Apakah Istri Rasulullah Dijamin Masuk Surga? 

Apakah istri Rasulullah dijamin masuk surga? Pasalnya ada beberapa orang sahabat yang dikabarkan mendapat jaminan masuk surga. Ini merupakan nash langsung dari Rasulullah Saw, berikut adalah redaksi hadisnya;

وعن أبي ذر قال: دخل رسول الله -صلى الله عليه وسلم- منزل عائشة فقال: “يا عائشة ألا أبشرك؟ ” قالت: بلى يا رسول الله, قال: “أبوك في الجنة ورفيقه إبراهيم, وعمر في الجنة ورفيقه نوح, وعثمان في الجنة ورفيقه أنا, وعلي في الجنة ورفيقه يحيى بن زكريا, وطلحة في الجنة ورفيقه داود, والزبير في الجنة ورفيقه إسماعيل, وسعد بن أبي وقاص في الجنة ورفيقه سليمان بن داود, وسعيد بن زيد في الجنة ورفيقه موسى بن عمران, وعبد الرحمن بن عوف في الجنة ورفيقه عيسى ابن مريم, وأبو عبيدة بن الجراح في الجنة ورفيقه إدريس عليه السلام”

“Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah masuk kerumah Aisyah ra dan bersabda:

“Wahai Aisyah, inginkah engkau mendengar kabar gembira?”

Aisyah menjawab : “Tentu, ya Rasulullah.”

Lalu Nabi SAW bersabda, ”Ada sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk surga, yaitu : Ayahmu masuk surga dan kawannya adalah Ibrahim, Umar masuk surga dan kawannya Nuh, Utsman masuk surga dan kawannya adalah aku, Ali masuk surga dan kawannya adalah Yahya bin Zakariya, Thalhah masuk surga dan kawannya adalah Daud, Azzubair masuk surga dan kawannya adalah Ismail, 

Sa’ad masuk surga dan kawannya adalah Sulaiman, Said bin Zaid masuk surga dan kawannya adalah Musa bin Imran, Abdurrahman bin Auf masuk surga dan kawannya adalah Isa bin Maryam, Abu Ubaidah ibnul Jarrah masuk surga dan kawannya adalah Idris as.” (Muhibbuddin Al-Thabari, Al-riyadh al-nadhrah fi Manaqib al-asyrah Juz 1 Hal. 35)

Demikian adalah beberapa nama yang dinash masuk surga, Salah seorang ulama’ membahasnya secara rinci dalam satu kitab. Judulnya adalah Riyadh al-nadhrah fi manaqib al-asyrah, karya dari Muhibbuddin al-Thabari.

Lalu bagaimana dengan nasib dari ummahat al-mukminin, apakah Rasulullah saw juga menjamin istri-istrinya masuk surga? Syekh Ali al-Shabuni membahas ini dalam salah satu karya tafsirnya, beliau mengatakan;

الحكم السابع: هل يقطع لأمهات المؤمنين بدخول الجنة؟

“Apakah istri-istrinya Rasulullah saw juga dipastikan masuk surga?”

اتفق العلماء على أن العشرة المبشرين بالجنة، الذين أخبر عنهم الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الأحاديث الصحيحة، يقطع لهم بدخول الجنة، لأنّ خبر الرسول حق وهو بوحي من الله تعالى، وقد ألحق بعض العلماء أمهات المؤمنين بالعشرة المبشرين، بأن يقطع لهن بدخول الجنة، واستدلوا بقوله تعالى: {لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ} بناءً على أن الآيات الكريمة نزلت في أزواج النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عامة وفي شأن عائشة خاصة، والرزق الكريم الذي أشارت إليه الآية يراد منه الجنة بدليل قوله تعالى في مكان آخر {وَمَن يَقْنُتْ مِنكُنَّ للَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحاً نُؤْتِهَآ أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقاً كَرِيماً} [الأحزاب: 31] وهو استدلال حسن.

“Ulama’ konsensus bahwasanya ada 10 orang yang dijamin masuk surga, yaitu figur-figur yang telah Rasulullah saw nash dalam hadis. Sebab sabdanya Rasulullah saw merupakan kalam yang haq, yang diwahyukan oleh Allah azza wa jalla kepadanya. 

Sebagian ulama’ ada yang menganalogikan ummahatul mukminin atau istri-istrinya Rasulullah saw dengan 10 orang yang dijamin masuk surga. Mereka bertendensi pada firman Allah swt dalam ayat yang berarti “mereka akan mendapat ampunan dan rezeki yang mulia”. 

Ayat tersebut turun untuk istri-istri nabi saw umumnya, dan Sayyidah Aisyah RA khususnya. Adapun rezeki mulia yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah surga, sebagaimana firmannya Allah swt dalam al-quran surat al-Ahzab ayat 31 

“Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia”, ini merupakan istidlal yang bagus”. (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-bayan, https://al-maktaba.org/book/12347/707#p5 Juz 2 Hal. 115)

Ketika mengutarakan pendapat ini, Syekh Ali al-Shabuni menyitir pendapatnya 2 Imam agung dalam bidang exegesis, yaitu Imam Fakhruddin al-Razi dan Imam Al-Alusi. Beliau berdua juga berpendapat bahwa istri-istri Rasulullah saw masuk surga bersama beliau. Tentunya ini berbeda pendapat dengan kalangan Rafidhah yang menganggap bahwa Aisyah RA masuk neraka, atas konflik perang jamal.

Dengan demikian, bisa kita ketahui bahwasanya ternyata ada lagi beberapa figur lain yang dijamin masuk surga. Mereka itu adalah istri-istri Rasulullah saw, semoga kita juga mendapatkan nikmat yang mulia ini.

Demikian penjelasan terkait apakah istri Rasulullah dijamin masuk surga? Semoga bermanfaat. Amin ya robb.

BINCANG SYARIAH

Begini Romantisnya Nabi bersama Para Istrinya

UNTUK membangun keharmonisan rumah tangga, ada saja hal unik yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Di antara yang beliau lakukan adalah: membuat nama kesayangan untuk istri. Dalam beberapa riwayat, beliau ﷺ memanggil Aisyah dengan panggilan sayang: `Āisy (HR. Bukhari, Muslim) dan Humairā` (HR. Baihaqi, Thabrani).

Maka sangat dimaklumi jika kisah-kisah beliau bersama Aisyah penuh dengan romantika dan harmoni cinta.

Pada suatu kesempatan, beliau ﷺ juga makan dan minum bareng bersama istrinya. Dalam Hadits yang diriwayakan Muslim, Rasulullah ﷺ dan Aisyah minum dengan gelas dan piring yang sama. Bahkan makan daging pada bekas jilatan Aisyah (HR. Nasai).

Dalam rumah tangga, beliau ﷺ tidak berkomentar atau mengeluh dengan kelakuan istri selama dalam hal mubah. Aisyah berkata, ‘Aku pernah menyisir rambut Rasulullah ﷺ , padahal sedang haidh. ’(HR. Bukhari).

Beliau ﷺ juga tak pernah mencela masakan istri. Kalau beliau ﷺ suka akan dimakan, kalau tidak suka, beliau biarkan tanpa mencacatnya (HR. Bukhari).

Sebagai bentuk kasih sayang, terkadang beliau ﷺ bersandar dan tidur di pangkuan istrinya. Aisyah bercerita: ‘Rasulullah ﷺ bersandar di pangkuanku, pada waktu aku sedang haidh.’ (HR. Muslim).

Di samping itu, terkadang kalau ada waktu luang, beliau juga menemani istri jalan-jalan. Bukhari meriwayatkan: Ketika malam, Nabi ﷺ berjalan bersama Aisyah, sembari berbincang-bincang. Bahkan, ketika ada momen ekspedisi militer, beliau acap kali mengundi istrinya untuk diajak ikut bersama.

Yang lebih menakjubkan beliau ﷺ dengan suka cita membantu pekerjaan rumah. Dalam riwayat Bukhari disebutkan: Ketika Aisyah ditanya mengenai apa yang dilakukan Rasul ﷺ saat di rumah, beliau ﷺ menjawab: ‘Beliau ﷺ membantu pekerjaan istrinya.’

Beliau ﷺ tidak membebankan kewajiban rumah hanya pada istri. Beliau ﷺ sendiri turut membantu. Ketika Aisyah ditanya tentang pekerjaan Rasulullah ﷺ di rumah, beliau menjawab: ‘Sebagaimana layaknya manusia lain, baju, memerah susu, dan melayani dirinya.’ (HR. Ahmad).

Beliau ﷺ juga sangat sabar dan berusaha membahagiakan istri selama dalam hal yang tak terlarang. Suatu saat Abu Bakar datang ke rumah Nabi, waktu itu beliau sedang tertutup dengan baju, karena ada dua perempuan muda yang sedang menabuh gendang di depan Aisyah, lalu Abu Bakar kaget dan mencegahnya. Nabi ﷺ pun melarangnya seraya berkata: “Biarkan mereka berdua! Ini adalah hari raya.” (HR. Bukhari).

Bahkan dengan mesra, Nabi ﷺ sempat bersama Aisyah menyaksikan atraksi perang budak Sudan di masjid. Aisyah bercerita: “Saat Hari Raya ‘Ied, biasanya ada dua budak Sudan memperlihatkan kebolehannya mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta kepada Nabi ﷺ, atau beliau yang menawarkan kepadaku, ‘Apakah kamu mau melihatnya?’ Maka aku jawab, ‘Ya, mau.’ Maka beliau menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata, ‘Teruskan hai Bani Arfadah!’ Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata, ‘Apakah kamu merasa sudah cukup?’ Aku jawab, ‘Ya, sudah.’ Beliau lalu berkata, ‘Kalau begitu pergilah.’ (HR. Bukhari).

Jika istri marah, beliau ﷺ dengan sabar menenangkan dan meredam kemarahan istrinya. Bahkan, beliau ﷺ mengajarkan doa meredam kemarahan kepada istrinya. Ummu Salamah pernah diajari Nabi ﷺ doa meredam kemarahan:
اللَّهُمَّ رَبَّ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي وَأَذْهِبْ غَيْظَ قَلْبِي وَأَجِرْنِي مِنْ مُضِلَّاتِ الْفِتَنِ مَا أَحْيَيْتَنَا
“Ya Allah Tuhan Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkan kemarahan hatiku, anugerahkan padaku pahala dari fitnah-fitnah yang menyesatkan, selama Engkau menghidupkan kami.” (HR. Ahmad).

Terkadang, beliau ﷺ juga tak sungkan memuji istrinya. Suatu saat Rasulullah ﷺ memuji Aisyah: “Sesungguhnya keutamaan Aisyah atas semua wanita adalah seperti tsarid (adonan roti paling enak saat itu) atas segala makanan.’(HR. Muslim). Pujian yang proporsional terhadap istri memang bisa membuat rumah tangga menjadi langgeng.

Manusia pilihan ini, tak malu menyatakan cinta serta merasa bahagia dengan istrinya. Rasulullah ﷺ berkata tentang Khadijah: “Sungguh aku dikaruniai cintanya.” (HR. Muslim). Pernah juga saat beliau ditanya Amru bin Ash mengenai istri yang paling dicintai.Beliau ﷺ menjawab, ‘Aisyah.’ (HR. Bukhari, Muslim).

Meski beliau sangat baik dalam memperlakukan istri-istrinya, tapi beliau ﷺ juga tegas ketika istrinya berbuat salah. Suatu saat istri-istrinya demo meminta sesuatu yang tak dimiliki Rasulullah ﷺ. Mereka meminta nafkah lebih. Dengan tegas Rasulullah ﷺ menolak, bahkan memberi pelajaran berharga pada mereka.

Beliau ﷺ berpisah dari mereka selama satu bulan. Kisah ini bersesuaian dengan turunnya Surah Al-Ahzab: 28 (HR. Muslim). Dengan ketegasan ini akhirnya mereka sadar bahwa mereka bersalah, dan tak mau mengulanginya lagi.

Intinya, hubungan Nabi ﷺ dengan istrinya benar-benar menggambarkan keluarga teladan yang berorientasi akhirat. Dan itu yang dilakukan Nabi dalam berinteraksi bersama mereka./ *Mahmud Budi Setiawan

Begini Kesetiaan Rasulullah pada Khadijah

CARA Rasulullah ﷺ berumah tangga sangat penuh keteladanan. Sejak pertama kali membina keluarga, beliau berinteraksi dengan akhlak mulia dan kepedulian sosial pada istrinya. Tak mengherankan, saat Rasulullah ﷺ khawatir dengan kondisi dirinya pasca menerima wahyu, Khadijah sebagai istri shalihah menenangkan, Tidak, demi Allah, engkau tidak akan diabaikan oleh Allah selamanya, karena sesungguhnya engkau telah menyambung hubungan silaturahmi, menolong yang lemah, memberi orang yang membutuhkan, melayani tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar menghiasi rumah tangganya dengan akhlak mulia dan berusaha bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi kehidupan sosialnya. Istrinya pun mendukung. Dirinya tak merasa berat menginfakkan harta yang melimpah ruah untuk kepentingan dakwah. Bahkan, hartanya sampai ludes demi perjuangan suaminya menegakkan agama Islam.

Ada kejadian yang mengharukan. Di saat Nabi ﷺ diperintah menyebarkan dakwah secara terang-terangan, Khadijah menyuruhnya istirahat sejenak. Lantas beliau ﷺ berkata padanya, “Wahai Khadijah, waktu tidur dan istirahat telah habis.” (Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 97). Kata-kata yang kuat ini membuat Khadijah bersemangat. Bahwa hari-harinya ke depan akan diprioritaskan untuk kepentingan akhirat.

Rumah tangga yang dibangun bersama Khadijah adalah rumah tangga yang dipenuhi dengan perjuangan dan pengorbanan. Dinamika dakwah benar-benar hidup di dalamnya. Maka, wajar ketika ditinggal wafat (bulan Ramadhan, tahun 10 kenabian), beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Sampai-sampai tahun kepergiannya dalam sejarah dicatat sebagai Tahun Duka Cita. Beliau betul-betul merasakan kehilangan. Saat-saat bersama istri tercinta, selalu abadi dalam kenangan. (Shafiyur Rahman Mubarakfuri, al-Rahīq al-Makhtūm, 104).

Sepeninggal Khadijah, beliau ﷺ masih konsisten dengan visi dan misi rumah tangganya (seperti saat bersama Binti Khuwailid). Dalam kehidupan keluarga, ayah Fathimah ini dikenal sangat memahami perasaan istri-istrinya.

Pada suatu hari, Rasulullah ﷺ berkata kepada Aisyah: “Sungguh aku tahu saat kamu ridha, atau marah padaku. Jika kamu ridha padaku, kau mengatakan, ‘Tidak, demi Tuhannya Muhammad.’ Sedangkan ketika marah, kau mengatakan, ‘Tidak. Demi Tuhannya Ibrahim.’” (HR. Muslim). Dengan mengetahui perasaan istrinya, dapat membantu beliau bersikap dengan sebaik-baiknya.

Tak sekadar itu, ketika melihat kesalahan istri di depan umum, beliau ﷺ tak meluapkan emosi, tapi malah menghadapi dengan sabar dan memahami kecemburuan istrinya. Ummu Salamah pernah bercerita: “(Suatu saat) Aku menghidangkan makanan beserta piring kepunyaanku kepada Rasulullah ﷺ dan para Sahabatnya. Kemudian beliau ﷺ bertanya (pada Sahabatnya), ‘Siapa yang membawa makanan ini?’. Mereka menjawab, ‘Ummu Salamah.’. Lalu datanglah Aisyah (dipenuhi kecemburuan) sembari membawa batu dan memecahkan piringnya. Tanpa komentar apa-apa, beliau ﷺ langsung mengumpulkan pecahan piring, kemudian berkata pada para Sahabatnya: ‘Makanlah! Ibu kalian sedang cemburu.’ Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil piring Aisyah lalu dikirim ke Ummu Salamah, dan memberikan piring Ummu Salamah kepada Aisyah. (HR. Bukhari, Abu Daud). Begitu simpelnya, hingga permasalahan pun bisa diatasi.

Pada suatu kesempatan, beliau ﷺ memberi nasihat pada para sahabatnya: “Pergauilah istri dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu hendak meluruskannya, maka akan pecah. Jika kamu biarkan, maka akan tetap bengkok. Maka pergauilah istri dengan baik.” (HR. Bukhari). Yang penting dicatat dalam hal ini, pergaulan baik dengan istri sudah dilakukan setiap hari di rumah tangganya sebelum menasihati para Sahabat.

Sebagai suami beliau ﷺ juga CURHAT, bahkan mengajak istri bermusyawarah. Nabi Muhammad ﷺ bermusyawarah dengan istri-istrinya dalam permasalahan yang penting. Sebagai contoh, Rasulullah ﷺ pernah bermusyawarah dengan Ummu Salamah pada perjanjian Hudaibiah (6 H), ketika para Sahabatnya tak mengindahkan perintah Rasul ﷺ untuk menyembelih dan mencukur rambut. Akhirnya Ummu Salamah mempunyai ide bagus: tidak usah pakai omongan, tapi langsung saja dipraktikkan di hadapan mereka. Akhirnya mereka pun mengikuti (Ibnu Katsir, Sirah Nabawiah, 335).

Bila memang dibutuhkan, beliau ﷺ juga tak segan-segan menampakkan cinta dan kesetiaan pada istrinya. Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada Aisyah pada Hadits yang panjang mengenai Ummu Zar`: “Aku dan dirimu bagaikan Abu Zar` dan Ummu Zar`.” Maksudnya: Aku dan kamu seperti mereka berdua dalam hal cinta dan kesetiaan.

Lalu Aisyah berkomentar, “Sungguh Engkau lebih baik bagiku dari Abu Zar` dan Ummu Zar`.” (HR. Bukhari, Muslim).

Masih terkait dengan kesetiaan, -meski Khadijah sudah lama meninggal-, beliau ﷺ juga masih setia dan mengenangnya. Sampai-sampai hati Aisyah dirundung cemburu akibat nama Khadijah sering disebut./* Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Mengenal Istri-istri Rasulullah Muhammad

SELAMA Nabi Muhammad ﷺ hidup, beliau pernah menikahi tiga belas wanita. Semuanya janda, kecuali A’isyah binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhuma. Berikut ini adalah daftar nama yang dinukil dari Ibnu Hisyam dalam karya berjudul “al-Sīrah al-Nabawiyyah” (1955: II/643).

PertamaKhadijah binti Khuwailid. Maharnya waktu itu 20 ekor unta. Dalam catatan sirah yang masyhur, beliau menikahi Khadijah pada usia 25 tahun. Sementara Khadijah sendiri umurnya saat itu 40 tahun. Namun, Dr. Akram al-‘Umary dalam buku “Mā Syā’a walam Yatsbut fī al-Sīrah al-Nabawiyyah” (2007: 19) menguatkan riwayat Ibnu Ishaq yang menyatakan bahwa usia Khadijah ketika nikah adalah 28 tahun.

Menariknya, selama nabi bersama Khadijah, tidak ada satupun wanita yang dinikahi beliau. Seluruh potensi dan masa-masa terbaik saat muda serta produktifitas beliau dihabiskan  bersamanya. Dengannya nabi dikarunai enam anak: Abdullah, Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fathimah dan Ummi Kaltsum.Beserta istri pertamanya ini pula, perjuangan berat di Makkah bisa dilalui dengan ketabahan dan kesabaran.

KeduaSaudah binti Zam’ah. Sebelum dengan Nabi, suaminya bernama Sakran bin Amru. Ketika suaminya wafat, beliau dinikahi nabi. Mahar yang diberikan kepada beliau waktu nikah adalah 400 dirham. Saudah dinikahi ketika usianya sudah enam puluhan.

KetigaAisyah binti Abu Bakar. Dinikahi di Makkah setelah Khadijah meninggal ketika berusia tujuh tahun. Dan baru digauli ketika di Madinah saat berusia 9 tahun. Namun, menurut Abbas Mahmud Aqqad dalam “aṣ-Ṣiddīqah Binti aṣ-Ṣiddīq” (49) umur Aisyah ketika berbulan madu dengan Nabi tidak kurang dari 12 tahun dan tak lebih dari 15 tahun. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Sa’ad yang menerangkan bahwa Aisyah dilamar pada usia 9 tahun dan bulan madu pada usia sudah baligh (15 tahun).

Ketika itu, maharnya saat itu 400 dirham. Dengan Aisyah, hidup nabi sangat bewarna dan romantis. Bila Khadijah adalah wanita dewasa yang keibuan maka sebaliknya Aisyah adalah wanita muda yang energik, lincah dan cantik. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai istri nabi yang intelektualitasnnya sangat tinggi.

Beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Dr. Mahmud Ṭahhan dalam “Taisīr Muṣṭalah al-Hadīts” (2004: 244) menempatkannya sebagai sahabat dalam urutan keempat  yang paling banyak meriwayatkan hadits. Jumlahnya: 2210. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KeempatZainab binti Jahsyin. Zainab adalah mantan istri Zaid bin Haritsah. Waktu itu mahar yang diberikan Rasulullah adalah 400 dirham. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KelimaUmmu Salamah binti Abu Umayyah. Sebelum dengan Rasulullah, ia adalah istri sahabat yang syahid bernama Salamah bin Abi Salamah. Waktu itu mahar yang diberikan: kasur yang isinya serabut, anak panah , sehelai kain dan penggiling dari batu. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KeenamHafshah binti Umar. Yang menikahkan kala itu adalah Umar bin Khattab sendiri. Mahar yang diberikan adalah 400 dirham. Sebelumnya, Hafshah adalah istri dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmy. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KetujuhUmmu Habibah binti Abu Sufyan. Istri nabi yang memiliki nama asli Ramlah ini nikah dengan Rasulullah saat masih berada di tanah hijrah Habasyah. Yang menjadi walinya saat itu adalah Khalid bin Sa’id bin Ash. Maharnya diberikan Najasyi untuk Rasulullah ﷺ sebersar 400 dinar. Sebelumnya, Ummu Habibah adalah istri Ubaidillah bin Jahsyin. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak. Demikian juga dengan istri-istri lainnya.

KedelapanJuwairiyah binti Harits. Sebelum dinikahi, ia adalah masuk tawanan perang. Kabilahnya berasal dari Yahudi. Beliau dinikahi nabi dengan mahar 400 dirham. Sebelum dengan nabi, suaminya bernama Abdullah. Dengan beliau Rasulullah ﷺ tak memiliki anak.

Kesembilan, Shafiyah binti Huyay bin Akhtub. Merupakan wanita anak tokoh Yahudi yang menjadi tawanan di perang Khaibar. Saat menikah, nabi mengadakan walimah. Sebelum dengan nabi, dia adalah istri dari Kinanah bin Rabi’ bin Abi Huqaiq.

Istri yang lain yang pernah dinikahi Rasulullah ﷺ adalah Maimunah binti Harits  maharnya 400 dirham yang diberikan untuk Rasulullah oleh Abbas dan Zainab binti Huzaimah yang juga diberi mahar 400 dirham. Itulah istri-istri yang pernah dinikahi dan digauli oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketika beliau masih hidup, istri yang meninggal adalah Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah. Sedangkan ketika beliau wafat, meninggalkan 9 istri. Sementara itu ada dua istri yang belum pernah digauli kemudian dicerai karena cacat yaitu Asma binti Nu’man dan Amrah binti Yazid yang dicerai akibat perilaku buruk.

Bila diperhatikan, poligami yang dilakukan nabi bukan untuk memenuhi hawa nafsu. Buktinya, dari seluruh isterinya yang perawan hanya satu dan sisanya adalah janda dan semua tidak mempunyai anak, kecuali Khadijah.

Karena itulah, Abbas Mahmud Aqqad dalam “Abqariyyah Muhammad” (108-109) berkata: “Seandainya hanya kenikmatan seksual yang menjadi motif pernikahan Nabi, maka untuk memenuhinya, beliau akan mempoligami 9 istri yang masih muda, prawan yang terkenal cantik di Makkah, Madinah dan di jazirah Arab. Satu-satunya perawan yang dinikahi adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar. Itupun pada awalnya ditawarkan oleh istri Utsman bin Madz’un sepeninggal Khadijah.”*

HIDAYATULLAH

Cinta Pertama Rasulullah SAW dan Istri-Istri yang Dicintainya

Nabi Muhammad SAW dikenal akan rasa cintanya yang besar kepada istri pertamanya, Siti Khadijah. Namun, Siti Khadijah bukanlah cinta pertama Rasulullah SAW.

Pada usia 20 tahun, lima tahun sebelum menikah dengan Siti Khadijah, Rasulullah SAW berkeinginan menikahi seorang gadis yang dikenalnya. Namanya Fakhitah, yang kemudian dipanggil dengan nama Umm Hani, yang merupakan sepupunya sendiri, telah membuat Muhammad muda berdesir hatinya.

Dikutip dari Martin Lings buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik disebutkan bahwa Umm Hani’ merupakan putri dari paman Rasulullah, Abu Thalib. Rasa cinta tumbuh di antara Muhammad muda dan Umm Hani’. Kemudian Muhammad saat itu memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya. Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani’.

Hubayrah bukan saja seorang pria yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi kekuasaan Bani Makhzum di Mekkah demikian meningkat seiring dengan merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrah lah Abu Thalib menikahkan putrinya, Umm Hani’.

“Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi (ia merujuk kepada ibunya sendiri), maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka,” kata Abu Thalib dengan lembut kepada Muhammad muda. Dengan berlapang dada, Muhammad muda menerima penolakan pamannya.

Kemudian salah seorang saudagar terkaya di Makkah yang adalah seorang wanita, Khadijah dari Suku Asad. Ia mengangkat Muhammad sebagai orang yang mendagangkan hartanya. Karena Muhammad telah dikenal di penjuru Makkah sebagai Al-amin, orang yang terpercaya, yang dapat diandalkan, jujur.

Khadijah yang tertarik kepada Muhammad, melamarnya, meskipun ia lebih tua 15 tahun dari Muhammad. Pernikahan mereka sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka cita hingga pada tingkat yang luar biasa.

Bersama Khadijah, Rasulullah SAW memiliki enam anak, dua putra dan empat putri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, yang meninggal sebelum berusia dua tahun. Berikutnya seorang putri bernama Zaynab, disusul dengan tiga putri lainnya yaitu Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah. Dan yang terakhir seorang putra lagi yaitu Abdullah, yang juga tidak berusia panjang.

Pada tahun 619 Masehi, Rasulullah SAW merasa kehilangan besar atas kematian istrinya, Khadijah. Khadijah kira- kira berusia 65 tahun, sedangkan Rasullullah SAW berusia 50 tahun. Mereka telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Khadijah bukan hanya istri Rasulullah, tetapi juga sahabat dekatnya, penasihatnya, dan ibu seluruh keluarganya.

Keempat putrinya dirundung perasaan duka cita, namun beliau menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Jibril baru saja datang kepadanya, mengucapkan selamat dan mengatakan, “Allah telah menyiapkan tempat tinggal baginya di surga.”

Istri- istri Rasulullah SAW

Pada Ramadhan tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW menikah dengan janda dari seorang sahabatnya. Nama perempuan itu adalah Saudah bintu Zamah bin Qoisradhiyallahu anha merupakan wanita yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam setelah Khadijah wafat. Beliau merupakan satu-satunya istri Rasulullah hingga Beliau menikah dengan Aisyah, putri sahabat Nabi, Abu Bakar As-shiddiq.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah setahun setelah pernikahan dengan Saudah, tepatnya dua tahun lima bulan sebelum peristiwa hijrah. Aisyah merupakan perempuan yang paling dicintai Rasulullah saat itu. Dia adalah istri Rasulullah yang paling paham tentang agama serta yang paling pandai, bahkan secara mutlak dia adalah wanita terpandai di antara para wanita lainnya.

Selain itu, Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi saat masih gadis dari 13 wanita yang pernah dinikahi Rasulullah. Sedangkan seluruh istri- istri Rasulullah yang selanjutnya merupakan janda dari sahabat-sahabat Rasulullah yang meninggal karena perang.

Kecemburuan di antara istri- istri Rasulullah

Aisyah pencemburu terhadap istri-istri Rasulullah SAW. Namun, ia mengakui bahwa kecemburuannya lebih besar kepada istri pertama Rasulullah, Khadijah.

“Aku tidak pernah cemburu kepada istri- istri Nabi yang lain sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah. Sebab, beliau tidak henti- hentinya membicarakannya dan Allah telah menawarkan bagi Khadijah berita baik tentang sebuah istana di surga. Setiap kali mengurbankan seekor domba, beliau mengirimkan bagian yang terbaik kepada sahabat- sahabat dekat Khadijah. Beberapa kali kukatakan kepadanya: ‘Sepertinya tidak pernah ada seorang wanita pun di dunia ini, kecuali Khadijah’,” demikian kecemburuan Aisyah kepada Khadijah. Sementara istri-istri Nabi yang lain, cemburu kepada Aisyah.

Kecemburuan memang tak dapat dihindari di rumah tangga Rasulullah, dan untuk mengatasinya, beliau melakukan yang terbaik. Suatu ketika beliau memasuki sebuah ruangan dimana pada istri dan keluarganya tengah berkumpul, menggenggam sebuah kalung onik yang baru saja diberikan kepadanya. Sembari menunjuk kalung itu beliau berkata: “Kalung ini akan kuberikan kepada orang yang paling kukasihi di antara kalian,”

Beberapa istrinya mulai berbisik satu sama lain. “Ia pasti memberikannya pada putri Abu Bakar. Namun, Rasulullah SAW memanggil cucu kecilnya, Umamah dan memasang kalung itu ke lehernya.

 

REPUBLIKA

Menjawab Kenapa Rasul Beristri Lebih dari 4 Orang

PERTANYAAN ini memang menarik untuk dikaji, terutama sebagai benteng pertahanan para juru dakwah, bila menghadapi serbuan tasykik (membuat keraguan) para zindiq dan musuh-musuh Allah yang menggoyahkan keyakinan kita.

Untuk itu perlu dijelaskan kepada siapapun, bahwa kedudukan seorang nabi di tengah umatnya tidak sama. Kedudukannya jauh lebih tinggi, bahkan dari derajat para malaikat sekalipun. Bukankah sampai pada titik tertentu dari langit yang tujuh itu, malaikat Jibril pun harus berhenti dan tidak bisa meneruskan perjalanan mi’raj? Sementara nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri saja yang boleh meneruskan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa derajat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lebih tinggi dari malaikat Jibril `alaihissalam.

Demikian juga dengan masalah dosa. Kalau manusia umumnya bisa berdosa dan mendapat pahala, para nabi justru sudah dijamin suci dari semua dosa (ma’shum). Artinya, seandainya mau, para nabi itu mengerjakan hal-hal yang diharamkan, sudah pasti Allah tidak akan menjatuhkan vonis dosa kepada mereka. Sebab tugas mereka hanya menyampaikan syariah saja, baik dengan lisan maupun dengan peragaan. Namun karena para nabi itu dijadikan qudwah (contoh) hidup, maka mereka pun beriltizam (berpegang teguh) pada syariat yang mereka sampaikan.

Dalam implementasinya, memang secara jujur harus diakui adanya sedikit detail syariah yang berbeda antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan umatnya. Namun pengecualian ini sama sekali tidak merusak misi utamanya sebagai pembawa risalah dan juga qudwah. Sebab di balik hal itu, pasti ada hikmah ilahiyah yang tersembunyi. Misalnya, bila umat Islam tidak diwajibkan melakukan salat malam, maka Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam justru diwajibkan untuk melakukannya.

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzzammil: 20)

Bila umat Islam diharamkan berpuasa dengan cara wishal (bersambung hingga malam), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru diperbolehkan bahkan diperintahkan. Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah berpuasa wishal di bulan Ramadhan. Lalu orang-orang ikut melakukannya. Namun beliau melarangnya. Orang-orang bertanya, “Mengapa Anda melakukannya?” Beliau menjawab, “(Dalam hal ini) aku tidak seperti kalian. Sebab aku diberi makan dan diberi minum.”

Bila istri-istri umat Islam tidak diwajibkan bertabir dengan laki-laki ajnabi, khusus buat para istri Rasulllah telah ditetapkan kewajiban bertabir. Sehingga wajah mereka tidak boleh dilihat oleh laki-laki, sebagaimana mereka pun tidak boleh melihat wajah laki-laki lain. Hal itu berlaku buat para istri nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejadian itu bisa kita lihat tatkala Abdullah bin Ummi Maktuh yang buta masuk ke rumah nabi, sedang saat itu beliau sedang bersama dua istrinya. Rasulullah lalu memerintahkan mereka berhijab (berlindung di balik tabir), meski Abdullah bin Ummi Maktum orang yang buta matanya. Namun Rasulullah menjelaskan bahwa kedua istrinya bukan orang yang buta.

Karena itulah Allah Ta’ala berfirman di dalam Alquran: “Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Bila wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya selesai dari ‘iddah mereka boleh dinikahi oleh orang lain, maka para janda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru haram dinikahi selamanya oleh siapapun. Bahkan kepada mereka disandangkan gelar ummahatul mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Haramnya menikahi janda Rasulullah sama dengan haramnya menikahi ibu sendiri. Dan masih ada beberapa lagi kekhususan Rasulullah. Salah satunya adalah kebolehan beliau untuk tidak menceraikan istri yang jumlahnya sudah lebih dari 4 orang. Sedangkan umat Islam lainnya, disuruh untuk menceraikan istri bila melebihi 4 orang.

Sebagaimana kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para laki-laki memiliki banyak istri, hingga ada yang mencapai ratusan orang. Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki istri banyak hingga puluhan. Bahkan para raja di Jawa pun punya belasan selir.

Lalu datanglah syariat Islam yang dengan bijaksana memberikan batasan hingga maksimal 4 orang saja. Kalau terlanjur sudah punya istri lebih dari empat, harus diceraikan suka atau tidak suka. Kalau kita melihat dari sudut pandang para istri, justru kita seharusnya merasa kasihan, karena harus diceraikan. Karena itulah khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala tidak memerintahkannya untuk menceraikan para istrinya. Tidak ada pembatasan maksimal hanya 4 orang saja. Justru pengecualian itu merupakan bentuk kasih sayang Nabi kepada mereka, bukan sebaliknya seperti yang dituduhkan oleh para orintalis yang hatinya hitam itu. Mereka selama ini menuduh Rasulullah sebagai orang yang haus perempuan, nauzu bilahi min zalik.

Semoga Allah menghancurkan tipu daya para orientalis terlaknat, merusak semua sumber dana dan media propaganda sesat mereka, serta meruntuhkan kesombongan mereka. Amin Ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bishshawab wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375033/menjawab-kenapa-rasul-beristri-lebih-dari-4-orang#sthash.TiEU2pts.dpuf

Tiga Alasan Mengapa Istri Rasulullah SAW Lebih dari Empat

Rasulullah SAW memiliki istri lebih dari empat, sejumlah riwayat menyebutkan istri beliau ada 11 orang.

Fakta tersebut memicu cibiran sejumlah kalangan, tak terkecuali orentalis yang hendak memojokkan Islam. Mereka beranggapan, pernikahan tersebut berseberangan dengan tuntunan ajaran Islam itu sendiri yang membatasi pernikahan hanya empat istri saja, seperti ditegaskan dalam surah an-Nisaa’ ayat 3.

Namun, menurut Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, anggapan negatif tersebut mudah dipatahkan dengan sejumlah argumentasi yang cukup logis dan rasional. Setidaknya ada tiga alasan sederhana mengapa Rasulullah memutuskan menikah lebih dari empat.

Alasan yang pertama, pernikahan tersebut karena faktor sosial. Pernikahannya dengan Khadijah yang dengan selisih umur yang cukup jauh, saat menikah Rasulullah berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah 40 tahun.

Lalu pernikahannya dengan Saudah binti Zam’ah yang berstatus janda anak empat adalah dengan tujuan mencarikan ibu pendamping yang bisa mengurus keempat anaknya tersebut.

Pernikahan Rasul dengan Khafshah binti Umar bin Khattab, adalah untuk menghormati Umar, pernikahannya dengan Zainab bin Khuzaimah adalah untuk mengayomi Zainab yang ditinggal syahid suaminya saat Perang Uhud. Sementara saat menikahi Ummu Salamah adalah lantaran ia ditinggal wafat sang suami sementara ia memiliki banyak anak.

Terlihat dari pernikahan tersebut, Rasul menikahi para istri yang ditinggal suami mereka, entah karena syahid berperang atau akibat sakit, agar bisa memberikan pengayoman dan mengurus anak-anak mereka.

Alasan yang kedua, pernikahan Rasulullah didorong oleh faktor transendental (ilahiyah). Di antaranya pernikahan Rasul dengan Aisyah RA. Pernikahan ini berangkat dari wahyu yang datang dari mimpi. Sementara, pernikahan Rasul dengan Zainab binti Jahsy, yang tak lain adalah istri dari Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasulullah, adalah bagian dari legalisasi hukum syariat tentang status anak angkat.

Peristiwa tersebut terjadi pada tahun kelima hijrah. Alquran mencatat status hukum anak angkat dalam surah al-Ahzab ayat 4 dan 5.

Alasan yang ketiga, diantara faktor pemicu pernikahan Rasulullah juga ada aspek politik. Pernikahan tersebut untuk merekatkan persatuan dan menghindari permusuhan, atau membebaskan tahanan.

Di antaranya, pernikahan beliau dengan Juwairiyah binti al-Harits, pemuka Bani Mushthaliq dari Khaza’ah, yang ditahan umat Islam. Sementara pernikahan beliau dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan memiliki pengaruh besar terhadap islamisasi dan mengikis perlawanan Abu Sufyan terhadap Islam.

Jadi, tuduhan bahwa pernikahan tersebut dilandasi nafsu birahi adalah tuduhan tak berdasar. Para perempuan tersebut rata-rata berstatus janda dan memiliki anak cukup banyak.

Dan, di antara hikmah lain dari pernikahan mulia tersebut adalah penghormatan dan meningkatnya derajat kabilah Arab lantara istri-istri tersebut berada dalam pengayoman dan suasana Ahlul Bait yang dimuliakan Allah SWT

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Ahzab [33]: 34).

sumber: RepublikaOnline

 

———————————————————————————————
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(no MLM, no Money Game, no Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com
atau hubungi handphone/WA 08119303297

Contoh Kecemburuan Istri Rasulullah

DISEBUTKAN dalam sebuah riwayat, Anas Radhiyallahu anhu berkata:

“Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah.

Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: “Ibu kalain sedang cemburu,” lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemiliki mangkuk yang pecah.

Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau” (HR Bukhari)

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah Aisyah Ummul Muminin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy. (Fathul Bari)

Dalam hadist yang lain diriwayatkan:

Dari Aisyah : “Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya” (HR Bukhari)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Aisyah berkata: “Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di Baqi).

Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, aku pun berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: “Kenapa kamu, hai Aisyah, dadamu berdetak kencang?”

Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?” (HR Muslim) []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2298426/contoh-kecemburuan-istri-rasulullah#sthash.nc9UQN6y.dpuf