Wallahu a’lam, pendapat kedua yang lebih rajih dan lebih berhati-hati.

Cara mengumumkan barang yang boleh

  1. Boleh mengumumkan dengan suara yang lemah

Boleh mengumumkan kehilangan barang atau menanyakannya di masjid jika dengan suara yang lemah, bukan suara yang keras atau teriak-teriak atau dengan pengeras suara. Karena bertanya dengan suara lemah ini semisal dengan berbicara biasa dengan sesama orang di masjid. Dan bicara dengan orang lain tentunya dibolehkan. Imam Malik rahimahullah mengatakan:

لا أحب رفع الصوت في المساجد، وإنما أمر عمر أن تعرف على باب المسجد، ولو مشى هذا الذي وجدها إلى الحلق في المسجد يخبرهم ولا يرفع صوته لم أر به بأساً

“Aku tidak setuju dengan perbuatan mengeraskan suara di masjid, karena Umar bin Khathab pernah memerintahkan orang untuk mengumumkan di pintu masjid. Dan andaikan orang yang kehilangan barang tersebut berjalan menemui orang-orang yang sedang berkumpul di masjid lalu bertanya tanpa mengangkat suaranya, maka menurut saya tidak mengapa” (Mawahib Al Jalil, 8/42).

  1. Mengumumkan di luar masjid

Boleh mengumumkan kehilangan barang dengan suara keras atau dengan memasang kertas pengumuman di luar masjid. Karena yang dilarang adalah di dalam masjid. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

ما إذا كان المكبر خارج المسجد في بيت أو غيره فلا حرج في ذلك .وأما كتابة ذلك في ورقة فهذا إذا كان في الجدار الخارجي للمسجد فلا بأس، وأما من الداخل فلا يجوز ذلك؛ لأنه يشبه الكلام؛ ولأنه قد يشغل الناس بمراجعة الورقة وقراءتها. والله ولي التوفيق

“Adapun jika pengeras suaranya di luar masjid atau di rumah atau di tempat lain, maka tidak mengapa. Adapun kertas yang berisi pengumuman kehilangan barang jika ditempel di luar masjid maka tidak mengapa. Adapun jika ditempel di dalam masjid maka juga tidak diperbolehkan. Karena tulisan itu semisal dengan perkataan. Dan juga ia bisa memalingkan orang-orang yang ada di masjid sehigga mereka berulang-ulang membaca pengumuman tersebut. wallahul muwaffiq.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/20447).

Hendaknya jauhkan masjid dari urusan duniawi

Secara umum, hendaknya masjid dijauhkan dari perkara-perkara duniawi, karena masjid adalah tempat untuk beribadah kepada Allah. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّما بُنِيَ هذا البَيتُ لذِكرِ اللهِ والصَّلاةِ

Sesungguhnya masjid ini adalah untuk berdzikir kepada Allah dan untuk shalat.” (HR. Ibnu Hibban no. 985, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil 1/190).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سيكونُ في آخرِ الزمانِ قومٌ يَجْلِسونَ في المساجدِ حِلَقًا حِلَقًا أمامَهم الدنيا فلا تُجَالِسُوهُم فإنَّهُ ليسَ للهِ فيهم حاجَةٌ

Akan ada di akhir zaman, kaum yang duduk di masjid membuat halaqah-halaqah, namun pembicaraan utama mereka adalah masalah dunia. Maka jangan duduk bersama mereka, karena Allah tidak butuh kepada mereka” (HR. Ibnu Hibban no.6761, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1163).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadits ini:

التحدث في المساجد إذا كان في أمور الدنيا والتحدث بين الإخوان والأصحاب في أمور دنياهم إذا كان قليلاً لا حرج فيه إن شاء الله، أما إذا كثر يكره

“Bicara di masjid mengenai urusan duniawi di antara saudara-saudara sesama Muslim, jika hanya sedikit saja, maka tidak mengapa insyaAllah. Namun jika terlalu banyak maka makruh.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/30054).

Maka tidak hanya mengumumkan barang hilang saja yang dilarang di masjid, namun hendaknya menjauhkan masjid dari perkara-perkara duniawi, agar orang-orang lebih fokus pada perkara akhirat di masjid. Jika di luar masjid kita sudah disibukkan dengan perkara duniawi, dan lalai kepada akhirat, maka apakah di masjid pun kita akan tersibukkan dengan dunia?

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46556-hukum-mengumumkan-barang-hilang-di-masjid.html

Hewan Kurban Cacat Karena Kecelakaan

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Ustadz, ana mau bertanya.
ketika hari kurban, ada orang mau kurban kambing. Pada saat akan diturunkan dari mobil untuk disembelih, kambing itu terjepit kemudian jatuh sehingga jadi pincang. Apakah masih boleh dikurbankan?
Syukron..

Abu Ahmad Jogja 

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam

Jika kecelakaan yang terjadi pada hewan ini di luar kesengajaan pemilik dan bukan karena keteledoran pemilik, maka boleh untuk disembelih dengan niat kurban dan dihukumi sebagai kurban yang sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika seseorang telah menentukan hewan yang sehat dan bebas dari cacat untuk kurban, kemudian mengalami cacat yang seharusnya tidak boleh untuk dikurbankan, maka dia boleh menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Keterangan ini merupakan pendapat Atha’, Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, Az-Zuhri, At-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahuyah.” (Al-Mughni, 13:373).

Dalil yang menunjukkan bolehnya hal ini adalah sebuah riwayat yang disebutkan Al-Baihaqi, dari Ibnu Zubair radliallahu ‘anhu, bahwa hewan kurban berupa unta yang buta sebelah didatangkan kepadanya. Kemudian ia mengatakan, “Jika hewan ini mengalami cacat matanya setelah kalian membelinya maka lanjutkan berkurban dengan hewan ini. Namun jika cacat ini sudah ada sebelum kalian membelinya maka gantilah dengan hewan lain.” Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Sanad riwayat ini sahih.” (Al-Majmu’, 8:328).

Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan dalam Ahkam al-Udhiyah wa Dzakah, Hal. 10. Jika hewan yang hendak dijadikan kurban mengalami cacat, maka ada dua keadaan:
a. Cacat tersebut disebabkan perbuatan atau keteledoran pemiliknya maka wajib diganti dengan yang sama sifat dan ciri-cirinya atau yang lebih baik dari hewan tersebut. Selanjutnya, hewan yang cacat tadi menjadi miliknya dan dapat dia manfaatkan sesuai keinginannya.
b. Cacat tersebut bukan karena perbuatannya dan bukan karena keteledorannya, maka dia dibolehkan untuk menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Karena hewan ini adalah amanah yang dia pegang, sehingga ketika mengalami sesuatu yang di luar perbuatan dan keteledorannya maka tidak ada masalah dan tidak ada tanggungan untuk mengganti.

Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/39191

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Read more https://konsultasisyariah.com/8175-hewan-kurban-cacat-karena-kecelakaan.html