Taqwa: Infaq dan Istighfar di Waktu Sahur

Allah Ta’ala berfirman:

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu Sahur. (QS. Ali Imron [3]: 17)

Tafsir ayat

Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat tersebut – selain ayat ke-16 – menggambarkan sifat-sifat hamba Allah yang bertaqwa. Dua di antara karakteristik yang disebut ayat itu adalah munfiiqin (orang-orang yang berinfaq) dan mustaghfiriin bil ashaar (orang-orang yang memohon ampun di waktu Sahur, yakni penghujung malam sebelum fajar/Subuh). Menurutnya, tafsir kata al-munfiqiin adalah menafkahkan sebagian dari harta mereka di jalan-jalan ketaatan yang diperintahkan kepada mereka, silaturahmi, amal taqarrub, memberikan santunan, dan menolong orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan ketika menafsirkan mustaghfiriin bil ashaar beliau mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristigfar di waktu Sahur.

Munasabah ayat

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ke-17 dari suroh Alu Imron adalah ayat ke-18 dan 19 dari suroh Adz-Dzaariyaat.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 18)

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 19)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-19 di atas mengatakan, setelah Allah Ta’ala menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan shalat malam (dan ditutup dengan memohon ampun di waktu Sahur), lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi.

Tadabbur ayat

Dari kedua kelompok ayat itu dapat diketahui bahwa:

Pertama, karakteristik orang bertaqwa meliputi dua aspek kesalehan: individual dan sosial. Bukan hanya satu aspek saja, individual saja, atau sosial saja. Kedua aspek ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang.

Salah satu karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan individual adalah memohon ampun di waktu Sahur. Mereka memohon ampun di waktu Sahur setelah sebelumnya “mereka sedikit sekali tidur di malam hari” sebagaimana disebutkan dalam ayat ini:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Mereka (dulu ketika di dunia) sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 17).

Al-Hasan Al-Basri ketika menjelaskan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam mengatakan mereka melakukan shalat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit. Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu Sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu Sahur.

Sedangkan karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan sosial di antaranya adalah berinfaq dan bersedekah. Dalil lain dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa aspek kesalehan sosial merupakan salah satu sifat orang bertaqwa adalah ayat ke-17 dan 18  dari suroh Al-Lail.

Kedua, kedua aspek ini merupakan kunci masuk surga. Bukan salah satu aspek saja, indivual saja, atau sosial saja. Hubungan erat antara kesalehan indivual dan kesalehan sosial yang merupakan kunci masuk surga ini juga dapat diketahui dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا“. فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّلِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ، وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا، وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy’ari Ra. bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan salat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.” (HR. Imam Ahmad)

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَأَفْشُوا السَّلَامَ، وصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan shalatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.”

Sedangkan salah satu dalil dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa kesalehan sosial bisa menjauhkan diri dari neraka – yang berarti membuat diri masuk surga – adalah ayat ke-17 dan 18 dari Suroh Al-Lail.

Teladan salafush sholeh dalam beristighfar di waktu Sahur

Salafush sholeh begitu berusaha sungguh-sungguh memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur. Berikut adalah sebagian kisah mereka.

Abdullah ibnu Umar sesuai salam dari shalat malam bertanya, “Hai Nafi’, apakah waktu Sahur telah masuk?” Apabila dijawab ya maka ia mulai berdo’a dan memohon ampun hingga waktu Subuh.

Ibnu Mas’ud Ra. ketika suatu malam berada di salah satu bagian dalam masjid terdengar mengucapkan do’a berikut: Ya Tuhanku, Engkau telah memerintahkan kepadaku, maka aku taati perintah-Mu; dan inilah waktu sahur, maka berikanlah ampunan bagiku

Anas ibnu Malik Ra. mengatakan bahwa kami (para sahabat) bila melakukan shalat malam diperintahkan untuk melakukan istighfar di waktu Sahur sebanyak tujuh puluh kali.

Teladan salafush sholeh dalam bersedekah dan berinfaq

Salafush sholeh tidak hanya berlomba-lomba dalam aspek kesalehan individual, namun juga dalam aspek kesalehan sosial. Begitu banyak kisah mereka dalam hal ini, salah satunya adalah “perlombaan” menginfaqkan harta untuk fi sabilillah antara Abu Bakar Ra. – yang menginfaqkan seluruh hartanya – dan Umar bin Khoththob Ra. – yang menginfaqkan separoh hartanya .

Berjihad, istiqomah dan dampaknya

Ramadhan adalah madrasah untuk melatih diri berjihad (berusaha sungguh-sungguh) untuk memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur, dan berjihad untuk tetap istiqomah. Diharapkan ketika lulus dari madrasah ini para lulusannya memiliki kebiasaan Qiyamul lail untuk menghidupkan kehidupan malamnya dengan bermunajat kepada Robbnya. Jika demikian halnya insya Allah ketaqwaan  – yang meliputi kesalehan individual dan sosial – yang melekat para diri mereka akan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Ini berarti mereka telah memiliki kunci masuk surga.  Wallahu a’lam bish-showab.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa

Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

HIDAYATULLAH

Dengar Adzan Subuh Masih Makan, Apa Hukumnya?

SEBAGIAN kaum Muslim memahami bahwasannya ketika adzan Subuh berkumandang, sedangkan di saat yang sama, makanan atau minuman belum habis dimakan untuk santap sahur, maka melanjutkankannya untuk tetap makan tidak mengapa. Berpedoman kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallallahu ‘anhu.

Nah, bagaimana sebenarnya pemahaman para ulama terhadap hadits tersebut?

Hadits yang dimaksud di sini adalah hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ » رواه أبو داود, أحمد, الدارقطني, الحاكم, البيهقي.

“Artinya: Dari  Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu ia berkata,”Rasulullah ﷺ bersabda,’Jika salah satu dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana ada di tangannya, maka hendaklah ia tidak meletakkannya, hingga ia menunaikan hajatnya dari bejana itu.’” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad, Ad Daraquthni, Al Hakim, Al Baihaqi).

Status Hadits

Para ulama telah menghukumi status hadits di atas. Di antara mereka adalah Imam Al Hakim, di mana ia berkata menganai hadits Abu Hurairah tersebut,”Ini adalah hadits shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan keduanya (Imam Al Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengeluarkannya. (Al Mustadrak, 1/ 320).

Imam Adz Dzahabi pun mengakui penshahihan Al Hakim tersebut, di mana ia berkata,”Sesuai dengan syarat Muslim.” (At Talkhis, dalam Hasyiyah Al Mustadrak, 1/320).

Imam As Suyuthi menshahihkannya, di mana Ash Shan’ani pensyarah Al Jami’ Ash Shaghir karya Imam As Suyuthi berkata,”Dan penulis menyimbulkan keshahihannya.” (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/96).

Pendapat mayoritas ulama, yang dimaksud adzan adalah Adzan Bilal (Adzan Pertama).  Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adzan di hadits itu adalah adzan pertama, yakni adzan sebelum terbit fajar.

Imam Al Baihaqi, berkata saat mengomentari hadits Abu Hurairah di atas, ”Ini, jika shahih, maka ia ditafsiri bagi mayoritas ahlul ilmi, bahwasannya sesungguhnya Rasulullah ﷺ  mengetahui bahwasannya muadzin pada waktu itu mengumandangan adzan sebelum terbitnya fajar, dimana waktu minumnya sebelum terbitnya fajar. (As Sunan Al Kubra, 4/218).

Mereka memilih menafsirkan adzan dalam hadits dengan adzan pertama dengan berhujjah dengan hadits lainnya, yakni hadits Ibnu Mus’ud radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سُحُورِه، فَإِنَّمَا يُنَادِى لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ وَيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ ». رواه مسلم

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, ”Sekali-kali tidak melarang seorang pun adzan Bilal dari sahurnya, sesunggunya ia menyeru untuk membangunkan orang yang tidur dari kalian dan mengembalikan orang yang terjaga dari kalian (kepada hajatnya). (Riwayat Muslim).

Imam An-Nawawi juga menyampaikan pendapat Imam Al Baihaqi di atas dalam menafsirkan makna hadits Abu Hurairah tersebut. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/31). Imam Ar Rafi’i, sebagaimana dinukil oleh Al Munawi, menyatakan, ”Beliau (Nabi Muhammad ﷺ) menghendaki adzan Bilal yang pertama berdasarkan dalil bahwa sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Faidh Al Qadir, 1/ 484).

Al Khaththabi berkata mengenai hadits Abu Hurairah di atas, ”Aku berkata: Ini pada perkataannya (Nabi Muhammad ﷺ) bahwasannya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian, sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Ma’alim As Sunan, 1/371). Al Munawi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas,  ”Yakni, adzan Bilal pertama di pagi hari.” (At Taisir bi Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 1/210).

Syeikh Mahmud Al Khathtthab As Subki juga menafsirkan hadits di atas, ”Yang adzan awal di waktu Subuh, dia adalah adzan Bilal, sesungguhnya ia mengumandangan adzan sebelum terbit fajar, untuk mengembalikan orang yang bangun (kepada hajatnya) dan membangunkan orang yang tidur.” (Manhal Al `Adzb Al Maurud, 10/73).

Syaikh Muhammad Al Banna As Sa’ati berkata dalam Syarh Musnad Ahmad, mengenai hadits Abu Hurairah di atas, ”Dan jumhur (mayoritas) menafsirkannya kepada adzan pertama, dia adalah adzan Bilal, di mana ia mengumandangkan adzan waktu malam sebelum terbutnya fajar shadiq, untuk mengembalikan orang yang bangun (kepada hajatnya) dan membangunkan orang yang tidur.” (Al Fath Ar Rabbani, 10/23).

Penafsiran Lain: Hadits Ditujukan pada yang Ragu Datangnya Fajar

Selain penafsiran jumhur ada pula dari para ulama yang memiliki penafsiran lain. Ykni bahwa hadits ditujukan kepada mereka yang ragu apakah fajar telah terbit atau belum.

Al Khaththabi berkata, setelah menyebutkan penafsiran bahwasannya adzan yang dimaksud adalah adzan Bilal, ”Atau maknanya jika seorang mendengar adzan, sedangkan ia ragu mengenainya datangnya Subuh, seperti saat langit mendung, maka dengan adzan ia tidak mengetahui  bahwa fajar telah terbit karena ia mengetahu bahwa tanda-tanda fajar tidak ada. Kalau sekiranya tanda-tanda itu nampak bagi muadzin, tentu nampak pula bagi dia. Adapun jika ia tahu bahwa fajar telah terbit, maka ia tidak perlu dengan adzan yang sharih, karena ia diperintahkan untuk menahan dari makanan dan minuman jika terang baginya benang putih dari benang hitam fajar.” (Ma’alim As Sunan, 1/371).

Beberapa ulama pensyarah hadits juga menafsirkan hadits Abu Hurairah seperti panafsiran Al Khaththabi di atas. Di antara mereka adalah Al Munawi dalam Faidh Al Qadir (1/484).

Demikian pula Ash Shan`ani, di mana beliau berkata, ”Artinya, jika ia mendengar adzan, sedangkan ia ragu terhadap datangnya Subuh. Telah mengatakan Ad Darimi dan Al Mawardi, bahwasannya tidak diharamkan bagi orang yang ragu-ragu untuk makan, dikarenakan firman Allah:

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد (سورة البقرة الآية:187

Artinya: Sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam.” (Al Baqarah: 187) (dalam At Takhyir, 6/289).

Ibnu Muflih Syamsuddin Al Maqdisi Al Hanbali juga berpandapat, ”Artinya, bahwa ia tidak yakin dengan terbitnya fajar.” (dalam Al Furu’ wa Tashhih Al Furu`, 5/34).

Hal yang sama disampaikan oleh ِAbdurrahman An Najdi Al Hanbali, ”Artinya- Allahu A`lam-selama tidak tahu terbitnya fajar.” Kemudian ia melanjutkan, ”Adapun jika ia mengetahui menyebarnya waktu Subuh, maka diharamkan secara kesepakatan.” (Hasyiyah Ar Raudh Al Murbi`, 3/431).

Pandangan Lain: Waktu Adzan Maghrib

Selain dua penafsiran di atas, ada pula yang menafsirkan bahwasannya yang dimaskud adzan pada hadits Abu Hurairah di atas adalah adzan maghrib. Setelah menyampaikan mengenai penafsiran pihak jumhur ulama, Al Munawi berkata, ”Dan dikatakan bahwasannya artinya adalah adzan maghrib. Jika seorang berpuasa, sedangkan bejana di tangannya, maka hendaklah dia tidak meletakannya, akan tetapi ia berbuka sekaligus, dalam menjaga untuk mensegerakan berbuka.” (Faidh Al Qadir, 1/484).

Kesimpulan

Walhasil, dari beberapa penafsiran ulama di atas, tidak ada yang memberi penafsiran bahwasannya boleh makan dan minum secara mutlak, ketika sudah mendengar adzan Subuh dikumandangkan. Karena pihak yang menafsiri bahwa yang dimaksud adzan dalam hadits adalah adzan fajar berpendapat bahwasannya hal itu boleh dilakukan oleh orang yang ragu, apakah waktu Subuh sudah masuk atau belum.

Namun jika sudah meyakini masuk waktu Subuh, namun tetap melakukan makan minum, maka mereka pun berpendapat bahwasannya hal itu diharamkan.

Sedangkan penafsiran mayoritas ulama tidak menyatakan bahwa adzan dalam hadits adalah adzan Subuh, namun adzan Bilal di malam hari. Sedangkan penafsiran yang disampaikan Al Munawi menyatakan bahwasannya yang dimaksud adzan dalam hadits adalah adzan maghrib. Wallahu A`lamu bi ash shawab.*

HIDAYATULLAH

Menyegerakan Berbuka, Mengakhirkan Makan Sahur

TIGA akhlak ini kalau kita miliki berarti sudah memiliki tiga akhlak nubuwwah. Ingat, tiga hal tersebut mudah dilakukan. Dari Abu Ad-Darda radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga akhlak nubuwwah: Menyegerakan buka puasa; Mengakhirkan makan sahur; Meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri (saat sedekap) dalam shalat.

(HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir secara marfu dan mawquf. Hadits itu secara mawquf yakni perkataan Abu Ad-Darda- dihukumi shahih. Sedangkan hadits itu secara marfu-sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dinilai dhaif karena ada perawi yang tidak dikenal biografinya. Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir tanpa menyebutkan bilangan tiga, kesimpulannya perawinya baik)

Beberapa faedah dari hadits di atas yang bisa diambil:

  1. Hadits di atas menunjukkan keutamaan menyegerakan buka puasa, tidak menunda-nundanya hingga gelap malam. Kita dianjurkan berbuka ketika telah nyata tenggelamnya matahari.
  2. Menyegerakan berbuka puasa menunjukkan seseorang bersemangat dan bersegera dalam melakukan kebaikan. Dan memang dalam melakukan kebaikan, kita dituntut untuk bersegera.
  3. Hadits di atas menunjukkan keutamaan mengakhirkan waktu makan sahur, yaitu di akhir malam, dekat dengan terbit fajar Shubuh. Mengakhirkan makan sahur akan membuat seseorang lebih kuat berpuasa. Di samping itu, mengakhirkan makan sahur akan menghindarkan diri dari tidur setelah makan sahur yang sering membuat seseorang luput dari shalat Shubuh yang keutamaannya sangat-sangat luar biasa.
  4. Mengakhirkan makan sahur menunjukkan seseorang mencari sebab untuk melakukan ketaatan pada Allah, yaitu supaya lebih kuat dalam menjalankan puasa.
  5. Hadits di atas juga menunjukkan anjuran saat shalat untuk bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri.
  6. Meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri menunjukkan ketawadhuan seseorang (rendah hati), ketenangan (sakinah), dan kepasrahan pada Allah.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Gerakan Membela Ramadhan

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Saudaraku, kaum muslimin yang dirahmati Allah… bulan Ramadhan yang kita dambakan telah menghampiri dan mewarnai relung-relung kehidupan manusia. Adalah nikmat yang sangat besar ketika Allah jadikan kita termasuk mereka yang mau tunduk kepada syari’at Allah dan melaksanakan ibadah puasa di bulan ini dengan asas keimanan dan mencari pahala.

Ramadhan bukan bulan biasa-biasa. Sebuah bulan istimewa yang penuh dengan kebaikan dan pelipatgandaan pahala. Bulan yang penuh curahan rahmat dan ampunan dari Allah ar-Rahman lagi ar-Rahim. Bulan yang membuat setiap mukmin gembira dengan dibukanya semua pintu surga dan ditutupnya semua pintu neraka serta dibelenggunya setan-setan durjana. Sungguh besar nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengharapkan perjumpaan dengan-Nya.

 

Saudaraku yang dirahmati Allah, Ramadhan adalah detik-detik berharga yang harus kita syukuri. Ramadhan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari adalah saat-saat penting bagi kita untuk mendalami makna puasa dan mencapai derajat takwa. Ramadhan sejak waktu berbuka hingga waktu sahur adalah saat-saat dimana setiap muslim ditempa untuk menggunakan waktunya dalam ketaatan beribadah kepada Allah dan menghiasi hatinya dengan dzikir dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibadah kepada Allah memadukan puncak kecintaan dan puncak perendahan diri kepada Allah. Ibadah yang ditegakkan di atas kecintaan, rasa takut, dan harapan.

Sebagai seorang muslim tentu kita meyakini bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat agung dan harus kita muliakan. Jangan sampai bulan ini kita rusak dengan berbagai bentuk keonaran dan pertikaian yang akan mencabik-cabik nilai persaudaraan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan; yang mana sebagiannya memperkuat sebagian yang lain.” (HR. Bukhari). Muslim yang satu tidaklah layak menjatuhkan atau menzalimi saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu tidak layak untuk melecehkan saudaranya. Terlebih lagi di bulan puasa, sudah seharusnya kita lebih bisa menjaga lisan dan anggota badan dari menyakiti atau merusak kehormatan saudara kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim itu adalah yang membuat selamat kaum muslimin lainnya dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kita mencintai kebaikan bagi saudara kita sebagaimana kita mencintainya bagi diri kita. Kita bersatu dengan ikatan iman dan tauhid, bukan di atas fanatisme golongan dan bukan atas dasar kepentingan dunia yang rendah dan pasti akan sirna. Oleh sebab itu Allah melarang kaum muslimin dari perpecah-belahan dan memerintahkan mereka untuk berpegang teguh dengan tali Allah; dengan al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Sebab perpecahan dan pertikaian hanya akan melemahkan kekuatan umat ini dan membuat gembira setan dan musuh-musuh Islam.

 

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang para sahabatnya dari bentuk-bentuk fanatisme yang akan menggerogoti persatuan dan merusak nilai persaudaraan di atas iman. Sebutan Muhajirin dan Anshar adalah sebutan syar’i dan mendapatkan pujian di dalam al-Qur’an. Meskipun demikian ketika sebutan ini digunakan untuk memecah-belah umat dan berbangga-bangga dengan kelompoknya maka hal itu tidak beliau ijinkan. Bahkan beliau menyebut seruan kepada fanatisme golongan yang merusak persatuan ini sebagai suatu hal yang menjijikkan. Bagaimana lagi jika yang dijadikan sebagai alat untuk memecah-belah umat ini adalah kelompok dan individu yang keutamaan dan derajatnya tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan para sahabat?!

Saudaraku yang dirahmati Allah, kekaguman kita kepada seorang tokoh dan kecintaan kita kepada sosok pemimpin tidak pantas kita jadikan sebagai alasan untuk meninggalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu kekaguman kepada tokoh dan kecintaan kepada pemimpin tetap harus ditundukkan kepada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Bisa jadi kita mencintai sesuatu padahal itu buruk bagi kita, dan bisa jadi sebaliknya kita membenci sesuatu padahal itu membawa kebaikan bagi kita; Allah yang mahatahu sedangkan kita tidak mengetahui apa-apa.

Kita tidak ingin hidayah yang Allah berikan kepada kita lenyap gara-gara sikap kita yang keras kepala dan tidak mau tunduk kepada wahyu dan kebenaran yang datang dari Allah. Kita pun tidak ingin keamanan yang Allah berikan kepada negeri ini tercabut gara-gara provokasi dan gegap-gempita gerakan massa yang tidak ragu untuk menebar kericuhan dan menumpahkan darah sesama! Siapakah anda sehingga anda berani menodai kehormatan bulan suci ini? Siapakah anda sehingga anda berani mengotori kekhusyu’an umat dalam menjalankan ibadah puasa dengan huru-hara dan hujatan kepada penguasa dan mengobarkan semangat kebencian kepada sesama muslim? Apakah Ramadhan mengajarkan kepada anda untuk mencemooh aib saudara anda dan mengobral kesalahannya di muka publik dengan dalih ingin mendatangkan masa depan yang lebih cerah untuk Nusantara?

 

Bukankah puasa itu milik Allah, dan Allah pula yang akan membalasnya secara langsung. Karena hamba-hamba Allah meninggalkan makan dan minumnya karena Allah, sebagaimana mereka juga meninggalkan syahwatnya karena Allah. Dan diantara syahwat yang telah membinasakan umat-umat terdahulu adalah syahwat dan ambisi terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada para sahabatnya untuk tidak meminta jabatan kepemimpinan; karena sesungguhnya hal itu sangat besar peluangnya untuk mendatangkan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Sebab menjadi pemimpin yang adil tidaklah semudah yang dibayangkan! Tidakkah anda melihat bagaimana syahwat terhadap kekuasaan ini telah menghancurkan Suriah menjadi porak-poranda dan mewariskan malapetaka bagi rakyatnya?!

Saudaraku yang dirahmati Allah, para pemuda yang cemburu terhadap hukum-hukum Islam dan penegakkan syari’at yang hanif, apakah anda menginginkan kemajuan dan perbaikan bagi negeri ini? Tidakkah anda membaca firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’d : 11). Lihatlah diri-diri kita; apa yang sudah kita perbaiki pada diri kita untuk kebaikan negeri ini? Sudahkah kita memahami dan meyakini aqidah Islam yang bersih dan lurus? Sudahkah kita mengamalkan ajaran tauhid dan menjauhi syirik? Sudahkah kita mempelajari agama dan mengajarkannya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Kemuliaan dan kejayaan umat ini hanya akan bisa diraih -setelah taufik dari Allah- dengan ilmu, bukan hanya bermodal semangat dan teriakan-teriakan!

 

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini (al-Qur’an) beberapa kaum dan akan merendahkan dengannya sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim). Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam; maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain cara Islam maka pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak). Sejak kapan kah demonstrasi dan mencaci-maki penguasa menjadi jalan yang benar dalam menegakkan keadilan dan membela syari’at Islam? Betul, tidaklah kebiasaan ini muncul kecuali dari para penganut sekte Khawarij di sepanjang zaman dan pengekor budaya kekafiran…

Bagaimana mungkin anda hendak menebarkan keadilan dan kesejahteraan dengan cara membuat kerusuhan dan merusak keamanan negeri ini? Bagaimana anda akan memperbaiki keadaan bangsa ini dengan aksi turun ke jalan dan membuat kemacetan, menghalangi transportasi dan memadati jalan-jalan dengan massa pengunjuk rasa? Bagaimana anda mengajak kepada keadilan sementara anda menzalimi hak para pengguna jalan? Apakah dengan cara semacam ini anda tetap akan mengatakan, “Tidaklah yang aku kehendaki melainkan perbaikan…”

Wahai saudaraku -semoga Allah tambahkan ilmu kepada kami dan anda- niat baik anda tidaklah kami ragukan. Akan tetapi niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara yang benar. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan/berniat baik tetapi tidak berhasil mendapatkannya/kebaikan yang dia inginkan itu.” Betapa sering orang ingin mengobati luka tetapi perbuatannya justru menambah luka itu semakin menganga. Betapa banyak orang yang ingin membawa umat ini kepada kemuliaan tetapi cara yang mereka tempuh keliru. Lihatlah kaum musyrik terdahulu yang dikisahkan di dalam al-Qur’an; mereka melakukan syirik dan penghambaan kepada selain Allah dengan tujuan agar menambah dekat diri mereka di sisi Allah. Mereka berkata (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka ini melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya…”

Mereka yang pernah terjun dalam aksi demonstrasi dan unjuk rasa besar-besaran melawan penguasa tentu mengetahui bahwa berbagai aktifitas masyarakat terganggu dan terhenti gara-gara aksi-aksi semacam ini. Bahkan tidak jarang aksi seperti ini membawa pelakunya untuk larut dalam suasana emosional dan tidak malu lagi untuk ‘menghalalkan’ darah saudaranya sesama muslim. Inilah cara berpikir yang salah; menjadikan penguasa sebagai musuh bagi rakyatnya. Tidak sedikit para da’i Islam yang terjebak dalam cara berpikir yang salah semacam ini. Padahal keberadaan penguasa muslim adalah benteng bagi keamanan negeri dan kedaulatan negara.

 

Oleh sebab itu Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku memiliki sebuah doa yang mustajab niscaya akan aku peruntukkan doa itu untuk kebaikan penguasa.” Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat orang yang mendoakan kebaikan bagi penguasa ketahuilah bahwa dia adalah pengikut ajaran Nabi, dan apabila kamu melihat ada orang yang mendoakan keburukan bagi penguasa ketahuilah bahwa dia adalah penganut kesesatan.”

Bulan Ramadhan adalah bulan doa. Sudahkah anda gerakkan lisan untuk mendoakan kebaikan bagi para pemimpin negeri ini? Tidakkah anda melihat kesabaran Imam Ahmad rahimahullah selama 3 periode pemerintahan dipenjara dan beliau tidak mau menyulut pemberontakan rakyat kepada penguasa yang mengajak kepada akidah kekafiran? Apakah anda akan mengatakan bahwa Imam Ahmad mendiamkan kemungkaran? Apakah anda akan mengatakan bahwa para sahabat yang hidup di masa al-Hajjaj -penguasa kejam dan zalim- semacam Anas bin Malik radhiyallahu’anhu yang tidak mau memberontak sebagai para pengecut? Anas bin Malik memerintahkan untuk bersabar dan mengingatkan akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah datang suatu masa melainkan masa yang sesudahnya lebih buruk daripada masa yang sebelumnya.” (HR. Bukhari)

Karena itulah para ulama kita -diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah- mengatakan bahwa bersabar menghadapi kezaliman penguasa adalah salah satu pokok diantara pokok-pokok (manhaj) Ahlus Sunnah. Karena itu pula para ulama menuliskan pedoman penting di dalam kitab-kitab akidah tentang wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa muslim, meskipun mereka adalah pelaku maksiat dan kezaliman. Bukan karena kita meridhai maksiat dan kezaliman, tetapi karena maslahat yang didapatkan dengan keberadaan mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi apabila berkobar pemberontakan dan pertumpahan darah. Bukankah mereka yang memilih salah satu calon presiden beralasan demi mengambil mudharat yang lebih ringan? Lantas mengapa untuk perkara ini sebagian orang justru mencari mudharat yang lebih berat?

Imam ath-Thahawi berkata, “Dan kami -ahlus sunnah- tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin kami dan para pemegang urusan-urusan (ulil amri) diantara kami meskipun mereka berbuat aniaya/zalim. Kami tidak mendoakan keburukan bagi mereka, dan kami tidak mencabut kesetiaan dari sikap patuh kepada mereka. Kami memandang ketaatan kepada mereka sebagian bagian dari ketaatan kepada Allah yang wajib dikerjakan, selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Dan kami mendoakan bagi mereka agar diberikan kebaikan dan keselamatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 379)

Kewajiban taat kepada ulil amri -meskipun zalim- disebabkan dampak kerusakan/kekacauan yang timbul dari pemberontakan jauh lebih besar daripada kezaliman yang dilakukan oleh penguasa itu sendiri. Bahkan dengan bersabar menghadapi kezaliman mereka menjadi sebab terhapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakan pahala. Karena sesungguhnya Allah tidaklah menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amal perbuatan kita sendiri. Oleh sebab itu apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezaliman pemimpin yang bertindak aniaya hendaklah mereka juga meninggalkan kezaliman (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 381)

Apakah anda hendak menegakkan keadilan untuk negeri ini dengan cara menzalimi saudara anda?

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46845-gerakan-membela-ramadhan.html

Telat Sahur? Ini Makanan Praktis dan Bergizi yang Cocok Disantap

Saat telat sahur, makanan apa yang perlu dikonsumsi? Coba saran ahli gizi ini. Selain praktis makanan ini juga bergizi agar tak lemas saat berpuasa.
Bangun mendekati waktu imasak sering kali membuat seseorang menikmati makanan praktis seperti mie instan ataupun segelas air putih. Cukup direbus sekitar 3 menit, semangkuk mie instan sudah bisa disantap.
Tapi bagaimana dengan gizinya? Leona Victoria Djajadi, MND tidak menyarankan untuk sahur dengan mie instan. “Lebih sehat dengan susu dan sereal atau roti sandwich,” jelas ibu dua anak ini kepada detikFood (27/05).
Victoria menambahkan bahwa makanan yang baik untuk berpuasa adalah makanan yang tinggi protein, sementara mie instan proteinnya biasa saja.
Agar bisa tetap sahur dengan makanan sehat selama puasa, sebaiknya Anda memiliki stok sayuran segar di rumah. Untuk sandwich, Anda bisa memilih roti gandum dengan isian telur ceplok dengan tambahan lembaran selada, potongan timun dan juga tomat. Jangan lupa konsumsi susu serta potongan buah yang mengandung tinggi air seperti jeruk, semangka atau melon agar lebih mengenyangkan dan kebutuhan air bisa terpenuhi.
“Bisa juga menikmati oats, granola atau muesli. Overnight oats ataupun chia pudding bisa disiapkan dari malam,” ujar Victoria.
Baik oats ataupun garnola mengandung serat yang sangat baik untuk pencernaan serta memberikan rasa kenyang lebih lama.

Allah dan Para Malaikat-Nya Bershalawat pada Orang Bersahur

JAKARTA — Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada kaumnya untuk bersahur sebagai pembeda dari puasanya Ahli Kitab terdahulu. Selain itu, ada keberkahan dalam ibadah sunnah makan sahur.

Seperti diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudari Ra dari kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, Rasulullah SAW bersabad: ‘’Makan Sahur seluruhnya berkah, janganlah kalian meninggalkannya meskipun hanya minum seteguk air. Karena, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat pada orang-orang yang bersahur.’’

Dalam riwayat lain seperti diriwayatkan Abu Hurairah Ra, Nabi Muhammas SAW pernah berkata,’’Sesungguhnya Allah menjadikan keberkahan dalam sahur dan literan.’’

Sementara Sulaiman Ra, seperti dimuat dalam kitab ‘Shahih At Targhib wat Tarhib, meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,’’Keberkahan terdapat dalam tiga yakni dalam kebersamaan (jamaah), makan roti campur sop, dan dalam makan sahur.’’ (Sumber: Berpuasa seperti Rasulullah terbitan Gema Insani)