Penyakit Berbahaya: Merasa Punya Jasa dalam Dakwah

Ketika kita mendapatkan kemudahan dan pertolongan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dalam bentuk ibadah apa pun, hendaknya kita senantiasa bersyukur kepada-Nya dan senantiasa memohon taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala agar kita senantiasa istiqamah di dalamnya. Termasuk ketika mendapatkan kemudahan dari Allah Ta’ala sehingga kita dimudahkan untuk (sedikit) berkontribusi dalam dakwah.

Namun, setan memanfaatkan sedikit celah untuk menjerumuskan manusia dalam hal ini. Yaitu dengan mengajak manusia yang telah berkhidmat dalam dakwah untuk menyombongkan diri di hadapan manusia yang lainnya. Dia merasa bahwa dia punya jasa besar dalam dakwah. Dia merasa bahwa tersebarnya dakwah Islam saat ini adalah karena peran besarnya. Dia merasa bahwa jika dia tidak ada dan tidak ikut andil dalam dakwah, maka dakwah tidak akan jalan dan dakwah pun akan berhenti. Dia merasa dibutuhkan dalam dakwah. Dan perasaan-perasaan lain yang berpotensi merusak amalnya.

Merasa punya jasa dalam agama adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah

Merasa bangga dan merasa punya jasa dalam agama dan dakwah, adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah. Dulu, mereka membanggakan diri mereka dan menyombongkan diri bahwa mereka punya jasa besar dalam mengurus ibadah haji. Mereka sombong karena telah memelihara tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, menjadi pengurusnya, serta memberi makan dan minum untuk jamaah haji yang miskin.

Allah Ta’ala pun mencela perbuatan mereka ini dengan mengatakan,

مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ

“Dengan menyombongkan diri (terhadap Al-Qur’an atau iman) dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 67)

Maksudnya, mereka sombong karena telah mengurusi baitullah (ka’bah) dan melayani jamaah haji yang mendatanginya. Dengan amal itu, mereka menyombongkan diri di hadapan bangsa Arab lainnya. Lebih parah dari itu, beralasan dengan amal-amal tersebut, mereka merasa cukup sehingga merasa tidak butuh lagi terhadap Al-Qur’an dan tidak butuh beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa amal mereka tersebut telah mencukupi untuk diri mereka.

 

Allah Ta’ala pun mencela sikap mereka tersebut dengan mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Betul, memberi makan dan minum jamaah haji serta memakmurkan Masjidil Haram adalah termasuk amal shalih. Akan tetapi, tidak selayaknya seseorang membangga-banggakan amal tersebut di hadapan manusia. Bahkan menganggap amal tersebut telah cukup untuk diri mereka. Lalu merasa tidak butuh dengan amal yang lebih agung, di antaranya adalah jihad di jalan Allah, beriman kepada Allah Ta’ala, serta beriman kepada hari akhir. [1]

Jadi, membanggakan amal shalih di hadapan manusia, pada asalnya adalah ciri khas (karakter) masyarakat jahiliyyah.

Janganlah merasa telah memberi jasa kepada Islam

Allah Ta’ala mencela orang-orang yang merasa punya jasa ketika masuk Islam. Allah Ta’ala berfirman,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 17)

Ketika sebagian orang merasa punya jasa dengan masuk Islam, merasa bahwa keislaman mereka itu adalah jasa besar untuk Islam, Allah Ta’ala pun membantahnya. Yaitu sebenarnya, Allah-lah yang memberikan nikmat kepada mereka dengan memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam.

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan ayat ini,

هذه حالة من أحوال من ادعى لنفسه الإيمان، وليس به، فإنه إما أن يكون ذلك تعليمًا لله، وقد علم أنه عالم بكل شيء، وإما أن يكون قصدهم بهذا الكلام، المنة على رسوله، وأنهم قد بذلوا له [وتبرعوا] بما ليس من مصالحهم، بل هو من حظوظه الدنيوية، وهذا تجمل بما لا يجمل، وفخر بما لا ينبغي لهم أن يفتخروا على رسوله به فإن المنة لله تعالى عليهم، فكما أنه تعالى يمن عليهم، بالخلق والرزق، والنعم الظاهرة والباطنة، فمنته عليهم بهدايتهم إلى الإسلام، ومنته عليهم بالإيمان، أعظم من كل شيء

“Ini adalah kondisi orang-orang yang mengklaim telah beriman, padahal tidak. Klaim itu bisa jadi adalah untuk memberi tahu kepada Allah, padahal dia telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu. Atau bisa jadi maksud mereka dengan ucapan itu adalah untuk mengungkit jasa mereka kepada Rasul-Nya, bahwa mereka telah mencurahkan segala usaha mereka dan berbuat baik kepada Rasul-Nya, dengan sesuatu yang hakikatnya bukan merupakan amal shalih mereka, namun hanya karena motivasi duniawi semata. Mereka telah menghiasi diri dengan sesuatu yang tidak bisa dipakai untuk berhias (karena amal tersebut memiliki tendensi duniawi).

Mereka telah menyombongkan diri dengan sesuatu yang tidak sepantasnya, yaitu menyombongkan diri kepada Rasul-Nya. Karena sesungguhnya nikmat Allah Ta’ala kepada mereka, yaitu dengan menciptakan dan memberi mereka rizki, juga nikmat lahir dan batin, atau nikmat telah memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam dan memberikan hidayah untuk beriman, itu adalah nikmat yang jauh lebih besar dari segala nikmat yang ada.” (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 802)

 

‘Ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain

Berdakwah adalah di antara bentuk ibadah yang terpuji. Sehingga tidak boleh atas seseorang untuk berbangga diri, menepuk dada, dan sombong dengan amal ibadah tersebut. Karena ibadah adalah saran untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan untuk mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia. Bahkan, hendaknya dia memuji Allah Ta’ala karena telah menjadikan dirinya sebagai orang yang menunaikan amal tersebut, bukan membangga-banggakan dan menyombongkan diri sendiri di hadapan manusia.

Sombong terhadap amal atau dakwah yang telah dilakukan, akan menyebabkan ‘ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain. Dia akan cenderung menganggap remeh apa yang telah dilakukan orang lain.

Yang perlu kita sadari adalah betapa pun besar atau hebat amal dakwah yang telah kita lakukan, tetap saja pasti ada kekurangan di sana-sini. Amal besar itu belum mampu menunaikan hak Allah Ta’ala dengan sempurna. Sehingga amal kebaikan atau dakwah yang kita lakukan itu pada hakikatnya adalah amal yang sedikit, yang penuh kekurangan. Oleh karena itu, membanggakan amal yang dilakukan antara dia dengan Allah Ta’ala itu sangat berbahaya, karena hal itu akan menyeret kepada ‘ujub, sekedar memperbanyak amal, dan pada akhirnya akan membatalkan pahala amal tersebut.

Inilah yang seharusnya kita lakukan, yaitu menganggap amal kita adalah amal yang sedikit. Karena itulah yang akan mendorongnya untuk tawadhu’ (rendah hati) di hadapan manusia. Selain itu, juga akan mendorongnya untuk terus-menerus memperbanyak amal kebaikan yang lainnya.

Kesimpulan

Kesimpulan, merasa punya jasa dalam Islam atau merasa punya jasa dalam dakwah adalah penyakit yang bisa jadi menggerogoti amal para aktivis dakwah. Hendaknya kita senantiasa menyadari, bahwa ketika kita dimudahkan untuk banyak beramal, termasuk amal untuk berdakwah, itu semata-mata karena pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Lalu, apa alasan untuk menyombongkannya di hadapan manusia?

Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ، وَلَقَدْ وَارَى التُّرَابُ بَيَاضَ بَطْنِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

“Ketika terjadi perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turut bersama-sama dengan kami mengangkat tanah. Sehingga perut putih beliau menjadi kotor karena tanah. Beliau pun bersenandung, “Ya Allah, sekiranya bukan karena Engkau, tidaklah kami mendapatkan petunjuk, tidaklah kami bersedekah, dan tidaklah kami mendirikan shalat.“(HR. Bukhari no. 4104 dan Muslim no. 1803)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46732-penyakit-berbahaya-merasa-punya-jasa-dalam-dakwah.html

Bulan Politik, Bangun Kebersamaan dan Perdamaian

SUASANA semakin panas bukan karena matahari yang terlalu terik menyapa bumi. Rintik hujan masih mampu menyeimbangi panas matahari itu. Suasana semakin sumuk bukan karena tak ada AC atau pendingin ruangan lainnya.

Jendela dan pintu yang terbuka leluasa memberikan izin angin semilir menyapa ruangan-ruangan kita. Jangan-jangan yang menyebabkan suasana panas dan sumuk itu adalah tiadanya rintik air mata kasih sayang dan tiadanya jendela hati serta pintu rasa yang terbuka. Mari kita periksa.

Menjelang Pilpres tanggal 17 April ini, hampir semua warung kopi menjadi ruang debat masyarakat umum, hampir semua instrumen media sosial dipenuhi oleh aksi saling serang, saling caci, saling hina karena perbedaan pilihan. Jarang sekali yang saling apresiasi, saling menghormati dan menghargai. Ada apa ini sesungguhnya?

Semuanya seakan merasa dirinya adalah yang paling tahu dan yang paling benar. Mengapa mereka tidak memunculkan jawaban atas satu pertanyaan saja: “Apakah saya sudah menyampaikan pendapat saya dengan cara yang baik agar menjadi manusia terbaik di hadapan Allah?” Kalaulah satu pertanyaan itu terlalu berat, mengapa tidak selalu tanyakan kepada dirinya sendiri sebelum melakukan aksi: “Inilah yang diajarkan pancasila agar saya menjadi pancasilais?”

Dunia kampuspun ikut-ikut heboh, saling serang dan saling depresiasi, walau kadang dibungkus dengan beberapa teori dan referensi. Samar-samar mengemuka kembali pengelompokan-pengelompokan; muncul kembali garis tebal ‘ideologi’ pemisah persatuan yang sesungguhnya sempat menguat.

Positifkah efek kondisi seperti ini? Apa yang seharusnya kita lakukan? Kajian akademik murni dengan semangat obyektifitas yang baiklah yang akan mencerahkan. Sementara kajian yang bermotif biasanya hanya akan mengeruhkan suasana.

Teringatlah saya pada sebuah buku yang saya pernah resensi, buku karya Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (Mengapa orang-orang baik itu dipisah-pisahkan oleh politik dan agama). Buku ini layak dibaca untuk direnungkan. Ada banyak orang baik dan benar selain kita. Sangat bisa jadi bahwa kita dan mereka adalah sama dalam banyak hal selain masalah pilihan presiden. Pahami pandangan dan pilihan mereka, hargailah mereka dan hormati mereka, maka persatuan akan tetap terjaga, kedamaian terus terpelihara.

Pagi ini, atas dasar kesedihan saya akan kondisi bangsa yang kini dipenuhi caci-maki, saya tuliskan status pendek: “Manusia itu dilahirkan berbeda-beda satu dengan yang lainnya dalam segala hal. Mulai dari warna kulit sampai warna mata, mulai dari keinginan akal sampai keinginan hati. Berusaha keras untuk menjadikan semua sama adalah melanggar fitrah. Cukuplah saling menghormati dan menghargai, jangan saling mencaci dan merendahkan.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Jamaah Masjid Diminta Waspadai Informasi Hoaks

Jamaah masjid khususnya dan masyarakat nelayan umumnya diminta menjaga persatuan guna mewujudkan keamanan serta ketertiban lingkungan. “Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar di tengah masyarakat, namun tetap harus menjunjung tinggi persatuan,” katanya Kasat Polair Polres Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, AKP Elpiadi J kepada jamaah Masjid Arrokiin Pelabuhan di Sungailiat, Kamis (27/9)

Dia mengatakan, dipilihnya salah satu masjid di Pelabuhan untuk kegiatan itu diharapkan jamaah masjid dapat menyampaikan kembali ke masyarakat umum lainnya yang sebagian besar adalah nelayan.

Tertanamnya jiwa persatuan dan kesatuan masyarakat memudahkan terwujudnya program pemerintah guna kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, katanya.

Dia mengingatkan, jamaah masjid dan masyarakat agar bijak menyikapi informasi dari pihak manapun, jangan mudah mempercayai informasi hoaks yang belum tentu kebenarannya.

“Jangan mudah percaya dengan informasi yang tidak jelas sumbernya karena akan mengakibatkan suatu hal yang tidak diinginkan, lebih baik ditanyakan dulu kebenaran informasi tersebut dengan pihak yang mengetahuinya,” jelasnya.

Khususnya bagi nelayan, dia mengingatkan agar mengedepankan keselamatan kerja dengan melengkapi kelengkapan keselamatan di kapal penangkapan ikan.

“Saya melihat masih banyak kapal nelayan penangkapan yang belum dilengkapi dengan peralatan keselamatan seperti, tabung pemadam kebakaran, jaket pelampung dan peralatan keselamatan lainnya,” katanya.