Urutan Sedekah

Sayyid Sabiq menyebutkan orang yang paling layak menerima sedekah.

Sedekah merupakan salah satu ajaran dalam Islam untuk membantu orang lain. Lalu, siapa yang paling layak untuk menerima sedekah?

Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang berjudul Fiqh Sunnah menyebutkan orang yang paling layak menerima sedekah ialah anak-anaknya, keluarga dan kaum kerabatnya. Tidak diperbolehkan sedekah kepada orang lain jika orang tersebut memerlukan untuk nafkah hidup dirinya dan keluarganya.

Dijelaskan dari hadits riwayat Ahmad dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu miskin, hendaklah dimulai dengan dirinya. Dan jika dalam itu ada kelebihan, barulah diberikannya buat keluarganya. Lalu bila ada kelebihan lagi, maka buat kaum kerabatnya” atau sabdanya “buat yang ada hubungan kekeluargaan dengannya. Kemudian bila masih ada kelebihan, barulah untuk ini dan itu”

Hadits lain mengatakan, akan mendapatkan dosa besar jika seseorang tersebut menyia-nyiakan tanggungannya. Riwayat Muslim dan Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Cukup besarlah dosa seseorang jika ia menyia-nyiakan tanggungannya.”

Sabda Rasullah yang juga mengatakan bahwa paling utama sedekah diberikan kepada kaum kerabatnya.  “Sedekah yang paling utama ialah sedekah kepada kaum kerabat yang memendam rasa permusuhan.” (HR Tabhrani)

KHAZANAH REPUBLIKA

Rahasia Sederhana Peroleh Panjang Umur Menurut Islam

Islam memberikan resep sederhana agar kita bisa memperoleh umar panjang.

Seseorang bisa berumur panjang meski usianya pendek jika selama hidupnya gemar berbuat baik. Sebaliknya, seseorang berumur pendek meski usia hidupnya lama karena sedikitnya amal kebaikan selama hidupnya. 

Menurut Dr Muhammad Mahmud Abdullah dalam bukunya Asbab Thulil `Umr, ajal Allah itu terbagi dua. Pertama, ajal yang ditentukan. Kedua, ajal yang ditangguhkan (dikurangi atau ditambah sesuai kehendak-Nya). Allah SWT berfirman: 

أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ  

“Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai batas waktu yang ditentukan.” (QS Nuh [71]: 3-4).

Selanjutnya Dr Mahmud menyebut enam rahasia panjang umur. Pertama, beriman kepada Allah SWT. Keimanan berarti optimisme hidup. Riset kesehatan membuktikan, seorang yang optimistis menghadapi hidup biasanya berusia panjang daripada mereka yang pesimistis dan penuh kerisauan jiwa.

Dale Carnegie memberi contoh, pernah ada seorang yang berpenyakit akut divonis dokter hidupnya tinggal satu bulan lagi. Ia kalut dan panik menunggu hari-hari kematiannya.

Alih-alih terus larut dalam kesedihan, ia lalu menikmati sisa-sisa hidupnya justru dengan keceriaan dan tidak menghiraukan vonis itu. Hasilnya sungguh ajaib, hidupnya ternyata bisa jauh lebih panjang dari perkiraan sang dokter!

Kedua, gemar berbuat baik. Ketiga, silaturahim, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, perpanjanglah silaturahim.” (HR Bukhari). Keempat, zikir dan tasbih. Zikir merupakan bukti bersihnya hati.

Demikian pula ajal suatu bangsa. Sejarah menjadi saksi kebinasaan kaum-kaum yang ingkar pada ajakan kebenaran para nabi. Kaum `Ad, Tsamud, dan kaum Nuh menjadi sepenggal kisah kegetiran manusia.

Keselamatan perahu Nuh AS yang ditumpangi orang-orang beriman, simbol lugas bahwa hanya orang-orang berimanlah yang kelak selamat dari azab Allah SWT.

Kekufuran akan mengantarkan siapa pun pada kebinasaan. Sebagaimana doa Nabi Nuh AS: رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS Nuh [71]: 26).  

Naskah karya Yusuf Burhanuddin didokumentasikan Harian Republika 2007 

KHAZANAH REPUBLIKA


Pahala Infak Melimpah Ruah, Apalagi untuk Jihad Agama Allah

Pahala infak untuk menegakkan syiar agama Allah SWT akan berlipat ganda.

Jihad di jalan Allah SWT begitu besar pahalannya. Pahala jihad akan dilipat gandakan ratus ribuan kali lipat ketika berinfak sambil berjihad.  

Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam kitabnya “Hayatus Sahabah” mengatakan bahwa Thabrani meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra, Rasulullah SAW bersabda: 

“Berbahagialah orang yang memperbanyak berdzikir kepada Allah saat berjihad di jalan Allah.  Karena sesungguhnya, untuk setiap kalimat yang diucapkannya, akan dikaruniai pahala sebanyak 70 ribu kebaikan. Setiap kebaikan akan digandakan 10 kali lipat dan di sisi Allah masih terdapat tambahannya.”

Maka dikatakan kepada Rasulullah SAW, “wahai Rasulullah! Bagaimana kalau infak?” Rasulullah menjawab “infak mendapat pahala seperti itu juga.”

Abdurrahman berkata: “Aku berkata kepadamu Muadz, sesungguhnya infak yang dilakukan akan digandakan 700 kali lipat. 

Muadz berkata, “Amat rendah kepahamanmu! Itu adalah ganjaran untuk orang yang berinfak, sedangkan mereka duduk di rumah tanpa keluar menyertai perang. Apabila mereka keluar berperang dan berinfak. Allah akan memberi ganjaran dari Khazannah-Nya yang tidak diketahui oleh para hamba-Nya dan tidak bisa diungkapkan oleh mereka. Mereka adalah golongan Allah dan golongan Allah lah yang akan berjaya.”

Al-Haitsami berkata dalam sanadnya terdapat seorang laki-laki yang tidak disebut.  

Diriwayatkan al Qazwini  secara majhul dan mursal sebagaimana tersebut dalam Jamul Fawaid dari Hasan, dari Ali, Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Umamah, Ibnu Amr Bin al-‘ash, Jabir dan, Imran bin Hushain  mereka semua memarfu’kannya (hadits marfu’).  

“Barangsiapa yang mengantarkan infak di jalan Allah dan tinggal di rumahnya, maka untuk setiap di dirhamnya akan digandakan pahalanya sebanyak 700 diram. Barangsiapa yang berperang dijalan Allah dan berinfak semata-mata karena Allah maka untuk setiap dirham akan digandakan pahalanya sebanyak 700 ribu dirham. Kemudian beliau membaca ayat berikut. 

وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Berinfak dan berjihad telah dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, al-Abbas Said bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah, Ashim bin Adi dan banyak sahabat lainnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Berobat dengan Tahajjud dan Sedekah, Bagaimana?

TANYA: Ustaz, saya pernah mendengar penceramah yang mengatakan, ibadah sunnah dalam Islam mempunyai nilai penyembuhan terhadap penyakit. Benarkah demikian? Mohon penjelasannya. Jazakallah.

JAWAB: Benar apa yang Anda katakan bahwa ibadah dalam Islam mempunyai unsur  pengobatan atau penyembuhan. Sebelumnya pernah saya jelaskan bahwa thibbunnabawi sifatnya holistik atau menyeluruh, artinya ketika seseorang sedang sakit yang diperhatikan dan diperbaiki tidak hanya badannya, namun sisi spiritualnya pun perlu diperbaiki. Contohnya tahajud dan sedekoh yang dijadikan bagian dari amalan untuk proses penyembuhan.

Rasulullah SAW amat menganjurkan untuk melakukan Qiyamul Lail. Beliau bersabda: “Hendaklah kalian melaksanakan Qiyamul lail karena sesungguhnya Qiyamul lail adalah kebiasaan baik orang-orang shalih sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, pelebur dosa-dosa kalian, penghalang dari dosa, serta mengusir penyakit dari tubuh.” (HR. Muslim).

Yang dijadikan dalil dan hadits: “Mengusir penyakit,” yakni penyakit dari tubuh. Dan jika orang yang sakit tidak mampu untuk melaksanakan shalat tahajjud dengan berdiri, maka hendaklah dia melaksanakanya dengan duduk atau sambil berbaring. Dan pahalanya niscaya ditulis secara sempurna.

Pengobatan dengan Sedekah

Diriwayatkan dari Abu Ummah bahwa Nabi bersabda: “Obatilah orang sakit di antara kalian dengan sedekah.” hadits ini disebutkan dalam kitab Sahih Al-Jaami’.

Ibnu Syaqiq berkata: “Aku mendengar ‘Abdullah bin Mubaraq ketika ditanya oleh seseorang tentang luka bernanah yang keluar terus menerus dilututnya sejak 7 tahun. Ia sudah mengobatinya dengan berbagai macam pengobatan serta sudah bertanya kepada ahli kesehatan (tabib/ dokter), namun tidak ada yang bermanfaat. Maka Abdullah bin Mubarak berkata kepada orang tersebut: ‘pergilah, lalu galilah sumur di suatu tempat yang manusia membutuhkan air sumur tersebut. Sebab, aku berharap akan memancar mata air  dari sana dengan amalmu. Hal itu akan menghentikan darahmu. Maka orang tersebut melakukan apa yang dikatakan ‘Abdullah bin Mubarak sehingga ia pun sembuh dari penyakitnya.“ Kisah disebutkan di dalam kitab At-Targhiib wat Tarhiib.

Syaikh Muhammad bin Shalih As-sahibni seorang qadhi di Mahkamah (pengadilan) di daerah Qashim bercerita secara ringkas bahwa ada seseorang yang penduduk Qashim yang terkena penyakit kanker. Lalu orang tersebut bersedekah kepada para ibu anak-anak yatim, sehingga mulailah para ibu tersebut mendoakan kepada orang yang bersedekah sehingga Allah ta’ala menyembuhkan dari penyakitnya tersebut.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perintahnya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah!’ maka terjadilah ia.“ (QS.Yaasiin: 82).

Semoga jawaban yang diberikan bermanfaat bagi semua pembaca. Wallahualam. []

ISLAMPOS




                       

Berqurban atau Bersedekah Bantu Saudara, Mana Didahulukan?

Berqurban atau bersedekah harus dilihat variabelnya tak bisa digeneralisasi.

Terkadang seseorang menghadapi dua pilihan, antara bersedekah atau berqurban. Lalu manakah yang yang harus didahulukan?

Dewan Syariah Pusat Zakat Umat, Ustadz Jeje Zainudin mengungkapkan, masing-masing ibadah memiliki keistimewaannya sendiri.

“Satu ibadah dengan yang lain memiliki aspek keistimewaan yang berbeda. Sedekah mempunyai keistimewaan sendiri, berqurban juga memiliki keistimewaan,” kata Jeje dalam diskusi webinar bertajuk “Urgensi Qurban di tengah Pandemi Covid-19″, pada Jumat (3/7) sore.

Namun jika harus memilih di saat ingin berqurban ada saudara atau kerabat yang membutuhkan uang. Jika mampu maka tunaikanlah keduanya, akan tetapi jika jumlah uang yang dimiliki terbatas, maka pilih yang paling bermanfaat.

“Pilih yang paling manfaat, maslahat, dan paling dibutuhkan seseorang. Ketika yang dibutuhkan adalah makanan yang bergizi, maka yang lebih utama adalah sembelih hewan qurban, apabila dibutuhkan uang tunai maka itu didahulukan. Tidak bisa digeneralisasi,” ucap Jeje.

Di samping itu, terdapat keistimewaan berqurban di tengah pandemi Covid-19. Dalam masa ini, sebagian besar orang mengalami kesulitan secara ekonomi, namun mereka yang tetap berqurban dalam kondisi yang sempit akan menjadi sebuah keistimewaan.

“Ibadah qurban memiliki pahala yang besar dibanding pada situasi normal. Besarnya amal ditentukan dalam situasi kondisi sulit, serta besarnya kebermanfaatan yang didapat oleh seseorang. Yang menentukan nilai dan kualitas, semakin berat dan luas kemanfaatanya, maka semakin besar pahalanya,” kata Jeje.

عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلا تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلانٍ كَذَا وَلِفُلانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلانٍ”

Dalam sabda Rasulullah SAW, ketika beliau ditanya, “Sedekah bagaimanakah yang paling utama?”, beliau menjawab, “Engkau bersedekah di saat kamu dalam keadaan sehat dan cinta harta, banyak keinginan dan takut miskin. Serta tidak menangguhkannya sampai nyawa di kerongkongan, kemudian mengatakan, “Ini untuk si fulan, dan itu untuk si fulan”. Padahal memang itu sudah jatah si fulan dan si fulan).” (mutafaq alaih).

Semakin berat suatu ibadah dilakukan, dan semakin luas kemanfaatannya, maka semakin besar pula pahalanya. Sesuai dengan kaidah, besaran balasan sesuai dengan besaran beban cobaan.

KHAZANAH REPUBLIKA


Jihad yang Paling Utama

Mari berjihad menyelamatkan akidah saudara-saudara kita  dengan harta kita. 

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. 61:10-12)

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (QS. 61:11)

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Na’im, “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”

Keadaan seseorang yang serba kekurangan dapat menggodanya untuk melakukan kemaksiatan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Dalam masyarakat, bisa saja terjadi seorang suami yang miskin melakukan perampokan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Bisa pula terjadi, seorang ibu yang miskin karena tekanan ekonomi menjual diri demi menghidupi anak-anaknya.

Demikian pula seorang pemuda yang miskin, bisa saja nekat melakukan pencurian karena didorong keinginannya untuk meniru gaya hidup teman-temannya yang anak orang kaya.

Ada banyak orang miskin yang karena ketidakberdayaannya secara ekonomi tidak pernah mengenal Tuhan. Mereka tidak pernah pergi ke masjid untuk shalat sebagaimana mereka tidak pernah berpuasa.

Banyak orang seperti ini akhirnya berpindah ke agama lain alias murtad karena adanya bantuan-bantuan ekonomi dari kelompok tertentu yang mampu menyejahterakan hidupnya.

Ayo saudaraku, jangan sampai  kita kecolongan oleh mereka yang membuat saudara-saudara  kita menjadi murtad.

Mari kita berjihad menyelamatkan akidah mereka dengan harta kita.Betapa besar ganjarannya di  sisi Allah SWT. Karena, dengan membebaskan mereka dari kemiskinan sehingga mereka kembali kepada Allah dengan tetap  istiqamah beribadah kepada-Nya, maka kitapun akan mendapatkan  semua pahala ibadah mereka tanpa mengurangi pahala mereka yang mengerjakannya.

Semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah kita. Aamiin.

Oleh  Hasan Yazid Al-Palimbangy

KHAZANAH REPUBLIKA

Berobat Dengan Sedekah?

Benarkah sedekah bisa sebagai obat untuk kesembuhan dari penyakit ? Berikut kami nukilkan fatwa dari al Lajnah ad Daaimah. 

Pertanyaan :

تكرموا علينا- حفظكم الله- ببيان فقه حديث: داووا مرضاكم بالصدقة من جهة مداواة المريض بالذبح له ، هل   يشرع ذلك أو لا يشرع؛ لرفع البلاء عنه؟ أجزل الله مثوبتكم.

Tolong terangkan kepada kami – semoga Allah menjaga Anda sekalian- kandungan hadits dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :

داووا مرضاكم بالصدقة 

“ Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah

Ada orang sakit yang mengharapkan kesembuhan dengan melakukan sembelihan sebagai sedekah baginya. Apakah perbuatan tersebut yang dilakukan untuk menghilangkan musibah termasuk disyariatkan ataukah tidak? Semoga Allah membalas Anda sekalian dengan kebaikan.

Jawaban :

الحـديث المذكور غـير صـحيح، ولكـن لا حـرج في الصدقة عن المريض تقربًا إلى الله عز وجل، ورجـاء أن يشفيه الله بذلك؛ لعموم الأدلة الدالة على فضل الصدقة، وأنها تطفئ الخطيئة وتدفع ميتة السوء. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Hadits yang disebutkan tersebut adalah hadits yang tidak shahih. Akan tetapi tidak mengapa sedekah di saat sakit sebagai bentuk ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan sebagai bentuk pengharapan agar Allah memberikan kesembuhan dengan sebab ibadah sedekahnya tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalill yang menunjukkan keutamaan sedekah. Sedekah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan serta mencegah dari meninggal dalam keadaan jelek. Hanya Allah yang memberi taufik. 

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber : Fatwa al Lajnah ad Daaimah No 18369

Link : http://www.fatawa.com/view/31493 

Penerjemah : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55437-berobat-dengan-sedekah.html

Dahulukan Mana Bersedekah Apa Bayar Utang?

KITA diajarkan untuk mendahulukan kewajiban sebelum amal yang sifatnya anjuran. Baik kewajiban terkait hak Allah maupun kewajiban terkait hak makhluk. Ada kaidah mengatakan, “Didahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.” Kita bisa memahami, perbedaan hukum antara membayar utang dan sedekah. Utang terkait kewajiban kita kepada orang lain dan harus kita penuhi. Sementara sedekah sifatnya anjuran. Karena itulah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan agar manusia bersedekah setelah memenuhi kebutuhan pribadinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah terbaik adalah sedekah setelah kebutuhan pokok dipenuhi. Dan mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi.” (HR. Bukhari 1360 & Muslim 2433). Mengingat pertimbangan ini, para ulama memfatwakan agar mendahulukan pelunasan utang sebelum bersedekah. Bahkan sebagian ulama menyebut orang yang mendahulukan sedekah sementara utangnya belum lunas, bisa terhitung memalak harta orang lain.

Imam Bukhari dalam shahihnya mengatakan, “Siapa yang bersedekah sementara dia membutuhkan, keluarganya membutuhkan atau dia memiliki utang, maka utangnya lebih layak dia lunasi sebelum sedekah, membebaskan budak, atau memberi hibah. Maka sedekah ini tertolak baginya. Dan dia tidak boleh menghilangkan harta orang lain.” Lalu beliau membawakan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang membawa harta orang lain (secara legal, seperti utang) dan dia berniat untuk tidak mengembalikannya maka Allah akan menghilangkannya.”

Imam Bukhari melanjutkan, “Kecuali masih dalam batas normal, dilandasi bersabar, lebih mendahulukan orang lain dari pada dirinya, meskipun dia membutuhkannya. Seperti yang dilakukan Abu Bakr ketika beliau mensedekahkan hartanya atau perbuatan orang anshar yang lebih mendahulukan Muhajirin. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kita untuk menyia-nyiakan harta. Karena itu, tidak boleh menyia-nyiakan harta orang lain dengan alasan sedekah.” (Shahih Bukhari, 2/517). Masih banyak keterangan lain yang disampaikan ulama yang menekankan agar pelunasan lebih didahulukan dari pada sedekah. Kita sebutkan diantaranya,

[1] Keterangan Badruddin al-Aini, “Bahwa bagian dari syarat sedekah, dia bukan termasuk orang yang membutuhkan, keluarganya membutuhkan dan tidak memiliki utang. Jika dia memiliki utang, maka wajib baginya melunasi utangnya. Dan melunasi utang lebih berhak didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, atau hibah. Karena harus mendahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.” (Umdatul Qari, Syarh Sahih Bukhari, 13/327).

[2] Keterangan Ibnu Bathal, “Pernyataan Bukhari, Orang yang bersedekah sementara dia memiliki utang, maka seharusnya pelunasan utang lebih didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, dan hibah. Ini merupakan ijma ulama, tidak ada perbedaan dalam hal ini diantara mereka.” (Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Batthal, 3/430).

Dalam al-Minhaj dan syarahnya Mughnil Muhtaj buku madzhab Syafiiyah disebutkan keterangan an-Nawawi dan komentar al-Khatib as-Syarbini. An-Nawawi mengatakan, “Orang yang memiliki utang dianjurkan untu tidak bersedekah sampai dia lunai utangnya.” Komentar al-Khatib as-Syarbini, “Menurutku, pendapat yang kuat adalah haramnya sedekah terhadap harta yang dia butuhkan dan menjadi kebutuhan orang yang dia nafkahi, atau karena dia memiliki utang yang tidak ada harapan bisa melunasi.” (Mughnil Muhtaj, 4/197).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah, “Siapa yang memiliki utang, tidak boleh bersedekah yang menyebabkan dia tidak bisa membayar utang. Karena membayar utang itu wajib yang tidak boleh dia tinggalkan.” (al-Kafi, 1/431). Keterangan di atas berlaku ketika utang tersebut harus segera dilunasi. Karena itulah, ketika utang jatuh tempo masih jauh, dan memungkinkan baginya untuk melunasi, seseorang boleh bersedekah, meskipun dia memiliki utang.

Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum sedekah ketika seseorang memiliki utang. Jawab beliau, “Jika utangnya jatuh tempo masih jauh, dan waktu jatuh tempo anda memiliki dana untuk melunasinya, silahkan sedekah, tidak ada masalah. Karena anda terhitung mampu.” (Taliqat Ibnu Utsaimin ala al-Kafi, 3/108). Memahami fiqh prioritas akan mengarahkan kita untuk memutuskan sesuai dengan urutan yang paling penting. Para ulama membahas ini bukan untuk mengajak umat agar bersikap pelit. Tapi untuk memahamkan masyarakat terkait sesuatu yang harus diprioritaskan. Tunaikan hak orang lain yang ada di tempat kita, kerena itu kewajiban yang menjadi tanggung jawab kita. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Pinjaman Terbaik untuk Allah SWT dan Kegemaran Ibnu Qayyim

Ibnu Qayyim gemar melakukan sedekah dan menikmatinya.

Suatu hari Umar bin Khattab ra membikin makanan yang terbuat dari kurma dan susu. Lalu datanglah seorang miskin, berdiri di muka makanan itu, dan Umar pun memberikan makanan itu kepadanya. Maka, orang-orang berkata kepada sang khalifah,

”Wahai Amirul Mukminun, orang miskin ini tak tahu kualitas makanan itu. Makanan yang lebih rendah pun sudah cukup baginya.” Jawab Umar, ”Wahai kaumku! Si Miskin ini adalah pencari pinjaman yang diutus oleh Allah kepadaku dan meminta pinjaman dariku. Kalau Si Miskin ini tidak tahu (akan nilai makanan), namun Tuhan Si Miskin ini tahu.” 

Narasi di atas adalah satu bagian kecil saja dari taburan kisah luhur para sahabat yang diilhami oleh firman Allah dan bimbingan Rasul-Nya. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan kita agar mau ‘memberi pinjaman’ pada-Nya, yaitu dengan menafkahkan harta, jiwa, dan raga di jalan Allah. Firman Allah:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS 57: 18).

Menurut Ibnu Abbas, qardhan hasana (pinjaman yang baik) adalah semua jenis sedekah selain zakat, seperti silaturahim, menjamu tamu, dan selain keduanya. Rasulullah adalah contoh paling agung dari seorang pemberi sedekah. Santunan yang dilakukannya adalah santunan dari seorang yang tak pernah takut miskin.

Ibnu Qayyim menulis dalam Zad al-Ma’ad: Memberi dan bersedekah adalah sesuatu yang paling disukainya. Kebahagiaan yang dirasakannya dengan memberi, jauh lebih besar dari kebahagiaan orang yang menerima dermanya. Rasulullah adalah orang yang paling dermawan. Tangan kanannya laksana angin bertiup. Bila seseorang dihimpit suatu kebutuhan tertentu, beliau pasti memprioritaskan orang itu ketimbang dirinya. Sedekah yang dilakukannya pun kaya dengan variasi. Kadang dengan memberi makan, kadang pula dengan memberi pakaian.

Suatu saat dalam bentuk hibah, di saat lain dengan sedekah. Kadang dengan hadiah, kadang dengan membeli sesuatu lalu memberikan kembali uang pembayaran plus dagangannya pada si pedagang. Pada kali lain dalam bentuk utang yang kemudian dikembalikan lebih banyak, lebih baik, dan lebih utama.

Atau, membeli sesuatu dan membayar dengan harga di atas semestinya. Kegemaran bersedekah tak hanya dilakukannya sendiri, tapi juga diperintahkan dan dianjurkannya. Bila melihat orang yang pelit, beliau mengajaknya agar bersikap dermawan. Tiap orang yang bergaul dan bersahabat dengannya, serta dapat melihat keteladannya, niscaya terdorong untuk bersikap toleran dan murah hati. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Sedekah Pintu Kemuliaan

Allah menjanjikan pahala dan kemuliaan bagi orang yang bersedekah.


Dari Abu Umamah bin Shuday bin ‘Ajlan RA, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu memberikan kelebihan hartamu, maka itu sangat baik. Jika tidak, itu sangat jelek bagimu. Kamu tidaklah dicela karena kesederhanaanmu. Dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebab, tangan di atas (orang yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (orang yang meminta).” (HR Muslim).

Hadis tersebut mengingatkan kita agar senantiasa bersedekah. Saat diberi kelebihan harta, alangkah terpujinya jika mau berbagi dengan sesama. Bagi seorang mukmin yang tidak sanggup bersedekah dengan harta, sesungguhnya pintupintu kebaikan lainnya selalu terbuka lebar. Tak melulu soal harta, sedekah bisa berupa apa saja, bahkan berbahagia dengan kebahagiaan sesama mukmin pun merupakan sedekah.

Sedekah bisa berupa perilaku dan tutur kata yang baik, membantu pendengaran orang yang tuli, membantu orang buta berjalan, menjenguk orang yang sakit, memberikan senyuman kepada sesama, berwajah ceria, berbuat adil, dan memberikan nafkah kepada keluarga. Rasulullah SAW bersabda, “senyummu kepada saudaramu adalah sedekah, ajakanmu terhadap kebaikan adalah sedekah, bantuanmu terhadap orang yang tak bisa melihat adalah sedekah, menyingkirkan batu atau duri di jalanan itu sedekah, dan membagi isi timbamu kepada timba saudaramu itu juga sedekah.” (HR Tirmidzi).

Allah menjanjikan pahala dan kemuliaan bagi orang yang bersedekah. Bahkan, Allah sendiri yang lebih tahu balasan apa yang pantas diberikan. Firman-Nya, “sesungguhnya orangorang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS al-Hadid: 18). Pada ayat lain Allah berfirman, “Dan, apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya.” (QS Saba: 39).

Bahkan, Allah akan memelihara pahala orang yang bersedekah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang bersedekah senilai satu butir kurma dari hasil usaha yang halal, di mana Allah tidak akan menerima kecuali yang baik (halal), maka sesungguhnya Allah akan menerima dengan tangan kanan-Nya, kemudian memeliharanya untuk orang yang bersedekah itu, sebagaimana salah seorang di antara kalian memelihara anak kuda, sehingga sedekah itu menjadi sebesar gunung.” (HR Bukhari dan Muslim).

Membiasakan diri bersedekah merupakan sikap terpuji. Tidak semua orang mampu melakukannya. Diperlukan latihan agar menjadi perilaku keseharian dan membentuk sikap mental dermawan. Ketika sudah terbangun sikap dermawan dalam diri seseorang, ia akan senantiasa berupaya memberikan apa yang bisa diberi setiap harinya. Hidupnya selalu optimistis. Yakin bahwa apa yang diberikan, hakikatnya bukan berkurang, justru bertambah. Sungguh mulia orang yang menjadikan kebiasaan bersedekah sebagai jalan hidupnya.

Kebiasaan bersedekah akan menghindarkan kita dari rakus dan pelit. Keduanya adalah sumber kebusukan yang bisa merusak hati, memicu timbulnya cinta dunia, dan ambisi buta untuk menguasai harta. Beruntunglah orang yang terpelihara dari sikap kikir sebagaimana Allah berfirman, “Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS at-Taghabun: 16) Oleh karena itu, biasakan diri kita untuk bersedekah setiap hari, memberikan kebahagiaan meski hanya dengan senyuman dan berwajah ceria. Wallahu a’lam.

Oleh: Agus Sopian

KHAZANAH REPUBLIKA