Baca pembahasan sebelumnya Kewajiban Shalat secara Berjamaah (Bag. 1)
Apakah shalat sendirian di rumah itu sah?
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Siapa saja yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur.” (HR. Ibnu Majah no. 793, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6300)
Hadits ini jelas menunjukkan kewajiban shalat berjamaah. Bahkan sebagian ulama berpendapat berdasarkan hadits ini bahwa tidak shalat jamaah tanpa udzur itu menyebabkan shalat menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas,
فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur.”
Akan tetapi, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa shalatnya tetap sah, akan tetapi pelakunya berdosa dan berhak mendapatkan murka Allah Ta’ala karena dia meninggalkan shalat jamaah tanpa ada udzur yang dibenarkan oleh syariat.
Shalat jamaah, berat dilakukan oleh orang-orang munafik
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencari-cari sahabatnya ketika shalat. Sebagaimana dalam sebuah hadits dari sahabat Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat subuh bersama kami. Kemudian beliau berkata,
أَشَاهِدٌ فُلَانٌ
“Apakah si fulan hadir?” (Maksudnya, apakah si fulan menghadiri shalat jamaah?)
Para sahabat menjawab, “Tidak.”
Rasulullah bertanya lagi,
أَشَاهِدٌ فُلَانٌ
“Apakah si fulan hadir?
Para sahabat menjawab, “Tidak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلَاتَيْنِ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَيْتُمُوهُمَا، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الرُّكَبِ
“Sesungguhnya dua shalat ini (shalat isya’ dan shalat subuh) adalah shalat yang paling berat dikerjakan bagi orang-orang munafik. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada dalam keduanya -berupa pahala yang besar- niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR. Abu Dawud no. 554 dan An-Nasa’i no. 843, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 563)
Dan sungguh terdapat perhatian besar terhadap shalat jamaah dari pemuka umat ini, yaitu dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Menurut pendapat kami (yaitu para sahabat), tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen). Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.” (HR. Muslim no. 654)
Jika salah seorang di antara mereka tidak mampu berjalan ke masjid karena sakit atau karena sudah tua, para sahabat pun akan memapah lengan atasnya, dan membantunya untuk berjalan dan bisa sampai di shaf kaum muslimin untuk shalat berjamaah. Hal itu semua karena hati mereka mengetahui dengan sebenar-benarnya bagaimanakah nilai dan kedudukan shalat jamaah. Ketika kedudukan shalat tersebut sangat agung dalam hati mereka, maka tergeraklah badan yang lemah tersebut ke masjid meskipun dengan susah payah.
Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata,
ما فاتتني صلاة الجماعة منذ أربعين سنة
“Aku tidak pernah tertinggal shalat jamaah sejak usia empat puluh tahun.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqaat 5: 131 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2: 162)
Renungkanlah kebanyakan manusia yang pada satu hari atau satu minggu saja, betapa banyak dia tertinggal -atau bahkan tidak- shalat jamaah? Sedangkan di zaman kita ini, Allah Ta’ala memuliakan orang-orang tua dengan kursi otomatis yang bisa bergerak dan mengantarkan mereka menuju masjid. Sehingga dia pun bisa menjaga shalat jamaah di masjid meskipun badannya sudah lemah. Hal ini tentu saja mengingatkan kita dengan kondisi para salaf dahulu yang mulia. Lalu, mengapa mereka yang masih muda tidak mau mengambil pelajaran dari mereka orang yang sudah tua renta?
Masjid adalah tempat pelaksanaan shalat berjamaah
Shalat jamaah tersebut bertempat di masjid kaum muslimin, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rabb semesta alam dan sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Shalat berjamaah di masjid adalah syi’ar Islam yang agung dan juga tanda sifat kejantanan seseorang.
Allah Ta’ala berfirman,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ، رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat … .” (QS. An-Nuur [24]: 36-37)
Inilah yang dikatakan oleh Rabb semesta alam. Maka di manakah sifat kejantanan dari orang-orang yang tidak mau shalat jamaah dan meremehkannya?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Siapa saja yang merenungkan as-sunnah dengan sebenar-benar perenungan, jelaslah bahwa mendirikan shalat jamaah di masjid itu wajib atas setiap orang (laki-laki), kecuali ada udzur yang membolehkannya tidak shalat berjamaah. Meninggalkan pergi ke masjid (tidak shalat jamaah di masjid) tanpa udzur itu sama seperti tidak shalat jamaah sama sekali tanpa udzur. Dengan penjelasan ini, maka hadits-hadits dan dalil-dalil dalam masalah ini akan saling bersesuaian.” (Ash-Shalaat, hal. 118)
Terdapat Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia,
“Adapun mendirikan shalat secara berjamaah itu wajib ‘ain (wajib atas setiap muslim). Dalil dalam masalah ini adalah Al-Kitab dan As-Sunnah.” (Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 7: 284)
Kemudian para ulama Lajnah Daimah -semoga Allah Ta’ala menjaga mereka dan merahmati mereka yang sudah meninggal dunia- menyebutkan sejumlah dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang masalah tersebut.
Keutamaan shalat secara berjamaah
Terdapat banyak hadits yang menunjukkan keutamaan shalat secara berjamaah. Di antaranya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada jamaah shalat,
إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى المَسْجِدِ، لاَ يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلاَةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً، إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
“ … bila dia berwudhu dengan menyempurnakan wudhunya, lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjamaah, maka tidak ada satu langkah pun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahan.” (HR. Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟
“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?”
Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.”
Rasulullah bersabda,
إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ
”(Yaitu) menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya langkah menuju masjid, menunggu shalat setelah mendirikan shalat. Itulah kebaikan (yang banyak).” (HR. Muslim no. 251)
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَدَا إِلَى المَسْجِدِ وَرَاحَ، أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Siapa saja yang datang ke masjid di pagi dan sore hari, maka Allah akan menyediakan baginya tempat tinggal yang baik di surga setiap kali dia berangkat ke masjid di pagi dan sore hari.” (HR. Bukhari no. 662 dan Muslim no. 669)
Upaya setan dalam mengahalangi kaum muslimin dari shalat berjamaah di masjid
Setan akan berusaha semaksimal mungkin untuk memalingkan manusia dari shalat berjamaah di masjid. Hal ini karena setan mengetahui bahwa jika seorang muslim berpaling dari shalat, maka dia pun akan berpaling dari perkara agama yang lainnya. Sehingga dia pun akan menyia-nyiakan kebaikan yang sangat banyak. Karena tidak ada agama bagi orang yang tidak shalat, dan tidak ada bagian dari Islam bagi orang-orang menyia-nyiakan shalat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
آخر ما تفقدون من دينكم الصلاة
“Perkara terahir yang akan hilang dari agama kalian adalah shalat.” (HR. Al-Khallal dalam As-Sunnah no. 1391, Ath-Thabrani dalam Al-kabir 9: 141, dan Al-Hakim 4: 549. Lihat Ash-Shahihah no. 1739)
Setan akan mendatangi manusia dengan berbagai macam cara dan metode. Jika memungkinkan bagi setan untuk mengajak meninggalkan shalat sama sekali, dia akan mencurahkan segala daya dan upayanya agar hal itu terwujud. Jika tidak memungkinkan, setan akan berpindah dengan mencegah seseorang agar tidak shalat berjamaah , kemudian mencegah seseorang agar tidak mendirikan shalat pada waktunya. Jika setan tidak mampu mencegah seseorang dari menghadiri shalat jamaah, setan mengajak orang tersebut untuk bermalas-malasan dan menunda-nunda ke masjid sehingga dia pun terlewat dari sebagian rakaat. Akhirnya, orang itu pun tercegah dari keutamaan bersegera menuju masjid dan menghadiri shalat jamaah sejak takbiratul ihram.
Bertakwalah kepada Allah Ta’ala, jagalah syiar Islam yang agung ini, dan tunaikanlah kewajiban shalat berjamaah ini di masjid, di rumah Allah Ta’ala. Sebagaimana telah diperintahkan di dalam kitab-Nya dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya, agar kalian semua beruntung.
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id