Politik Kebangsaan Ala Rasulullah

Politik adalah siasat. Politik adalah strategi. Hanya tinggal apakah siasat tersebut semata untuk meraih kekuasaan. Memenangkan satu kelompok saja. Atau lebih dari itu, siasat untuk mengatur kebaikan publik. Menghadirkan kemaslahatan masyarakat. Mewujudkan kebaikan bagi semua anak bangsa. Di titik terakhir ini, Baginda Nabi telah memberikan teladan. Jelas dan terang benderang. Persatuan, persamaan, saling hormat, dan bertindak adil adalah prinsip politik kebangsaan ala Rasulullah. 

Persatuan adalah salah satu kunci sukses dakwah Nabi Muhammad saw. Hal ini terekam jelas dalam sejarah Islam. Sesampainya Nabi hijrah di Yatsrib, banyak langkah strategis dan taktis yang dilakukan. Baik dalam rangka memperkokoh persatuan antar sesama Muslim ataupun dengan masyarakat Yatsrib lainnya. Di internal umat Islam, Nabi Muhammad saw menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin.

Di antaranya ialah dengan jalan pernikahan dan persaudaraan. Meskipun awalnya tidak memiliki garis keturunan, Nabi menjalinkan ikatan persaudaraan antar sesama sahabat. Satu dari sahabat Anshar dan satunya dari sahabat Muhajirin.

Sebagai misal adalah ikatan persaudaraan antara Abu Bakar al-Shidiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Ja’far bin Abu Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, dan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin al-Rabi’. Selain melakukan pertalian persaudaraan, Nabi Muhammad saw juga menekankan pentingnya untuk selalu menjaga tali persaudaraan yang telah ada. Meskipun beda ras dan golongan.

Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), Rasulullah saw menandaskan bahwa seorang Muslim itu satu dengan yang lainnya adalah saudara. Karena itu, janganlah ia menzaliminya atau membiarkannya terzalimi. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang membantu menghilangkan kesulitan yang dialami saudaranya, maka Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang menimpanya di hari kiamat. Siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat. 

Nabi Muhammad saw juga mempelopori persatuan seluruh kabilah yang hidup di Madinah. Perbedaan golongan, suku, dan agama tidak menghalangi untuk bersatu menjaga keamanan kota Madinah. Ikatan persatuan ini tertuang dalam perjanjian Piagam Madinah. Masing-masing agama dan kepercayaan dijamin keamanan dan kebebasannya. Tidak diperkenankan untuk saling cibir dan mengganggu. Apalagi saling bermusuhan dan berperang.

Dalam banyak riwayat hadits, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw juga memiliki hubungan baik dengan beberapa tokoh Yahudi. Di antaranya ialah Mukhairiq dan Abu Syahm. Mukhairiq adalah tokoh Yahudi yang ikut dalam perang Uhud. Bahkan gugur dalam perang yang sengit ini. 

Dikisahkan bahwa saat itu Mukhairiq sempat berpesan, seandainya ia gugur dalam peperangan, maka kebun kurma miliknya harus diberikan kepada Nabi. Benar adanya, dalam kecamuk perang Uhud, Mukhairiq gugur. Kebun kurmanya lantas diserahkan kepada Nabi. Mendengar berita gugurnya Mukhairiq, Nabi Muhammad saw bersaksi bahwa Mukhairiq adalah sebaik-baiknya Yahudi.

 Demikian halnya Abu Syahm, Nabi juga menjalin hubungan baik. Salah satunya ialah Nabi Muhammad saw menggadaikan baju perang kepada Abu Syahm. Baju perang Nabi digadai dengan 30 sho’ gandum. Hingga wafatnya Nabi, baju perang itu masih tergadaikan di sisi Abu Syahm. Baru kemudian Sayidina Ali bin Abi Thalib ra.  yang menebusnya. Kisah ini terdapat dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim (204-261 H).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَنَّ النَّبِيَّ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ (رواه البخاري) 

Artinya: Diriwayatkan dari Sayidah ‘Aisyah ra, sesungguhnya Nabi Muhammad saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perangnya (H.R. Muslim)

Beberapa kisah ini merupakan contoh nyata bahwa Nabi Muhammad saw mengutamakan persatuan. Perbedaan suku, kabilah, bahkan agama tidak menjadi halangan untuk saling bekerja sama. Khususnya untuk membangun peradaban bersama. Mewujudkan bangsa yang adil dan harmoni.

Tidak pelak, dengan prinsip politik ini, dalam waktu yang relatif singkat, yakni 10 tahun, Nabi mampu menorehkan peradaban baru. Membumikan pesan-pesan mulia agama dalam kehidupan masyarakat kota Madinah dan sekitarnya. Setelah 14 abad berselang, suri teladan apa yang dapat kita petik dari prinsip politik kebangsaan beliau? Terlebih untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia?

Persatuan di Tengah Keragaman

Bagi bangsa Indonesia, tahun ini, 2023 adalah tahun politik. Puncaknya 2024 nanti. Untuk melewatinya, tentu butuh kesadaran bersama. Termasuk sadar untuk mengedepankan politik kebangsaan. Bukan semata politik kekuasaan. Tak dapat dimungkiri bahwa Pemilu 2019, terasa berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Keterbelahan sosial yang terjadi di masyarakat tampak lebih menganga. Terlebih jika dilihat dari perseteruan antar pendukung dua kubu di media sosial. Istilah cebong dan kampret deras mengalir dipertukarkan. Padahal dua istilah ini tidak pantas disematkan untuk sesama anak bangsa. Selain itu, dalam beberapa kesempatan, saling ejek, saling usir, bahkan saling baku hantam sempat terjadi.

Sudah barang tentu, hal ini patut disayangkan. Di tengah proses pematangan demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, budaya politik sebagian elit dan masyarakat ternyata belum begitu matang. Tak pelak, ragam cara masih dilakukan untuk mendapatkan legitimasi, seraya mendelegitimasi pihak lain.
Tak terkecuali adalah eksploitasi isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Perbedaan suku, agama, dan ras yang sedari awal menjadi kekayaan bangsa Indonesia berubah menjadi mesiu untuk bermusuhan. Jika sesama anak bangsa tidak segera berbenah, tidak menutup kemungkinan ironi ini akan terulang di pemilu-pemilu selanjutnya. Termasuk Pilpres 2024 nanti. Imbasnya, persatuan Indonesia akan terkoyak dan melemah. 

Memudarnya persatuan Indonesia merupakan sinyal buruk bagi masa depan kemajuan bangsa. Tanpa persatuan, berat rasanya generasi penerus bangsa mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Hal ini tentunya bertentangan dengan teladan politik kebangsaan Nabi Muhammad saw di atas. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Kesemuanya mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah, suri teladan terbaik bagi umat. Di titik inilah peran cendekiawan, ulama, dan agamawan sangat penting. Ulama yang menjadi panutan umat harus mampu menjadi garda terdepan dalam membina persatuan dan keutuhan bangsa. Mengarusutamakan politik kebangsaan.

Seharusnya, keberhasilan Nabi dalam mengokohkan persatuan antar sesama Muslim di atas menjadi panduan dan oase inspirasi. Demikian pula, kepeloporan Nabi Muhammad saw dalam mewujudkan persatuan masyarakat Yatsrib. Jika dibandingkan, terdapat kemiripan antara keragaman kota Yatsrib dengan keragaman suku dan agama di Indonesia. Jika keragaman di Yatsrib disatukan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinah, maka sudah benar adanya jika keragaman Indonesia disatukan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.

Inspirasi Politik Baginda Nabi

Semestinya bangsa ini mencoba membaca kembali gagasan-gagasan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Mereka meninggalkan bekal untuk bangsa ini berupa Pancasila. Dengan kelima silanya, Pancasila merupakan formula yang tepat untuk merekatkan kemajemukan yang ada di negeri ini.

Pada dasarnya, bangsa Indonesia sedari awal mengambil sikap bijaksana, seperti keserasian tanpa menghilangkan kreativitas seseorang, kesediaan mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, tanpa mengharapkan imbalan. Prinsip ini merupakan terjemahan bebas dari pepatah Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe”.

Karena adanya sikap yang demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia seharusnya menjadi bangsa pecinta perdamaian dan ramah. Baik dengan sesama anak bangsa atau dengan bangsa lain.

Keragaman tidak harus diseragamkan. Perbedaan tidak harus dihilangkan. Akan tetapi harus dibingkai dengan semangat persatuan. Bentuk implementasi dari dasar negara kita yaitu Pancasila, khususnya sila ketiga. Persatuan Indonesia.

 Di satu sisi, bijak menyikapi keragaman merupakan bukti kuatnya keimanan. Allah ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur’an bahwa sudah menjadi sunnatullah manusia diciptakan dalam keragaman suku dan ras. Hanya saja, keragaman ini bukan untuk saling bertikai dan bermusuhan, akan tetapi agar saling mengenal dan belajar. Ujungnya adalah saling menopang untuk bekerja sama mewujudkan kebaikan bersama.

Allah swt berfirman dalam al-Quran, surat al-Hujurat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: 13)

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Al- Hujurat: 13)

Seperti yang ditegaskan oleh Muhammad  Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah bahwa ayat 13 surat al-Hujurat adalah pedoman mengenai prinsip dasar hubungan antar manusia. Hal ini didasari pada penggunaan panggilan yang ditujukan kepada manusia dari segi jenisnya, bukan dengan atribut panggilan lainnya.

Setelah memahami manusia sebagai makhluk yang setara dan keutamaan dirinya dilihat dari ketakwaan kepada pencipta-Nya, sudah selayaknya kita sebagai manusia yang hidup dalam sebuah negara menempatkan diri secara adil. Kita bersikap dan bertindak untuk mewujudkan tatanan yang mengarah kepada persatuan.

Kisah-kisah heroik Rasulullah saw di awal tentu bukan sebatas cerita pengantar tidur, tetapi ada nilai-nilai yang bisa kita ambil. Yakni tentang bagaimana menyikapi keragaman. Siasat menjalin tenun keragaman bangsa. Mengutamakan persatuan dan memberikan keadilan bagi semua.

Ujungnya, dapat menumbuhkan sikap menerima satu dengan yang lainnya. Sehingga bisa menumbuhkan semangat kebersamaan. Semangat mengokohkan persatuan untuk kemajuan dan peradaban bangsa. Di titik inilah, politik kebangsaan ala Rasulullah penting kita jadikan sebagai inspirasi bersama.

Demikian penjelasan tentang politik kebangsaan ala Rasulullah. Semoga praktik politik kebangsaan ala Rasulullah ini memberikan manfaat.

BINCANG SYARIAH

Resep Atasi Dengki

bertawakallah seorang hamba dapat menampik tindakan lalim atau kebencian.

Mushthafa al-Adawi dalam karyanya yang berjudul, Fiqh al-Hasad memaparkan beberapa solusi dan cara sederhana guna mengikis kedengkian dalam diri seseorang. Ingat, bertawakallah selalu.

Karena, ungkap Ibnu al-Qayyim, hanya dengan bertawakallah seorang hamba dapat menampik tindakan lalim atau kebencian akan seseorang. Jika memosisikan Allah sebagai satu-satunya pelindung, sejauh itu pula penjagaan akan selalu ada.

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS at-Thalaq [65]: 3).

Sebagai langkah antisipasi, jangan sesekali menceritakan apalagi sengaja memanas-manasi ‘si pendengki’ dengan kisah-kisah tentang nikmat dan anugerah yang Anda peroleh.

Memang, ada anjuran untuk menceritakan nikmat, tetapi tak selamanya niat baik itu tepat sasaran. Inilah mengapa Nabi Ya’qub AS melarang putranya, Yusuf AS, mengisahkan mimpi yang dialami putra kesayangannya tersebut kepada segenap saudaranya. (QS Yusuf [12]: 5).

Larangan ini juga seperti ditegaskan dalam hadis Abu Qatadah riwayat Bukhari dan Muslim. Rasulullah SAW melarang menceritakan mimpi baik, kecuali kepada orang yang ia percayai.

Resep membendung rasa dengki selanjutnya, menukil dari pernyataan Ibn al-Qayyim, bersikap cuek dan berusaha membersihkan pikiran dari tingkah laku pendengki. Biarkan seperti angin lalu saja. Bahkan, akan sangat baik bila Anda membalas perlakuan buruk itu dengan tindakan baik. Memadamkan api kedengkian itu dengan balasan berupa perbuatan terpuji. “Tetapi, ini sangat sulit,” kata Ibn al-Qayyim.

Dan terakhir, selalu berlindunglah kepada Allah SWT hasutan orang-orang pendengki, entah mereka yang berada jauh dari Anda, ataupun yang dekat dengan Anda sekalipun. “Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS al-Falaq [113]: 2)

 

MOZAIK REPUBLIKA

Rasulullah Larang Bencana Alam Dikaitkan Politik

KALAU Allah memberikan bencana alam seperti di Lombok (NTB), Palu (Sulteng), dan kini di Banten, Lampung (Selat Sunda), hanya karena urusan politik, maka sesuai QS. an-Nahl ayat 61, Allah juga akan memberikan gempa kepada seluruh manusia.

Berikut di bahwa ini sekilah sejarah fenomena alam di masa para nabi.

Suatu hari, masyarakat Arab berkerumun, mereka sedang membincangkan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu gerhana matahari. Perbincangan orang Arab saat itu, jika terjadi gerhana matahari, maka hal itu sangat berkaitan dengan kematian seorang pembesar. Inilah yang menjadikan perbincangan di kalangan masyarakat Arab saat itu semakin mempercayai bahwa mitos tentang gerhana itu benar adanya.

Mendengar desas-desus yang terjadi di kalangan masyarakat Arab saat itu, Rasul kemudian bersabda:

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah, keduanya tidak gerhana karena kematian atau lahirnya seseorang, jika kalian melihatnya (gerhana) maka laksanakanlah salat.

Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa fenomena Alam dan bencana yang terjadi, sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan duniawi, termasuk kematian seorang pembesar pada saat itu, begitu pula dengan urusan politik, khususnya yang terjadi saat ini.

Hal ini ditegaskan juga oleh Ibn Hajar al-Asyqalani dalam Fathul Bari-nya bahwa fenomena Alam, sama sekali tidak berkaitan dengan urusan apapun terkait duniawi. Fenomena alam yang terjadi adalah bentuk kebesaran Allah, yang harus diikuti dengan ketauhidan dan muhasabah diri.

Jika kasus dalam hadis tersebut diqiyaskan dengan kasus bencana di Indonesia, maka sama sekali tidak ada kaitannya gempa dengan pilihan politik di Tanah Air menjelang Pilpres 2019. Hal ini justru dilarang oleh Rasulullah SAW, mengaitkan bencana Alam dengan urusan duniawi, termasuk pilihan politik.

Memang dalam kasus nabi-nabi terdahulu, Allah memberikan azab kepada umat nabi tertentu karena menyekutukan Allah dan melanggar perintah-Nya. Hal ini termaktub dalam Surat Ali Imran ayat 56:

“Adapun orang-orang yang kafir, maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.”

Bahkan untuk orang kafir pun, Allah menjadikan azab atau musibah dalam ayat tersebut sebagai sarana untuk bersabar, bukan sebagai hukuman atas hal yang ia lakukan. Hal ini ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaibnya:

“Karena sesungguhnya ayat (Ali Imran 56, untuk orang kafir) bukan menjadi hukuman, melainkan hanya ujian. Sedangkan argumentasi yang menyebutkan hal itu adalah bahwa Allah memerintahkan semua orang untuk bersabar atas semua musibah, rida dan berpasrah. Dan hal ini tidak berkaitan dengan hukuman.”

Menurut al-Razi, jika orang kafir diberikan hukuman di dunia, maka akan bertentangan dengan Surat an-Nahl ayat 61, yang menyebutkan bahwa jika Allah menghukum seluruh manusia di Bumi, niscaya tidak akan ada sesuatu yang terlepas dari azab-Nya.

“Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada makhluk yang ditinggalkan-Nya.”

Bagi al-Razi, kata lau dalam ayat di atas adalah berfaidah intifaus syai lintifai ghairihi, yakni jika kata lau itu dihilangkan, maka artinya Allah tidak akan meemberikan hukuman (azab) kepada seseorang secara langsung di bumi. Karena jika Allah memberikan azab, maka semua orang yang ada di bumi ini akan mendapatkannya.

Surat Ali Imran: 56 di atas, menurut al-Razi juga bertentangan dengan Q.S. Ghafir: 17, yang menjelaskan bahwa semua kesalahan yang dilakukan manusia akan diberikan balasannya di akhirat kelak, bukan di dunia:

“Pada hari itu (kiamat) Allah akan memberikan balasan kepada setiap jiwa atas segala hal yang telah dilakukan.”

Nah, jika orang kafir saja tidak diberikan hukuman secara langsung di dunia atas kekafirannya, bagaimana dengan orang yang jelas-jelas beriman kepada Allah?

Perbedaan pandangan politik memang bukan merupakan hal baru. Lima belas abad yang lalu, generasi Islam awal juga pernah mengalaminya, tepatnya pada masa Ali versus Muawiyah. Namun, sampai sekarang kita belum pernah mendengar atau membaca literatur keislaman yang menjelaskan bahwa kelompok Ali tertimpa bencana gempa bumi, gunung meletus, atau bencana lain, begitu pula kelompok muawiyah.

Jika ada orang-orang mengira kalau bencana di Indonesia sebagai hukuman karena urusan politik saat ini, maka jika mengikuti QS. an-Nahl ayat 61 di atas, seluruh manusia, juga akan mendapatkan azab yang sama. Wallahu Alam.

 

 

Pesan Perdamaian untuk para Politikus

SUDAH saatnya para tokoh bisa menjadi bisa menjadi lebih bijak, lebih matang, lebih arif, dan juga lebih mementingkan kebersamaan.

Jangan sampai karena ada fenomena Pilpres kita malah menuhankan Pilpres. Pipres itu cuman sebuah episode dalam hidup kita. Memang benar Pilpres itu penting, tapi itu bukanlah segala-galanya. Jangan sampai karena Pilpres kita mengorbankan akhlak, mengorbankan akal sehat, mengorbankan ukhuwah kita, dan juga mengorbankan kebersamaan kita.

Seharusnya Pilpres ini adalah bentuk fastabiqul khoirot. Yaitu berlomba-lomba dalam berniat baik dan juga melakukan yang terbaik, karena itulah yang menjadi pemenangnya.

Siapapun yang jadi presiden, hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah yang berhak menentukannya. Tapi yang berniat dan bersikap baik itulah yang dapat diraih untuk menjadi pemenangnya. [*]

 

KH Abdullah Gymnstiar

INILAH MOZAIK

Jamaah Masjid Diminta Waspadai Informasi Hoaks

Jamaah masjid khususnya dan masyarakat nelayan umumnya diminta menjaga persatuan guna mewujudkan keamanan serta ketertiban lingkungan. “Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar di tengah masyarakat, namun tetap harus menjunjung tinggi persatuan,” katanya Kasat Polair Polres Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, AKP Elpiadi J kepada jamaah Masjid Arrokiin Pelabuhan di Sungailiat, Kamis (27/9)

Dia mengatakan, dipilihnya salah satu masjid di Pelabuhan untuk kegiatan itu diharapkan jamaah masjid dapat menyampaikan kembali ke masyarakat umum lainnya yang sebagian besar adalah nelayan.

Tertanamnya jiwa persatuan dan kesatuan masyarakat memudahkan terwujudnya program pemerintah guna kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, katanya.

Dia mengingatkan, jamaah masjid dan masyarakat agar bijak menyikapi informasi dari pihak manapun, jangan mudah mempercayai informasi hoaks yang belum tentu kebenarannya.

“Jangan mudah percaya dengan informasi yang tidak jelas sumbernya karena akan mengakibatkan suatu hal yang tidak diinginkan, lebih baik ditanyakan dulu kebenaran informasi tersebut dengan pihak yang mengetahuinya,” jelasnya.

Khususnya bagi nelayan, dia mengingatkan agar mengedepankan keselamatan kerja dengan melengkapi kelengkapan keselamatan di kapal penangkapan ikan.

“Saya melihat masih banyak kapal nelayan penangkapan yang belum dilengkapi dengan peralatan keselamatan seperti, tabung pemadam kebakaran, jaket pelampung dan peralatan keselamatan lainnya,” katanya.

Hukum Meminta/Mencalonkan Jabatan Diri Sendiri

HUKUM asalnya minta jabatan tidak dibenarkan dan bukan akhlak terpuji, banyak hadis-hadis yang berbicara tentang buruknya orang yang meminta jabatan. Namun permasalahannya tidak dipukul rata begitu saja kepada orang yang ingin mencalonkan diri atas jabatan tertentu seperti mencalonkan dalam pilkada.

Sebab larangan tersebut berlaku kepada orang yang benar-benar menjadikan kedudukan semata sebagai tujuannya dan hanya untuk kepentingan diri dan dunianya saja, sementara di sisi lain ada orang lain yang lebih cocok dan lebih layak memegang jabatan tersebut.

Adapun jika seseorang mencalonkan diri, karena dipandang tidak ada orang lain yang cakap dalam masalh tersebut, atau ada kekhawatiran calon lain yang dikenal dapat membahayakan bagi kaum muslimin atau masyarakat secara umum, yang akan merebut kekuasaan tersebut, atau karena dia didorong oleh masyarkat atau kelompok atau partai karena dikenal kecakapannya bukan semata keinginan pribadinya.

Intinya kekuasaan baginya adalah sarana untuk melakukan kebaikan maka insya Allah hal tersebut tidak termasuk dalam larangan yang dimaksud dalam hadis-hadis yang ada.

Karena sering dalam masalah ini kita berada dalam kondisi dilematis. Kekuasaan jika dibiarkan akan direbut oleh orang yang tidak baik, sementara ada larangan mengejar kekuasaannya. Maka para ulama mengajarkan untuk memilih yang paling ringan mudaratnya.

Ini juga merujuk kepada kisah Nabi Yusuf alaihissalam yang menawarkan diri untuk menjadi bendahara kerjaaan Mesir karena merasa dirinya mampu menunaikan amanah tersebut sebagaimana tercantum dalam surat Yusuf ayat 55.

Wallahu a’lam. [Ustaz Abdullah Haidir]

 

sumber:MozaikInilahcom

KH. Cholil Ridwan: Ulama Harus Sadarkan Umat Pentingnya Politik

Anggota Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah, KH. Cholil Ridwan menyatakan, ulama sebagai pewaris tugas dan fungsi Nabi dinilai tidak hanya memimpin ibadah saja tetapi juga memimpin Negara dan bangsa.

Ia mencontohkan, nabi Sulaiman yang seorang raja, dan nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang juga sebagai pemimpin pemerintahan.

“Makanya yang mewarisi beliau itu ulama yang namanya Abu Bakar, Umar, Usman, Ali yang mereka juga seorang khalifah,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Jakarta belum lama ini.

Jika di Indonesia, Cholil menyebutkan, sosok ulama yang juga pemimpin seperti para pahlawan dahulu yang tidak hanya menyerukan ajaran Islam tetapi juga terdepan memimpin perang terhadap penjajah.

Menurutnya, bukan berarti mengesampingkan ulama yang hanya bergerak di pengajian, majelis dzikir, tabligh akbar, khutbah dan sebagainya.

“Bukannya tidak penting, itu penting. Tapi orientasinya lebih ke akhirat, sedangkan soal ekomomi, politik dan lainnya luput,” ungkapnya pada Jum’at (11/03/2016).

Cholil mengumpamakan, walaupun membangun seribu pesantren, seribu masjid, seribu majelis taklim, tidak akan banyak merubah nasib umat Islam.

“Bukan tidak baik, itu tetap perlu. Tapi kalau ingin berubah, ya yang paling signifikan lewat politik, ulama harus ngajarin politik,” tukas ulama Betawi ini.

Selama ini, terang Cholil, masih sebagian kecil saja ulama yang menyerukan tentang pentingnya politik bagi umat. Ia juga menghimbau agar tema khutbah tidak selalu berdimensi akhirat semata.

“Sekarang semuanya harus turut mencerahkan umat soal politik ini. Ulama jangan hanya khutbah soal akhirat tapi abai terhada persoalan agar terwujudnya Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur,” pungkasnya.

 

sumber: Hidayatullah