Syi’ah menebar jala syahwat

Syi’ah dan mut’ah adalah kesatuan tak terpisahkan laksana kendaraan dengan bahan bakarnya. Mustahil menjadi pengabdi Syi’ah tanpa ada praktek mut’ah (kawin kontrak). Dalam kitab Syi’ah, Tafsir Manhaj Ash Shadiqin 2/489, salah seorang imam mereka mengatakan, “Barangsiapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut’ah, maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong.” Bagi penganut Syi’ah tentu ini menjadi cambuk luar biasa untuk berlomba-lomba melakukan mut’ah sesering mungkin, bila tak ingin  datang pada hari kiamat tanpa testis kemaluan.

Dilain sisi, mut’ah tentu oleh para rahib Syi’ah dijadikan dagangan dengan pesona syahwat yang dapat memikat mereka yang lemah iman. Mut’ah menawarkan kenikmatan biaya murah dengan servis wah. Para rahib Syi’ah sibuk berimprovisasi, mengemas praktek mut’ah yang bahkan lebih hina dari pelacuran,  menjadi praktek ‘ibadah’ bertabur berkah. Na’udzubillahi min dzalik.

Import Mut’ah Ke Indonesia

Dari Shaleh bin Uqbah, dari ayahnya, “Aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala?” Jawabnya, “Jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi.” Aku bertanya, “Sebanyak jumlah rambut?” Jawabnya ,” Ya, sebanyak jumlah rambut.“

Di Iran, menyalurkan syahwat biologis sangat jauh dari kata sulit. Penduduknya sudah sangat mafhum bahwa mut’ah adalah jalan utama menyalurkan libido asmara. Caranyapun relatif mudah, mereka cukup mendatangi masjid-masjid di Iran yang menyediakan fasilitas mut’ah, yaitu berupa kamar khusus mut’ah dan sekumpulan wanita yang bisa dipilih sebagai pasangan mut’ah.

Biasanya wanita-wanita itu akan ditempatkan pada bilik-bilik masjid dan siap untuk diperlihatkan kepada laki-laki yang datang. Harga nikah mut’ah bervariasi tergantung wanita mana yang dipilih dan hendak ‘memakai’ wanita itu untuk berapa lama. Hebatnya, nikah mut’ah tidak mengenal ambang batas, bisa dilakukan ribuan kali pada waktu yang sama dengan wanita yang berbeda.

Praktek keagamaan penganut Syi’ah di Iran tersebut rupanya oleh para rahib Syi’ah hendak ditransformasikan ke bumi Indonesia. Salah satu caranya, mereka mendatangi tempat-tempat pelacuran, kemudian berkhutbah di hadapan para pelacur dan pelanggannya, “Apa yang hendak kalian lakukan bukanlah perzinaan asalkan kalian mau menjalani satu syarat, yaitu mau dinikahkan secara mut’ah.” Berita ini sempat ramai menghiasi jagat media beberapa tahun silam.

Kini, mereka kian bergairah mensosialisasikan ajaran mut’ah ini secara massif dan terang-terangan. Fakta ini terkuak dengan adanya dialog terbuka antara seorang da’i Sunni Muhammad Abdurrahman Al Amiry (MAA) dengan Emilia Renita AZ (ER), isteri dedengkot Syi’ah Indonesia Jalaluddin Rakhmad.

Dialog terbuka yang diselenggarakan pada 1 Maret 2014 lalu itu membahas kebenaran ajaran Syi’ah khususnya Mut’ah. Dalam acara tersebut ER terang-terangan mengatakan bahwa dirinya adalah penganut Syi’ah sejati dan tidak mungkin mengharamkan nikah mut’ah karena dalilnya sangat kuat.

“Aku gak pernah mut’ah dan tidak minat mut’ah karena aku adalah Syi’ah yang sangat menjaga iffah (kesucian). Tapi aku tidak pernah mengatakan mut’ah itu jorok. Aku ini Syi’ah yang tidak mungkin mengharamkan nikah mut’ah, karena itu ada dalil kuat untuk menghalalkannya. Tapi aku jelaskan, aku tidak melakukannya karena tidak semua yang halal dalam al Qur’an harus kita lakukan. Nikah mut’ah adalah solusi buat para wanita menjaga iffahnya (kesuciannya).” terang ER.

Jawaban blunder ini ia berikan karena mendapat pertanyaan menohok dari MAA tentang berapa kali ER nikah mut’ah. Betapa bertolak-belakangnya jawaban isteri sang tokoh ini, dia menjunjung tinggi ajaran agamanya tapi tegas menolak mengamalkannya.

Mendengar jawaban ER yang tidak mau mut’ah lantaran menjaga kesuciannya, MAA pun langsung bereaksi, “Berarti menurut anda, Syi’ah yang mut’ah tidak menjaga kesuciannya? Berarti Imam Khumaini (Imam Besar Syi’ah dan Pemimpin Revolusi Syi’ah Iran) adalah orang yang tidak bisa menjaga iffahnya karena ia mut’ah dimana-mana tanpa malu. Dengan kata lain, Syi’ah adalah agama yang tidak menjaga iffah penganutnya karena mewajibkan mut’ah. Dan berarti andapun meyakini Syi’ah tidak memiliki kehormatan.”

Kisah Nyata Mut’ah Penganut Syiah di Bojonegoro

Kisah teranyar datang dari seorang yang berinisial YA, penganut Syi’ah di Bojonegoro. Dari kisah yang dipaparkan YA terlihat jelas betapa massifnya penetrasi mereka. YA, pria berusia 35 tahun ini berprofesi sebagai pengusaha pariwisata yang cukup maju.

Tahun 2007 lalu, YA menikah dengan sorang perempuan dan kini telah dikaruniai anak berusia 5 tahun. Kehidupan YA berubah sejak tahun 2009 setelah ia bergaul dengan komunitas Syi’ah di Bojonegoro. Komunitas Syi’ah yang diikuti YA adalah komunitas Syi’ah yang aktif menggelar kajian dan memiliki literatur Syi’ah. YA tidak sendirian, banyak kawan-kawannya yang tergabung dalam komunitas Syi’ah Bojonegoro tersebut.

Selain menggelar kajian Syi’ah secara tematik, komunitas Syi’ah yang dipimpin oleh Ustadz HF yang berasal dari Madura Jawa Timur ini rutin menggelar Kajian Madrasah Karbala yang fokus pada peristiwa pembunuhan cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Husain bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu.

“Lokasi pengajiannya di rumah saudara AK, sebelah barat Masjid Al Mukhlisin, Jalan Monginsidi Bojonegoro. Kadang juga di Balai Desa Klangon Bojonegoro. Mereka juga punya radio komunitas, namanya Brain Community, tapi sudah tidak on air sekarang,” jelas sumber Fimadani.

Meski sudah 5 tahun menjadi penganut Syi’ah, YA tidak mengajak istri dan keluarganya menjadi pengikut Syi’ah. Di keluarganya, hanya ia sendiri yang menjadi pengikut aliran yang pernah difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia tersebut.

Maka, ketika muncul keinginan melakukan salah satu ajaran penting Syi’ah, nikah mut’ah, tidak ada anggota keluarganya yang tahu.

Uniknya, YA tidak melakukan nikah mut’ah dengan wanita Syi’ah yang sudah lama menjadi pengaut Syi’ah. Ia memilih melakukan nikah mut’ah dengan wanita Sunni yang didoktrinnya dengan konsep keutamaan nikah mut’ah menurut Syi’ah.

“Kalau wanita-wanita itu malah tidak ikut ngaji (Syi’ah-red) sama sekali. Cuma diberi penjelasan singkat tentang mut’ah dan wanitanya mau diajak mut’ah, maka terjadi kawin mut’ah. Rata-rata cuma cinta sesaat karena bisa diajak check in hotel dan diberi mahar,” terang sumber.

Senjata yang sering dipergunakan oleh YA untuk menaklukkan calon mangsanya adalah dengan menceritakan “hadits” pegangannya. Abu Ja’far berkata “Ketika Nabi sedang Isra’ ke langit berkata, Jibril menyusulku dan berkata, wahai Muhammad, Allah berfirman, sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut’ah. (Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464).

Oleh karena itu, wanita-wanita yang didoktrin oleh YA pun mau melakukan nikah mut’ah dengannya. Bahkan, YA dan wanita-wanita itu melakukan pernikahan tanpa saksi dan tanpa penghulu. Pernikahan nikah mut’ah dalam Syi’ah memang bisa dilakukan dengan cara seperti itu. Salah satu dasarnya, menurut orang Syi’ah, adalah, “Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang seorang laki-laki yang menikah tanpa adanya bukti, maka ia menjawab, “Tidak mengapa.” [Al-Kaafiy, 5/387].

Hingga kini, YA sudah melakukan nikah mut’ah dengan 7 perempuan dengan durasi yang berbeda, ada yang mingguan dan ada yang hingga satu tahun. Seluruhnya berasal dari Bojonegoro.

Wanita terakhir yang dinikah-mut’ahi oleh YA adalah EN, janda beranak satu, seorang SPG.  YA dan EN baru berkenalan 2 bulan yg lalu. Dengan jurus yang sama, YA mendoktrin EN dengan konsep nikah mut’ah Syi’ah. Ia juga kerap mengajak EN jalan-jalan dengan mobilnya. Alhasil, EN pun mau diajak nikah mut’ah oleh YA pada Oktober 2014 lalu. Tentu saja istri YA tidak mengetahui nikah mut’ah itu.

Setelah mut’ah berjalan beberapa waktu, EN menginginkan hal yang lebih. Ia ingin dinikahi YA secara permanen dan resmi di KUA. Jelas saja YA tidak mau.

“Si istri mut’ah mengancam akan mendatangi istri resminya di rumah jika tidak mau bertanggung jawab,” papar sumber Fimadani.

“Dia lain dari wanita yang dinikah mut’ah sebelum-sebelumnya, dia tergolong nekat dan berani mengadu ke istri YA jika tuntutannya tak dipenuhi,” lanjutnya. Bahkan, EN rela menunggu hingga YA menjadi duda.

Hingga kini, YA masih kebingungan menyelesaikan masalah yang dibuatnya sendiri itu. Apakah ia akan menikahi EN secara resmi, ataukah ia akan membiarkan EN membongkar pernikahan mut’ahnya pada sang istri.

(YAN-RM)

 

sumber: Risalah Mujahidin

Mengenal Nikah Mut’ah ala Syiah Rafidhah [2]

Ali Bin Abi Thalib mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh (dihapus) sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119

 

Sambungan artikel PERTAMA

 

2.Tanpa disertai wali si wanita

Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam7/254)

3.Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)

4.Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan? Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan: wanita Majusi? (Tahdzibul Ahkam 7/254),wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i’il Islam hal. 184),wanita pelacur? (Tahdzibul Ahkam7/253),wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini),wanita sepersusuan? (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini),wanita yang telah bersuami.?(Tahdzibul Ahkam7/253)

Iistrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli.?(Al-Ibtishar 3/144),wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait.?(Tahdzibul Ahkam 7/272),sesama pria yang dikenal dengan homoseks? (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 54).

5.Batas usia wanita yang dimut’ah

Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 37),bertentangan dengan anatomi tubuh wanita dari hasil riset ilmiah,karena organ tubuh repoduksi harus mmenuhi ukuran dan waktu tertentu agar dapat berhubungan dengan lawan jenis.

6. Jumlah wanita yang dimut’ah

Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikahi walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147),fenomena moral yang amat buruk status wanita lebih murah dari barang rongsokan,sungguh sebuah ajaran yang keji dan tidak manusiawi

7. Nikahi upah

Adapun Nikahi upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 danTahdzibul Ahkam 7/260),menghargai martabat wnita seperti sampah akal busuk para pemuja syahwat agar bebas menyalurkan libidonya tanpa etika Agama.

8.Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?

Diijinkan bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berapa kali dia kehendaki. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)

9.Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?

Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:

A.Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!

B.Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka memuliakan tamu! (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)

10.Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38).

Tetapi wanita yang dimut’ah para sayyid tidak boleh dimut’ah oleh masyarakat Syi’ah secara umum.

11.Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 44).

12.Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, dimasa Al-‘Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya. (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239).

Bukankah hal seperti ini mirip perdaganan wanita ala AS, di mana kelompok wanita diperdagangkan sebagai budak nafsu secara terbuka.

Ali Menentang Mut’ah

Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib -yang diklaim oleh kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka-  bahwa beliau justru menentang nikah mut’ah.

Ali Radhiallahu Anhu mengatakan:  “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh (dihapus) sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.

Sebagaimana dikupas dalam bukunya Buya Hamka, ”Wanita Dalam Pandangan Islam”, nasib kaum wanita terseok-seok oleh faham filsafat sesat dan sekuler, akibat wanita tidak memposisi
kan diri dalam bingkai syari’at Islam yang haq.Wanita selalu berada dalam ekploitasi peradaban, di mana para filosof memandang sebagai ular berbisa, Iblis yang sangat buruk, bahkan filosof Satre sampai  meninggal lantaran berfikir tetang dunia gender yang tidak dapat dipecahkan oleh kemampuan akalnya sendiri.

Semua itu menunjukan betapa ruak dan tak berharganya kaum wanita tatkala jauh dari tuntunan Illahi yang dicontohkan oleh Muhammad Shalallahu’alaihi wa Sallam dan para Sahabat mereka sampai empat generasi sesudahnya.

Inilah fakta sosial negara industri.Wallahu’alam.*

 

Oleh: Imam Hanafi

Penulis adalah Direktur LBH Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

sumber: Hidayatullah.com

Hukum Nikah Mut’ah

Tanya :

Ustadz, mohon jelaskan hukum nikah mut’ah!

 

Jawab :

nikah mut’ah (temporary marriage) adalah menikah dengan seorang wanita untuk jangka waktu sementara dengan mahar tertentu. (nikaah al mar`ah li muddah al mu`aqqatah ‘ala mahrin mu’ayyan). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 309). Misal seorang laki-laki berkata kepada seorangwanita,”Aku beri engkau harta sekian dengan ketentuan aku akan bersenang-senang denganmu selama satu hari, atau satu bulan, atau satu tahun.” Ini contoh untuk jangka waktu yang ma’luum (diketahui dengan jelas). Dapat juga jangka waktunya majhul (tak diketahui jelas), misalnya,”Aku beri engkau harta sekian dengan ketentuan aku akan bersenang-senang denganmu selama musim Haji, atau selama aku tinggal di negeri ini, atau hingga datangnya si Fulan.” Jika jangka waktu tersebut berakhir, terjadilah perpisahan (furqah) antara laki-laki dan wanita itu tanpa talak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/333).

nikah mut’ah hukumnya haram. Inilah pendapat jumhur fuqaha, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, dan lain-lain dengan berbagai dalil-dalil syar’i yang rajih (kuat), yang intinya membuktikan bahwa nikah mut’ah itu hukumnya mubah di awal Islam, namun kemudian hukum mubah ini dihapus (di-nasakh) sehingga hukumnya menjadi haram hingga Hari kiamat. Sebagian ulamamengatakan nasakh (penghapusan) itu terjadi saat Haji Wada’, sementara sebagian ulama lainnya mengatakan nasakh tersebut terjadi saat Fathu Makkah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/333; Imam Al Ja’bari,Rusukh Al Ahbar fi Mansukh Al Akhbar, hlm. 440; Imam Ibnu Syahin, An Nasikh wa Al Mansukh min Al Hadits, hlm. 221).

Dalil pendapat jumhur antara lain hadits Ar Rabii’ bin Sabrah Al Juhani RA dari ayahnya bahwa Nabi SAW pernah bersabda :

يا أيها الناس ! إني قد كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء. وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة. فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله. ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا

”Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan para wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu hingga Hari kiamat. Maka barangsiapa yang di sisinya ada wanita-wanita [yang dinikahinya secara nikah mut’ah], hendaklah dia berpisah darinya, dan janganlah kamu mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR muslim no 1406). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/334).

Dalil lainnya dari jumhur ulama adalah firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)

Dan [orang-orang yang beriman] adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS Al Mukminuun [23] : 5-6). wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah sebenarnya bukanlah istri dan bukan pula budak. Maka nikah mut’ah pastilah termasuk perbuatan tercela yang haram hukumnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/335; Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm. 24).

Kaum Syiah berpendapat nikah mut’ah hukumnya boleh. Imam Khomeini, misalnya, dalam kitabnyaKasyful Asraar hlm. 117-118 mengatakan nikah mut’ah itu halal dengan beberapa alasan; Pertama, bahwanikah mut’ah itu tidak dinasakh dan yang melarang mut’ah adalah Umar bin Khaththab itu sendiri, bukan Nabi SAW. (HR muslim dari Jabir no 1405). Kedua, bahwa nikah mut’ah itu dibolehkan oleh ayat :

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).“ (QS An Nisaa` [4] : 24) (Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm.12).

Pendapat Imam Khomeini itu batil. Pertama, tidak benar bahwa tak ada nasakh nikah mut’ah dan tak benar pula nikah mut’ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab itu sendiri. Yang benar, nikah mut’ah telah dinasakh oleh Nabi SAW dan Umar sekedar mengokohkan pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi SAW. Umar bin Khaththab berkata :

إن رَسُول اللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم أذن لنا في المتعة ثلاثا، ثم حرمها

“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengizinkan kita untuk nikah mut’ah tiga kali, lalu mengharamkannya.” (HR Ibnu Majah, no 1963; Imam Nawawi, Syarah Shahih muslim, 9/183). Kedua, ayat tersebut (QS An Nisaa` : 24) tidak menunjukkan bolehnya nikah mut’ah. Karena jika dibaca ayatnya secara utuh dari awal hingga akhir, akan jelas konteksnya adalah pernikahan biasa yang halal, bukannikah mut’ah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/335; Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm. 17).Wallahu a’lam. (ust Siddiq al Jawie)

 

 

sumber: Hizbut Tahrir

Hukum Nikah Mut’ah (2-habis)

Dalam hadis lain, dari Iyas Ibnu Salamah dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW memberikan keringanan pada tahun Authas untuk melakukan mut’ah selama tiga hari kemudian melarang praktik tersebut.” (HR Muslim).

Dengan dasar itu, jumhur ulama mengharam kan praktik nikah mut’ah. Dalam surah al-Mukminun ayat 5-6, Allah berfirman, “Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau jariah mereka. Maka, sungguh mereka dalam hal ini tidak tercela.” Wanita yang dinikahi mut’ah bukan termasuk istri atau jariah dalam hal ini.

Meskipun dilaksanakan akad layaknya pernikah an, ada beberapa perbedaan antara akad nikah dan mut’ah. Akad mut’ah tidak saling mewarisi, iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah, seorang yang mut’ah tidak dianggap muhsan, nikah mut’ah bisa dengan sebanyak-banyaknya wanita, nikah mut’ah bertentangan dengan tujuan pernikahan yakni melanggengkan keturunan.

Dalam konteks Indonesia, praktik nikah mut’ah dinilai MUI bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawainan No 1 Tahun 1974. Padahal, ujar MUI, menaati peraturan pemerintah adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kaidah fikih, “Keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perbedaan.”

Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai Prof KH Ibrahim Hosen memberi pertimbangan jika mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Suni dan menolak ajaran mut’ah dalam paham Syi’ah secara umum.

MUI menegaskan kembali dalam Munas MUI tahun 2010 tentang nikah wisata. Nikah wisata juga dinyatakan haram karena hanya diniatkan untuk kebutuhan sesaat. Nikah wisata adalah salah satu bentuk dari nikah mut’ah.

Dasar keharaman dalam hadis disebutkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar, juga melarang memakan daging keledai peliharaan (Muttafaq ‘alaih).

Umar bin Khatab RA berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW memberi izin mut’ah selama tiga hari kemudian mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui satu pun laki-laki yang melakukan mut’ah sementara dia seorang yang pernah menikah kecuali saya rajam dengan batu.” (Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanad shahih).

Ibn al-Humam dalam Fathul Qadir menyebut para ulama berijma’ jika hukum nikah mut’ah adalah haram untuk selamanya.

 

Oleh: Hafidz Muftisany

 

Baca juga: Hukum Nikah Mut’ah 1