Menyegerakan Berbuka, Mengakhirkan Makan Sahur

TIGA akhlak ini kalau kita miliki berarti sudah memiliki tiga akhlak nubuwwah. Ingat, tiga hal tersebut mudah dilakukan. Dari Abu Ad-Darda radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga akhlak nubuwwah: Menyegerakan buka puasa; Mengakhirkan makan sahur; Meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri (saat sedekap) dalam shalat.

(HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir secara marfu dan mawquf. Hadits itu secara mawquf yakni perkataan Abu Ad-Darda- dihukumi shahih. Sedangkan hadits itu secara marfu-sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dinilai dhaif karena ada perawi yang tidak dikenal biografinya. Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir tanpa menyebutkan bilangan tiga, kesimpulannya perawinya baik)

Beberapa faedah dari hadits di atas yang bisa diambil:

  1. Hadits di atas menunjukkan keutamaan menyegerakan buka puasa, tidak menunda-nundanya hingga gelap malam. Kita dianjurkan berbuka ketika telah nyata tenggelamnya matahari.
  2. Menyegerakan berbuka puasa menunjukkan seseorang bersemangat dan bersegera dalam melakukan kebaikan. Dan memang dalam melakukan kebaikan, kita dituntut untuk bersegera.
  3. Hadits di atas menunjukkan keutamaan mengakhirkan waktu makan sahur, yaitu di akhir malam, dekat dengan terbit fajar Shubuh. Mengakhirkan makan sahur akan membuat seseorang lebih kuat berpuasa. Di samping itu, mengakhirkan makan sahur akan menghindarkan diri dari tidur setelah makan sahur yang sering membuat seseorang luput dari shalat Shubuh yang keutamaannya sangat-sangat luar biasa.
  4. Mengakhirkan makan sahur menunjukkan seseorang mencari sebab untuk melakukan ketaatan pada Allah, yaitu supaya lebih kuat dalam menjalankan puasa.
  5. Hadits di atas juga menunjukkan anjuran saat shalat untuk bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri.
  6. Meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri menunjukkan ketawadhuan seseorang (rendah hati), ketenangan (sakinah), dan kepasrahan pada Allah.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Keutamaan Menyegerakan Berbuka Puasa

BERBUKA adalah sesuatu yang sangat dinantikan bagi orang yang tengah berpuasa, setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Waktu tibanya berbuka adalah saat terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS: al-Baqarah: 187)

Nabi Muhammad ﷺ  telah menjelaskan dalam haditsnya terkait dengan ayat tersebut. Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, berkata bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Buka puasa menyenangkan karena Allah letakkan kebahagian bagi ummat Muhammad dalam buka puasa, Nabi ﷺ,

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه

“Orang yang puasa mendapatkan dua kebahagiaan bahagia saat berbuka, dan bahagia saat bertemu dengan Robb-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Abdulkarim Al-Khudhair menerangkan,

فرحة عند فِطْرِهِ يعني في الإنسان جِبِلَّة خِلْقَة إذا قُدِّم الفُطُور ينتظر أذان المغرب، ويبدأ، يفرح هذا موجُود عند النَّاس كُلِّهم

Bahagia saat berbuka, maknanya adalah naluri manusia ketika dihidangkan bukaan, dia menunggu azan, lalu dia mulai menyantap menu buka puasa. Kebahagiaan semacam ini ada pada semua orang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan di dalam kitab Majaalisu Syahri Ramadhaan, ‘Kebahagiaan ketika berbuka maksudnya adalah karena ia merasa senang atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu bisa melaksanakan puasa yang merupakan salah satu bentuk amal shalih yang paling utama. Betapa banyak manusia yang tidak memperoleh nikmat tersebut sehingga mereka tidak berpuasa. Ia juga merasa senang atas makanan, minuman dan jima’ yang kembali dihalalkan Allah baginya, setelah sebelumnya diharamkan pada saat berpuasa.

Karena itu ummat Rasulullah sangat ditekankan untuk menyegerakan berbuka. Buka puasa itu berbeda dengan sahur, yang justru lebih disyariatkan untuk diakhirkan.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda.

لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093]

Namun antara sahur dengan buka ada kesamaan dalam sisi menjaga orisinalitas ajaran agama. disegerakannya berbuka adalah merupakan bentuk dari penyelisihan atas tasyabbuh bil kuffar.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda.

لاَيَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِرُوْنَ

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]

Al-Imam Sarafuddin ath-Thibi rahimahullah berkata, “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan [ifthar]’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nasrani. Dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thibi, 5/1589 no. 1995)

Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari’, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya karena yang demikian adalah termasuk dari bagian menyelisihi perbuatan mereka.

Sedangkan menyegerakan berbuka itu adalah akhlak kenabian. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi ﷺ  bersabda:

ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ؛ تَعْجِيْلُ الْإِفْطَارِ، وَتَأْخِيْرُ السَّحُورِ، وَوَضْعِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ

“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ath-Thabarani, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)

Keutamaan waktu berbuka

Keutamaan orang yang berpuasa hingga berbuka, banyak dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ.

Kondisi berbuka adalah kondisi dimana menjadi tempat terkabulnya doa dan permohonan. Sebagaimana hadits Rasulullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْجَابَاتٌ : دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Tiga do’a yang dikabulkan : do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang terdhalimi dan do’anya musafir.”

Do’a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda.

ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَ تُهُمْ : الصَّا ئِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ، وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do’anya orang yang didhalimi.”

Lebih ditegaskan lagi dalam sebuah hadits Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, dimana Rasulullah ﷺ bersabda.

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak.”

Dalam berbuka, tentu ada banyak kebaikan yang Allah siapkan. Sehingga Allah dan RasulNya memerintahkan hal itu disegerakan, walau dengan sebutir kurma atau seteguk air. Sebagaimana Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata;

كَانَ رَسُولُ اللهِ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah ﷺ berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)

Doa Buka Puasa

Do’a yang sering dibaca ada dua. Pertama  اللَّهُمَّ لَك صمت وَعَلَى رزقك أفطرت  رواه أبو داود

Artinya: Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa sesungguhnya ia telah sempai kepadanya bahwasannya Nabi ﷺ jika berbuka, ia berkata,”Ya Allah, untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka.” (Riwayat Abu Dawud)

Atau do’a  ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat serta telah tetap pahala, insya Allah.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma).*/Naser Muhammad

HIDAYATULLAH

Gerakan Membela Ramadhan

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Saudaraku, kaum muslimin yang dirahmati Allah… bulan Ramadhan yang kita dambakan telah menghampiri dan mewarnai relung-relung kehidupan manusia. Adalah nikmat yang sangat besar ketika Allah jadikan kita termasuk mereka yang mau tunduk kepada syari’at Allah dan melaksanakan ibadah puasa di bulan ini dengan asas keimanan dan mencari pahala.

Ramadhan bukan bulan biasa-biasa. Sebuah bulan istimewa yang penuh dengan kebaikan dan pelipatgandaan pahala. Bulan yang penuh curahan rahmat dan ampunan dari Allah ar-Rahman lagi ar-Rahim. Bulan yang membuat setiap mukmin gembira dengan dibukanya semua pintu surga dan ditutupnya semua pintu neraka serta dibelenggunya setan-setan durjana. Sungguh besar nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengharapkan perjumpaan dengan-Nya.

 

Saudaraku yang dirahmati Allah, Ramadhan adalah detik-detik berharga yang harus kita syukuri. Ramadhan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari adalah saat-saat penting bagi kita untuk mendalami makna puasa dan mencapai derajat takwa. Ramadhan sejak waktu berbuka hingga waktu sahur adalah saat-saat dimana setiap muslim ditempa untuk menggunakan waktunya dalam ketaatan beribadah kepada Allah dan menghiasi hatinya dengan dzikir dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibadah kepada Allah memadukan puncak kecintaan dan puncak perendahan diri kepada Allah. Ibadah yang ditegakkan di atas kecintaan, rasa takut, dan harapan.

Sebagai seorang muslim tentu kita meyakini bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat agung dan harus kita muliakan. Jangan sampai bulan ini kita rusak dengan berbagai bentuk keonaran dan pertikaian yang akan mencabik-cabik nilai persaudaraan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan; yang mana sebagiannya memperkuat sebagian yang lain.” (HR. Bukhari). Muslim yang satu tidaklah layak menjatuhkan atau menzalimi saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu tidak layak untuk melecehkan saudaranya. Terlebih lagi di bulan puasa, sudah seharusnya kita lebih bisa menjaga lisan dan anggota badan dari menyakiti atau merusak kehormatan saudara kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim itu adalah yang membuat selamat kaum muslimin lainnya dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kita mencintai kebaikan bagi saudara kita sebagaimana kita mencintainya bagi diri kita. Kita bersatu dengan ikatan iman dan tauhid, bukan di atas fanatisme golongan dan bukan atas dasar kepentingan dunia yang rendah dan pasti akan sirna. Oleh sebab itu Allah melarang kaum muslimin dari perpecah-belahan dan memerintahkan mereka untuk berpegang teguh dengan tali Allah; dengan al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Sebab perpecahan dan pertikaian hanya akan melemahkan kekuatan umat ini dan membuat gembira setan dan musuh-musuh Islam.

 

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang para sahabatnya dari bentuk-bentuk fanatisme yang akan menggerogoti persatuan dan merusak nilai persaudaraan di atas iman. Sebutan Muhajirin dan Anshar adalah sebutan syar’i dan mendapatkan pujian di dalam al-Qur’an. Meskipun demikian ketika sebutan ini digunakan untuk memecah-belah umat dan berbangga-bangga dengan kelompoknya maka hal itu tidak beliau ijinkan. Bahkan beliau menyebut seruan kepada fanatisme golongan yang merusak persatuan ini sebagai suatu hal yang menjijikkan. Bagaimana lagi jika yang dijadikan sebagai alat untuk memecah-belah umat ini adalah kelompok dan individu yang keutamaan dan derajatnya tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan para sahabat?!

Saudaraku yang dirahmati Allah, kekaguman kita kepada seorang tokoh dan kecintaan kita kepada sosok pemimpin tidak pantas kita jadikan sebagai alasan untuk meninggalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu kekaguman kepada tokoh dan kecintaan kepada pemimpin tetap harus ditundukkan kepada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Bisa jadi kita mencintai sesuatu padahal itu buruk bagi kita, dan bisa jadi sebaliknya kita membenci sesuatu padahal itu membawa kebaikan bagi kita; Allah yang mahatahu sedangkan kita tidak mengetahui apa-apa.

Kita tidak ingin hidayah yang Allah berikan kepada kita lenyap gara-gara sikap kita yang keras kepala dan tidak mau tunduk kepada wahyu dan kebenaran yang datang dari Allah. Kita pun tidak ingin keamanan yang Allah berikan kepada negeri ini tercabut gara-gara provokasi dan gegap-gempita gerakan massa yang tidak ragu untuk menebar kericuhan dan menumpahkan darah sesama! Siapakah anda sehingga anda berani menodai kehormatan bulan suci ini? Siapakah anda sehingga anda berani mengotori kekhusyu’an umat dalam menjalankan ibadah puasa dengan huru-hara dan hujatan kepada penguasa dan mengobarkan semangat kebencian kepada sesama muslim? Apakah Ramadhan mengajarkan kepada anda untuk mencemooh aib saudara anda dan mengobral kesalahannya di muka publik dengan dalih ingin mendatangkan masa depan yang lebih cerah untuk Nusantara?

 

Bukankah puasa itu milik Allah, dan Allah pula yang akan membalasnya secara langsung. Karena hamba-hamba Allah meninggalkan makan dan minumnya karena Allah, sebagaimana mereka juga meninggalkan syahwatnya karena Allah. Dan diantara syahwat yang telah membinasakan umat-umat terdahulu adalah syahwat dan ambisi terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada para sahabatnya untuk tidak meminta jabatan kepemimpinan; karena sesungguhnya hal itu sangat besar peluangnya untuk mendatangkan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Sebab menjadi pemimpin yang adil tidaklah semudah yang dibayangkan! Tidakkah anda melihat bagaimana syahwat terhadap kekuasaan ini telah menghancurkan Suriah menjadi porak-poranda dan mewariskan malapetaka bagi rakyatnya?!

Saudaraku yang dirahmati Allah, para pemuda yang cemburu terhadap hukum-hukum Islam dan penegakkan syari’at yang hanif, apakah anda menginginkan kemajuan dan perbaikan bagi negeri ini? Tidakkah anda membaca firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’d : 11). Lihatlah diri-diri kita; apa yang sudah kita perbaiki pada diri kita untuk kebaikan negeri ini? Sudahkah kita memahami dan meyakini aqidah Islam yang bersih dan lurus? Sudahkah kita mengamalkan ajaran tauhid dan menjauhi syirik? Sudahkah kita mempelajari agama dan mengajarkannya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Kemuliaan dan kejayaan umat ini hanya akan bisa diraih -setelah taufik dari Allah- dengan ilmu, bukan hanya bermodal semangat dan teriakan-teriakan!

 

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini (al-Qur’an) beberapa kaum dan akan merendahkan dengannya sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim). Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam; maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain cara Islam maka pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak). Sejak kapan kah demonstrasi dan mencaci-maki penguasa menjadi jalan yang benar dalam menegakkan keadilan dan membela syari’at Islam? Betul, tidaklah kebiasaan ini muncul kecuali dari para penganut sekte Khawarij di sepanjang zaman dan pengekor budaya kekafiran…

Bagaimana mungkin anda hendak menebarkan keadilan dan kesejahteraan dengan cara membuat kerusuhan dan merusak keamanan negeri ini? Bagaimana anda akan memperbaiki keadaan bangsa ini dengan aksi turun ke jalan dan membuat kemacetan, menghalangi transportasi dan memadati jalan-jalan dengan massa pengunjuk rasa? Bagaimana anda mengajak kepada keadilan sementara anda menzalimi hak para pengguna jalan? Apakah dengan cara semacam ini anda tetap akan mengatakan, “Tidaklah yang aku kehendaki melainkan perbaikan…”

Wahai saudaraku -semoga Allah tambahkan ilmu kepada kami dan anda- niat baik anda tidaklah kami ragukan. Akan tetapi niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara yang benar. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan/berniat baik tetapi tidak berhasil mendapatkannya/kebaikan yang dia inginkan itu.” Betapa sering orang ingin mengobati luka tetapi perbuatannya justru menambah luka itu semakin menganga. Betapa banyak orang yang ingin membawa umat ini kepada kemuliaan tetapi cara yang mereka tempuh keliru. Lihatlah kaum musyrik terdahulu yang dikisahkan di dalam al-Qur’an; mereka melakukan syirik dan penghambaan kepada selain Allah dengan tujuan agar menambah dekat diri mereka di sisi Allah. Mereka berkata (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka ini melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya…”

Mereka yang pernah terjun dalam aksi demonstrasi dan unjuk rasa besar-besaran melawan penguasa tentu mengetahui bahwa berbagai aktifitas masyarakat terganggu dan terhenti gara-gara aksi-aksi semacam ini. Bahkan tidak jarang aksi seperti ini membawa pelakunya untuk larut dalam suasana emosional dan tidak malu lagi untuk ‘menghalalkan’ darah saudaranya sesama muslim. Inilah cara berpikir yang salah; menjadikan penguasa sebagai musuh bagi rakyatnya. Tidak sedikit para da’i Islam yang terjebak dalam cara berpikir yang salah semacam ini. Padahal keberadaan penguasa muslim adalah benteng bagi keamanan negeri dan kedaulatan negara.

 

Oleh sebab itu Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku memiliki sebuah doa yang mustajab niscaya akan aku peruntukkan doa itu untuk kebaikan penguasa.” Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat orang yang mendoakan kebaikan bagi penguasa ketahuilah bahwa dia adalah pengikut ajaran Nabi, dan apabila kamu melihat ada orang yang mendoakan keburukan bagi penguasa ketahuilah bahwa dia adalah penganut kesesatan.”

Bulan Ramadhan adalah bulan doa. Sudahkah anda gerakkan lisan untuk mendoakan kebaikan bagi para pemimpin negeri ini? Tidakkah anda melihat kesabaran Imam Ahmad rahimahullah selama 3 periode pemerintahan dipenjara dan beliau tidak mau menyulut pemberontakan rakyat kepada penguasa yang mengajak kepada akidah kekafiran? Apakah anda akan mengatakan bahwa Imam Ahmad mendiamkan kemungkaran? Apakah anda akan mengatakan bahwa para sahabat yang hidup di masa al-Hajjaj -penguasa kejam dan zalim- semacam Anas bin Malik radhiyallahu’anhu yang tidak mau memberontak sebagai para pengecut? Anas bin Malik memerintahkan untuk bersabar dan mengingatkan akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah datang suatu masa melainkan masa yang sesudahnya lebih buruk daripada masa yang sebelumnya.” (HR. Bukhari)

Karena itulah para ulama kita -diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah- mengatakan bahwa bersabar menghadapi kezaliman penguasa adalah salah satu pokok diantara pokok-pokok (manhaj) Ahlus Sunnah. Karena itu pula para ulama menuliskan pedoman penting di dalam kitab-kitab akidah tentang wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa muslim, meskipun mereka adalah pelaku maksiat dan kezaliman. Bukan karena kita meridhai maksiat dan kezaliman, tetapi karena maslahat yang didapatkan dengan keberadaan mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi apabila berkobar pemberontakan dan pertumpahan darah. Bukankah mereka yang memilih salah satu calon presiden beralasan demi mengambil mudharat yang lebih ringan? Lantas mengapa untuk perkara ini sebagian orang justru mencari mudharat yang lebih berat?

Imam ath-Thahawi berkata, “Dan kami -ahlus sunnah- tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin kami dan para pemegang urusan-urusan (ulil amri) diantara kami meskipun mereka berbuat aniaya/zalim. Kami tidak mendoakan keburukan bagi mereka, dan kami tidak mencabut kesetiaan dari sikap patuh kepada mereka. Kami memandang ketaatan kepada mereka sebagian bagian dari ketaatan kepada Allah yang wajib dikerjakan, selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Dan kami mendoakan bagi mereka agar diberikan kebaikan dan keselamatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 379)

Kewajiban taat kepada ulil amri -meskipun zalim- disebabkan dampak kerusakan/kekacauan yang timbul dari pemberontakan jauh lebih besar daripada kezaliman yang dilakukan oleh penguasa itu sendiri. Bahkan dengan bersabar menghadapi kezaliman mereka menjadi sebab terhapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakan pahala. Karena sesungguhnya Allah tidaklah menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amal perbuatan kita sendiri. Oleh sebab itu apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezaliman pemimpin yang bertindak aniaya hendaklah mereka juga meninggalkan kezaliman (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 381)

Apakah anda hendak menegakkan keadilan untuk negeri ini dengan cara menzalimi saudara anda?

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46845-gerakan-membela-ramadhan.html

Berbuka Puasa di Pesawat Terbang

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan 1:

Di bulan Ramadhan, take off sebagaian penerbangan itu di waktu adzan maghrib, sehingga kami (bisa) berbuka puasa ketika masih di bandara. Setelah pesawat take off dan posisi pesawat semakin tinggi dari permukaan bumi, kami menyaksikan bulatan matahari dengan jelas. Apakah kami menahan diri dari makan dan minum, atau kami menyempurnakan buka puasa kami di pesawat terbang?

Jawaban:

Jangan menahan diri dari makan dan minum (artinya, teruskan buka puasa di pesawat, pen.), karena Engkau telah berbuka puasa sesuai dengan tuntutan dalil syariat, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Jika malam telah datang dari sisi sebelah sini (beliau berisyarat ke arah timur), dan ketika siang telah pergi dari sisi sebelah sini (beliau berisyarat ke arah barat), dan matahari telah tenggelam, maka telah masuk waktu berbuka bagi orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1954)

Pertanyaan 2:

Di bulan Ramadhan, kami melakukan safar. Di tengah-tengah perjalanan, kami menjumpai waktu malam. Kami masih berada di pesawat di udara. Apakah kami berbuka puasa ketika bulatan matahari tidak terlihat di hadapan kami atau apakah kami berbuka sesuai dengan waktu di negeri (daerah) yang kami berada di atasnya?

Jawaban:

Engkau berbuka puasa ketika melihat matahari sudah tenggelam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا، وَجَاءَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika matahari tenggelam dari sisi sebelah sini [1], dan malam datang dari sisi sebelah sini [2], maka telah masuk waktu berbuka bagi orang yang berpuasa” (HR. Muslim no. 1101).

Pertanyaan 3:

Jika ada mendung, dan kami berpuasa, lalu bagaimana kami berbuka ketika di pesawat?

Jawaban:

Jika menurut sangkaan kuatmu bahwa matahari sudah tenggelam, maka berbukalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berbuka puasa pada suatu hari di kota Madinah, dan ketika itu ada mendung. Kemudian ternyata masih terlihat matahari setelah mereka berbuka puasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum, dan tidak memerintahkan mereka untuk mengganti puasa di hari itu (artinya, puasa di hari itu tetap sah, pen.) (HR. Bukhari no. 1959, diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu Ta’ala  ‘anha). [3]

[Selesai]

***

Diselesaikan di pagi hari yang cerah, Bornsesteeg NL, 25 Sya’ban 1439/ 12 Mei 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 

Catatan kaki:

[1]     Yaitu di arah barat.

[2]    Yaitu di arah timur.

[3]    Diterjemahkan dari: I’laamul Musaafiriin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 77-78 (pertanyaan nomor 103, 104 dan 105).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39640-berbuka-puasa-di-pesawat-terbang.html

Mendoakan Orang yang Memberi Buka Puasa

Pahala Besar Dibalik Memberi Makan Orang yang Berpuasa

Alhamdulillah di bulan Ramadan ini banyak kaum muslimin berlomba-lomba dalam kebaikan. Salah satu ladang kebaikan itu adalah memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, memberikan sumbangan ke masjid atau tempat di mana orang banyak berbuka puasa secara gratis. Kebaikan-kebaikan seperti Ini tidaklah terasa ringan jika belum mengetahui keutamaan yang sangat besar dalam memberi makan orang yang berbuka puasa, yaitu mendapatkan pahala sebagaimana orang yang berpuasa tersebut.

Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﻓَﻄَّﺮَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﺜْﻞُ ﺃَﺟْﺮِﻩِ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢِ ﺷَﻴْﺌًﺎ

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga .”[1]

Makanan yang Diberikan Tidak Harus Berporsi Besar

Al-Munawi menjelaskan bahwa memberi makan di sini yaitu dengan apa yang bisa digunakan untuk berbuka puasa, tidak harus memberikan “makan besar” atau makanan porsi lengkap. Beliau berkata,

ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻦ ﺗﻔﻄﻴﺮﻩ ﻫﻮ ﺃﺩﻧﻰ ﻣﺎ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﻟﻮ ﺑﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ،

“Yang dimaksud dengan memberi berbuka puasa yaitu apa saja yang bisa dijadikan makanan berbuka puasa walaupun hanya dengan sebutir kurma”. [2]

Doakanlah Orang yang Memberikan Makanan Untuk Berbuka

Bagi kita yang diberi makanan berbuka puasa oleh orang lain hendaknya mendoakan orang yang telah memberi makanan walaupun yang diberikan hanya sebutir kurma atau yang lainnya.

Doa yang bisa dibaca ketika kita mendapatkan makanan/takjil untuk berbuka puasa adalah:

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqaa-nii

“Ya Allah, berilah makanan orang yang memberi aku makan dan berilah minuman orang yang memberi aku minum.“[3]

Atau doa:

اللَّهُمَّ بَارِك لَهُم فِيمَا رَزَقْـــتَهُم وَاغْفِرْ لَهُم وَارحَمْهُم

Allahumma baarik lahum fii maa razaqtahum, waghfir lahum, warhamhum

“Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau anugerahkan kepada mereka, ampuni mereka dan berikanlah rahmat kepada mereka.” [4]

Doakanlah Saudaramu Maka Malaikat Akan Mendoakanmu

Hendaknya kita bersemangat dalam mendoakan saudara kita sendiri yang telah berbuat baik kepada kita, walaupun orang tersebut tidak ada di tempat atau tidak ada di hadapan kita karena terdapat keutamaan yang sangat besar ketika kita mendoakan saudara kita, yaitu doa kita akan  di-amin-kan oleh malaikat dan malaikat akan mendoakan agar kita juga mendapatkan kebaikan yang semisal dari doa yang kita panjatkan.

Dari Abu Ad-Darda’ beliau berkata bawab Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslimpun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”[5]

Dalam riwayat lainnya,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa yang mustajab. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.”

@Banaran, Salatiga

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Catatan kaki:

[1] HR. Tirmidzi & Ibnu Majah, Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[2] Faidul Qadhir, 6/243.
[3] HR. Muslim, No. 2055
[4] HR. Muslim 2042
[5] HR. Muslim no. 4912

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/30342-mendoakan-orang-yang-memberi-buka-puasa.html

Tidak Ada Sunnah Berbuka dengan Yang Manis

Sempat menjadi hal masyhur dan terkenal bahwa berbuka puasa itu sunahnya dengan yang manis. Konon katanya menjadi terkenal karena iklan minuman manis tertentu atau iklan sirup tertentu yang begitu terkenal melalui media TV dan lain-lain.

Perlu diketahui bahwa tidak ada sunnah berbuka dengan manis-manis seperti sirup, cendol, es teh manis dan sejenisnya. Yang disunnahkan adalah berbuka puasa sesuai dengan urutannya yaitu dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak ada dengan tamr (kurma kering), apabila tidak ada maka dengan meneguk air putih. Perhatikan hadits berikut:

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮ ﻝُ ﺍﻟﻠِّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪً ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺭُﻃَﺒَﺎ ﺕٌ ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺗَﻤَﺮَﺍﺕٍ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢ ﺗَﻜُﻦْ ﺣَﺴَﺎ ﺣَﺴَﻮﺍﺕٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air” (HR. Ahmad, Abu Dawud, sanadnya shahih)

Memang kurma (baik ruthab maupun tamr) adalah jenis makanan yang manis, akan tetapi urutan setelahnya adalah air putih yang tidak terasa manis. Ini dalil bahwa tidak ada Sunnah berbuka dengan yang manis-manis. Memang ada pendapat ulama yang menyatakan demikian, tetapi pendapat ini lemah dan tidak sesuai dengan hadits, karena patokan utama kita adalah Al-Quran dan hadits.

An-Nawawi dan Ar-Rafi’i berpendapat:

لا شئ أفضل بعد التمر غير الماء، فقول الروياني: الحلو أفضل من الماء ضعيف

“Tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air putih. Adapun pendapat Ar-Rauyani bahwa yang manis lebih utama dari air, maka ini adalah pendapat yang lemah.” [Fathul Mu’in, Bab Shaum, Hal. 92]

Adapun minuman yang dingin dan manis memang merupakan minuman yang disukai oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, akan tetapi bukan sunnahnya berbuka dengan yang dingin dan manis. Minuman dingin dan manis bisa diminum kapan saja waktunya. Perhatikan hadits berikut:

Aisyah radhiallahu anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ الشَّرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُلْوَ الْبَارِدَ

“Minuman yang paling disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah yang dingin dan manis.” [HR Ahmad & At Tirmidzi, shahih]

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan beberapa kemungkinan maksud “dingin dan manis” yaitu:

1.Bersumber dari mata air segar dan sumur yang manis

2.Rendaman air campuran madu, kurma dan kismis (beliau menguatkan pendapat ini)

Beliau berkata,

وهذا يحتمل أن يريد به الماء العذب كمياه العيون والآبار الحلوة ، فإنه كان يستعذب له الماء

ويحتمل أن يريد به الماء الممزوج بالعسل أو الذي نقع فيه التمر أو الزبيب وقد يقال – وهو الأظهر

“Kemungkinan maksudnya adalah air yang segar seperti mata air dan sumur yang manis, air ini memang segar. Bisa juga maksudnya adalah rendaman air campuran madu, kurma dan kismis -pendapat ini lebih kuat-.” [Zaadul Ma’ad 4/205]

Berdasarkan penjelasan di atas, dingin dan manis ini adalah minuman yang alami bukan dengan pemanis gula di zaman sekarang yang apabila diminum berlebihan akan membahayakan bagi kesehatan.

 

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46638-tidak-ada-sunnah-berbuka-dengan-yang-manis.html

8 Keutamaan Memberi Makan Buka Puasa (5)

ADA beberapa keutamaan memberi makan buka puasa. Ini juga termasuk bagi yang membantu atau menjadi panitia buka puasa karena termasuk dalam orang yang menolong dalam kebaikan.

g) Sedekah akan meredam murka Allah.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

“Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek.” (HR. Tirmidzi, no. 664. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif)

h) Sedekah akan menghapus dosa.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.” (HR. Tirmidzi, no. 2616; Ibnu Majah, no. 3973. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

(Lihat bahasan Manfaat Sedekah dalam Syarh Al-Mumthi ala Zaad Al-Mustaqni karya Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 7-11)

Semoga semangat dalam memberi makanan berbuka pada bulan Ramadhan.

[Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

8 Keutamaan Memberi Makan Buka Puasa (4)

ADA beberapa keutamaan memberi makan buka puasa. Ini juga termasuk bagi yang membantu atau menjadi panitia buka puasa karena termasuk dalam orang yang menolong dalam kebaikan.

f) Sedekah akan menambah (berkah) harta.

Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang disedekahkan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588).

Maksud hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah:

1) Harta tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan kebiasaan.

2) Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat banyak. (Syarh Shahih Muslim, 16: 128)

 

INILAH MOZAIK

8 Keutamaan Memberi Makan Buka Puasa (3)

ADA beberapa keutamaan memberi makan buka puasa. Ini juga termasuk bagi yang membantu atau menjadi panitia buka puasa karena termasuk dalam orang yang menolong dalam kebaikan.

c- Menggabungkan shalat, puasa dan sedekah dapat mengantarkan pada ridha Allah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah karenanya menyatakan, “Puasa, shalat dan sedekah mengantarkan orang yang mengamalkannya pada Allah. Sebagian salaf sampai berkata, Shalat mengantarkan seseorang pada separuh jalan. Puasa mengantarkannya pada pintu raja. Sedekah nantinya akan mengambilnya dan mengantarnya pada raja.” (Lathaif Al-Maarif, hlm. 298)

d- Mendapat buah-buahan di surga dan ar-rahiq al-makhtum (minuman khamar yang nikmat di surga)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Muslim mana saja yang memberi pakaian orang Islam lain yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah akan memberinya pakaian dari hijaunya surga. Muslim mana saja yang memberi makan orang Islam yang kelaparan, niscaya Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan di surga. Lalu muslim mana saja yang memberi minum orang yang kehausan, niscaya Allah akan memberinya minuman Ar-Rahiq Al-Makhtum (khamr yang dilak).” (HR. Abu Daud, no. 1682; Tirmidzi, no. 2449. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif dikarenakan dalam sanadnya terdapat perawi yang dikenal mudallis[1] yaitu Abu Khalid Ad-Daalani. Hadits ini punya penguat yang juga dhaif sekali dalam riwayat Tirmidzi).

Hadits di atas adalah hadits dhaif namun punya makna yang benar, yaitu setiap orang yang beramal akan dibalas dengan semisalnya pada hari kiamat. Hadits di atas didukung makna shahihnya dalam ayat,

“Sebagai pembalasan dari Rabbmu dan pemberian yang cukup banyak.” (QS. An-Naba: 36)

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)

Adapun ar-rahiq al-makhtum adalah khamr di surga atau minuman di surga. Ar-rahiq sendiri adalah khamar yang murni atau minuman yang masih asli, tidak mungkin dipalsukan. Adapun al-makhtum artinya dilak atau dikunci yang hanya bisa dibuka oleh pemiliknya. Menunjukkan bahwa minuman tersebut adalah minuman yang sangat spesial. Ada juga yang menyatakan bahwa minuman tersebut ditutup dengan minyak misk. Sungguh kenikmatan luar biasa. Pengertian ini disebutkan dalam kitab Aun Al-Mabud, 5: 77. Pembahasan lainnya bisa dilihat dalam kitab Minhah Al-Allam karya Syaikh Abdullah Al-Fauzan, 4: 474-475.

Keutamaan lainnya adalah keutamaan dalam hal memberi sedekah.

 

INILAH MOZAIK

8 Keutamaan Memberi Makan Buka Puasa (2)

ADA beberapa keutamaan memberi makan buka puasa. Ini juga termasuk bagi yang membantu atau menjadi panitia buka puasa karena termasuk dalam orang yang menolong dalam kebaikan.

c) Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.

Dari Ali radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Lihatlah bagaimana keutamaan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu yang menggabungkan antara memberi makan dengan amalan lainnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat), “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa?” Abu Bakar berkata, “Saya.”

Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah?” Maka Abu Bakar berkata, “Saya.”

Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Maka Abu Bakar mengatakan, “Saya.”

Lalu beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.”

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.” (HR. Muslim, no. 1028).

 

INILAH MOZAIK