Kurban dengan Kambing Betina

Pertanyaan, ‘Assalamu alaikum, maaf mau tanya, apakah hewan kurban harus jantan? Boleh tidak berkurban dengan kambing betina?

Jazaakumullah khairan

Tri jogja (trXXXXX@yahoo.com)

Kurban dengan Kambing Betina

Wa alaikumus salam…

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan kurban. Sehingga boleh berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Dalilnya, hadis dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو إناثا

“Akikah untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (H.r. Ahmad 27900 dan An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

Berdasarkan hadis ini, As Sayrazi As Syafi’i mengatakan,  “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika akikah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berkurban.” (Al Muhadzab 1/74).

Hanya saja, bagi Anda yang mampu membeli hewan jantan, sebaiknya tidak berkurban dengan betina. Mengingat hewan jantan umumnya lebih mahal dan lebih bagus dari pada betina. Sementara kita disyariatkan agar memilih hewan sebaik mungkin untuk kurban. Sehingga pahalanya lebih besar. Allah berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Siapa yang mengagungkan syiar Allah maka itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Q.s. Al-Haj: 32)

Ibn Abbas mengatakan, “Mengagungkan syiar Allah (dalam berkurban) adalah dengan mencari yang paling gemuk dan paling bagus.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/421)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Read more https://konsultasisyariah.com/7963-kurban-dengan-kambing-betina.html

Hukum Mengumumkan Barang Hilang Di Masjid

Ketika seseorang kehilangan barangnya di masjid, apakah yang harus dilakukan? Bolehkah mengumumkan kehilangan barang di masjid? Karena terdapat dalil-dalil yang melarang mengumumkan kehilangan barang di masjid. Mari kita simak pemaparan berikut ini.

Dalil-Dalil Larangan Mengumumkan Kehilangan Barang

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ : لَا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ ؛ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

“Barangsiapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, maka katakanlah kepadanya: semoga Allah tidak mengembalikan barang tersebut kepadamu. Karena masjid tidak dibangun untuk itu.” (HR. Muslim no.568).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk mendoakan keburukan kepada orang yang mengumumkan barang hilang di masjid, ini menunjukkan celaan terhadap perbuatan tersebut.

Dari Buraidah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ : مَنْ دَعَا إِلَى الْجَمَلِ الْأَحْمَرِ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا وَجَدْتَ ؛ إِنَّمَا بُنِيَتْ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ ) .

“Pernah ada seseorang di masjid, ia berkata: siapa yang bisa menunjukkan untaku yang berwarna merah? Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: semoga untamu tidak ditemukan, sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk itu.” (HR. Muslim no.569).

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وقد ذكر الله تعالى المساجد بأنها بيوت أذن الله أن ترفع ويذكر فيها اسمه وأن يسبح له فيها بالغدو والآصال، فلهذا بنيت ، فينبغي أن تنزه عن كل ما لم تبن له

“Allah Ta’ala menyebut masjid sebagai “rumah-rumah yang disebutkan di sana dzikir-dzikir kepada Allah, dan tasbih di setiap pagi dan sore” (QS. An Nur: 36). Inilah tujuan dibangunnya masjid. Maka hendaknya masjid dijauhi dari setiap hal yang bukan menjadi tujuan dibangunnya masjid” (Al Istidzkar, 2/368).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

جاء رجل ينشد ضالة في المسجد فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم:((لا وجدت))

Datang seseorang yang mengumumkan barang hilangnya di masjid. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: semoga tidak ditemukan.” (HR. An Nasa-i no.716, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

An Nawawi rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَرَ أَنْ يُقَال مِثْل هَذَا , فَهُوَ عُقُوبَة لَهُ عَلَى مُخَالَفَته وَعِصْيَانه

“Nabi perintahkan untuk mendoakan demikian sebagai hukuman bagi orang yang melakukannya terhadap pelanggaran yang ia lakukan dan maksiat yang ia lakukan.” (Syarah Shahih Muslim, 19/47).

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu, ia berkata:

نهى عن الشراء والبيع في المسجد، وأن تنشد فيه ضالة، وأن ينشد فيه شعر، ونهى عن التحلق قبل الصلاة يوم الجمعة

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual-beli di masjid, melarang mengumumkan barang hilang di masjid, melarang melantunkan sya’ir di masjid, dan melarang membuat halaqah sebelum shalat Jum’at di masjid.” (HR. Abu Daud no.1079, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Demikian juga terdapat riwayat dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu,

إِنَّ عمرَ بنَ الخطابِ بنَى إلى جانِبِ المسجِدِ رحْبَةً فسمَّاها البُطَيْحَاءَ فكانَ يقولُ منْ أرادَ أنْ يَلْغَطَ أو يُنشِدَ شعْرًا أو يرفَعَ صوْتًا فليخرُجْ إلى هذِهِ الرحبَةِ

“Bahwa Umar bin Khathab radhiallahu’anhu membangun suatu teras khusus di sisi masjid kemudian teras tersebut dinamakan Al Bathiha. Kemudian Umar mengatakan: siapa yang ingin bermain-main atau ingin membacakan sya’ir atau ingin mengumumkan sesuatu dengan suara keras maka keluarlah ke teras ini.” (HR. Al Baihaqi, 2/368, Syaikh Al Albani dalam Islahul Masajid [112] mengatakan: “semua perawinya tsiqah namun sanadnya munqathi’“).

Hukum Mengumumkan Kehilangan Barang Di Masjid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengumumkan kehilangan barang di masjid menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama:

Hukumnya makruh. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari empat madzhab. Argumen jumhur ulama adalah bahwa larangan tersebut bukan larangan yang sifatnya ta’abbudiy (ibadah), namun larangan tersebut ma’qul lil ma’na (bisa dipahami maksudnya), yaitu karena menimbulkan tasywisy (gangguan terhadap ibadah), adanya raf’us shaut (suara keras), dan laghat (kesia-siaan).

Pendapat kedua:

Hukumnya haram. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Berdasarkan zahir hadits-hadits yang menunjukkan celaan kepada orang yang melakukannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

لا يجوز أن ينشد الضالة في المسجد بل هو حرام وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر من سمعه أن يَدْعُوَ عليه فيقول (لا ردها الله عليك)

“Tidak diperbolehkan mengumumkan barang hilang di masjid, bahkan hukumnya haram. Karena Nabi Shallalalhu’alaihi Wasallam memerintahkan orang yang mendengarnya untuk mendoakan: semoga Allah tidak mengembalikan barangmu” (Ta’liqat ‘alal Kafi, 5/227).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

إنشاد الضوال عن طريق مكبرات الصوت في المسجد لا يجوز ولو كان قصد الخير والمنفعة، فما دام في المسجد فلا يجوز؛ لعموم الحديث، وهو قوله ﷺ: من سمع رجلًا ينشد ضالته في المسجد فليقل: لا ردها الله عليك. وهذا حديث صحيح؛ ولأن المساجد ما بنيت لهذا

“Mengumumkan barang hilang di masjid melalui pengeras suara tidak diperbolehkan, walaupun niatnya baik dan walaupun bermanfaat. Selama itu dilakukan di dalam masjid maka tidak diperbolehkan. Berdasarkan keumuman hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: Barangsiapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, maka katakanlah kepadanya: semoga Allah tidak mengembalikan barang tersebut kepadamu. Karena masjid tidak dibangun untuk itu. Ini adalah hadits yang shahih. Karena masjid bukan dibangun untuk itu” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/20447).

Wallahu a’lam, pendapat kedua yang lebih rajih dan lebih berhati-hati.

Cara mengumumkan barang yang boleh

  1. Boleh mengumumkan dengan suara yang lemah

Boleh mengumumkan kehilangan barang atau menanyakannya di masjid jika dengan suara yang lemah, bukan suara yang keras atau teriak-teriak atau dengan pengeras suara. Karena bertanya dengan suara lemah ini semisal dengan berbicara biasa dengan sesama orang di masjid. Dan bicara dengan orang lain tentunya dibolehkan. Imam Malik rahimahullah mengatakan:

لا أحب رفع الصوت في المساجد، وإنما أمر عمر أن تعرف على باب المسجد، ولو مشى هذا الذي وجدها إلى الحلق في المسجد يخبرهم ولا يرفع صوته لم أر به بأساً

“Aku tidak setuju dengan perbuatan mengeraskan suara di masjid, karena Umar bin Khathab pernah memerintahkan orang untuk mengumumkan di pintu masjid. Dan andaikan orang yang kehilangan barang tersebut berjalan menemui orang-orang yang sedang berkumpul di masjid lalu bertanya tanpa mengangkat suaranya, maka menurut saya tidak mengapa” (Mawahib Al Jalil, 8/42).

  1. Mengumumkan di luar masjid

Boleh mengumumkan kehilangan barang dengan suara keras atau dengan memasang kertas pengumuman di luar masjid. Karena yang dilarang adalah di dalam masjid. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

ما إذا كان المكبر خارج المسجد في بيت أو غيره فلا حرج في ذلك .وأما كتابة ذلك في ورقة فهذا إذا كان في الجدار الخارجي للمسجد فلا بأس، وأما من الداخل فلا يجوز ذلك؛ لأنه يشبه الكلام؛ ولأنه قد يشغل الناس بمراجعة الورقة وقراءتها. والله ولي التوفيق

“Adapun jika pengeras suaranya di luar masjid atau di rumah atau di tempat lain, maka tidak mengapa. Adapun kertas yang berisi pengumuman kehilangan barang jika ditempel di luar masjid maka tidak mengapa. Adapun jika ditempel di dalam masjid maka juga tidak diperbolehkan. Karena tulisan itu semisal dengan perkataan. Dan juga ia bisa memalingkan orang-orang yang ada di masjid sehigga mereka berulang-ulang membaca pengumuman tersebut. wallahul muwaffiq.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/20447).

Hendaknya jauhkan masjid dari urusan duniawi

Secara umum, hendaknya masjid dijauhkan dari perkara-perkara duniawi, karena masjid adalah tempat untuk beribadah kepada Allah. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّما بُنِيَ هذا البَيتُ لذِكرِ اللهِ والصَّلاةِ

Sesungguhnya masjid ini adalah untuk berdzikir kepada Allah dan untuk shalat.” (HR. Ibnu Hibban no. 985, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil 1/190).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سيكونُ في آخرِ الزمانِ قومٌ يَجْلِسونَ في المساجدِ حِلَقًا حِلَقًا أمامَهم الدنيا فلا تُجَالِسُوهُم فإنَّهُ ليسَ للهِ فيهم حاجَةٌ

Akan ada di akhir zaman, kaum yang duduk di masjid membuat halaqah-halaqah, namun pembicaraan utama mereka adalah masalah dunia. Maka jangan duduk bersama mereka, karena Allah tidak butuh kepada mereka” (HR. Ibnu Hibban no.6761, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1163).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadits ini:

التحدث في المساجد إذا كان في أمور الدنيا والتحدث بين الإخوان والأصحاب في أمور دنياهم إذا كان قليلاً لا حرج فيه إن شاء الله، أما إذا كثر يكره

“Bicara di masjid mengenai urusan duniawi di antara saudara-saudara sesama Muslim, jika hanya sedikit saja, maka tidak mengapa insyaAllah. Namun jika terlalu banyak maka makruh.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/30054).

Maka tidak hanya mengumumkan barang hilang saja yang dilarang di masjid, namun hendaknya menjauhkan masjid dari perkara-perkara duniawi, agar orang-orang lebih fokus pada perkara akhirat di masjid. Jika di luar masjid kita sudah disibukkan dengan perkara duniawi, dan lalai kepada akhirat, maka apakah di masjid pun kita akan tersibukkan dengan dunia?

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46556-hukum-mengumumkan-barang-hilang-di-masjid.html

Hewan Kurban Cacat Karena Kecelakaan

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Ustadz, ana mau bertanya.
ketika hari kurban, ada orang mau kurban kambing. Pada saat akan diturunkan dari mobil untuk disembelih, kambing itu terjepit kemudian jatuh sehingga jadi pincang. Apakah masih boleh dikurbankan?
Syukron..

Abu Ahmad Jogja 

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam

Jika kecelakaan yang terjadi pada hewan ini di luar kesengajaan pemilik dan bukan karena keteledoran pemilik, maka boleh untuk disembelih dengan niat kurban dan dihukumi sebagai kurban yang sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika seseorang telah menentukan hewan yang sehat dan bebas dari cacat untuk kurban, kemudian mengalami cacat yang seharusnya tidak boleh untuk dikurbankan, maka dia boleh menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Keterangan ini merupakan pendapat Atha’, Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, Az-Zuhri, At-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahuyah.” (Al-Mughni, 13:373).

Dalil yang menunjukkan bolehnya hal ini adalah sebuah riwayat yang disebutkan Al-Baihaqi, dari Ibnu Zubair radliallahu ‘anhu, bahwa hewan kurban berupa unta yang buta sebelah didatangkan kepadanya. Kemudian ia mengatakan, “Jika hewan ini mengalami cacat matanya setelah kalian membelinya maka lanjutkan berkurban dengan hewan ini. Namun jika cacat ini sudah ada sebelum kalian membelinya maka gantilah dengan hewan lain.” Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Sanad riwayat ini sahih.” (Al-Majmu’, 8:328).

Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan dalam Ahkam al-Udhiyah wa Dzakah, Hal. 10. Jika hewan yang hendak dijadikan kurban mengalami cacat, maka ada dua keadaan:
a. Cacat tersebut disebabkan perbuatan atau keteledoran pemiliknya maka wajib diganti dengan yang sama sifat dan ciri-cirinya atau yang lebih baik dari hewan tersebut. Selanjutnya, hewan yang cacat tadi menjadi miliknya dan dapat dia manfaatkan sesuai keinginannya.
b. Cacat tersebut bukan karena perbuatannya dan bukan karena keteledorannya, maka dia dibolehkan untuk menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Karena hewan ini adalah amanah yang dia pegang, sehingga ketika mengalami sesuatu yang di luar perbuatan dan keteledorannya maka tidak ada masalah dan tidak ada tanggungan untuk mengganti.

Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/39191

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Read more https://konsultasisyariah.com/8175-hewan-kurban-cacat-karena-kecelakaan.html

Niat Sholat Idul Adha, Tata Cara, Bacaan, Waktu dan Sunnah-Sunnahnya

Sholat idul adha adalah amal khusus di hari raya idul adha yang pahalanya luar biasa. Bagaimana niat sholat idul adha, bacaan dan tata caranya? Kapan waktu pelaksanaan dan apa saja sunnah-sunnahnya? Berikut pembahasan lengkapnya.

Begitu besarnya pahala sholat ini, Rasulullah memerintahkan kaum laki-laki dan perempuan untuk mengerjakannya. Juga budak dan anak-anak. Bahkan wanita haid juga diperintahkan menyaksikan meskipun harus menjauh dari tempat sholat.

Hukum Sholat Idul Adha

Jumhur ulama menjelaskan bahwa hukum sholat idul adha adalah sunnah muakkadah. Yaitu sunnah yang sangat dianjurkan.

Pendapat hukum sholat idul adha adalah sunnah dan bukan wajib ini didasarkan dari jawaban Rasulullah ketika ditanya seseorang. Beliau bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ . فَقَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ

“Sholat lima waktu sehari semalam.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah ada kewajiban (sholat) lain?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali engkau mengerjakan sholat sunnah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi menjelaskan dalam kitab Fiqih Empat Madzhab, menurut Mazhab Hambali, hukum sholat idul adha adalah fardhu kifayah bagi mereka yang diwajibkan untuk sholat Jumat. Sehingga jika di suatu masyarakat muslim sudah ada yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban bagi orang lain.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, hukumnya fardhu ‘ain bagi mereka yang diwajibkan untuk Sholat Jumat. Sehingga yang tidak mengerjakannya akan mendapat dosa.

Pendapat yang menyatakan hukumnya fardhu ‘ain ini didasarkan pada perintah Rasulullah yang memerintahkan seluruh muslim Madinah untuk mengikuti sholat id, termasuk budak perempuan. Bahkan wanita yang sedang haid pun diperintah untuk hadir mendengarkan khutbah, namun menjauhi tempat sholat, sebagaimana hadits dari Ummu Athiyyah radhiyallahu ‘anha

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ فِيْ عِيْدَيْنِ العَوَاطِقَ وَالْحُيَّضَ لِيَشْهَدْناَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَتَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلِّى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami keluar menghadiri shalat ‘id bersama budak-budak perempuan dan perempuan-perempuan yang sedang haid untuk menyaksikan kebaikan-kebaikan dan mendengarkan khuthbah. Namun beliau menyuruh perempuan yang sedang haid menjauhi tempat shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat Sholat Idul Adha

Di dalam hadits, tidak dijumpai bagaimana lafadz niat sholat idul adha. Rasulullah dan para sahabat biasa mengerjakan ibadah dengan niat tanpa dilafadzkan.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Melafadzkan niat bukanlah syarat, namun menurut jumhur ulama hukumnya sunnah karena membantu hati dalam menghadirkan niat. Sedangkan menurut mazhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafadzkan niat karena tidak bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berikut ini lafadz niat sholat idul adha sebagai makmum:

اُصَلِّى سُنَّةً عِيْدِ الْأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا للهِ تَعَالَى

(usholli sunnatan ‘iidil adha rok’ataini ma’muuman lillaahi ta’aalaa)

Artinya: Saya niat sholat sunnah idul adha dua raka’at sebagai ma’mum karena Allah Ta’ala

Sedangkan untuk imam, lafadz niat sholat idul adha adalah sebagai berikut:

اُصَلِّى سُنَّةً عِيْدِ الْأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا للهِ تَعَالَى

(usholli sunnatan ‘iidil adha rok’ataini imaaman lillaahi ta’aalaa)

Artinya: Saya niat sholat sunnah idul adha dua raka’at sebagai imam karena Allah Ta’ala

Tempat dan Waktu Sholat Idul Adha

Sholat idul adha disyariatkan dikerjakan secara berjamaah. Tempatnya lebih afdhol (utama) di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan.

Dalilnya, Rasulullah biasa mengerjakan sholat ‘id di tanah lapang meskipun ada Masjid Nabawi yang pahala sholat di dalamnya dilipatgandakan 1.000 kali lipat. Sebagaimana hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menuju tanah lapang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini menjadi dalil bahwa sholat ‘id di tanah lapang lebih utama daripada di masjid. Kecuali penduduk Makkah yang selalu mengerjakan sholat ‘id di masjidil haram.

Namun dalam Fikih Manhaji Mazdhab Syafii dijelaskan, tempat sholat id terbaik adalah di tempat yang banyak menampung jamaah. Jika daya tampungnya sama, masjid lebih utama dari pada lapangan karena kaum muslimin bisa mendapat dua pahala yakni dari sholatnya dan keberadaannya di masjid. Rasulullah sholat id di tanah lapang karena waktu itu masjid Nabawi sempit tidak bisa menampung seluruh jamaah yang terdiri dari kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Sedangkan mengenai waktu sholat idul adha, menurut jumhur ulama, dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mempercepat pelaksanaan sholat ini. Hikmahnya, agar kaum muslimin memiliki lebih banyak waktu untuk menyembelih hewan qurban.

Tata Cara Sholat Idul Adha

Sholat idul adha dikerjakan secara berjamaah. Setelah sholat selesai ditunaikan, khatib menyampaikan khutbah. Ini berbeda dengan urutan pada sholat Jumat yang khutbahnya disampaikan terlebih dulu, setelah itu baru sholat.

Berikut ini beberapa hal terkait pelaksanaan sholatnya:

1. Tidak ada sholat qobliyah dan ba’diyah

Sholat idul adha tidak didahului dengan sholat sunnah qobliyah dan tidak pula diakhiri dengan sholat sunnah ba’diyah. Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fitri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Tidak ada adzan dan tidak ada iqomah

Sholat idul adha tidak didahului dengan adzan, tidak pula ada iqomah. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

Aku beberapa kali melaksanakan shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.

Secara praktis, tata cara sholat idul adha adalah sebagai berikut:

  • Niat. Pembahasan niat sholat idul adha telah dibahas di atas.
  • Takbiratul ihram
  • Takbir lagi (takbir zawa-id) sebanyak tujuh kali. Di antara takbir disunnahkan membaca dzikir memuji Allah.
  • Membaca surat Al Fatihah dilanjutkan surat lainnya
  • Ruku’ dengan tuma’ninah
  • I’tidal dengan tuma’ninah
  • Sujud dengan tuma’ninah
  • Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
  • Sujud kedua dengan tuma’ninah
  • Bangkit dari sujud dan bertakbir
  • Takbir zawa-id sebanyak lima kali. Di antara takbir disunnahkan membaca dzikir memuji Allah.
  • Ruku’ dengan tuma’ninah
  • I’tidal dengan tuma’ninah
  • Sujud dengan tuma’ninah
  • Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
  • Sujud kedua dengan tuma’ninah
  • Duduk tasyahud dengan tuma’ninah
  • Salam

Singkatnya, yang berbeda dari sholat lainnya adalah niat dan takbir zawa-id. Di antara setiap takbir zawa-id, dianjurkan membaca dzikir dengan memuji Allah. Di antaranya dengan bacaan:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

(Subhanalloh wal hamdulillah wa laa ilaha illalloh wallohu akbar)

Artinya: Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada ilah kecuali Allah, Allah Maha Besar

Adapun bacaan sholat untuk setiap gerakan lainnya, bisa dibaca lengkap di Bacaan Sholat

Sunnah-Sunnah Sholat Idul Adha

Ada sejumlah hal yang dianjurkan untuk dilaksanakan baik sebelum maupun sesudah sholat idul adha. Di antaranya adalah delapan hal berikut ini:

1. Mandi sholat idul adha sebelum berangkat

Rasulullah biasa mandi sebelum berangkat sholat ‘id. Demikian pula para shabat.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah)

2. Memakai pakaian terbaik

Rasulullah mengenakan pakaian terbaik ketika sholat ‘id. Beliau juga memerintahkan sahabat mengenakan pakaian terbaik. Sebagaimana hadits dari Hasan As Sibhti:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد ، وأن نتطيب بأجود ما نجد

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar pada hari raya mengenakan pakaian terbagus dan wangi-wangian terbaik. (HR. Hakim)

3. Memakai wewangian

Dianjurkan menggunakan wewangian, khususnya bagi pria, sebagaimana hadits di atas. Adapun bagi kaum muslimah, sebaiknya tidak menggunakan parfum yang baunya tajam karena ada hadits yang melarangnya.

4. Mengajak keluarga dan anak-anak

Sebagaimana hadits yang disebutkan tepat di atas judul niat sholat idul adha di atas, Rasulullah memerintahkan seluruh wanita untuk menghadiri sholat id. Demikian pula riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika masih kecil turut sholat id. Bahkan wanita yang haid pun diajak melihat namun menjauh dari tempat sholat, sebagaimana hadits dari Ummu Athiyyah yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.

5. Takbiran saat menuju tempat sholat

Disunnahkan takbiran saat berangkat menuju tempat sholat. Bahkan disunnahkan sejak 9 Dzulhijjah setelah Subuh. Di antara lafazh takbir, boleh dua kali takbir, boleh pula tiga kali takbir.

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada ilah kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada ilah kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya

Baca juga: Amal Bulan Dzulhijjah

6. Berjalan kaki

Dianjurkan berjalan kaki baik saat pergi maupun pulang. Tidak naik kendaraan kecuali ada hajat, misalnya sangat jauh. Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘id dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang. (HR. Ibnu Majah)

7. Melewati jalan yang berbeda

Disunnahkan pula mengambil jalan berbeda saat pergi dan pulang. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘id, beliau lewat jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang. (HR. Bukhari)

8. Menyegerakan mulainya sholat idul adha

Salah satu sunnah sholat idul adha adalah menyegerakan dimulainya sholat. Hal ini dimaksudkan agar lebih banyak tersedia waktu untuk menyembelih hewan qurban.

Demikian pembahasan lengkap mulai dari hukum, niat sholat idul adha, hingga tata cara dan sunnahnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BersamaDakwah




Doa Terbaik Saat Wukuf di Padang Arafah

Perbanyak membaca tahlil saat wukuf di Padang Arafah.

Inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Seluruh jamaah–tak terkecuali yang sakit–harus melaksanakannya. Terhadap jamaah yang sakit, penyelenggara haji Indonesia biasanya akan berkoordinasi dengan pihak khadim al-haramain untuk agar mereka dapat disafariwukufkan.

Saat wukuf, aktivitas seluruh jamaah haji beragam–kecuali saat shalat dan khutbah. Jamaah pada umumnya (sangat) bergantung pada pembimbing. Saat berdoa, misalnya, tak sedikit jamaah yang hanya mengamini pembimbing.

Padahal, setiap jamaah dimungkinkan untuk berdoa secara langsung kepada Allah. Pilihlah doa yang terbaik, sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Pertanyaannya, apa saja butir doa yang sebaiknya kita panjatkan saat sedang wukuf?

Hakim meriwayatkan:

Musa AS berkata, “Wahai Tuhanku, ajarkan kepadaku doa. Dengan doa itu, nantinya aku akan berdoa dan bermunajat kepada-Mu.”

Allah berfirman, “Wahai Musa, katakanlah: Tiada Tuhan selain Allah.”

Musa AS berkata, “Wahai Tuhanku, setiap orang menyebutkan (kalimat) tiada Tuhan selain Allah.”

Allah berfirman, “Wahai Musa, andai tujuh langit dan bumi berada dalam satu piring timbangan dan (kalimat) ‘tiada Tuhan selain Allah’ berada dalam satu piring timbangan yang lainnya, tentu (kalimat) ‘tiada Tuhan selain Allah’ akan lebih berat.”

***

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah ungkapan yang sangat revolusioner bagi penguasa otoriter pada masa Jahiliyah.

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah ungkapan universal untuk memerdekakan manusia dari sesembahan kepada selain Allah.

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah kalimat yang sarat makna yang disodorkan Allah kepada Nabi Musa AS agar dia dan umat manusia hanya tunduk kepada-Nya.

Tiada Tuhan selain Allah. Itulah deklarasi, telah terbentuknya tatanan masyarakat baru menggantikan tatanan masyarakat lama (Jahiliyah).

Tiada Tuhan selain Allah. Kalimat yang dengannya langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya diciptakan oleh Allah. Dan, di atas kalimat ini pula Din al-Islam didirikan.

“Tiada Tuhan selain Allah” menjamin darah, harta, dan keturunan terpelihara. “Tiada Tuhan selain Allah” merupakan instrumen untuk menjamin keselamatan umat manusia dari azab kubur dan azab neraka. Bahkan, sesuai sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa akhir ucapannya adalah ‘tiada Tuhan selain Allah’, maka dia akan masuk surga.”

Kalimat tahlil atau La Ilaha Illallah merupakan kalimat tauhid. Kalimat penyucian. Kalimat pengakuan. Kalimat keyakinan. Kalimat pengharapan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik doa yang dipanjatkan pada hari Arafah dan sebaik-baiknya kalimat yang aku ucapkan, dan (juga) para nabi sebelum aku (ucapkan) adalah: La ilaha Illallah, wahdahu laa syarika lahu.” (HR Tirmidzi).

Oleh: Mahmud Yunus

sumber : Pusat Data Republika

Qurban Diniatkan untuk Orang yang Sudah Meninggal

ADA dua pertanyaan yang masuk ke WA saya berkenaan dengan ibadah qurban: pertama, bagaimanakah hukum berqurban untuk orang yang sudah meninggal? Kedua, bolehkah daging qurban diberikan kepada orang non-muslim?

Jawaban untuk pertanyaan pertama adalah bahwa ada beberapa pendapat tentang ini. Secara ringkas adalah bahwa madzhab Hanafi, Hambali dan sebagian madzhab Syafi’i menyatakan masyru’iyyah qurban bagi mayyit secara mutlak.

Jadi, silahkan saja berqurban dengan diniatkan untuk orang hang sudah meninggal. Pandangan ulama tentang ini bisa dibaca, di antaranya, dalam kitab “Bada’i al-Shana’i'” 5/72, “Iqna'” 1/236 dan “Majmu'” 8/406.

Untuk pertanyaan kedua jawabannya adalah bahwa boleh saja daging qurban diberikan kepada non-muslim karena hukumnya sama dengan shadaqah sunnah lainnya. Semoga dengan ibadah qurban, mereka terbuka hati untuk meyakini Islam sebagai agama yang dimensi sosialnya sangat kental terasa.

Meski demikian, skala prioritas tetaplah berlaku. Artinya, distribusi daging qurban seyogyanya didasarkan pada peringkat kebutuhan. Siapa yang paling membutuhkan bantuan, dahulukan. Bukankah nilai sosial juga berkaitan dengan skala prioritas ini?

Yang paling penting adalah bukan sering bertanya dan mencari jawaban atas pertanyaan itu, melainkan langkah nyata untuk ikut serta berqurban. Marilah kia berada dalam kafilah manusia yang berqurban karena Allah SWT. Ada bahagia dalam kafilah itu. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Macam-Macam Syirik dalam Ibadah (Bag.14): Lanjutan Syirik dalam Menyembelih Binatang

Baca pembahasan sebelumnya Macam-Macam Syirik dalam Ibadah (Bag.13): Syirik dalam Menyembelih Binatang

2. Tasmiyyah (penyebutan nama ketika akan menyembelih) terdapat tiga kemungkinan:

a) Menyebut nama Allah saja, maka ini adalah ibadah yang bernilai Tauhid.

Allah Ta’ala berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ

(118) Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya. [QS. Al-An’aam: 118].

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

(121) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [QS. Al-An’aam: 121].

Dari kedua ayat tersebut di atas menunjukkan diperintahkannya menyebut nama Allah saja ketika akan menyembelih, dan tidak boleh menyebut nama selain-Nya.

Barangsiapa yang menyebut nama Allah saja ketika akan menyembelih, maka hal itu termasuk ibadah yang bernilai Tauhid.

b) Menyebut nama selain Allah, maka ini adalah ibadah syirik dalam memohon pertolongan (isti’anah).

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

(121) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [QS. Al-An’aam: 121].

Yang dimaksud “kefasikan” dalam ayat ini adalah sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat ke-145, yaitu: menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah, maka perbuatan tersebut adalah kefasikan yang sekaligus merupakan kesyirikan.

Karena definisi “kefasikan” adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, sehingga cakupan istilah “kefasikan” itu umum, mencakup kekafiran atau dosa di bawahnya.

Sehingga kesyirikan dalam tasmiyyah yang dimaksud dalam ayat ini adalah menyebut nama selain Allah ketika akan menyembelih.

Sedangkan Allah Ta’ala berfirman di akhir ayat :

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. Maksudnya: apabila kamu menuruti mereka dalam kesyirikan, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik sebagaimana mereka musyrik.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

(145) Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau kefasikan berupa binatang yang disembelih atas nama selain Allah. [QS. Al-An’aam: 145].

Berkata Al-Bahawi rahimahullah menafsirkan “kefasikan berupa binatang yang disembelih atas nama selain Allah”

وهو ما ذبح على غير اسم الله تعالى

“Yaitu : binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah Ta’ala”.

Allah Ta’ala berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.[QS. Al-Faatihah].

Menyebut nama selain Allah, seperti menyebut nama nyai roro kidul, ini hakekatnya mengandung permohonan pertolongan (isti’anah) kepada nyai roro kidul dan permohonan keberkahan (tabarruk) kepadanya, padahal keduanya adalah ibadah, dan dalam hal ini ditujukan kepada selain Allah, maka perbuatan ini berarti kesyirikan dalam isti’anah dan dalam Rububiyyah.

c) Tidak menyebut nama siapapun, maka ini hukumnya haram.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

(121) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [QS. Al-An’aam: 121]. Larangan dalam ayat ini menunjukkan haramnya tidak menyebut nama Allah ketika akan menyembelih, termasuk di dalamnya adalah tidak menyebut nama siapapun.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Said Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50476-macam-macam-syirik-dalam-ibadah-bag-14-lanjutan-syirik-dalam-menyembelih-binatang.html

Keutamaan Waktu Ba’da Ashar Hari Jumat

Salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah ba’da ashar di hari Jumat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

‘Pada hari Jum’at terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah ‘Ashar.’[HR. Abu Dawud]

Iman Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa waktu mustajab itu adalah ba’da ashar, beliau berkata,

قال الإمام أحمد : أكثر الأحاديث في الساعة التي تُرجى فيها إجابة الدعوة : أنها بعد صلاة العصر ، وتُرجى بعد زوال الشمس . ونقله عنه الترمذي

“Kebanyakan hadits mengenai waktu yang diharapkan terkabulnya doa adalah ba’da ashar dan setelah matahari bergeser (waktu shalat jumat).” [Lihat Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Ibnul Qayyim berkata,

وهذه الساعة هي آخر ساعة بعد العصر، يُعَظِّمُها جميع أهل الملل

“Waktu ini ini adalah akhir waktu ashar dan diagungkan oleh semua orang yang beragama” [Zadul Ma’ad 1/384]

Bagaimana maksud ba’da ashar tersebut? Berikut penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah. Beliau berkata,

فمن أراد أن يتحرى وقت الإجابة بعد العصر يوم الجمعة : فلذلك صور متعددة ، منها:

١. أن يبقى بعد صلاة العصر لا يخرج من المسجد يدعو ، ويتأكد ذلك منه في آخر ساعة من العصر ، وهذه أعلى المنازل

وكان سعيد بن جبير إذا صلى العصر لم يكلم أحداً حتى تغرب الشمس

٢. أن يذهب إلى المسجد قبل المغرب بزمن ، فيصلي تحية المسجد ، ويدعو إلى آخر ساعة من العصر ، وهذه أوسط المنازل

٣. أن يجلس في مجلس – في بيته أو غيره – يدعو ربه تعالى في آخر ساعة من العصر ، وهذه أدنى المنازل

“Bagi yang menginginkan mencari waktu mustajab setelah Ashar hari jumat, ada beberapa cara:

1. Tetap tinggal di masjid setelah shalat ashar, tidak keluar dari masjid dan berdoa. Ditekankan ketika akhir waktu ahsar (menjelang magrib), ini adalah kedudukan tertinggi.

Said bin Jubair jika shalat ashar tidaklah berbicara dengan sseorangpun samapi tenggelam matahari.

2. Ia berangkat ke masjid menjelang magrib kemudian shalat tahiyatul masjid, berdoa sampai akhir waktu ashar ini adalah kedudukan pertengahan

3. Ia duduk ditempatnya –rumah atau yang lain- berdoa kepada Rabb-nya sampai akhir waktu ashar. Ini adalah kedudukan terendah. [Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Perhatikan bagaimana semangat para salaf dahulu memanfaatkan berkahnya waktu ba’da ashar di hari Jumat.

Ibnul Qayyim berkata,

كان سعيد بن جبير إذا صلى العصر، لم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس – يعني كان منشغلا بالدعاء

“Dahulu Sa’id bin Jubair apabila telah shalat ashar, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib) karena sibuk dengan berdoa.” [Zadul Ma’ad 1/384]

كان طاووس بن كيسان إذا صلى العصر يوم الجمعة، استقبل القبلة، ولم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس

“Dahulu Thawus bin Kaisan jika shalat ashar pada hari Jumat menghadap kiblat, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib).” [Tarikh Waasith]

CATATAN: Hal ini juga bisa dilakukan oleh wanita di rumahnya, setelah shalat ashar wanita berdoa dan berharap dimustajabkan. Demikian juga orang yang terhalangi untuk shalat ashar di masjid seperti dengan sakit atau ada udzur lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

ظاهر الأحاديث الإطلاق ، وأن من دعا في وقت الاستجابة : يُرجى له أن يجاب في آخر ساعة من يوم الجمعة ، يُرجى له أن يجاب ، ولكن إذا كان ينتظر الصلاة في المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب : فهذا أحرى ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (وَهُوَ قَائِمٌ يُصّلِّي) – رواه البخاري – ، والمنتظر في حكم المصلي ، فيكون في محل الصلاة أرجى لإجابته ، فالذي ينتظر الصلاة في حكم المصلين ، وإذا كان مريضاً وفعل في بيته ذلك : فلا بأس ، أو المرأة في بيتها كذلك تجلس تنتظر صلاة المغرب في مصلاها ، أو المريض في مصلاه ويدعو في عصر الجمعة يرجى له الإجابة ، هذا هو المشروع ، إذا أراد الدعاء يقصد المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب مبكراً فيجلس ينتظر الصلاة ، ويدعو

“Dzahir hadits adalah mutlak yaitu barangsiapa yang berdoa di waktu musjatab pada akhir hari jumat (yaitu menjelang magrib, karena akhir hari dalam hijriyah adalah magrib). Diharapkan bisa dkabulkan, akan tetapi jika ia menunggu shalat di masjid tempat shalat magrib, ini lebih hati-hati karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ia menegakkan shalat’. Orang yang menunggu sebagaimana kedudukan orang yang shalat maka dalam keadaan shalat lebih diharapkan mustajab. Orang yang menunggu shalat sebagaimana orang shalat. Jika ia sakit bisa dilakukan di rumahnya , tidak mengapa. Atau wanita yang menunggu shalat magrib di mushallanya (tempat shalat di rumah), atau yang sakit di mushallanya berdoa di waktu ashar dan berharap mustajab. Jika ia ingin, menuju masjid tempat ia ingin shalat magrib lebih awal, duduk menunggu shalat dan berdoa.” [ Majmu’ Fatawa bin Baz 30/270]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42217-keutamaan-waktu-bada-ashar-hari-jumat.html

Jangan Suka Teriak-Teriak!

Mukmin yang sejati adalah yang perkataannya baik, lembut dan hikmah. Sebaliknya, perkataan yang tidak baik, kasar dan jauh dari hikmah ini jauh dari sifat-sifat orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Diantara adab yang buruk dalam berbicara adalah suka berteriak-teriak dan meninggikan suara. Kita lihat nasehat Luqman Al Hakim kepada anaknya yang diabadikan dalam Al Qur’an:

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19).

Maksudnya janganlah berlebihan dalam berbicara, dan janganlah meninggikan suara tanpa kebutuhan. Oleh karena itu setelahnya Allah berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.

Mujahid rahimahullah berkata: “suara yang paling buruk adalah suara keledai. Maksudnya orang yang meninggikan suaranya diserupakan seperti keledai karena keledai itu suaranya keras dan melengking. Ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut dan sangat tercela. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليس لنا مثل السوء, العائدَ في هبتِه كالكلبِ يعودُ في قَيْئِه

“Tidak ada permisalan orang yang paling buruk, kecuali orang yang meminta kembali apa yang ia berikan, seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya” (HR. Bukhari no. 1490, Muslim no. 1620).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ، فإنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا، وإذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا باللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فإنَّه رَأَى شيطَانًا

“Kalau kalian mendengar ayam berteriak (berkokok) maka berdoalah meminta nikmat kepada Allah. Namun jika kalian mendengar suara keledai berteriak (meringkik) maka mintalah perlindungan kepada Allah, karena keledai tersebut sedang melihat setan” (Muttafaqun ‘alaihi)” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/711).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dipuji oleh Allah bahwa beliau tidak suka berteriak-teriak. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

أنْتَ عَبْدِي ورَسولِي، سَمَّيْتُكَ المُتَوَكِّلَ، ليسَ بفَظٍّ ولَا غَلِيظٍ، ولَا سَخَّابٍ بالأسْوَاقِ، ولَا يَدْفَعُ السَّيِّئَةَ بالسَّيِّئَةِ، ولَكِنْ يَعْفُو ويَصْفَحُ

“Engkau (Muhammad) adalah hamba-Ku dan rasul-Ku, aku namai engkau Al Mutawakkil, engkau bukan orang yang keras dan kasar, bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar, engkau tidak membalas keburukan dengan keburukan, bahkan engkau pemaaf dan lapang dada” (HR. Bukhari no. 6622).

Juga diriwayatkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاطٍ، سَخَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرٍ الدُّنْيَا، جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ

“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras lagi kasar, suka berteriak-teriak di pasar, seperti bangkai di malam hari, seperti keledai di siang hari, mengerti urusan dunia tapi bodoh dengan urusan akhirat” (HR. Ibnu Hibban no. 72, didha’ifkan oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah no. 2304).

Terutama jika berada di masjid, lebih tercela lagi berteriak-teriak dan meninggikan suara. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ألا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضاً، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة

“Ketahuilah sesungguhnya setiap kalian sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka jangan saling mengganggu satu sama lain, dan jangan meninggikan suara satu sama lain dalam membaca (Al Qur’an)” (HR. Abu Daud no. 1332, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Jika meninggikan suara untuk membaca Al Qur’an saja dilarang oleh Rasulullah, maka bagaimana lagi meninggikan suara untuk shalawatan, pujian-pujian, demikian juga tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara ketika berbicara dengan orang lain.

Sikap yang baik dalam berbicara adalah pelan dan penuh kelembutan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله

“Allah itu lembut dan mencintai kelembutan dalam semua perkara” (HR. Bukhari no. 6927, Muslim no. 2165).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ، ومن كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليصل رحمه ، ومن كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahmi. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau diam” (HR. Bukhari no. 60).

Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengatakan:

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له

“jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).

Namun tentu saja bukan berarti berteriak itu terlarang, dibolehkan berteriak dan meninggikan suara pada hal-hal yang disyariatkan untuk meninggikan suara seperti adzan, mengimami shalat, bertakbir di hari-hari id, berkhutbah, dll. dan juga jika ada kebutuhan, seperti memanggil orang yang jauh dan sulit didekati, memperingatkan bahaya, dll.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50522-jangan-suka-teriak-teriak.html

Hukum Shalat Jumat di Rumah, Jama’ah Kurang dari 40 Orang

Assalamualaikum wr.wb. mohon bantuan dan penjelasannya, karena saya orang yang takut salah dalam melakukan ibadah saya. Apakah boleh melakukan sholat Jum’at di rumah, dan hanya dilakukan oleh 9 orang saja? Karena saya baru pertama kali diajak sholat Jum’at seperti itu. Dan apakah hukumnya melakukan sholat Jum’at seperti yang saya lakukan ini? Terima kasih.

Jawaban:

Alhamdulillahi wahdah, washsholaatu wassalaamu alaa man laa nabiyya ba’dah, wa ba’d…

Saudaraku penanya, semoga Allah merahmati kita semua.

Hukum asal bagi seorang lelaki dewasa –sesuai pendapat yang kami pandang kuat- adalah wajib melaksanakan shalat-shalat fardhu (termasuk di antaranya adalah Jum’at bagi laki-laki dewasa yang berakal, merdeka dan sedang mukim) secara berjama’ah di masjid. Jika ia meninggalkan shalat fardhu berjama’ah di masjid, maka shalatnya tetap sah, namun ia berdosa karena telah meninggalkan suatu yang wajib atasnya.

Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam– bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma-:

من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر

“Barang siapa yang mendengar seruan azan, namun ia tidak menyambutnya (dengan pergi ke masjid), maka tidak (sempurna) salatnya, kecuali (jika ia tidak berjama’ah di masjid) karena suatu uzur.” [HR. Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Al-Albani.]

Dan dikisahkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwa pernah Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- ingin sekali membakar rumah-rumah mereka yang bermalas-malasan untuk salat berjama’ah ke masjid.

Adapun salat Jum’at, maka para ulama –rahimahumullah– telah menyebutkan hukum khusus baginya, yaitu ia tidak sah dilaksanakan pada banyak tempat (baik masjid, mushala, terlebih lagi rumah) dalam satu daerah, kecuali jika ada hajat yang mengharuskan hal tersebut.

Musa Al-Hajjawi (968H) mengatakan:

وتحرم إقامتها في أكثر من موضع من البلد إلا لحاجة، فإن فعلوا فالصحيحة ما باشرها الإمام أو أذن فيها…

“Haram (hukumnya) mendirikannya (shalat Jum’at) pada banyak tempat dalam satu daerah kecuali jika ada hajat (yang mengharuskannya). Jika ada yang melaksanakannya (pada tempat lain selain tempat utama tanpa hajat), maka yang dianggap sah adalah yang dihadiri oleh pemimpin atau yang diizinkan olehnya…” (Zaad al-Mustaqni’)

Syaikh Al-Utsaimin (1421 H) menerangkan bahwa perbuatan tersebut dilarang karena dapat menyebabkan terpecahnya jama’ah kaum muslimin, serta hilangnya salah satu tujuan utama Jum’atan, yaitu perkumpulan umat sebagai umat yang satu sehingga mereka bersatu dan dapat saling kenal. Karena itulah tidak pernah dikenal ada 2 Jum’at yang diselenggarakan pada satu daerah, baik di zaman Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat seluruhnya, bahkan para tabi’in, semoga Allah meridhai mereka semua. Lebih dari itu, Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam– pun hanya menegakkan satu Jum’at di satu masjid sepanjang hayat Beliau, padahal pemukiman-pemukiman para sahabat saat itu tidak seluruhnya berada di sekitar Masjid Nabawi, bahkan banyak di antaranya yang sangat jauh di pinggiran Kota Madinah. Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam– telah bersabda:

صلوا كما رأيتموني أصلي

“Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat…” [Lihat : Asy-Syarh Al-Mumti`]

Ibnu Qudamah (620H) mengatakan:

وجملته أن البلد إذا كان كبيرا يشق على أهله الاجتماع في مسجد واحد، ويتعذر ذلك لتباعد أقطاره، أو ضيق مسجده عن أهله –كبغداد وأصبهان ونحوهما من الأمصار الكبار– جازت إقامة الجمعة فيما يحتاج إليه من جوامعها … فأما مع عدم الحاجة فلا يجوز أكثر من واحدة، وإن حصل الغنى باثنتين لم تجز الثالثة، وكذلك ما زاد…

“Ringkasnya, jika suatu daerah itu besar (dan padat), dimana penduduknya sulit untuk berkumpul hanya pada satu masjid, baik karena wilayah-wilayahnya yang berjauhan, masjidnya sempit dan tidak sebanding dengan jumlah penduduknya –seperti Kota Baghdad, Asbahan, dan kota-kota besar lainnya-, maka Jum’at boleh diselenggarakan pada sejumlah masjid sesuai kebutuhan penduduknya…adapun jika tidak ada hajat yang mengharuskan, maka tidak boleh Jum’at ditegakkan pada lebih dari satu masjid. Jika 2 sudah cukup, maka yang ketiga tidak boleh (tidak sah), dan seterusnya …” (Al-Mughni : 3/213)

Namun apabila seseorang berada di daerah yang tidak ada masjid, atau masjidnya sangat jauh, atau kondisi kemanan yang tidak memungkinkan, maka diperbolehkan untuk mendirikan shalat Jum’at secara berjama’ah di rumah atau di tempat mana pun. [binbaz.org.sa]

Kemudian, mazhab yang empat sepakat mengatakan bahwa jama’ah adalah syarat sah salat Jum’at. Siapa pun yang tidak menemukan jama’ah, maka ia cukup melaksanakan salat Zuhur 4 raka’at.

Hanya saja, mereka berselisih pendapat perihal jumlah orang dalam jama’ah tersebut. Dan pendapat terkuat –wal ‘ilmu ‘indallaah– adalah bahwa jumlah minimal jama’ah salat Jum’at adalah 3 orang (laki-laki dewasa yang berakal, merdeka dan sedang mukim), satu orang sebagai imam, dan dua orang sebagai makmum. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Yusuf (salah satu murid senior Imam Abu Hanifah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan dikuatkan oleh Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Ibn Utsaimin. [Lihat: Al-Mabsuuth karya As-Sarkhasi, Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah, dan binbaz.org.sa]

Jadi, 9 orang adalah jumlah yang cukup untuk melaksanakan salat Jum’at, sesuai pendapat terkuat.

Saudaraku penanya, selama masih ada masjid-masjid yang mendirikan salat Jum’at, baik dihadiri langsung oleh penguasa, atau diizinkan olehnya, maka hukum salat Jum’at di rumah adalah tidak sah, berapa pun jumlah orangnya. Karena ia tidak sah, maka harus diulang dengan salat Zuhur 4 raka’at.

Adapun jika kondisi tidak memungkinkan, baik karena keamanan atau jarak yang sangat jauh sehingga menyulitkan, maka tidak mengapa melaksanakan shalat Jum’at di rumah jika terkumpul minimal 3 orang yang berkewajiban untuk shalat Jum’at, yaitu laki-laki dewasa, berakal, merdeka, dan mukim tidak musafir.

Wallaahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ustadz Muhammad Afif Naufaldi (Mahasiswa Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah)

Read more https://konsultasisyariah.com/35357-hukum-shalat-jumat-di-rumah-jamaah-kurang-dari-40-orang.html