Fatu Marando: Kampung Mualaf Penuh Harapan

FATU MARANDO. Demikian nama kampung mualaf itu. Terkesan asing? Wajar. Soalnya kampung ‘pendatang baru’.

Eit…, tapi jangan salah sangka. Ini bukan nama kampung yang terletak di daratan Afrika ataupun Amerika Latin, lho. Tapi masih di dalam negeri, Indonesia.

Ya. Fatu Marando adalah identitas sebuah perkampungan baru di hulu sungai terpanjang di Sulawesi Tengah, yakni Sungai Bongka. Penduduknya Suku Wana yang belajar hidup tidak nomaden lagi.

Menurut tokoh masyarakat setempat, Daniel, yang kini bernama hijrah Abdullah, Fatu berarti ‘batu’ dan Marando berarti “ukiran”. Jadi Fatu Marando adalah nama sebuah kampung yang di dalamnya ada batu berukir.

Untuk sampai ke tempat ini membutuhkan perjalanan panjang dan cukup melelahkan. Dari Bandara Syukuran Aminudin Amir di Luwuk, Sulawesi Tengah menuju Pandauke, perjalanan darat dengan mobil memakan waktu enam jam lamanya.

Sampai di lokasi, tidak bisa langsung melanjutkan perjalanan, karena harus mencari dan ikat janji dengan pemilik mobil off roads yang siap mengantar ke Lijo.  Tidak hanya jauhnya jarak tempuh yang menjadi tantangan. Tapi juga medan.

Betapa tidak, dari Pandauke ke Lijo, jalur yang ditempuh memiliki ketinggian lebih dari 1000 kaki dari permukaan laut. Sampai awan pun berada di bawah jalan yang dilalui off roads itu.

Setelah sampai, ada lagi tantangan baru; menyeberangi empat sungai. Hanya off roads yang bisa melakukan ini, dan dengan syarat air tak sedang meluap alias banjir.

Takdir Allah pula yang menentukan. Di saat tim BMH-Pos Dai hendak menyalurkan hewan qurban pada awal September lalu, situasi di sana sedang musim hujan, sehingga empat sungai tersebut dalam kondisi air tinggi, disertai arus cukup ganas, sehingga off roads angkat tangan.

“Kalau off roads angkat tangan, masih ada satu kendaraan yang mungkin mengantarkan kita menyeberangi sungaisungai itu, yakni jonder,” tutur Ustad Abdul Muhaimin, seorang dai di Fatu Marando yang menemani kami.

Jonder adalah traktor produksi John Dere, dikenal kuat bertahan melawan derasnya arus sungai. Usai menyeberang, titik ekstrem kedua siap dimulai, yakni naik ketinting melawan arus menuju hulu Sungai Bongka, yang memakan waktu perjalanan enam jam lamanya.

Namun, saat tiba di titik melewati bebatuan dengan arus begitu deras, ditambah kanan kiri sungai berupa tebing dengan pohonpohon yang berbaris rapi menjulang tinggi. Seketika suasana hati berteriak dengan banyak memmuji Allah karena keindahan alamnya, seolah semua bertasbih pada Allah.

Semakin ke hulu, bebatuan yang harus dilintasi semakin banyak. Arus pun kian kencang. Sempat satu ketinting kehabisan bensin di titik tersebut. Sontak semua berpegangan kuat dengan wajah penuh ketegangan.

“Lahaula wala quwwata illa billah, mari kita pasrah saja kepada Allah sembari mengucapkan doa-doa kunci agar Allah menolong dan mengampuni dosa-dosa kita,” pinta Muhaimin kepada segenap anggota rombongan.

Namun, setelah semua itu dilalui, perasaan lega dan bahagia menyergap diri sepenuh jiwa. Apalagi ketika telah melihat senyum warga menyambut kedatangan kami, terutama anakanak. Rasanya plong. Alhamdulillah.

Kampung Islam

Luas Kampung Fatu Marando berkisar 1000 meter persegi. Baru dirintis bulan Desember 2016 silam, bekerja sama dengan Pos Dai Hidayatullah.

Kondisi kampung mualaf ini jauh dari permukiman penduduk lain. Paling dekat adalah Kampung Wonsa, jarak tempuhnya setengah hari dengan berjalan kaki.

Aliran listrik belum masuk. Tak ayal, ketika malam menyapa, kondisi gelap, gulita akan menyergap kampong.

Kondisi alam sekitar pun masih terbilang asli. Semak belukar dan pohon-pohon besar tumbuh liar di sanasini. Pohon-pohon itu pulalah yang dijadikan bahan bangunan rumah warga.

Jangan ditanya soal binatang buas. Bahkan ular berbisa masih mudah ditemukan. Untungnya, tidak pernah masuk ke rumah warga.

Saat ini masih terdapat 20-an KK bermukim di kampung yang semua penduduknya adalah mualaf. Jarak antar-rumah warga, berkisar 7 meteran.

Untuk memenuhi kebutuhan harian, mereka bercocok tanam di lahan yang tersedia. Selain itu, juga dibina beternak ayam.

Masjid di sini masih dalam proses pembangunan. Di bangunan semi permanen inilah pembinaan keislaman warga dilakukan, termasuk pembelajaran al-Qur’an, bahasa Indonesia, dan berhitung bagi anak-anak.

Alhamdulillah, saat ini sudah banyak anak dari Suku Wana yang mampu membaca al-Qur’an dan berbahasa Indonesia. Cita-cita warga ingin menjadikan kampung mereka sebagai kampung muslim.

“Kami yakin di kampung ini kami akan menjadi manusia baru, karena sebelum ini kami tidak tahu apa itu hidup. Sejak masuk Islam, kami menjadi tahu bagaimana seharusnya. Alhamdulillah, dalam sepuluh bulan kampung ini berdiri, banyak keluarga saya yang masih tinggal di gunung-gunung tertarik dengan Islam dan ingin membangun rumah di kampung ini,” jelas Papa Rans, panggilan akrab Ustad Abdul Muhaimin.

“Warga membangun kampung ini dengan tekad untuk menjadi Muslim. Jadi, betapa berartinya diri ini jika kemudian bisa menjadi bagian, yang ikut mengantarkan masyarakat Suku Wana benar-benar menjadi Muslim yang mengamalkan ajaran Islam seutuhnya,” ujarnya penuh semangat.

Meski demikian, bukan berarti semua proses dakwah berjalan lancar. Kata Muhaimin, ada saja pihak yang tidak suka dan selalu menggembosi gerakan dakwah.

Tapi ia dan warga bertekad untuk terus bersemangat mewujudkan impian; membangun kampung muslim. “Kami berharap semoga Fatu Marando benar-benar menjadi kampung seperti binaan Musa bin Nushair di Maroko, yang pada masanya melahirkan sosok panglima hebat dari Suku Berber bernama Thariq bin Ziyadh, yang menaklukkan Andalusia, Spanyol,” doa Muhaimin. Amiin, ya Allah. Adakah pembaca yang tergerak membantu?*/Imam Nawawi & Robinsah

HIDAYATULLAH

Albert Ray Myers Menemukan Tujuan Hidup

Albert Ray Myers mulai mengenal ajaran Islam sejak hijrah ke Indonesia.

Kehidupan pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan. Bagi seorang Muslim, kepergian itu tidak sekadar bermula dari lahir dan berakhir di kematian. Sebab, menurut ajaran Islam, ada negeri akhirat sesudah maut dialami manusia di dunia.

Albert Ray Myers pada awalnya tidak memedulikan perenungan semacam itu. Lelaki yang kini berusia 30 tahun itu tumbuh dalam lingkungan yang cukup jauh dari nilai-nilai tauhid. Sejak berusia tiga tahun, dirinya menetap di Hawaii, Amerika Serikat.

Keadaan masyarakat setempat terkesan jauh dari nuansa Islam yang kental. Suasananya tidak seperti di negara-negara mayoritas Muslim—dengan azan yang berkumandang rutin setiap hari, masjid yang banyak serta mudah ditemukan, dan lain-lain. Bahkan, tidak ada aturan atau norma sosial yang “melarang” seseorang untuk tidak beragama di AS. Menjadi ateis pun sah-sah saja di sana.

Albert melalui periode anak-anak dan remaja di Hawaii. Ayahnya merupakan warga setempat. Adapun ibundanya merupakan keturunan Tionghoa yang berasal dari Indonesia. Secara umum, ia sangat menikmati masa-masa bertempat tinggal di pulau lepas Samudra Pasifik itu.

Saat berusia kira-kira 20 tahun, Albert mulai tertarik pada gagasan tentang agnostisisme. Bahkan, ia dengan sadar mengikuti paham tersebut. Bagaimanapun, rutinitas ke tempat ibadah setiap akhir pekan atau perayaan 25 Desember tetap dilakukannya.

“Bahkan, saya menjadi agnostik saat itu karena tidak pernah ibadah atau berdoa apa pun sepanjang saya hidup di AS,” ujar mualaf tersebut saat menuturkan kisahnya di saluran YouTube Ngaji Cerdas, yang disimak Republika baru-baru ini.

Ketika Albert berusia 21 tahun, orang tuanya mengalami kerenggangan komunikasi. Keduanya lantas memutuskan untuk berpisah. Karena lebih dekat secara emosional, remaja memilih untuk mengikuti ibunya yang kembali ke Indonesia. Adapun kedua adiknya tetap tinggal di Hawaii.

Hijrah ke negara Asia tenggara ini membuka lembar baru dalam kehidupannya. Suasana di Indonesia sangat berbeda dengan Negeri Paman Sam, terutama dalam relasi sosial. Di sini, orang-orang menjadikan ibadah-ibadah keagamaan sebagai bagian dari keseharian.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Albert merasakan rutinitas yang sarat nuansa religiusitas. Masjid-masjid marak ditemukan di kota tempatnya tinggal. Kaum Muslimah pun mengenakan hijab atau kerudung untuk menutupi aurat mereka, sebagaimana yang diajarkan agama Islam.

Hingga saat itu, pria tersebut belumlah tergugah. Perasaannya terhadap agama masih sama seperti dirinya kala masih di AS. Baginya, kehidupan adalah kini-di sini dunia saja. Tidak ada itu “kehidupan sesudah mati”.

Beberapa bulan kemudian, datang kabar yang cukup mengejutkannya. Ternyata, adik lelakinya memutuskan untuk berislam. Albert menduga, keputusan itu diambil lantaran sang adik ingin menikahi seorang Muslimah.

Yang mengherankannya adalah, adiknya itu termasuk yang paling religius di rumah mereka di Hawaii. Bahkan, beberapa bab dari kitab suci agama lamanya sudah dihafal. Mengapa sampai tertarik pada Islam? Suatu hari, pertanyaan itu diajukan Albert kepada saudara kandungnya itu.

Ternyata, jawaban dari sang adik justru membuatnya tertegun. Sebab, yang diterimanya bukannya pernyataan, melainkan pertanyaan.

“Adik saya bertanya, pernahkah saya berpikir mengenai apa arti hidup di dunia ini? Bagaimana kita setelah mati? Untuk apa kita hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya berpikir,” katanya mengenang.

Maka terjadilah dialog antara kakak beradik. Albert dengan terbuka menyimak penjelasan dari adiknya itu mengenai Islam. Agama ini tidak hanya mengatur perihal ibadah-ibadah ritual. Bahkan, Islam juga menerangkan makna eksistensi manusia di dunia. Yakni, menyembah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.

Sebelumnya, Albert meyakini bahwa semua agama sama, yakni mengajarkan kebajikan. Setelah mendapatkan detail mengenai pokok-pokok Islam, barulah ia mengetahui bahwa ajaran agama ini begitu komprehensif.

Islam membahas berbagai sendi kehidupan manusia—tidak hanya soal ibadah. Malahan, perkara kebutuhan sehari-hari—seperti makanan, minuman, tidur, dan bahkan urusan ke kamar kecil—memiliki aturan tersendiri dalam agama ini.

Mulai saat itu, Albert semakin tertarik untuk kian mendalami Islam. Minatnya itu ditunjukkan dengan banyak membaca buku-buku mengenai agama ini. Ia membeli mushaf terjemahan Alquran serta kisah Nabi Muhammad SAW. Beberapa kali, dirinya menonton ceramah-ceramah keislaman yang disampaikan beberapa dai.

Masuk Islam

Di Jakarta, Albert bekerja dengan sebuah perusahaan rumah produksi. Di beberapa lokasi syuting, ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan mudah bergaul. Pada suatu hari, ia menjumpai seorang perempuan, bernama Claudia Theresia.

Dari yang semula hanya berkenalan, keduanya kian dekat. Waktu itu, Claudia masih sama seperti dirinya, yakni non-Muslim. Karena semakin akrab, Albert sering kali menceritakan pikiran atau gagasan-gagasannya kepada wanita itu. Termasuk di antaranya, intensi untuk memeluk Islam

Tanpa disangka-sangka, ternyata Claudia pun sejak lama menyimpan keinginan untuk berislam. Bagi Albert saat itu, curhat teman perempuannya ini cukup mengejutkan. Pasalnya, beberapa anggota keluarga sahabatnya itu adalah pemuka agama non-Islam yang dikenal luas masyarakat lokal.

Albert berempati dengan perjuangan Claudia dalam memilih iman dan agama yang betul-betul diyakininya. Dari situ, lelaki kelahiran AS itu mulai berkaca pada diri sendiri. Ia pun memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya berislam kepada sanak famili di Hawaii.

Melalui sambungan telepon, respons yang diterimanya jauh dari antipati. Bapak dan saudara-saudaranya di AS menyerahkan semua keputusan kepadanya. Asalkan ia yakin bahwa itulah pilihan terbaik, maka jalani saja.

Ibunda dan neneknya di Jakarta pun tidak sama sekali menghalang-halangi. Maka bulatlah tekad Albert untuk menjadi seorang Muslim. Sesudah itu, ia menyampaikan rencananya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat kepada Claudia.

“Semakin mempelajari Islam, saya terus berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar saya ditunjukkan kepada jalan yang benar. Kemudian, hati saya mantap untuk bersyahadat,” katanya.

Keduanya lalu menyepakati tanggal dan lokasi syahadat. Tentunya, sebelum itu mereka menjaring berbagai informasi. Maka dipilihlah lokasi itu, yakni kantor Mualaf Center Indonesia (MCI) Pusat. Yang mengharukan juga, ibu dan nenek Albert turut menyambut baik keinginan berislam teman wanitanya ini.

Bertepatan dengan awal Ramadhan 1440 Hijriyah atau 2019 Masehi, Albert dan Claudia resmi memeluk Islam. Dengan bimbingan Ustaz Ali di MCI Pusat, keduanya menjadi Muslim dan Muslimah. Mualaf ini ingat betul, usai prosesi syahadat dirinya langsung mengikuti shalat tarawih berjamaah di masjid terdekat. Sungguh pengalaman yang tidak akan terlupa seumur hidup.

Pada Juni 2019, Albert dan Claudia melangsungkan pernikahan. Sejak menjadi sepasang suami-istri, keduanya semakin rutin untuk mengaji dan mendalami ilmu-ilmu agama. Dan, siapa sangka kebahagiaan tidak “berhenti” sampai di sini.

Allah membukakan hati ibunda Albert. Sang ibu kemudian menyatakan ingin memeluk Islam. Pada suatu malam, perempuan yang sangat disayanginya itu menyampaikan alasannya.

Ternyata, dirinya tergugah oleh ajaran Islam yang memerintahkan bakti seorang anak kepada orang tua. Sebagai seorang dari budaya Tionghoa, kekhawatiran utamanya adalah ketika wafat keturunannya akan melupakannya.

Apalagi, bila di rumah ada perbedaan agama. Maka ibunda Albert kemudian mencari tahu, bagaimana Islam memandang doa anak kepada orang tua. Pada faktanya, agama yang bersumber pada Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW ini sangat menekankan kewajiban bakti seorang anak kepada orang tua—khususnya ibu.

Sesudah ibunya menjadi Muslimah, berita gembira datang dari negeri jauh. Pada 2021, adik bungsu Albert juga menyatakan diri masuk Islam. Ia pun berharap, adik perempuannya itu kelak bisa mendapatkan jodoh yang seiman juga.

Albert merasa hidupnya penuh keberkahan sesudah menjadi mualaf. Dirinya terus berupaya menjadi seorang suami yang saleh sehingga mampu membimbing keluarganya di jalan sakinah, mawaddah, wa rahmah. Salah satu kegemarannya adalah membaca kisah-kisah islami.

Satu cerita yang terpatri dalam benaknya adalah tentang akhlak Rasulullah SAW. Menurut sebuah riwayat, ada seorang pengemis buta yang selalu mencaci-maki nama beliau. Padahal, Nabi SAW-lah yang selalu menyuapi makannya secara rutin setiap hari.

Hingga wafatnya Rasul SAW, si pengemis tidak pernah tahu bahwa orang baik yang memberinya makan adalah beliau. Barulah kebenaran diketahuinya dari lisan Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah itu, orang Yahudi tersebut menangis haru, dan menyatakan diri memeluk Islam.

Salah satu pelajaran yang dipetik Albert dari kisah itu adalah, balaslah kejahatan dengan kebajikan. Perbedaan agama tidak menghalangi timbulnya perbuatan baik. Karena itu, ia sangat ingin menjadi pribadi yang meniru akhlak Rasul SAW. Minimal, dengan menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Islam Jalan Hijrah Mario Rajasa

Hijrah berarti perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam sejarah, momen hijrah dimulai ketika Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin berpindah dari Makkah ke Madinah. Sejak itulah, syiar Islam semakin kuat.

Dalam terminologi sehari-hari, hijrah bermakna adanya peralihan karakteristik menjadi lebih elok. Umpamanya, seseorang yang dahulu dikenal gemar menyakiti perasaan orang lain kemudian berubah menjadi lebih peka dan santun dalam pergaulan.

Bagi Mario Rajasa, jalan hijrah yang dialaminya bermula dari syahadat. Ya, keputusannya untuk berislam mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Mualaf tersebut merasa dirinya lebih condong pada kebajikan sesudah memantapkan hati untuk memeluk agama tauhid.

Lelaki yang kini berusia 27 tahun itu mengaku, sebelum menjadi Muslim dirinya sering melakukan kenakalan remaja. Barangkali, hal itu terjadi karena pengaruh teman-temannya. Pergaulan yang salah membuatnya tumbuh sebagai seorang pemuda yang tidak begitu peduli pada masa depan.

“Saya berteman dengan orang-orang yang sering mengajak dugem dan minum minuman keras, bahkan hingga tak sadarkan diri (karena mabuk),” ujar dia, seperti dikutip Republika dari siaran video yang diunggah oleh Mualaf Center Aya Sofia via YouTube, beberapa waktu lalu.   Saya berteman dengan orang-orang yang sering mengajak dugem dan minum minuman keras, bahkan hingga tak sadarkan diri    

Untuk sekadar bersenang-senang dengan menenggak khamar, Mario Rajasa bahkan nekat melakukan kejahatan. Misalnya adalah mencuri uang milik beberapa anggota keluarga di rumah. Bahkan, beberapa barang kepunyaan neneknya raib karena dijual secara diam-diam olehnya. Karena geram, sang nenek sempat nyaris melaporkannya kepada pihak kepolisian.

Sesungguhnya, keluarga Mario tergolong berada. Masyarakat menganggap mereka sebagai warga yang sopan dan baik. Karena itu, perilaku buruk anak muda itu sering membuat malu pihak keluarganya.

Pernah beberapa kali ayahnya memberikan uang jajan melebihi yang biasanya. Hal itu dengan harapan, Mario segera menghentikan kebiasaan mencuri. Namun, berapapun uang saku yang diterima seakan-akan tidak cukup bagi pemuda tersebut. Setiap hari, ada saja masalah yang ditimbulkannya.

Kedua orang tua Mario beragama Buddha. Akan tetapi, mereka tidak ragu untuk mendaftarkan sang anak ke sebuah lembaga pendidikan swasta yang berlabel sekolah Katolik. Alasannya, sekolah itu terkenal memiliki sistem pengajaran yang cukup bagus. Karena yang dipelajari di sana adalah Katolik, lambat laun pemuda tersebut ikut-ikutan menganut agama ini.

Jangan bayangkan Mario kemudian menjadi insaf. Sebab, baginya saat itu agama sekadar identitas belaka di atas kertas. Dia masih jauh dari kesan sebagai seorang penganut yang taat.   Dia masih jauh dari kesan sebagai seorang penganut yang taat.  

Ibadah yang pernah dilakukannya sebagai pemeluk Nasrani bisa dihitung denngan jari. Ia mengenang, ke tempat ibadah cuma empat kali dalam setahun, yakni pada momen hari-hari besar yang libur nasional.

Tidak hanya jauh dari kecenderungan agamis. Mario ketika itu masih saja tidak peduli pada dampak keonaran yang kerap dilakukannya. Beberapa kali, dirinya meluapkan emosi dan amarah secara tak terkendali.

“Saya menjadi orang yang pemarah kepada siapapun. Bahkan, ketika orang ingin bercanda dengan saya, saya akan mudah tersinggung,” kata dia.

Sebelum hidayah menerangi hatinya, Mario mengaku, dia tidak pernah taat kepada ayah dan ibu. Banyak perintah dan saran keduanya yang selalu diabaikannya.

Mengenal Islam

Fase perubahan dalam hidupnya dimulai ketika lulus SMA. Salah satu kelebihan Mario Rajasa terletak pada bidang akademik, khususnya ilmu matematika. Hal itu terbukti dari berbagai perlombaan yang pernah dimenangkannya.

Mario kemudian terdaftar sebagai seorang mahasiswa. Ilmu komputer menjadi jurusan yang diambilnya. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, dia selalu hadir di dalam kelas. Di luar jam-jam kuliah, ia pun aktif dalam berbagai kegiatan sehingga memiliki cukup banyak teman.

Berbeda dengan masa SMA, kali ini lingkar pertemanannya lebih majemuk. Bahkan, banyak kawannya yang secara tidak langsung memberikan teladan tentang kerja keras, empati, dan rasa saling menghargai. Barangkali, watak mereka sebagai mahasiswa perantauan ditempa oleh pengalaman.

Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi kawan Mario berasal dari kalangan Muslimin. Memang, kampus tempatnya belajar bernaung di bawah sebuah yayasan non-Muslim. Akan tetapi, universitas tidak pernah membatasi siapapun yang ingin belajar di sana hanya karena agama yang dipeluk.   Kampus tempatnya belajar bernaung di bawah yayasan non-Muslim. Namun, universitas tidak pernah membatasi yang ingin belajar hanya karena agama yang dipeluk.     SHARE

Maka pada fase mahasiswa inilah Mario mulai sedikit mengenal Islam. Di satu sisi, ia merasa nyaman berinteraksi dengan teman-temannya yang Muslim. Namun, di sisi lain persepsinya saat itu tentang agama ini masih cenderung negatif.

Sebagai contoh, Mario memandang Muslimah yang memakai hijab sebagai orang-orang yang aneh. Dalam anggapannya, kain penutup rambut dan lekukan tubuh itu adalah milik kebudayaan Arab. Sementara itu, Indonesia adalah negeri tropis. Kalau mengenakan kerudung, bukankah orang akan lebih merasa gerah? Begitu pikirnya.

Terlebih lagi, pada tahun-tahun itu marak pemberitaan tentang terorisme. Dan beberapa media acap kali membuat pembingkaian (framing) bahwa ekstremisme berkaitan dengan Islam. Mario pun kerap terbawa arus framing demikian sehingga kesannya tentang agama tauhid semakin penuh curiga.

Waktu dapat mengubah pendirian seseorang. Itulah pula yang terjadi padanya. Lelaki ini kian tertarik untuk mengenal Islam setelah memerhatikan beberapa kawan Muslimnya yang taat beribadah.

Pada 2016, ia pun memulai riset sederhana mengenai kepercayaan. Perhatian awalnya tertuju pada agamanya sendiri. Setiap agama pasti memiliki buku yang dianggap para pemeluknya sebagai kitab suci. Maka hari itu ia pun mengambil kitab agamanya yang sudah lama terabaikan di sudut lemari. photo Mario Rajasa mengaku, sejak menjadi Muslim perlahan-lahan dapat memperbaiki akhlak diri sendiri. – (DOK INSTAGRAM RAJASAMARIO)

Menjadi Muslim

Setelah membaca kitab agamanya, Mario Rajasa tertarik untuk menelusuri kisah Nabi Isa (Yesus). Ia mengadakan riset pribadi untuk menemukan jawaban, apakah Nabi Isa meminta kepada orang-orang agar mereka menyembah dirinya. Ataukah, sang nabi mengimbau khalayak untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa?

Dalam proses pencarian ini, Mario kerap berdialog dengan kawan-kawannya yang Muslim. Mereka umumnya berpandangan, dalam ajaran Islam sosok Nabi Isa dan ibunda beliau, Maryam (Maria), adalah mulia. Bahkan, sebuah surah dalam Alquran diberi nama “Maryam”.

Mereka juga mengatakan, Nabi Isa bukanlah Tuhan. Beliau bukan pula “anak Tuhan” karena jelas Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Itulah yang disebut sebagai konsep tauhid.

Tidak hanya membaca berbagai buku, lelaki berdarah Tionghoa ini juga menonton beberapa tayangan ceramah tentang kristologi, termasuk yang disampaikan pendakwah Muslim. Akhirnya, ia semakin yakin pada kesimpulan bahwa Nabi Isa ditugaskan oleh Allah untuk umat secara spesifik, yakni Bani Israil.   Ada kesinambungan ajaran antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.     SHARE

Dan juga, ada kesinambungan ajaran antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Bedanya adalah, yang terakhir itu menyampaikan ajaran untuk seluruh umat manusia, bukan kelompok tertentu saja. Maka sudah sepatutnya orang-orang pada masa kini untuk mengikuti ajaran beliau, bukan lagi Nabi Isa.

Dengan tekad yang kuat, Mario memutuskan untuk berislam. Ia kemudian mendatangi gedung Jakarta Islamic Center (JIC) yang berlokasi cukup dekat dengan rumahnya di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Kebetulan, saat itu pria ini tidak memiliki uang untuk ongkos kendaraan umum. Ia pun memilih berjalan kaki ke JIC. Sesampainya di tempat tujuan, ia menemui seorang ustaz.

Setelah mengetahui niatnya, dai itu lantas membimbing Mario untuk bersyahadat. Di hadapan sejumlah saksi, pemuda tersebut mengucapkan ikrar tersebut. Resmilah dirinya menjadi seorang Muslim.

Saat ditanya, ia dengan mantap menjawab alasan dirinya menjadi mualaf. Yakni, kecintaannya pada sosok Nabi Isa AS. Karena rasa cinta itu, ia pun rela untuk mematuhi perintah beliau, yakni beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan mengikuti petunjuk sang nabi akhir zaman, Rasulullah Muhammad SAW. Keterangan tentang akan datangnya sosok Ahmad atau Nabi SAW sudah disebutkan dalam kitab Injil, yang disampaikan Nabi Isa AS.

Setelah bersyahadat, Mario sempat menyembunyikan keislamannya karena khawatir keluarganya tidak bisa menerima keputusannya. Selama dua bulan, ia selalu diam-diam pergi ke masjid untuk shalat. Ia pun hanya membeli Alquran yang berukuran kecil agar tidak mudah terlihat.   Selama dua bulan, ia selalu diam-diam pergi ke masjid untuk shalat. Ia pun hanya membeli Alquran yang berukuran kecil agar tidak mudah terlihat.    

Akan tetapi, pada akhirnya “rahasia” terkuak. Suatu hari, Mario hendak mengunjungi kakaknya yang sedang merantau di Jepang. Kedua orang tuanya turut serta dalam perjalanan ini.

Saat transit di Malaysia, Mario ketahuan membawa mushaf Alquran. Bapaknya pun marah besar. “Ayah khawatir kalau saya menjadi Muslim saya terpengaruh menjadi ekstremis, teroris,” katanya.

Kemudian, Mario menjelaskan secara santun bahwa ajaran Islam bukanlah seperti yang selama ini distigmakan. Namun, sang ayah tetap saja bergeming.

Dari seorang ustaz, Mario mendapatkan nasihat bahwa Islam melarang seorang anak untuk durhaka pada orang tua. Kalaupun antara kedua belah pihak terdapat perbedaan agama, maka akidah tetap dipertahankan, tetapi pergauli ayah dan ibu dengan baik.   Kata-kata yang santun, sikap yang ramah, dan menghormati—itulah yang mesti dilakukan seorang anak kepada bapak dan ibu.    

Kata-kata yang santun, sikap yang ramah, dan menghormati—itulah yang mesti dilakukan seorang anak kepada bapak dan ibu.

Mario menerapkan anjuran itu. Pada akhirnya, kedua orang tuanya mulai merasa bahwa buah hati mereka semakin baik dalam bersikap. Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu, ketika mereka dipusingkan oleh kebiasaan Mario yang hobi mabuk-mabukan dan mencuri.

Karena itu, lambat laun ayah dan ibu tidak lagi mempermasalahkan keislaman Mario. Remaja ini lantas dibiarkan untuk beribadah shalat di rumah. Bahkan, selama Ramadhan mereka menyediakan sajian iftar dan sahur untuknya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengkaji Secara Mendalam Agamanya, Sarjana Teologi Kristen Ini Justru Masuk Islam

Pengetahuannya yang begitu mendalam tentang agamanya justru mengantarkan seorang sarjana Teologi Kristen ini masuk Islam. Kok bisa?

Ruqaiyyah Waris Maqsood adalah penerima Muhammad Iqbal Award tahun 2001 atas kreativitas dan jasanya dalam mengembangkan metodologi pengajaran Islam. Dialah muslim pertama Inggris yang pernah menerima anugerah bergengsi tersebut.

Tak hanya itu, pada Maret 2004 Ruqaiyyah terpilih sebagai salah satu dari 100 wanita berprestasi di dunia. Dalam ajang pemilihan Daily Mails Real Women of Achievement, dia termasuk satu dari tujuh orang wanita berprestasi dalam kategori keagamaan. Namun siapa sangka Muslimah berpengaruh di Inggris ini dulunya non muslim?

Rosalyn Rushbrook, begitu dulu namanya, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen Protestan. Dia memperoleh ijazah dalam bidang Teologi Kristen dari Universitas Hull, Inggris, tahun 1963, dan master bidang pendidikan dari tempat yang sama pada tahun 1964.

Selama hampir 32 tahun, dia mengelola program studi ilmu-ilmu keagamaan di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Inggris. Dia juga sempat menjabat sebagai kepala Studi Agama di William Gee High School, Hull, Inggris. Pengetahuan Kristennya yang begitu mendalam, membuatnya menulis beberapa buku tentang Kristen.

Namun anehnya, pengetahuan yang begitu mendalam tentang agamanya justru mengantarkan sarjana Teologi Kristen ini masuk Islam. Kok bisa?

Kisah lengkapnya ada di sini

www.youtube.com/watch?v=mDmYNw_1pOU

HIDAYATULLAH

Perjuangan 4 Artis Menjadi Mualaf Berayah Pendeta

Perjuangan 4 artis untuk menjadi mualaf berayah pendeta ini sangat luar biasa. Sampai-sampai ketika hendak shalat mukenanya dirobek oleh orangtuanya.

Urusan keyakinan memang menjadi persoalan personal setiap individu termasuk bagi deretan selebriti yang punya agama berbeda dengan orang tua mereka.

Meski menimbulkan perdebataan dan pertentangan, tapi terbukti bahwa persoalan agama dan keyakinan tak bisa dipaksakan, bahkan oleh orang tua yang taat agama sekalipun.

Deretan artis berikut memilih menjadi mualaf meski orang tua mereka adalah seorang pendeta. Siapa saja mereka dan bagaimana proses hijrahnya?

Tonton videonya di sini

HIDAYATULLAH

Kumandang Adzan Antarkan Tio Nugroho Memeluk Islam

Presenter Tio Nugroho mengaku seperti tersetrum ketika mendengarkan adzan.

Hidayah bisa didapatkan siapa saja dan kapan saja. Termasuk bagaimana caranya hidayah Islam itu menghampiri seorang hamba. Seperti yang terjadi pada presenter olahraga Tio Nugroho yang memutuskan memeluk Islam usai mendengarkan adzan.

Selama 42 tahun hidup dan mendengar azan lima kali sehari, ia mengaku biasa saja. Tetapi, di hari saat memutuskan menjadi mualaf, Tio mengaku merasakan sebuah perbedaan.

“Ketika gue mendengar azan yang selama 42 tahun, itu gue sering dengar ya sehari lima kali tapi biasa aja. Tapi di hari itu, gue seperti kena kesetrum,” ujar Tio Nugroho, seperti dikutip dari kanal YouTube Islam Trending TV, Selasa (22/3/2022).

Mantan atlet basket tersebut mengaku bingung mengapa bisa merinding saat mendengarkan adzan. Padahal ia bukan pemeluk agama Islam.

Namun menurut pemilik nama lengkap Immanuel Bagus Aditio Nugroho tersebut, situasi itu adalah sebuah panggilan. Karena itu, ia pun langsung pergi ke masjid untuk mengikuti panggilan adzan untuk sholat.

Namun, Tio mengaku bingung lantaran belum mengerti tata cara sholat. “Saya mau ke masjid, tapi saya bingung enggak bisa sholat,” ucap dia.

Tak mau hidayah terputus, ia pun menceritakan kepada teman-teman dekatnya. KH Ma’ruf Amin adalah sosok yang yang membimbing prosesi masuk Islam Tio Nugroho. Dua kalimat syahadat diucapkan di kediaman KH Ma’ruf Amin di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu 1 Juni 2019.

Pembacaan syahadat tersebut diakhiri dengan pemberian nama Muslim kepada Tio. Menurut Kiai Ma’ruf, Tio tidak perlu mengubah namanya secara keseluruhan. “Tinggal tambah saja Ahmad atau Muhammad di depan Bagus Aditio Nugroho. Tapi nama Immanuel jangan dipakai lagi,” kata Kiai Ma’ruf.

Usai mengucapkan dua kalimat syahadat, ia pun sesegukan dan berkali-kali menyeka air matanya. Selepas menjadi Muslim, Tio pun menambakan nama Muhammad di depan namanya.

Ia mengaku bergetar ketika mendengar kumandang adzan sholat Subuh usai pulang kerja. “(Tahun) 2019 adalah masa lalu gue. (Tahun) 2019 ke sini adalah masa depan gue. Gue ngejar akhirat. Enggak pernah mau ketinggalan sholat,” ucap dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Mualaf Eva mendapatkan tiga tanda yang yakinkan masuk Islam

Agama berperan penting dalam kehidupan manusia. Dengan beragama, seorang insan mengetahui dan merasakan adanya pedoman yang paling utama di dalam hidupnya.

Dengan menyadari posisinya sebagai hamba Tuhan, ia akan meyakini dan berusaha mengamalkan perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. 

Bagi Eva Indriyani, tidak ada sesuatu yang lebih patut disyukuri selain beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Islam merupakan anugerah terbesar dalam hidupnya. 

Mualaf tersebut telah melalui pelbagai peristiwa sebelum akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Keputusannya untuk memeluk agama tauhid datang dari kesadaran hati yang terdalam, bukan bujukan, rayuan, apalagi paksaan orang lain. 

Ia menuturkan pengalamannya dalam sebuah acara bincang-bincang dengan pengurus organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Firdaus Sanusi. Perempuan yang kini berusia 39 tahun itu mengungkapkan, dirinya menjadi mualaf tidak berarti baru mengenal Islam. 

Bahkan, sebelum duduk di sekolah dasar (SD), wa nita yang akrab disapa Eva itu tercatat beragama Islam di kartu keluarganya. 

Hal itu memungkinkan karena identitas agama kedua orang tuanya berbeda. Ayahnya merupakan seorang non-Muslim. Adapun ibundanya beragama Islam walaupun pada akhirnya mengikuti keyakinan sang kepala keluarga. 

Keadaan berubah bagi Eva ketika dirinya memasuki usia murid SD. Kedua orang tua mendaftarkannya ke sebuah sekolah Katolik. Alhasil, sejak dini dirinya sudah dibina dan dididik untuk lekat dengan nilai-nilai agama non-Islam itu. 

Hingga memasuki usia remaja, Eva muda masih menjadi pemeluk Katolik. Bersama dengan ayah dan saudaranya, ia sering mengikuti ritual sesuai ajaran agama tersebut. Misalnya, beribadah di gereja pada akhir pekan atau merayakan Natal. 

Tepat di usia 16 tahun, Eva mulai merasakan kegelisahan. Saat itu, dirinya sudah mesti siap- siap membuat kartu identitas sendiri. Dan, di dalam KTP akan ada keterangan tentang agama yang dipeluknya. 

Eva ragu-ragu apabila mencantumkan Islam sebagai agamanya di kartu identitas. Sebab, nyaris tidak pernah dirinya mendapatkan pengajaran agama tauhid itu dari lingkungan keluarga, orang terdekat, dan juga sekolah.   

Sebaliknya, ia lebih akrab dengan agama yang dipeluk ayahnya. Berbicara dengan ibundanya pun tidak begitu banyak mengatasi persoalannya itu.

“Pada suatu hari, aku berbicara ke Mama, untuk (meminta pendapatnya bila) memeluk agama Papa. Mama terkejut, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Eva Indriyani menuturkan kisahnya melalui akun Youtube Firdaus Sanusi, yang dilansir Republika beberapa waktu lalu. 

Sebelum resmi memeluk agama ayahnya, ia mempelajari ajaran Katolik selama satu tahun. Tatkala usianya mencapai 17 tahun, tepat pada 2000 perempuan ini pun sudah bisa memiliki KTP. Pada kartu identitas itu, tercantum agama Katolik. 

Hal itu tidak berarti bahwa dirinya sekadar me menuhi persyaratan pembuatan KTP. Bagaimanapun, Eva muda merupakan seorang yang bertanggung jawab. Dengan memilih agama tersebut, ia berusaha menjadi penganut Katolik yang taat. 

Setiap akhir pekan ia rutin beribadah. Bahkan, setiap kegiatan keagamaannya itu ia ikuti dengan tekun. Meski sibuk kuliah, Eva tetap menyempatkan diri untuk hadir dalam setiap acara gereja di lingkungan tempatnya tinggal. 

Namun, Allah Ta’ala memiliki rencana lain untuknya. Eva memang rajin beribadah dan dekat dengan kawan-kawannya yang non-Muslim. Bagaimanapun, hatinya sering dilanda kegundahan. 

Ketenteraman seperti jauh dari batinnya sendiri. Ia pun mencoba untuk lebih intens beribadah tiap akhir pekan, tetapi tidak ada perubahan sama sekali.

Hingga 2005, tanda-tanda hidayah secara bertahap menyapanya.  Diakui Eva, saat itu dirinya agak sukar memahami, apakah sinyal-sinyal petunjuk Illahi dapat dirasakannya dengan baik. Karena itu, tidak satu malam pun terlewatkan olehnya kecuali dengan berdoa, memohon cahaya petunjuk. 

Pada suatu malam, Eva merasakan dirinya setengah tersadar dan lelap. Sayup-sayup, ia agak memicingkan matanya. Dalam kondisi demikian, ia merasa sedang menyaksikan siluet seorang wanita. 

Samar-samar, perempuan yang dilihatnya itu sedang menunaikan sholat, sedangkan Eva sendiri berbaring di sisi.

Namun, saat itu tidak jelas siapa wanita misterius itu. Wajahnya pun tidak terlihat. Karena itu, Eva berpikir, mungkin itu hanyalah bunga tidur atau sekelebat imajinasi belaka.   

Beberapa bulan kemudian, tanda kedua datang. Kali ini, ia dapat memastikan, itu tiba melalui mimpi. Dalam mimpinya itu, Eva seperti berada di dalam sebuah mal. Ia bersama kawannya yang beragama Katolik hendak beribadah di sana. 

Dengan menggunakan lift, mereka pun sampai di lantai tempat tujuannya berada. Anehnya, tempat ibadah yang dilihatnya hanyalah masjid. 

Lebih ganjil lagi, dalam mimpinya itu, Eva langsung saja berwudhu dan dengan tenangnya memasuki masjid tersebut. “Aku jelas mengajak temanku beribadah akhir pekan, tetapi yang terlihat adalah masjid di sana,” kata dia mengenang mimpinya itu.  

Setelah melalui dua pengalaman itu, Eva ternyata masih belum teryakinkan untuk berislam. Bagaimanapun, ia tetap berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk. 

Dalam munajatnya, ia meminta, apabila memang benar kedua fenomena itu adalah tanda petunjuk, maka tuntunlah dirinya untuk memeluk Islam. 

Beberapa waktu kemudian, ia mengalami kejadian yang dimaknainya sebagai cara Allah mengabulkan doa. Malam itu, Eva bermimpi melihat seorang perempuan sholat di dekatnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia dapat memastikan bahwa wanita Muslimah tersebut adalah dirinya sendiri. 

“Aku melihat jelas, wajah perempuan itu yang sedang sholat adalah wajahku. Setelah tanda itu, aku memutuskan untuk bersyahadat,” ujarnya. 

Eva kemudian menceritakan pengalamannya itu ke pada seorang sahabat. Kawan dekatnya ini mendukung apa pun keputusannya. Hanya diingatkannya, setiap pilihan mengandaikan tanggung jawab. 

Pada pertengahan  2005, Eva sudah membulatkan tekadnya untuk berislam. Di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, dirinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Proses itu disaksikan seorang imam dan sejumlah jamaah serta beberapa temannya. 

Setelah bersyahadat, Eva tidak berani langsung berterus terang kepada kedua orang tuanya. Ia memilih untuk bercerita kepada adik ibundanya. 

Ia merasa, hanya bibinya itu yang sangat mendukung keputusannya. Meski terkejut, sang bibi bersyukur bahwa keponakannya telah memilih agama yang seiman dengannya. 

Beberapa bulan telah berlalu, Eva tetap menyembunyikan keislamannya. Ia masih khawatir apabila konflik terjadi di keluarganya. 

Sebagai seorang Muslimah, tentu saja mesti melak sanakan amalan-amalan yang wajib. Maka, Eva pun dengan intens belajar shalat. Begitu pula dengan berpuasa. Meski semua itu dilakukan secara sembunyi- sembunyi, ia dapat melakukannya dengan cukup baik. 

Saat sholat, ia memakai mukena yang dimilikinya sejak ma sih berusia anak-anak dahulu. Eva mengakui ukuran tu buhnya saat itu tidak berubah banyak sehingga mukena yang tersimpan rapi itu masih dapat digunakan. 

Lambat laun, kedua orang tuanya menaruh perasaan curiga. Sebab, tiap waktu azan berkumandang, putri mereka itu selalu pergi ke kamar mandi, masuk kamar, dan mengunci pintu. 

Begitu pula ketika orang- orang Islam melaksanakan ibadah Ramadhan. Eva selalu bangun pada waktu sahur. Ia pun baru makan ketika tiba waktu maghrib. 

Pada suatu hari, ibundanya menanyakan kejujuran nya. Putrinya itu pun menjawab dengan jujur, telah me meluk Islam. Ternyata, respons sang ibu tidak seantusias bibi. Barangkali penyebabnya, waktu itu ibu Eva telah memutuskan untuk mengikuti agama suaminya. 

Keyakinan adalah masalah hati setiap individu. Karena itu, Eva tidak bisa mencegah atau berkomentar tentang hal itu. “Aku hanya merasa sedih dalam hati. Di saat aku kembali ke agama Mama, justru beliau yang kini berbeda agama denganku,” tuturnya. 

Meskipun demikian, hubungan Eva dengan keluarga inti tetap baik-baik saja. Hingga dirinya bekerja dan memutuskan untuk menikah. Sejak itu, ia hidup mandiri dari kedua orang tua.

Setelah beberapa tahun menikah, Eva mendengar kabar bahwa seorang adiknya memutuskan untuk berislam. Beberapa waktu kemudian, istri adiknya itu pun memilih untuk menjadi mualaf, mengikuti jejak suaminya, tanpa paksaan siapa pun.  

Eva merasa, ini adalah hadiah yang Allah berikan kepadanya. Dengan begitu, di dalam keluarga ia tidak lagi merasa sendirian. Sebab, sang adik juga seiman dengannya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Clarence Seedorf Umumkan Menjadi Mualaf

Mantan pesepakbola asal Belanda, Clarence Seedorf mengumumkan bahwa dirinya telah memeluk agama Islam dan menjadi mualaf.Eks gelandang Ajax, Real Madrid dan AC Milan itu mengumumkan keputusannya itu di akun resmi Instagram miliknya.

Dia juga mengucapkan rasa terima kasih kepada semua orang yang memberikan dukungan atau ucapan selamat setelah masuk Islam.”Saya sangat gembira dan senang bergabung dengan semua saudara dan saudariku di seluruh dunia, secara khusus buat Sophia-ku tersayang yang sudah mengajariku tentang makna Islam dengan lebih mendalam,” tulis Clarence Seedorf di Instagram pada Sabtu (5/3/2022).

Lihat postingan ini di Instagram Sebuah kiriman dibagikan oleh Clarence Seedorf (@clarenceseedorf)

Sophia Makramati sendiri adalah adalah perempuan Kanada berdarah Iran yang dinikahi Clarence Seedorf dua tahun lalu.”Aku tidak mengubah nama saya dan akan terus memakai nama pemberian orang tua, Clarence Seedorf! Saya mengirimkan salam kasih sayang untuk semua orang di dunia,” tulis Seedorf.

Saat masih bermain sepak bola, Seedorf dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik ketika membela klub maupun timnas Belanda. Dia kemudian melanjutkan kariernya sebagai pelatih usai pensiun. Pria berusia 45 tahun tersebut sudah menangani sejumlah klub termasuk AC Milan dan timnas Kamerun.

IHRAM

Bagaimana Status Pernikahan Istri yang Mualaf?

Status istri yang mualaf dijelaskan oleh ulama.

Seorang wanita yang sudah menikah memutuskan untuk memeluk Islam. Kendati demikian suaminya tetap sebagai non Muslim. Lalu bagaimana status pernikahannya?

Wakil ketua umum Persatuan Islam (Persis) KH. Jeje Zainuddin menjelaskan bahwa status pernikahan seorang istri yang mualaf dengan suaminya yang tetap sebagai non muslim secara syariat terputus. Hal ini berlandaskan Alquran. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( surat Al Mumtahanah ayat ke 10).

“Jika seorang wanita telah menjadi muslimah, sedang suaminya tetap pada agama sebelumnya maka mereka secara hukum syariat telah terputus ikatan perkawinannya dan menjadi haram berhubungan suami istri hingga suaminya ikut menjadi muslim,” kata ustaz Jeje kepada Republika pada Ahad (13/2).

Lebih lanjut ia mengatakan jika kemudian suaminya memeluk Islam dan mantan istrinya belum menikah dengan yang lain maka keduanya dapat dipersatukan kembali.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i berkata bila istri masuk Islam sebelum suaminya maka jika  suami masuk Islam pada masa ‘iddahnya sang istri maka ia berhak atas istrinya. Bila suami masuk Islam sedangkan istrinya seorang ahli kitab maka pernikahannya tetap.

Pendapat ulama yang demikian berdasarkan pada sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa istri Sofwan bin Umayah yakni Atikah binti Al Walid bin Al Mughirah telah masuk Islam sebelum Sofwan, baru kemudian Sofwan menyusul masuk Islam. Maka Rasulullah menetapkan pernikahan keduanya, tidak memutuskannya. Para ulama berkata bahwa jarak antara masuk Islamnya sang istri dan masuk Islamnya Sofwan sekitar satu bulanan.

Ibnu Syihab mengatakan bahwa tidak ada riwayat yang datang kepada kami bahwa seorang istri yang hijrah kepada Rasulullah sementara suaminya tetap kafir dan tinggal di negeri kufur kecuali hijrahnya itu telah memisahkan sang suami dan istrinya, kecuali bila sang suami kemudian datang menyusul hijrah sebelum habis masa ‘iddah istrinya

Adapun apabila suami masuk Islam sebelum islamnya sang istri maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik berkata, bila suami masuk Islam sebelum istrinya maka terputus pernikahannya apabila sang suami telah menawarkan masuk Islam pada sang istri namun ia menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, sama saja apakah suami masuk Islam sebelum istri atau istri masuk Islam sebelum suami, bila pihak yang terakhir masuk Islam dalam masa ‘iddah maka pernikahannya tetap (tidak putus).

Sementara di dalam kitab Al-Muhadzdzab Imam As-Syairazi menuliskan Apabila salah satu pasangan suami istri penyembah berhala atau majusi masuk Islam atau seorang istri masuk Islam sedangkan suaminya seorang yahudi atau nasrani, maka apabila masuk Islamnya itu sebelum terjadinya persetubuhan maka saat itu putuslah pernikahannya. Namun bila masuk Islamnya setelah terjadi persetubuhan maka putusnya hubungan pernikahannya digantungkan pada masa selesainya idah. Bila pasangan yang lain (yang belum masuk Islam) masuk Islam sebelum selesainya masa ‘iddah maka keduanya tetap dalam pernikahan. Namun bila sampai dengan selesainya masa ‘iddah tidak juga masuk Islam maka (pernikahannya) diputuskan.

KHAZANAH REPUB:IKA

Mualaf Nana, Tertarik Masuk Islam Setelah Dengar Adzan Subuh

Muala Nana merasakan teduhnya panggilan adzan subuh

Fauzan Nana Sudiana terlahir dengan nama Rafael Nana Sudiana. Pria berumur 27 tahun itu lahir dan tumbuh di tengah keluarga Non-Muslim yang taat. Tak hanya keluarganya, namun lingkungan tempat tinggalnya juga mayoritas Non-Muslim.

Meski demikian, pria yang akrab disapa Nana itu memiliki banyak teman Muslim di luar lingkungan tempat tinggalnya. Karenanya, nuansa keislaman sudah tak asing baginya. Hatinya pun merasa syahdu setiap kali mendengar lantunan suara adzan, terutama adzan subuh. Ada kedamaian yang menelisik dalam ruang kalbunya. 

Hidayah Allah SWT pun datang. Semakin sering mendengar adzan, Nana semakin merasa tertarik pada Islam. Dia pun banyak bertanya pada teman-teman muslimnya mengenai Islam. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan Ustadz Syahri, yang menjadi pembimbing para mualaf di Yayasan Mualaf Ikhlas Madani Indonesia (Mukmin) Kabupaten Kuningan. 

Ustadz Syahri mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Nana tentang Islam. Hingga akhirnya, dia merasa mantap untuk memeluk Islam. Dengan dituntun Ustadz Syahri, dia mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Pilihan Nana untuk meninggalkan agamanya yang dulu dan beralih pada Islam tentu mendapat penolakan dari keluarganya. Meski demikian, dia tetap membulatkan tekad untuk tetap berpegang teguh pada agama Allah SWT.  

Untuk menghindari intrik dengan keluarga, Nana memutuskan meninggalkan rumahnya yang ada di Desa Rambatan, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Dia kemudian memilih tinggal di rumah singgah mualaf yang dikelola oleh Yayasan Madani Kabupaten Kuningan. 

Sudah setahun Nana tinggal di rumah singgah mualaf yang beralamat di Jalan Raya Babatan Bayuning, RT 04 RW 01 Desa Bayuning, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan. Di tempat tersebut, dia tinggal bersama beberapa orang mualaf lainnya, yang mengalami kondisi hampir sama dengannya. 

Meski demikian, Nana berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang tua dan keluarganya. Hal itu setelah dia mendapat nasihat dari Ketua Yayasan Madani Kabupaten Kuningan, Ade Supriadi. Walau berbeda keyakinan, Islam mengajarkan setiap anak untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tua.  

‘’Saya kemudian sering mengajak Pak Ade ke rumah untuk menemui ibu dan keluarga saya. Akhirnya mereka tahu bahwa Islam bukan seperti yang mereka pikirkan. Islam adalah agama yang damai dan penuh rahmat,’’ kata Nana kepada Republika.co.id, Kamis (20/1).  

Nana bersyukur, keluarganya akhirnya bisa menerima keislamannya. Meski memang, mereka masih belum mendapat hidayah untuk mengikuti jejaknya memeluk Islam 

Di rumah singgah mualaf itu, Nana belajar lebih dalam tentang akidah Islam. Dia juga belajar tentang pelaksanaan ibadah, termasuk solat dan mengaji. Setiap bakda Magrib, dia belajar membaca Alquran bersama para mualaf lainnya. 

Tak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara mandiri, para mualaf di rumah singgah juga memiliki aktivitas ekonomi. Mereka memilih berjualan, termasuk Nana. 

Nana berjualan angkringan yang diproduksi sendiri oleh para mualaf di rumah singgah. Selain nasi bakar, ada juga makanan lainnya khas angkringan, seperti nasi kucing, susu jahe, berbagai macam sate, kopi seduh dan lainnya. ‘’Alhamdulillah, walau sambil berjualan, saya tidak pernah ketinggalan untuk belajar agama,’’ tutur Nana. 

Semula, hasil penjualan angkringan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah singgah. Namun, pandemi Covid-19 yang berujung pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), telah memaksa usaha angkringan menjadi terhenti. 

Modal yang ada pun tergerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah singgah.

Kini, seiring membaiknya pandemi dan bergeliatnya ekonomi masyarakat, para mualaf membutuhkan bantuan modal untuk memulai kembali usaha mereka. ‘’Saya ingin sekali menambah modal untuk memulai usaha kembali,’’ tutur Nana. 

Selain berjualan angkringan, Nana juga sedang membuat produk kerajinan tangan yang nantinya bisa dijual. Namun untuk itu, dia kembali terbentur pada kesulitan modal. Dia berharap, ada uluran tangan dari para hamba Allah untuk membantunya dan para mualaf lainnya di rumah singgah agar bisa berdaya ekonomi. 

KHAZANAH REPUBLIKA