Masyarakat Aceh Segera Miliki Alquran Terjemahan Bahasa Ibu

Masyarakat di Provinsi Aceh akan segera memiliki Alquran terjemahan dalam bahasa Aceh atau bahasa ibu,

“Penerjemahan Alquran dalam Bahasa Aceh telah masuk pada tahap akhir, yaitu telah berada pada tahapan validasi akhir sebelum dilakukan proses cetak oleh Kementerian Agama RI,” kata Ketua Panitia Abdul Rani di Banda Aceh, Kamis (2/8).

Ia menjelaskan terjemahan Alquran dalam bahasa Aceh tersebut telah dibahas dalam Workshop Validasi II yang di dalam kegiatan tersebut menghadirkan tim penerjemah dan para pakar sebelum proses percetakan.

“Ini merupakan pertemuan terakhir tim penerjemah dengan para pakar dan tim lainnya sebelum naik cetak. Sebelumnya juga telah dilakukan beberapa kali workshop/seminar, serta workshop validasi pertama dan ini merupakan yang kedua,” katanya.

Ia mengatakan penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Aceh merupakan program kerja sama Puslibang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, yang ditandatangani pada Maret 2017.

“Tim penerjemahan Alquran telah bekerja sejak ditandatangani MoU untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Aceh, beberapa kali telah berdiskusi untuk menyamakan persepsi dalam penggunaan bahasa,” katanya.

Rektor UIN Ar-Raniry Prof Warul Walidin mengatakan Alquran terjemahan memiliki fungsi yang sangat luar biasa bagi generasi di masa mendatang, karena mereka dapat mempelajari Alquran dengan terjemahan dalam bahasa ibu.

“Kita dapat memperkenalkan Alquran kepada anak-anak kita secara langsung dari bahasa Ibu, ini sangat strategis dan luar biasa, sehingga dapat dipahami dengan baik,” kata Warul.

Warga Aceh Galang Dana Beli Pesawat untuk UAS

Warga Sibreh, Aceh Besar dan Aceh kecewa karena pesawat yang ditumpangi Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam agenda Safari Dakwah ke Aceh kembali mengalami keterlambatan atau penundaan.

UAS berangkat dari Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, transit di Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, untuk menuju Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda Aceh, Senin (02/07/2018).

Terkait itu, warga Aceh pun bertekad untuk menggalang dana guna membeli pesawat pribadi untuk kegiatan dakwah UAS.

Jubir FPI Aceh Tgk Mustafa Husen Woyla mengungkapkan, tidak diragukan lagi sifat kedermawanan Muslim Aceh ketika agama Allah membutuhkannya. RI 001 Dakota RI-001 Seulawah atau Indonesian Airways 001 yang ada di Taman Mini Indonesia Indah dan Blang Padang jadi bukti sejarah yang tak terbantahkan.

Hal ini ungkapnya juga didukung penuh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, sebagai pilot resmi di bidang dirgantara.

“Rencana besar itu bukan karena terjadi keterlambatan Ustadz Abdul Somad ke daerahnya, namun sudah jauh hari wacanakan oleh Abu Sibreh sepulang takziah salah seorang anggota KWPSI di warkong Wim 69, Samahani. Saya pikir ini momen yang paling tepat kembali kita bantu dakwah Islam agar tidak hambatan. Bayangkan ribuan warga larut dalam kekecewaan,” terang Abu Sibreh atau Lem Faisal, sapaan akrab Tgk H Faisal Ali selaku penanggungjawab Tabligh Akbar di Sibreh, Aceh Besar, yang dijadwalkan diisi UAS, sebagaimana rilis dari Tgk Mustafa kepada hidayatullah.com semalam.

Menurutnya, pesawat pribadi untuk UAS sudah sebuah tuntutan untuk mempermudah jalannya dakwah dari Sabang sampai Merauke. “Barusan Mawardi Ali Bupati Aceh Besar bersama panitia dikediamannya sudah bersedia membantu dan menggalang dana,” ungkapnya.

Beberapa waktu lalu, di Blang Pidie, tersebab delay-nya penerbangan, tuturnya, UAS terpaksa berangkat dengan pesawat Susi Air.

“Dan di Aceh, saya tidak meragukan sedikitpun rencana mulia itu. Pendahulu kita sudah berbuat, tentunya kita juga mesti berbuat untuk menolong dai ilallah sesuai dengan direncanakan di seluruh Nusantara hatta Asia Tenggara bahkan dunia,” dirincikan oleh Ustadz Fadhil Rahmi selaku tim Tafaquh dan Ketua IKAT Aceh.

Hingga semalam, sudah ada sejumlah ormas Islam yang bersedia jadi panitia penggalangan dana, antara lain; IKAT Aceh, ACT, TASTAFI ACEH, FPI Aceh, GSR Aceh, dan sejumlah ormas lainnya.

Tgk Mustafa menambahkan, Aceh terdiri dari 18 kabupaten, 5 kotamadya, 289 kecamatan, dan 6.497 gampong. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 5.152.887 jiwa. Jika harga jet pribadi seharga Rp 4 miliar, maka per kecataman cuma mengumpulkan Rp 13.840.830. “Sebuah nominal yang sangat kecil bagi Muslim Aceh yang berdarah dermawan ini,” imbuhnya.

“Mari kembali menjadi ‘Nyak Sandang’ generasi baru, kirim infaq terbaik berupa emas, perhiasan, akta tanah, barang berharga, atau kirimkan langsung ke Bank Muamalat, No Rek. 2410033243 a.n KAFALAH IKAT ACEH atau Bank Aceh Syariah, No Rek. 61302200456789
a.n KAFALAH IKAT ACEH.

Simpan bukti pengiriman diantar ke sektariat IKAT Aceh, depan mesjid Lamgugop, Banda Aceh atau hubungi langsung HP/WA Ust Muhammad Fadhil Rahmi +6285210111000.

Laporan Ust Fadhil Rahmi, sebagai pembuka, Abu Sibreh/Lem Faisal selaku wakil MPU Aceh sudah menyerahkan satu juta rupiah,” pungkasnya.

Diketahui sebelumnya, setelah sempat delay beberapa jam, akhirnya UAS take off dari Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara ke Bandara SIM, Blang Bintang, Aceh Besar, Senin (02/07/2018) pukul 23.30 WIB.

Meskipun kehadiran UAS ke Masjid Baitul Makmur, Sibreh, Aceh terlambat karena delaypesawat. Namun ribuan warga Aceh Besar dan Banda Aceh masih antusias menunggu dai kondang tersebut di halaman masjid.

Mereka terdiri atas laki laki, perempuan, hingga anak-anak. Mereka memenuhi depan panggung ceramah yang berada dalam kompleks masjid.*

HDAYATULLAH

Nazhir Wakaf Habib Buja` Bagikan Uang Sewa Rumah Ke Jamaah BTJ

Sebanyak 4.282 orang jamaah asal Embarkasi Banda Aceh (BTJ) mendapatkan pembayaran uang pengganti sewa rumah dari Nazhir (Badan Pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi (Baitul Asyi Makkah). Pembayaran uang itu sebesar 337 dolar AS dalam bentuk cek dan tafsir Al-Usyr Al-Akhir Qur`an Al Karim.

Pemberian uang itu merupakan pembagian keuntungan dari pengelolaan Wakaf yang didapatkan dari seorang dermawan asal Aceh, Habib Buja` (Bugak) Al-Asyi. Uang tersebut khusus diberikan kepada jamaah haji asal Aceh. Ini merupakan wasiat Habib Buja. Dia itu mewariskan wakaf tersebut untuk kemaslahatan jamaah asal Aceh di Makkah.

“Tahun ini, jumlah yang kami bagikan bagi jamaah dari Embarkasi Aceh sebesar 5,5 juta riyal Saudi. Bentuknya cek. Diharapkan, uang itu digunakan untuk meningkatkan usaha dan perekonomian rakyat Aceh melalui jamaah haji asal Aceh,“ kata Muneer Abdul-Gani Asyi, Ketua Nazhir Wakaf Habib Buja` Asyi usai membagikan penggantian uang sewa kepada salah satu kloter dari Embarkasi Aceh, di Kawasan Jumaizah, Makkah, Arab Saudi, Kamis (06/12).

 

Menurutnya, pembagian uang penggantian sewa rumah itu diberikan mulai tahun lalu atau 1427 hijriah. Saat itu, uang yang dibagikan sebesar 6,5 juta riyal Saudi.

Pada saat pembagian pertama, nilai uang yang dibagikan itu berdasarkan besaran uang sewa untuk pemondokan jamaah asal Embarkasi Aceh. Ketentuan itu didasarkan pada kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi.

Di tahun ini, pembagian itu dihitung berdasarkan nilai  keuntungan dari pengelolaan Wakaf dengan jumlah jamaah asal Embarkasi Aceh. Maka, dengan nilai yang dibagikan kepada jamaah sebesar 337 dolar AS.

 

Keuntungan pengelolaan wakaf itu memang ditujukan untuk jamaah haji asal Embarkasi Aceh. Habib Buja yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al Fath. Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah.

 

 

Sekitar 25-30 tahun yang lalu, ada pengembangan Masjidil Haram di masa Raja Malik Sa`ud bin Abdul Aziz. Rumah Habib Buja terkena proyek itu. Karenanya, rumah ini pun kena gusur dan Kerajaan Arab Saudi memberi ganti rugi.

 

Oleh Nazhir, uang penggantian itu digunakan untuk membeli dua lokasi lahan di daerah Ajyad, 500 dan 700 meter dari Masjidil Haram. “Tanah itulah yang kemudian menjadi aset wakaf sekrang ini. Hanya, kita saat itu belum memiliki keuntungan untuk dibagikan. Setelah ada investor yang mau membangun hotel di lahan itu, barulah kita mendapatkan keuntungan dari uang sewa lahannya,“ kata Muneer lagi.

Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Rencananya, tahun depan selesai dan akan dikelola managemen hotel ternama selama 17 tahun.

 

 

Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit. Pengelolaan hotel ini juga dilakukan oleh satu manajemen untuk 20 tahun.

 

“Setelah masa kontrak selama 17 dan 20 tahun itu, maka hotel ini diserahkan kepada Nazhir untuk dikelola,” sambung Muneer yang juga keturunan Nazhir pertama ini.

 

Dari keuntungan lainnya, tambahnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun ini, kedua lahan ini akan dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh. “Insya Allah di tahun depan, jamaah bisa menempati pondokan itu sehingga kami tak membagikan uang sewa rumah lagi.“

 

Soal Wakaf Buja

Pada 18 Rabi`ul Akhir tahun 1224 hijriah, Habib Buja` datang ke hadapan Hamim Mahkamah Syar`iyah untuk mewakafkan tanah tersebut. Di atas lahan itu itu ada

sebuah rumah dua tingkat untuk tempat tinggal jamaah haji asal Aceh yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji. Rumah itu juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Makkah. Bila tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Makkah, maka rumah itu diperuntukan bagi mahasiswa atau santri dari Jawi (wilayah Asia Tenggara).

 

Kalau tidak ada mahasiswa atau santri itu, maka rumah wakaf itu digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Makkah yang belajar di Masjidil Haram. Sekiranya mereka pun tidak ada, maka wakaf ini diserahkan ke Imam Masjid Haram untuk kebutuhan Masjid Haram.

 

Maklumat ini pun kemudian disampaikan oleh Syekh Abdul Ghani Mahmud Asyi, Nazhir Wakaf Habib Buja di tahun 2002 kepada Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh. Nazhir itu merupakan badan yang dipercaya Habib Buja untuk merawat, memelihara, dan mengelola wakafnya. Nazhir itu umumnya merupakan orang asal Aceh yang sudah menetap di Makkah. Nazhir pertama adalah Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi.

 

Di tahun 1980-an, pelaksanaan haji masih menggunakan sistem Syeikh, rumah wakaf di dua lokasi ini selalu ditempati oleh sebagian besar jamaah haji asal Aceh. Nazhir sendiri berperan sebagai Syekh. Dalam system ini, rumah disediakan oleh syekh dan pemerintah  Indonesia membayar sewa rumah kepada Syekh.

 

Ketika sistem penyelenggaraan haji diubah menjadi sistem maktab (muassasah), maka jamaah Aceh tak leluasa lagi memasuki rumah tersebut. Pemerintah Indonesia menyewa rumah dan menyerahkannya kepada maktab bersama dengan jamaah. Semua itu diurus oleh maktab.

 

“Pemerintah Saudi tak memberi peluang keterlibatan pihak swasta dan masalah internal Nazhir sendiri,“ kata Jamaluddin, salah satu pengurus dalam Nazhir ini.

 

Nazhir kemudian malakukan pembicaraan dengan pemerintah Aceh. Lalu, pembahasan pun dilakukan antara Menteri Agama Indonesia dengan Menteri Wakaf Arab Saudi, dan Kedutaan Besar RI di Riyadh. Setelah ada kunjungan ke kedua negara dari dua utusan, maka kedua pihak setuju atas rencana upaya penampungan jamaah haji Indonesia di Makkah.

 

Upaya penampungan itu dilakukan dengan membangun rumah di Makkah. Kalau belum selesai bangunan itu, maka Nazhir akan memberikan pengganti uang sewa kepada jamaah haji asal Aceh. (dewi)

 

sumber:Portal Kemenag