Kementerian Agama (Kemenag) memastikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahun 1439 H/2018 M sudah rasional. Kemenag juga meyakinkan, tidak ada kekurangan ongkos haji, baik dari BPIH yang disetor oleh jamaah maupun dana optimalisasi.
Pada Senin (12/3), Kemenag dan Komisi VIII DPR secara resmi menetapkan BPIH tahun 1439 H/2018 M sebesar Rp 35.235.602 per jamaah haji. Nilainya meningkat sekitar Rp 345 ribu atau sekitar 0,99 persen dibandingkan tahun lalu.
Namun, sejumlah pihak, termasuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), menilai ada persoalan dari sisi dana optimalisasi. Dana optimalisasi sudah ditetapkan Kemenag dan Komisi VII DPR sebesar Rp 6.327.941.577.970. Dengan begitu, masing-masing jamaah dari total kuota 221 ribu orang memperoleh Rp 28.633.219,8.
Menurut informasi yang diperoleh Republika, anggaran dana optimalisasi yang disediakan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji tidak mencukupi.
Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 5/2018, pengeluaran penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf (a) bersumber dari saldo BPIH dan/atau BPIH khusus dari jamaah haji yang menunaikan ibadah haji pada tahun berjalan dan perolehan nilai manfaat tahun berjalan.
BPKH menargetkan nilai manfaat tahun berjalan sepanjang 2018 mencapai Rp 6,1 triliun. Namun, sebanyak Rp 1 triliun dibagikan secara merata kepada 3,5 juta orang calon jamaah yang masuk ke dalam daftar tunggu. Dengan demikian, hanya Rp 5 triliun dana optimalisasi yang tersedia sehingga ada gap Rp 1,3 triliun dengan dana optimalisasi yang ditetapkan pemerintah dan DPR.
“Tidak, bukan begitu. Dananya ada. Kalau tidak ada, tidak akan diputuskan kemarin (dalam rapat antara Kemenag dan Komisi VII DPR pada 12 Maret 2018—Red),” kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Nizar, kemarin.
Menurut dia, BPIH yang diputuskan bersama Komisi VIII DPR juga sudah rasional. Pengesahan itu telah melalui proses pembicaraan dan diskusi yang panjang. “Dana optimalisasi haji sudah bisa digunakan. Semuanya Rp 6,3 triliun,” ujar Nizar.
Ditemui seusai acara Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Islam di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, kemarin, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin turut merespons permasalahan ini. Menurut dia, dana penyelenggaraan ibadah haji ada yang berasal dari nilai manfaat maupun hasil efisiensi dari pelaksanaan haji tahun-tahun lalu.
“Sehingga ongkos haji yang hakikat normalnya Rp 66 juta, dibayar oleh jamaah hanya Rp 35 juta. Selebihnya dibayarkan dari dana optimalisasi,” ujar Lukman.
Ketua Panitia Kerja BPIH dari Komisi VIII DPR Noor Achmad mengonfirmasi mengenai sisa dana optimalisasi dari penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun sebelumnya. Nominalnya mencapai Rp 3,02 triliun. “Tentu saja yang menyimpan adalah Kemenag,” kata Noor.
Menurut dia, sisa dana itu disediakan Kemenag untuk memenuhi kebutuhan menutup kekurangan dana optimalisasi. Dia menambahkan, dalam rapat antara pemerintah dan Komisi VIII DPR, dana tersebut disepakati digunakan sebagian dan tahun-tahun yang akan datang.
Lebih lanjut, politikus Partai Golongan Karya itu memastikan, sisa dana itu untuk tahun ini tidak dilimpahkan ke BPKH. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji mengamanatkan agar BPKH wajib menyediakan cadangan dana haji untuk dua kali penyelenggaraan.
Sudah final
Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam memastikan BPIH tahun 1439 H/2018 M sudah final. “Setelah ini, prosesnya Pak Menteri Agama lalu akan menyampaikan hasil pembicaraan panitia kerja pemerintah dan DPR itu ke Presiden Joko Widodo,” katanya.
Menurut Nur Syam, Presiden selalu memperhatikan hasil rapat antara pemerintah dan DPR terkait ongkos haji. “Sebab, kalau misalnya ada perubahan maka itu harus kembali ke DPR dulu,” dia menjelaskan.
Nur Syam menjelaskan, kenaikan BPIH tahun 1439 H/2018 yang hanya Rp 345 ribu tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan tambahan layanan yang diterima jamaah. Ditambah lagi ada faktor berupa fluktuatifnya harga avtur dan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) di Arab Saudi. “Artinya memang harus ada kenaikan,” kata Nur Syam.
(novita intan/febrianto adi saputro, Pengolah: muhammad iqbal).