SHALAHUDDIN AL AYYUBI disamping masyhur sebagai seorang mujahid besar pembebas Al Quds, Shalahuddin Al Ayyubi juga memiliki andil dalam hidupnya gerakan keilmuan di berbagai cabangnya di waktu itu, termasuk ilmu aqidah.
Shalahuddin Al Ayyubi memiliki perhatian besar terhadap masalah aqidah, dimana Qadhi Ibnu Syaddad menyampaikan,”Ia memiliki akidah yang lurus, banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Akidahnya diperoleh dalil- dalil, dengan perantara melalui pembahasan bersama para ahlul ilmi dan para ulama besar.” (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)
Shalahuddin Al Ayyubi sendiri dalam akidah menganut akidah Al Asy’ari, dimana Ash Shafdi berkata,”Ia (Shalahuddin Al Ayyubi) bermadzhab Asy Syafi’i. Al Asy’ari dalam aqidah, dan mentalqinkan akidah Al Asy’ari kepada anak-anaknya dan melazimkan mereka belajar di atas akidah tersebut.” (Al Wafi bi Al Wafayat, 29/48)
Para ulama pun mengetahui bahwa Shalahuddin sebagai penguasa amat memperhatikan masalah akidah, hingga mereka pun memberikan dukungan akan hal itu. Quthbuddin An Naisaburi, seorang ulama faqih madzhab Asy Syafi’i telah menyusun kitab aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi, dan karena antusiasnya, Shalahuddin Al Ayyubi pun hafal dengan baik kitab tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Dalam hal ini Ibnu Syaddad berkata,”Aku menyaksikan Shalahuddin mengajarkannya kepada anak-anaknya, sedangkan mereka menyampaikan dengan hafalan kepadanya.”( An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)
Bukan hanya Quthbuddin An Naisaburi, seorang faqih yang menjadi rujukan di Mesir, Muhammad Hibatullah bin Makki Al Hamawi telah menyusun nadzam aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi yang bernama Hadaiq Al Fushul wa Jawahir Al Ushul. (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 7/23)
Termasuk dalam rangka membentengi akidah Shalahuddin amat menjaga akidah para penuntut ilmu, dimana ia mensyaratkan gurunya berakidah Al Asya’riyah. Al Allamah Abdul Qadir Badran berkata,”Shalahuddin mengajak masyarakat kepada akidah Syeikh Abu Hasan Ali bin Isma`il Al Asy’ari, dan mansyaratkan siapa yang mengelola wakaf di Mesir harus berakidah Al Asy’ari, termasuk madrasah As Shalahiyah, Al Qamhiyah dan khaniqah Sa’id As Su’ada di Kairo. Dan keadaan itu terus berlangsung di Mesir, Hijaz dan Yaman”. (Manadimah Al Athlal wa Masamirah Al Khayal, hal. 75)
Menghapus Akidah Syi’ah dengan Al Asy`ari
Dengan menyebarnya akidah Al Asy’ariyah, Shalahuddin Al Ayyubi berhasil mengikis habis akidah Syi’ah yang pernah berkuasa di Mesir dan Syam sebelumnya pada waktu itu. Al Jabrati berkata,”Dan An Nashir Yusuf menampakkan syariat Nabi Muhammad dan membersihakn wilayah Mesir dari bid’ah-bid’ah, ajaran Syi’ah, serta aqidah yang rusak dan menonjolkan akidah Ahlu As Sunnah wa Al Jama’ah, yaitu aqidah Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah. (Al Aja`ib Al Atsar li Al Jabarti, 1/10)
Gerakan Panjang Kuatkan Aqidah
Bahkan Shalahuddin Al Ayyubi berupaya keras dalam menguatkan akidah umat pada waktu itu dengan beberapa kebijakannya, dalam hal ini Al Hafidz As Suyuthi, menyatakan,”Ketika Shalahuddin bin Ayyub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini”. (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal. 15)
Di masa Imam As Suyuthi, tradisi melantunkan akidah Al Asy’ariyah masih berlaku, padahal ulama besar ini wafat tahun 911 H. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh madzhab Al Asy’ari sangat kuat dipegang di wilayah yang pernah dikuasai oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada waktu itu.
Daulah Al Ayyubiyah dan Aqidah Al Asy’ari
Bukan hanya Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki perhatian besar terhadap masalah akidah, penguasa-pengausa Daulah Al Ayyubiyah setelahnya pun memiliki sikap yang sama. Malik Al Adil yang merupakan saudara Shalauddin yang menjadi penguasa setelahnya pun memiliki perhatian terhadap akidah, hal ini terlihat bagaimana hubungan dekatnya dengan Imam Fakhruddin Ar Razi yang merupakan ulama penganut Al Asy’ariyah, hingga Imam Fakhuruddin Ar Razi mencatat dalam muqadimah kitabnya Ta’sis At Taqdis, bahwasannya ia membuat kitab itu untuk hadiah bagi Malik Adil Al Ayyubi, yang ia sebut sebagai seorang pemimpin mujahid. (lihat, muqaddiman Asas At Taqdis, hal. 10 dan 11)
Demikian juga yang terlihat pada penguasa Damaskus Malik Al Asyraf, yang tidak lain merupakan putera dari Malik Al Adil, dimana ia mensyaratkan siapa yang mengajar di Dar Al Hadits Al Asyrafiyah haruslah bermadzhab Al Asy’ari. Sebagaimana disebutkan oleh Taj As Subki bahwasannya Al Hafidz Al Mizzi, yang merupakan mertua dari Al Hafidz Ibnu Katsir tidak menduduki kursi Dar Al Hadits kecuali telah menulis pernyataan bahwa akidahnya Al Asy’ari. (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 10/200)
Pengajar Dar Al Hadits Al Asyrafiyah sendiri adalah para ulama besar yang juga menghasilkan para ulama besar di bidang hadits. Diantara para ulama yang mengajar di sekolah ini adalah, Al Hafidz Ibnu Shalah, Al Hafidz Abu Syamah, Imam An Nawawi, Al Hafidz Al Mizzi, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki, Al Hafidz Ibnu Katsir dan lainnya. (Lihat, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, 1/15-36)
Dengan kondisi demikian, maka posisi madzhab Al Asy’ari amatlah kuat di wilayah-wilayah Al Ayyubiyyah. Dengan demikian, terlihatlah peran Shalahuddin Al Ayyubi beserta para penguasa setelahnya di dinasti Al Ayyubiyah dalam penyebaran akidah Al Asyariyah di dunia Islam. Namun tentu saja Shalahuddin Al Ayyubi tidak melakukan sendiri, namun hal itu merupakan gerakan kolektif bersama para ulama di waktu itu.