Pemilik gelar Sulthanu Auliyaillah (rajanya para waliyullah), Syaikh Abdul Qadir Jailani menembus batas dinding yang kasat mata dalam melihat manusia. Tak melulu soal bergaul dengan orang yang seagama, Syaikh Abdul Qadir pun bergaul dengan mereka yang beda agama. Ini bisa ditelisik dari pesannya yang tertulis dalam kitab Nashaihul Ibad h. 12,
اذا لقيت ادا من الناس وإن كان كافرا قلت لا أدري عسى أن اسلم فيختم له بخير العمل وعسى أن اكفر فيختم لي بسوء العمل
Jika engkau berjumpa dengan manusia dan dia nonmuslim alias kafir maka katakanlah, aku tidak tahu. Bisa jadi ia kelak akan memeluk Islam dan berakhir dengan amal baik (husnul khatimah) dan bisa jadi aku kelak menjadi kafir kemudian berakhir dengan amal yang buruk (suul khatimah).
Membaca pesan ini, kita bisa mengetahui bahwa Syaikh Abdul Qadir enggan untuk nyebut-nyebut orang beda agama itu kafir. Minimal ia mengajarkan kita untuk mengatakan, aku tidak tahu. Contoh yang sangat beradab, melihat pada diri sebelum menjustifikasi orang lain. Siapa yang bisa menjamin keimanan seseorang hingga akhir hayatnya? Manusia sesalih Nabi Ya’kub saja masih khawatir terhadap sesembahan keturunannya. Peristiwa ini terekam dalam Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 133;
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
Lalu bagaimana dengan kita? Nabi bukan! Waliyullah bukan! Dan yang pasti tidak mampu menjamin keislaman diri sendiri hingga akhir hayat, perlukah melontarkan ungkapan kafir? Sebagaimana pesan Abdul Qadir Jailani, sebab, bisa jadi dia mendapat hidayah hingga menjadi orang yang husnul khatimah. Sebaliknya, kita belum tentu akan berakhir dengan husnul khatimah. Tapi kita berdoa, semoga kita menjadi manusia yang baik sedari awal hingga akhir.
Atas dasar ketidak-pastian ini, maka dari pada nyebut-nyebut orang yang beda agama kafir sebaiknya diurungkan saja. Alangkah bijak jika melihat orang yang beda agama dengan diganti dengan doa. Siapa tahu dengan doa yang dipanjatkan Allah memberi hidayah hingga satu persatu -atau mungkin anak cucu mereka- bisa seagama dengan kita. Bukankah Nabi Muhammad pernah mempraktikkan contoh bijak ini?
Pernah suatu ketika Rasulullah berdakwah pada penduduk Thaif yang masyarakatnya notabene nonmuslim. Dakwah Rasulullah ditolak. Lebih dari itu, Rasulullah disakiti dan konon hingga dilempar dengan batu dan kotoran. Adakah Rasul menyebut mereka dengan, “Kalian penduduk Thaif kafir!” Tidak! Justru Paling agungnya manusia yakni, Rasulullah malah mendoakan mereka, Allahumma ihdi qaumi fainnahum la ya’lamun (Ya Allah berilah hidayah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui).
Dari hal-hal sederhana ini, Islam akan semakin terasa ke-rahmatan lil’alamain-annya. Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan tutur kata yang indah didengar, sejuk di telinga, dan membekas di relung jiwa. Maka kalau ada kata yang lebih elok didengar dan sebagian kita masih bersikeras meneriakkan “kafir, kafir, dan kafir,” apakah ini tidak berarti bahwa kita sendiri telah mengangkangi ke-rahmatan lil’alamin-an Islam?
Didukung dengan kegemaran sebagian masyarakat Indonesia, yang ketika melihat orang yang beda pilihan politik saja, pekik kafir sudah terlontar liar kemana-mana. Bahkan kadang, tokoh masyarakat kena getahnya. Kondisi ini akan berpotensi besar mengancam saudara seagama pecah oleh karena gampangnya saudara yang lain melontarkan kata kafir.
Atas dasar kecintaan kita pada agama, bangsa, dan negara masihkah kita tidak mau move on dari kata “kafir”? Saatnya, meresapi dalam-dalam pesan sulthanu auliyaillah tersebut di atas.