Pasutri Juru Parkir dan Tukang Sayur Naik Haji

Sahudin dan Miskiah, pasangan suami-istri yang sehari-hari sebagai juru parkir dan pedagang sayur di Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah.

“Alhamdulillah, saya bersama istri dapat berangkat tahun ini,” kata Sahudin ketika ditemui di sela acara pembinaan dan silaturahmi dengan Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid, Rabu (9/8).

Sahudin sehari-hari menjadi juru parkir di pasar tradisional Gerung. Sedangkan istrinya berjualan sayur-mayur di pasar tradisional Lembar, Kabupaten Lombok Barat. Pasangan suami-istri yang sudah dikaruniai tiga orang anak itu menyisihkan sebagian hasil usahanya untuk ditabung di Bank Muamalat, sejak 2005.

Nilai uang yang disisihkan Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per minggu. Keduanya saling mengingatkan dan memotivasi agar kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya skunder dikurangi. “Alhamdulillah, setelah hampir lima tahun menabung, saya bersama istri dapat kursi karena sudah melunasi setoran awal pada 2009. Dan pada 2017 ini diberangkatkan ke Makkah,” ujarnya.

Sahudin bersama Miskiah masuk dalam kelompok terbang (kloter) empat bersama 450 orang jamaah calon haji asal Kabupaten Lombok Barat, yang masuk dalam kloter utuh. Juru parkir dan pedagang sayur itu berharap agar tetap diberikan kesehatan dalam menjalan Rukun Islam V di Tanah Suci Makkah, sehingga mendapatkan haji yang mabrur dan bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.

“Doakan semoga para jamaah calon haji tahun ini mendapatkan haji yang mabrur dan diberikan kesehatan dan keselamatan,” Sahudin berharap.

Bupati Lombok Barat, H Fauzan Khalid, juga berharap agar warga lainnya bisa meniru tekad Sahudin dan Miskiah, untuk menunaikan ibadah haji dengan berani menyisihkan sebagian pendapatan usahanya. “Walaupun seorang juru parkir dan tukang sayur, mereka bisa menunaikan ibadah suci yang menjadi kesempurnaan dalam Rukun Islam,” katanya.

 

IHRAM

Seorang Kakek Jual Rumah untuk Naik Haji

Membutuhkan perjuangan berat untuk bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Bahkan, ada jamaah haji yang rela menjual tanah ataupun rela menjual rumah untuk menunaikan ibadah wajib yang bisa dilakukan bagi yang mampu ini.

Seperti halnya kakek asal Kebumen, M Taufik, yang harus menjual rumah untuk bisa bertamu ke rumah Allah. Ia rela menjual rumahnya di kampung halamannya untuk naik haji bersama istrinya.

Setelah puluhan tahun berjuang, akhirnya kakek berusia 76 tahun ini bisa menunaikan ibadah haji tahun ini bersama 388 jamaah lainnya yang ikut dalam kloter ke-17 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Ia akan terbang ke tanah suci dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia di Bandara Soekarno Hatta pada Jumat (4/8), malam.

Sebelum berangkat, Kakek Taufik tampak menunaikan shalat ashar di Masjid Al Mabrur Asrama Haji Pondok Gede. Dengan memakai batik berwarna biru, ia tampak khusuk melaksanakan shalat, lalu dilanjutkan dengan berdzikir.

Republika.co.id segera menghampiri kakek yang telah mempunyai 20 cucu tersebut saat ia keluar masjid. Ia mengaku sangat senang melaksanakan jamaah haji tahun ini. Karena, menurut dia, untuk naik haji memang membutuhkan perjuangan yang keras.

“Saya harus berjuang mengumpulkan uang dan akhirnya bisa daftar pada 2011 dan sekarang baru dapat panggilan. Alhamdulillah, bisa berangkat sama ibu berdua. Jadi begitulah, saking syukurnya saya tidak punya pikiran apa-apa,” ujar Kakek Taufik kepada Republika.co.id di Masjid Al Mabrur, Asrama Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (4/8) sore.

Di waktu muda, Kakek Taufik harus bekerja menjadi tukang bangunan serabutan. Hasilnya ia kumpulkan untuk merekontruksi rumah yang ada di kampungnya di Kebumen. Karena sangat ingin naik haji, pada tahun 2011, ia pun menjual rumah tersebut dengan harga Rp 75 juta.

Setelah itu, ia langsung mendaftarkan uang tersebut bersama istrinya. “Jadi dulu kalau ada rejeki itu cuma untuk membetulkan rumah. Kalau rumahnya udah bagus dijual. Jadi rumahnya yang di kampung gak kepakek, jadi dijual Rp 75 juta waktu tahun 2011. Habis itu langsung mendaftar sama istri,” kata kakek yang kini tinggal di daerah Cawang, Jakarta Timur ini.

Istri Kakek Taufik, Boinem (66), turut merasa senang bisa berangkat ke tanah suci tahun ini. Nenek Boinem sendiri berasal dari Prambanan, Yogyakarta. “Dikabulkan oleh Allah keinginannya. Jadi aku senang banget udah,” kata  Taufik.

Taufik mengaku tidak mempunyai harapan apa-apa pada saat melaksanakan ibadah di Makkah nanti. Ia hanya ingin menjadi haji mabrur. Ia pun berdoa kepada Allah agar diberikan kesehatan sampai kembali lagi ke Indonesia.

“Saya gak punya harap apa-apa. Cuma tenang dan jadi haji mabrur doang. Udah gak ada pikiran apa-apa. Senang lah ibadah bisa terlaksana dan saya mudah-mudahan sehat sampai berangkat dan kembali,” jelasnya.

Tidak hanya Taufik, Kakek Sujito (77 tahun) juga membutuhkan perjuangan yang sangat lama untuk bisa menunaikan ibadah haji tersebut. Karena kakek yang sudah mempunyai 7 cucu ini juga harus menabung dari hasil uang pensiunan. “Perjuangannya berat Pak. Tapi akhirnya kita dapat pengumuman 22 Mei kemarin,” ucapnya.

Kakek Sujito baru bisa mendaftar haji pada tahun 2013, lalu. Ia mengaku telah lama menabung dari uang hasil pensiunannya sambil mengasuh cucu-cucunya. Ia mendaftar pada tahun 2013.

Sujito juga mengaku sangat senang bisa berangkat tahun ini bersama istrinya karena sudah lama menunggu. “Kan baru bisa dilaksankan sekarang setelah umur 77 tahun. Saya sama istri juga. Kita bersyukur sudah bisa melaksanakan haji,” kata warga Kampung Ambon, Jakarta Timur ini.

Taufik dan Sujito berangkat ke Bandara Soekarno Hatta setelah shalat maghrib. Petugas haji pun sudah berkali-kali menginformasikan agar para jamaah haji mulai bersiap-siap di gedung penginapannya masing-masing.

Melalui pengeras suara Masjid Al Mabrur, petugas juga mengimbau agar jamaah haji melaksanakan shalat Maghrib di gedung penginapannya masing-masing. Setelah shalat, jamaah disuruh berkumpul di Gedung Serba Guna Asrama Haji Pondok Gede. Sebab, jamaah kloter 17 diberangkatkan ke Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 18.15 WIB.

Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kawnil Kemenag DKI, Sadirin mengatakan, jumlah calon jamaah haji kloter ke-17 berjumlah 388 dan juga ditambah petugas haji yang msndampinginya. “Jadi ada 388 jamaah haji dan lima petugas haji ini,” katanya.

Sadirin mengimbau agar calon jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci untuk selalu menjaga kesehatan dan tidak menforsir tenaganya secara berlebihan. Ia menyarankan agar jamaah haji meminum air yang banyak saat berada di Makkah karena cuaca sangat panas. “Di sana sangat panas, karena jamaah harus minum yang banyak agar tidak dehidrasi,” kata Sadirin.

 

REPUBLIKA

Sujinah Penjual Tiwul dan Doanya yang Sederhana di Tanah Suci

Madinah – Sujinah (60), penjual jajanan tradisional asal Desa Tanjungtani, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, bersyukur bisa berhaji yang diimpikan sejak lama. Matanya berbinar saat menceritakan bagaimana bisa berhaji dan doanya yang sederhana.

Di desa, Sujinah biasa dipanggil Sujinah Tiwul. Tiwul dilekatkan karena Sujinah berjualan tiwul. Namun menurut Sujinah, ia tak hanya berjualan tiwul tapi juga jajanan tradisional lain seperti gethuk, cenil, dan tape singkong.

“Dijual ke beberapa pasar,” kata Sujinah dalam bahasa Jawa halus.

Sujinah bicara sambil duduk di kursi lobi di Hotel Mawaddah An Nour tempatnya menginap selama di Madinah, Selasa (1/8/2017) sekitar pukul 14.00 Waktu Arab Saudi (WAS).

Sujinah didampingi 2 temannya menunggu lift kosong. Antrean siang itu cukup padat. Selain jemaah Indonesia, ada jemaah Thailand, Malaysia, dan negara lain di hotel yang berjarak kurang lebih 250 meter dari Masjid Nabawi itu.

Bagaimana Sujinah berangkat haji? Dia mengaku menyisihkan uang hasil jualan jajanan untuk biaya haji. Ia mendaftar pada tahun 2010. Dan akhirnya tahun ini, dia ‘dipanggil’ ke Tanah Suci.

Sujinah tergabung dalam kelompok terbang SUB 05 Embarkasi Surabaya. Pesawatnya berangkat pada Sabtu (29/7) malam, dan mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz Madinah pada Minggu (30/7) dini hari.

“Sejak tiba (di Madinah), saya tiap hari ke Masjid Nawabi untuk arbain. Saya juga sudah ke Raudhah,” ucap Sujinah.

Arbain adalah salat 5 waktu tanpa putus sebanyak 40 kali di Masjid Nabawi. Sedangkan Raudhah adalah area di sekitar mimbar dan makam Nabi Muhammad SAW di dalam kompleks Masjid Nabawi. Bagi kaum muslim, doa di 2 tempat tersebut memiliki nilai lebih.

Apa yang menjadi doa Sujinah di Raudhah dan Masjid Nabawi? “Keinginan saya sederhana. Semoga saya dan keluarga sehat, juga hidup cukup (berkecukupan). Doa nggak pakai bahasa Arab, yang penting tersampaikan,” ungkapnya sambil tersenyum.

Sujinah adalah satu dari puluhan ribu jemaah Indonesia yang berjuang demi bisa berhaji. Dia menabung hasil kerja kerasnya sedikit demi sedikit. Pada saat bersamaan, dia menunda keinginan-keinginan duniawi. Ketelatenan dan kesabaran itu berbuah manis.

Hingga hari ini, lebih 28 ribu jemaah Indonesia telah tiba di Madinah. Mereka, tentu saja termasuk Sujinah, akan berada di kota di utara Kota Mekkah ini selama 8-9 hari. Selanjutnya jemaah akan beringsut ke Mekkah untuk mengikuti prosesi haji. Mimpi Sujinah Tiwul sejak lama kini segera terealisasi. (try/elz)

 

DETIKcom

Maksum, Tukang Becak yang Akhirnya Naik Haji

Penantian Maksum bin Wahab (79 tahun), untuk dapat beribadah ke Tanah Suci sebentar lagi tercapai. Dari hasil menabung selama puluhan tahun, Maksum yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak akhirnya akan berangkat haji pada Sabtu (29/7).

Maksum tercatat sebagai calon jemaah haji kloter 6 yang diberangkatkan dari Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Sabtu. Ia akan masuk asrama haji bersama jamaah satu kloternya pada Jumat (28/7). Ia bergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Muhammadiyah Surabaya.

Pria asal Desa Bates, Kecamatan Blegan, Kabupaten Bangkalan, Madura, tersebut mengaku menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil bekerja mengayuh becak. Sehari-hari, ia mangkal di depan pusat perbelanjaan ITC Surabaya yang juga dekat dengan tempat tinggalnya.

Rumah Maksum di Jalan Kapasan Samping III Kecamatan Simokerto hanya berjarak beberapa puluh meter dari pusat perbelanjaan tersebut. “Cita-cita naik haji mulai saya masih muda. Daftar haji tahun 2010 diantar menantu saya, nunggu tujuh tahun baru bisa berangkat,” kata pria kelahiran 1938 tersebut saat ditemui di kediamannya, Kamis (27/7).

Maksum bercerita, ia berasal dari keluarga tidak mampu di Madura. Ayahnya hanya kuli panggul, sedangkan ibunya meninggal sejak ia kecil. Setelah menikah, ia diajak pamannya untuk merantau ke Surabaya menjadi kuli panggul mengikuti ayahnya.

Ia kemudian beralih profesi menjadi pengayuh becak. Nahas, pada 1996, istrinya meninggal dunia. Bapak 13 anak, tujuh di antaranya meninggal, tersebut justru semakin giat bekerja agar bisa menyempurnakan rukum Islam beribadah ke Tanah Suci.

Ilmu yang diperoleh dari mengaji semakin menggiatkan niatnya untuk berangkat haji. “Kalau ngaji rukun iman itu kan salah satunya percaya sama takdir Allah. Saya percaya takdir dari Allah untuk naik haji,” kata kakek puluhan cucu tersebut.

Demi mencapai cita-citanya, Maksum menyisihkan rupiah demi rupiah setiap harinya. Dari mengayuh becak, Maksum mendapat penghasilan rata-rata Rp 50 ribu per hari dan paling sedikit Rp 20 ribu sehari.

Pada 2010, ia meminta Rusdi, menantunya, untuk mendaftar tabungan haji di salah satu bank milik pemerintah. Saat itu, ia membawa KTP, KK dan uang Rp 20 juta sebagai syarat untuk mendapat kursi. Setiap bulan ia menyetor sekitar Rp 500 ribu – Rp 1 juta ke bank hingga lunas pada tahun ini.

“Sambil nunggu berangkat haji saya berusaha terus bekerja dan berdoa. Kalau sudah sampai Makkah saya mau berdoa agar menjadi haji yang mabrur,” katanya.

Sebelum berangkat haji, selain mengikuti manasik, Maksum menjalani persiapan pribadi berupa olahraga ringan. Setiap hari ia berjalan kaki keliling kampung agar tetap bugar. “Habis naik haji nanti saya tetap bekerja menjadi tukang becak,” ujarnya.

Tahun ini, total calon jamaah haji yang berangkat dari Embarkasi Surabaya tercatat sebanyak 36.644 calhaj. Mereka terbagi menjadi 83 kloter yang akan diberangkatkan dari Bandara Juanda mulai 28 Juli sampai 11 Agustus 2017.

 

IHRAM

Kisah Seorang Pemulung Naik Haji

Niat dan usaha yang sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang pada sesuatu yang dicita-citakannya. Setidaknya hal inilah yang diyakini dan dilakukan Karyati binti Halil, seorang pemulung asal Dusun Bringin Desa Pondok Wuluh Kecamatan Leces Kabupaten Probolinggo.

Meski secara logika pekerjaan yang dijalaninya merupakan pekerjaan rendahan, tetapi nenek yang berusia sekitar 69 tahun tersebut ternyata mampu mencapai cita-citanya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima naik haji ke tanah suci.

Namun demi bisa mencapai keinginannya tersebut, Karyati telah bekerja sangat keras. Bahkan selama 20 tahun lamanya, wanita paruh baya tersebut menyisihkan sebagian jerih payahnya sebagai pengais barang bekas plastik dan kertas.

Janda renta yang mempunyai 4 (empat) orang anak ini berkeyakinan bahwa suatu saat nanti dirinya bakal bisa naik haji ke tanah suci layaknya orang-orang lain yang berduit. Atas keyakinan tersebut, dirinya selalu menyisihkan hasil dari memulung untuk ditabung dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Memang untuk mewujudkan impian naik haji ini penuh perjuangan. Karena saya harus menabung selama 20 tahun lamanya. Tetapi saya yakin Allah pasti mengabulkan doa saya untuk bisa melihat Ka’bah secara langsung,” ujar Karyati.

Menurut Karyati, cita-cita naik haji itu sudah lama terpendam semenjak 2002 lalu. Saat itu dirinya mengaku masih punya toko kelontong di desanya. Sekitar tahun 2004, Karyati mulai mendaftarkan diri sebagai haji Kabupaten Probolinggo. Pada waktu itu, tabungannya dari hasil menjadi pemulung sudah mencapai sekitar Rp. 20 juta. Selain dari hasil memulung, uang tersebut didapat dari beberapa sukarelawan.

Masa-masa sulit dilewatinya saat usaha kelontongnya bangkrut di pada tahun 2005. Namun untuk menyambung hidup, Karyati kemudian menjadi seorang pemulung atau pengumpul rongsokan di Masjid Ar-Rahmah milik PT. Kertas Leces (PTKL) Probolinggo. Meski pekerjaannya terbilang rendah, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk bisa meraih cita-citanya untuk menunaikan ibadah haji.

“Pernah suatu ketika, tepatnya pada tahun 2010 saya pernah ditipu oleh seseorang yang mencoba menawarkan jasa. Namun tanpa disadari saya tertipu sebesar Rp. 10 juta dan uang tersebut tidak dikembalikan meskipun beberapa waktu kemudian akhirnya ditangkap oleh polisi,” jelas Karyati.

Dan selama mengejar impiannya, Karyati tidak mau kumpul atau tidur di rumah anak-anaknya. Bukannya tidak sayang kepada anak dan cucunya, namun nenek bercucu 12 orang ini tidak mau mengganggu atau menjadi beban hidup anak-anaknya. Dirinya lebih memilih tidur di toko usang miliknya. Terkadang pula tidur di masjid desanya. “Kalau pas bersih-bersih masjid ada orang kasih rejeki, saya tabung,” kata Karyati.

Biasanya menurut Karyati, setelah seharian mencari rongsokan biasanya dirinya beristirahat dan bermalam di masjid. Selama di masjid, ia tidak lupa bersembahyang lima waktu, mengaji dan shalat Tahajjud setiap malam.

“Ya Allah, saya sudah tidak punya suami dan punya anak tetapi tidak mempunyai penghasilan, saya ingin cari kerja tetapi juga sudah terlalu tua. Saya ingin nabung, untuk melunasi haji,” kata Karyati menyampaikan doa yang sering dibacanya setiap habis sholat.

Doa tersebut ia baca setiap hari usai melaksanakan sholat Tahajjud dan mengaji. Menurutnya, shalat dan mengaji merupakan kunci hingga akhirnya dia bisa berangkat naik haji. “Pokoknya jangan pernah putus asa untuk selalu sholat dan mengaji. Kalau sampai berhenti maka akan jauh dari rejeki,” terang Karyati.

Dalam menjalani profesinya sebagai pemulung, Karyati mengalami berbagai macam cobaan. Namun dengan tekad yang kuat, semua kejadian tersebut tidak mematahkan semangat Karyati untuk mewujudkan cita-citanya untuk dapat berangkat haji. “Saya hanya bisa pasrah namun saya tidak mau putus asa untuk tetap bisa berangkat haji ke tanah suci,” tegas Karyati.

Bermodalkan sebuah sepeda buntut, Karyati keliling dari kampung ke kampung mengumpulkan barang bekas. Sebagian hasilnya digunakan untuk makan dan sebagian lain ditabung untuk bisa naik haji. “Dalam sehari, upah memungut barang bekas sebesar Rp. 10 ribu. Yang Rp. 5 ribu ditabung dan yang Rp. 5 ribu untuk makan,” terang Karyati.

Dikatakan Karyati, sebelumnya ia pernah bermimpi aneh setelah sholat Tahajjud pertama kali dilakukan. Dalam mimpinya ia melihat dua buah sumur yang penuh terisi air. Menurutnya, arti mimpinya itu, dia akan segera mendapatkan rejeki.

Usaha yang dilakukan nenek Karyati tidak sia-sia. Semua hasil jerih payah dan keikhlasan hatinya membawa nenek Karyati berangkat haji di tahun 2013 ini. Nenek Karyati direncanakan akan berangkat ke tanah suci pada tanggal 29 September 2013 melalui kloter 43 Embarkasi Juanda, Surabaya.

Kegigihan yang dilakukan oleh Karyati mengundang keterharuan dari Bupati Probolinggo Hj. P. Tantriana Sari, SE. Rabu (18/9) kemarin, didampingi suaminya yang juga Mustasyar PCNU Kabupaten Probolinggo dan Kraksaan Drs. H. Hasan Aminuddin, M.Si, orang nomor satu di Kabupaten Probolinggo ini menyambangi rumah Karyati. (y0n)

 

sumber: PromolinggoKab.go.id

Honor Buku untuk Berhaji, Beli Rumah dan Menikah

Berbeda dengan Bung Karno, yang bisa meledak-ledak saat berpidato dan membangkitkan semangat para pendengarnya, Bung Hatta tidak. Dia bukan orator dan agitator. Tapi dia biasa menuangkan gagasan, pemikiran, dan ide-ide cemerlangnya lewat tulisan.

Sejak 1926 hingga 1979, Bung Hatta diketahui telah menerbitkan sedikitnya 15 buku di bidang ekonomi, politik, hingga filsafat. Honor dan royalti dari penulisan buku yang terbit di Belanda jumlahnya cukup lumayan.

“Honor dari ‘Verspeide Geschriften’ (kumpulan karangan Bung Hatta dalam bahasa Belanda, red) bisa untuk membeli rumah di Jalan Diponegoro ini,” kata Meutia Farida Hatta saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.

Iding Wangsa Widjaja, sekretaris pribadi Bung Hatta, memberikan kesaksian serupa. Dalam buku ‘Mengenang Bung Hatta’, Wangsa menulis, melalui honor dari buku-buku yang ditulisnya, Hatta membawa keluarganya menunaikan ibadah haji pada 1952.

Kala itu, sebetulnya Presiden Sukarno sudah menawarinya untuk menanggung semua ongkos haji Hatta dan keluarga. Tapi tawaran itu ditolak Hatta. Untuk beribadah, tulis Wangsa, Hatta lebih suka menggunakan uang pribadi.

“Saya masih ingat benar bahwa kami semua diberangkatkan Bung Hatta dengan uang hasil honorarium buku yang terbit di Belanda (‘Verspeide Geschriften’),” tulis Wangsa.

Karena dikenal sebagai pencinta berat buku, ada cerita parodi tentang Hatta yang kerap diulang. Saat pulang ke Tanah Air usai kuliah di Belanda, koleksi buku Bung Hatta mencapai 16 peti. Ketika harus menjalani pengasingan di Boven Digul, semua koleksi bukunya dibawa serta. Begitupun ketika harus kembali ke Jakarta, lalu dibuang ke Bangka.

Ketika pada 18 November 1945 harus menikahi Rahmi Rachim, gadis yang dijodohkan Bung Karno, dia memberikan buku pengantar filsafat barat yang disusunnya sendiri sebagai maskawin. Judulnya ‘Alam Pikiran Yunani’. Begitu tahu maskawinnya sebuah buku, Saleha (ibunda Hatta dari keluarga pengusaha terpandang di Bukittinggi) langsung meledak amarahnya. Tapi kemudian tak bisa berbuat apa-apa.

Sebagai pencinta buku, Bung Hatta punya disiplin dalam menjaga dan merawat koleksinya tetap dalam kondisi baik. Salah satunya, “Tidak boleh melipat halaman buku maupun mencorat-coretnya dengan tinta,” kata Halidah Nuriah Hatta kepada detikcom, Selasa (14/3/2017).

Kalaupun mau menandai halaman atau bagian tertentu yang tengah dibaca, “Cukup menggunakan pensil,” imbuh putri ketiga Bung Hatta itu.

sumber: Detikcom

Ketika Kaki Haji Ahmad Selalu Keluar Pasir Hitam

Perjalanan ibadah haji seringkali memiliki pengalaman hikmah bagi setiap individu. Ahmad misalnya, laki-laki berusia 68 tahun ini mengalami perjalanan hikmah yang membuatnya tersadar hingga saat ini.

Ia melaksanakan ibadah haji pada tahun 2000 silam. Ia mengatakan perjalanan ibadah hajinya yang saat itu membuatnya taubatan nasuha. “Awalnya saya tidak terlalu berniat ibadah haji tapi karena saat itu almarhumah istri saya membujuk karena harus ada mahramnya , yasudah saya berangkat” ungkapnya kepada ihram.co.id, belum lama ini.

Ketika itu Ahmad hanya tinggal berangkat saja. Semua keperluan sudah diurus oleh istrinya. Karena dari travel ada pendidikan singkat manasik haji ketika itu ia pun mengikuti prosedurnya. Ahmad yang mengaku dahulu sangat jauh dari Allah dan bukan suami yang baik hatinya mulai tersentuh ketika mengikuti manasik haji. Terlebih ketika mulai praktik tawaf dan mengumandangkan seruan kepada Allah hatinya terasa terenyuh namun ketika itu ia menampikan perasaanya dan menahan air matanya.

Singkat cerita, ketika di Tanah Suci Ahmad melaksanakan ibadah hatinya semakin mantap. Tersentuh ketika melihat keindahan Ka’bah hatinya merasa sedih dan seperti ada yang sakit dan bergemuruh di dadanya yang tidak bisa di lawannya.

“Saya menangis terus melihat Ka’bah, ada rasa bersalah kepada Allah, anak dan istri saya karena selama ini saya sangat kasar pada mereka, saya selalu mangkir dari tanggung jawab saya,” ungkapnya.

Kejadian aneh selalu ia rasakan ketika di sana, ia menceritakan di kakinya selalu keluar pasir halus berwarna hitam. ketika ia melaksanakan shalat di Masjid Al-Haram pasir itu pun masih keluar di kakinya sampai membuat lantai kotor. Berkali-kali ia kembali mengambil wudhu dan membersihkan kakinya tapi pasir itu tetap keluar dari selah-selah jarinya.

“Sampai rasanya saya malu mau melaksanakan shalat Hijr Ismail, karena takut membuat tempat suci itu jadi kotor akhirnya saya mutusin untuk shalat di tempat yang agak jauh. Ada teman yang nanya kenapa saya pisah dari rombongan dan tidak melaksanakan shalat di tempat itu, saya bilang takut buat tempat itu kotor karena kaki saya keluar pasir terus, tapi teman saya heran karena dia enggak lihat apa-apa di kaki saya” kisahnya.

Merasa sangat malu, ia pun merenungi segala perbuatannya dan terbayang sikapnya selama ini. ia pun menceritakan hal itu kepada istrinya tapi istrinya dengan sabar menyuruhnya untuk bertaubat dan beristighfar.

“Selama di sana saya selalu diam jadi sering menangis, nyesel dan bener-bener tobat. Saya minta maaf sama istri saya dan minta keikhlasan dia. Saya selalu ibadah tanpa mikirin waktu istirahat sampai diingatkan istri agar jangan terlalu berlebihan tetap harus jaga kesehatan, tapi saya enggak mau menyia-nyiakan kesempatan untun mohon ampunan di sana,” ujarnya.

 

 

sumber:Ihram.co.id

Ini Kisah Nuryadin, Tukang Gali Kubur Naik Haji

Nuryadin (59 tahun) menangis saat hendak mengawali ceritanya. Ia mengucap syukur, atas nikmat yang diberikan padanya. Ia bisa berangkat haji tahun ini.

“Saya ingat perjuangannya, setiap hari berdoa terus berdoa semoga bisa naik haji. Alhamdulillah terkabul,” ungkap Nuryadin saat dijumpai Republika usai mengikuti pembekalan ibadah haji yang diselenggarakan Kementrian Agama Surakarta di Dana Hotel, akhir Juli lalu.

Penuh lika-liku, Nuryadin berjuang mewujudkan mimpinya pergi ke Tanah Suci. Nurdin bukan berasal dari keluarga kaya. Hidupnya pun sederhana. Namun tekadnya untuk menunaikan rukun Islam ke lima begitu kuat.

Bertahun-tahun, ayah dua anak itu memendam keinginannya bisa beribadah haji. Ia tahu tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa datang ke Baitullah. Sementara penghasilan yang diperoleh, boleh dibilang hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Sehari-harinya Nuryadin berprofesi sebagai petugas kebersihan dan jasa gali kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Benoloyo, Banjarsari. Pemakaman itu berjarak tak jauh dari tempat tinggalnya di Banyuanyar RT 1/5 Banjarsari, Surakarta.

Penghasilannya tak menentu, tergantung pada keikhlasan keluarga jenazah yang memberi upah usai menggunakan jasanya menggali kuburan. Terkadang ia diberi upah Rp 50 ribu, 25 ribu, kadang pula Rp 10 ribu.

“Kalau tidak ada yang meninggal, ya tidak bawa uang ke rumah, nanti saya usaha lain bantu-bantu kalau disuruh-suruh warga apa saja,” katanya menerangkan.

Sementara, istrinya Sri Maryani (45 tahun) hanya sebagai ibu rumah tangga. Sri berjualan tabung gas 3 kilogram, meski hanya 10 buah saja. Keluarga Nuryadin ingin hidup sederhana. Urusan makan, kata dia, yang terpenting cukup ada nasi dengan lauk seadanya.

Beberapa tahun lalu, Nuryadin memang bekerja di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surakarta. Dulu pun ia bertugas menjaga kebersihan di TPU Benoloyo. Namun kini ia sudah pensiun.

Uang pensiunannya digunakan untuk membiayai sekolah dua anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah pensiun, ia pun terus melakoni profesinya itu. Ia mengaku telah jatuh hati dengan pekerjaannya.

Meski begitu niatnya untuk pergi ke Tanah Suci terus ia jaga, semakin hari bahkan semakin kuat. Terlebih jika melihat tetangganya menunaikan haji atau umrah.

Ia paling getol menjadi pendamping jamaah, mengantar hingga ke asrama haji Dono Hudan Surakarta. Bagi dia hal itu menjadi sebuah keyakinan, suatu saat ia akan diantar warga lainnya saat akan melaksanakan ibadah haji.

Bukan sebatas mimpi. Nuryadin pun mencoba mewujudkannya dengan menyisihkan Rupiah demi Rupiah, hasil dari kerja kerasnya tiap hari. “Ada lebih seribu saya tabung, berapapun saya paksakan bisa sisihkan,” ungkapnya menjelaskan.

Makin lama, tabungan hajinya semakin banyak. Meski belum cukup untuk mendaftarkan dirinya sebagai calon jamaah haji. Kata dia biaya untuk daftar haji per orang sebesar Rp 34,6 juta.

Hingga, warga mengajak Nuryadin untuk menggunakan uang tabungannnya itu mengikuti arisan haji. Sebuah kesempatan, ia pun mencobanya. Separuh tabungannya digunakan Nuryadin untuk arisan putaran pertama, separuhnya ia infaqkan ke masjid.

Alhamdulillah, saya bersyukur saya ada kesempatan,” Entah, Nuryadin tiba-tiba teringat istrinya. Ia ingin istrinya merasakan kebahagiaan yang sama, bisa berangkat haji.

“Saya tidak boleh sebut namanya, tapi orang itu bantu, berangkatkan kami ke Tanah Suci,” ucap Nuryadin teringat sosok yang ikhlas memberikan bantuan cuma-cuma agar istrinya bisa mendampinginya beribadah haji. “Ia cuma ingatkan saya rajin sedekah,” tambahnya.

Nuryadin dan Sri Maryani akhirnya bisa mendaptarkan diri sebagai calon jamaah haji pada 2011. Ia sempat dikabarkan berangkat haji 2015 namun mundur hingga terlaksana tahun ini. Mereka menjadi sepasang suami isti yang akan diberangkatkan bersama 405 calon jamaah haji lainnya asal Surakarta.

Nuryadin dan istrinya akan terbang pada 15 Agustus. Selama 40 hari mereka akan berada di Arab Saudi. Sementara itu, menurut Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Surakarta, Rosyid Ali Safitri, untuk kesiapan Jamaah pihaknya telah memberi pembekalan materi-materi seputar Ibadah haji baik ditingkat kecamatan dan kota.

Selain itu agar tetap prima dalam beribadah ia meminta agar calon jamaah setiap harinya rutin melakukan olah raga. Jamaah akan kembali dites kesehatan pada 14 Agustus atau sehari sebelum pemberangkatan.

“Secara keseluruhan semuanya sehat, satu orang meninggal karena sakit, satu orang lagi sedang dirawat. Sehingga total kloter 16 ini sebanyak 407 orang. Kami berharap jamaah yang sakit bisa segera sembuh dan melanjutkan persiapan,” tuturnya.

Kloter 16  calon jamaah asal Surakarta yang akan diberangkatkan itu, kata dia, akan didampingi petugas bimbingan ibadah, petugas medis, dan petugas daerah. Sementara untuk pemberangkatan tahap dua, kata dia, jamaah haji asal surakarta sebanyak 51 orang.

Mereka akan bergabung dengan jamaah asal daerah lainnya seperti Banjarnegara 27 orang, Sukoharjo 96 orang, Wonogiri 50 orang dan Boyolali 131 orang. Pemberangkatan tahap dua ini akan berlangsung pada 29 Agustus. ”Semoga Nuryadin dan jamaah haji lainnya menjadi haji mabrur,” ujar Rosyid Ali Safitri mendoakan.

 

sumber: Republika ONline

Orang-orang miskin yang pergi Haji (2)

Pemulung Kariyati binti Halil (69) tergabung dalam Kloter 42/Probolinggo.

Janda empat anak dan 11 cucu asal Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jatim itu berjuang  mewujudkan niatnya ke Tanah Suci kurang lebih 20 tahun.

Selama itu, dia berupaya menyisihkan penghasilannya dari memungut barang-barang bekas.

Nenek Karyati adalah pemulung yang setiap hari mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral, kardus, dan kertas yang dipungutnya dari beberapa tempat sampah di Wuluh, Leces, probolinggo.

Pekerjaan itu terkadang dilakoni hampir seharian, yaitu pagi siang sore dan malam dan hasilnya pun sekitar Rp20 ribuan, meski terkadang ada orang yang berbelas kasihan dengan memberinya uang antara Rp100 ribu.

Recehan demi recehan dikumpulkan Kariyati dan ditabungkan ke bank sampai puluhan tahun hingga akhirnya terkumpul dana cukup untuk mendaftarkan dirinya guna mendapatkan porsi berangkat haji.

Sisanya, dia belikan sapi untuk persiapan pelunasan, bahkan pekerjaan sebagai pemulung masih dilakoni hingga beberapa saat menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.

“Selama mengikuti manasik haji, Kariyati juga masih selalu membawa peralatan sebagai pemulung, bahkan gelas bekas air mineral dan kardus bekas snack setelah manasik pun masih dipungut satu per satu,” tutur ketua rombongan 7, Hadi.

Idem dito, perjuangan yang cukup berat dan panjang juga dilakukan Kusdi Jainem beserta istrinya, Sutini, yang tergabung dalam Kloter 30 asal Magetan.

Selama kurang lebih hampir 10 tahun lalu, Kusdi dengan modal pas-pasan memulai usaha sebagai pedagang rongsokan berupa besi-besi yang tidak layak pakai atau sudah dibuang.

Sebagai pedagang rongsokan, dia menerima rongsokan itu dari para pengepul barang rongsokan dari desa ke desa, lalu barang rongsokan itu dipilah-pilah dan selanjutnya disetorkan ke pengepul besi langganannya.

Nah, hasil dari itu dikumpulkan sediki demi sedikit, lalu dia belikan hewan ternak berupa sapi yang masih kecil, kemudian dipelihara.

Setelah sapi itu besar, lalu dijual untuk dibelikan lagi sapi ukuran sedang tetapi jumlahnya dua ekor, kemudian dipelihara lagi hingga besar dan layak jual dengan harga tinggi.

Begitu seterusnya hingga akhirnya Kusdi beserta istri mampu mendaftarkan dirinya untuk berangkat haji, bahkan pelunasan biaya haji pun dipenuhi dengan terus menjalankan usaha rongsokan dan memelihara sapi itu.

Tantangan juga datang dari warga sekitar. “Kan kerjanya hanya sebagai pedagang rongsokan saja, kok bisa berangkat haji?” begitu olok-olok tetangganya.

Namun, setelah dia mampu membuktikan bisa melunasi biaya haji, Kusdi dan Sutini pun berbalik menjadi inspirasi bagi warga sekitarnya hingga ada delapan orang tetangga yang juga turut mendaftar berangkat haji.

“Saya sengaja tidak menyimpan atau menabung uang hasil usaha ke bank karena kalau disimpan di bank tidak akan mendapatkan hasil sebesar hasil dari berternak sapi sehingga saya tidak akan mungkin bisa berangkat haji sekarang (2013),” ucap Kusdi.

Loper koran
Adalah warga Dusun Juwet, Kelurahan Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Mohammad Anwar yang bisa mewujudkan cita-citanya ke Tanah Suci berkat ketekunan dan kesungguhannya sebagai loper koran.

Bapak tiga orang anak dan empat cucu itu sehari-hari menjadi loper koran sejak 1992 dengan sekitar 60 pelanggan.

Setiap bulan, dia menyisihkan penghasilannya sebesar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu untuk ditabung. Cara itu dilakukan setelah mendapat saran dari seorang kiai di kampungnya.

“Sekitar lima tahun lalu, saya mampu membeli sepeda motor Supra Fit, tetapi Kiai Haris Munawir (pengurus MWC NU Perak) memberi saran nek awakmu pengin lungo kaji, dolen sepedamu (kalau kamu ingin berangkat haji, jual saja sepeda motormu),” ungkap Anwar.

Tentu, saran Kiai Haris Munawir itu memicu perdebatan yang cukup panjang antara dirinya dan sang kiai.

Namun, sang kiai mampu memberi motivasi hingga akhirnya dirinya merelakan motornya dijual untuk segera mendaftarkan haji ke bank.

Setelah mendapatkan nomor porsi, Anwar bersama ketiga anaknya yang semuanya menjadi guru di Jombang itu pun menabung untuk bisa melunasi biaya hajinya pada tahun 2013.

“Alhamdulillah, saya akhirnya bisa melunasinya, malah ada kelebihan sekitar satu jutaan yang bisa jadi uang saku, selain living cost dari pemerintah,” tukas anggota Kloter 12/Jombang itu.

Agaknya “orang miskin pergi haji” itu bukan fakta yang kecil sebab Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Surabaya mencatat mayoritas haji asal Jawa Timur dari kalangan miskin.

Sekretaris PPIH Embarkasi/Debarkasi Surabaya H.M. Asyhuri di Surabaya mengemukakan bahwa haji asal Jatim pada tahun 2013 berjumlah 28.448 orang, antara lian meliputi Selanjutnya, petani sebanyak 5.118 orang atau 17,99 persen, PNS sebanyak 4.685 orang (16,47 persen), pedagang 2.231 orang (7,84 persen), dan pelajar 519 orang (1,82 persen).

 

sumber: Antara

Orang-orang miskin yang berangkat Haji (1)

Orang-orang miskin yang berangkat ibadah haji ke Tanah Suci agaknya bukan hanya ada dalam sinetron seperti “Mak Ijah Pengen ke Mekkah” atau “Tukang Bubur Naik Haji”.

Di Jawa Timur pada musim haji 2013 ada tukang becak, juru parkir, pemulung, pedagang rongsokan, loper koran,  yang menunaikan ibadah haji.

Cara yang ditempuh orang-orang miskin untuk bisa bertandang “Rumah Allah” (Baitullah) di Masjidilharam atau ke “Rumah Nabi” di “Roudloh” (Masjid Nabawi) itulah yang menarik direnungkan.

Abdullah bin Saiful Hadi (57), bapak dua anak serta tiga cucu asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang berangkat bersama Kloter 62/Surabaya pada tanggal 8 Oktober 2013.

Abdullah yang hanya lulusan SD itu bisa mewujudkan niatnya menyempurnakan Rukun Islam yang kelima dalam kurun waktu hampir 26 tahun.

Ketika masih menjadi siswa, setiap kali pulang sekolah Abdullah mencari “rupiah” dengan menjadi pengayuh becak.

Dia sejak 1987 selalu menyisihkan uangnya hasil jerih payahnya sebagai pengayuh becak dan kuli panggul di Pasar Mangli Jember untuk mewujudkan keinginannya ke Tanah Suci itu.

Setiap hari uang yang disisihkan Abdullah dalam tabungannya hanya sekitar Rp10.000 hingga Rp20.000, kecuali hari Minggu karena toko-toko yang ada libur.

Dengan kesabaran dan ketekunannya, Abdullah mendaftarkan dirinya ke bank untuk mendapatkan nomor porsi pada tahun 2009 kendati sejumlah rekannya sering mengolok-olok dirinya.

“Penghasilan sebagai tukang becak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, saya bersama almarhumah istri tetap menyisakan uang receh sisa dari belanja kebutuhan keluarga untuk ditabung,” paparnya.

Saat itu, hanya tersisa sekitar Rp17 juta karena sering diambil untuk kebutuhan yang mendadak, termasuk menikahkan anaknya.

Untuk bisa mendapat porsi haji pada tahun itu harus tersedia dana Rp20 juta, maka akhirnya ditambahi tabungan milik istrinya Rp3 juta sehingga mencukupi.

Guna memenuhi kekurangan biaya haji diikhtiarkan dengan mengikuti arisan di kampungnya, yaitu Dusun Klanceng, Kecamatan Ajung, Jember.

“Saya sangat bersyukur akhirnya bisa berangkat haji. Di depan Kakbah, saya doakan almarhumah istri yang telah meninggal dunia pada tahun 2011, serta memohon rezeki lancar dan barokah serta haji yang mabrur,” tuturnya.

Menabung Sejak 2008
Cerita yang tak jauh berbeda juga dialami Djumain, seorang juru parkir motor di pertokoan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang tergabung dalam Kloter 44 yang berangkat ke Tanah Suci pada tanggal 2 Oktober 2013.

Dengan meneteskan air mata seolah tak percaya, dia menceritakan tentang bagaimana mewujudkan niatnya untuk bisa menunaikan Rukun Islam yang kelima.

Keseharian dirinya sebagai seorang juru parkir motor tentu sangatlah sulit dibayangkan bisa berangkat haji walaupun dibantu istrinya, Sulismani, yang menerima pesanan kue-kue.

“Akan tetapi, Allah berkehendak lain, tiba-tiba saya tergerak untuk selalu menyisihkan penghasilan saya yang sekitar Rp700 ribu setiap bulan untuk sebagian dimasukkan tabungan haji sejak 2008,” ucap penderita polio sejak kecil itu.

Selang setahun, dengan bantuan saudara-saudaranya, dia pun langsung mendaftarkan diri untuk bisa mendapatkan nomor porsi berangkat haji, sampai pada saat pelunasan pun mampu terpenuhi walaupun cukup bersusah payah untuk semua itu.

Padahal, pada tahun 2011, Djumain yang bapak dari empat anak itu mengalami kecelakaan saat mengendarai motor akibat tertabrak mobil. Dia pun tidak sadarkan diri dan siuman saat sudah berada di RSSA Malang.

“Kaki dan tangan saya patah dan kaki kanan saya harus dipen serta tangan kiri dengan perawatan selama 20 hari. Alhamdulillah, saya tetap bisa berangkat bersama istri walaupun harus menggunakan tongkat penyangga untuk berjalan,” tukasnya.

Di Mekah, dia berdoa untuk rumah tangga yang sakinah mawadah wa rohmah,rezekinya lancar dan barokah, dan pendidikan anak yang masih kuliah lancar serta ilmunya bermanfaat bagi keluarga dan negara.

Ikhtiar yang tidak jauh berbeda juga dilakukan seorang waria asal Jember, Jawa Timur, Sutika bin Marwapi (42), yang berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 2012.

Waria asal Desa Cangkring Baru, Kecamatan Jenggawah, Jember yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Jenggawah itu mengaku dirinya berasal dari keluarga miskin, lalu dirinya merantau ke Bali untuk bekerja.

“Di Bali, pikiran saya terbuka untuk berdagang dan saya mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah haji agar saya tidak malu di hadapan keluarga, lalu saya mendaftarkan haji pada tahun 2008 dan akhirnya ditakdirkan berangkat pada hari Senin (15/10/2012),” ujarnya.

Takdir yang membanggakan dirinya itu membuatnya untuk bersemangat mengingatkan kaumnya (waria) untuk tetap menjalankan ibadah secara maksimal, termasuk beribadah haji.

“Saya mengajak teman-teman waria yang belum punya uang untuk umroh,” papar waria yang sempat kesulitan mendaftar haji sebagai wanita sesuai perasaan hatinya hingga akhirnya ke Tanah Suci dengan identitas sebagai laki-laki.

(bersambung)

 

 

sumber: Antara