Alasan Mengapa Rasulullah SAW Sering Perbarui Wudhu

Rasulullah SAW kerap memperbarui wudhunya meski tidak untuk sholat.

Wudhu adalah satu cara seorang hamba menyucikan diri dari hadats kecil. Berwudhu wajib dilakukan bagi orang yang hendak menunaikan sholat karena termasuk syarat sahnya.

Rasulullah SAW berkata melalui riwayat Tirmidzi: مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ الصَّلَاةُ ، وَمِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الْوُضُوءُ

”Kuncinya surga adalah sholat dan kuncinya sholat adalah wudhu,” dan riwayat Imam Ahmad: لا صَلاةَ لِمَن لا وُضوءَ لَه ”Tidaklah dianggap sholat bagi orang yang tidak berwudhu.”

Namun, Rasulullah melakukan wudhu tidaklah hanya ketika akan melaksanakan sholat. Beliau selalu mendawamkan wudhu dalam kesehariannya, yaitu senantiasa menjaga kesucian dengan cara selalu memperbarui wudhu ketika beliau hadats.

Kesunnahan ini sangat dianjurkan. Sebuah pesan ajakan ittiba’ ini terekam dari perkataannya: إنَّ أُمَّتي يُدْعَوْنَ يَومَ القِيامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِن آثارِ الوُضُوءِ، فَمَنِ اسْتَطاعَ مِنكُم أنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ.

”Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dengan tanda ghurra yang bersinar (di wajahnya) karena atsar (bekas) dari wudhu. Barangsiapa yang mampu untuk memperpanjang ghurra tersebut, maka lakukanlah.” (HR Muslim dari Abu Huraiah).

Dalam kitab Fath al-Bari dijelaskan bahwa asal kata ghurra adalah bintik-bintik putih yang berada di dahi kuda. Dan, dimaksudkan dalam hadis ini sebagai cahaya yang bersinar di wajah umat Muhammad.

Mendawamkan wudhu berarti menjadikan diri senantiasa dalam keadaan suci, suatu perbuatan yang amat dipuji oleh Zat Yang Mahasuci. Sebuah tanda ghurra di dahi umat akan segera menjelma dalam aura wajah setiap hamba Muslim di dunia ini, selain sebagai tanda keumatan di hari kiamat nanti ketika menghadap Allah SWT sesuai sabda Rasul di atas.

Berwudhu ini selain untuk menjaga kebersihan anggota badan dan kesucian dari hadats juga sebagai kesucian dari dosa-dosa yang kita lakukan. Rasul berkata melalui riwayat Muslim:

إِذا تَوَضَّأَ العبدُ المُسلِم أَوِ المؤْمِنُ فَغَسل وجهَهُ خَرجَ مِنْ وَجهِهِ كلُّ خطِيئَة نَظَر إِلَيْهَا بِعيْنيْهِ مَعَ الماءِ أَوْ معَ آخرِ قَطْرِ الماءِ، فَإِذا غَسل يديهِ، خَرج مِنْ يديهِ كُلُّ خَطيئَةٍ كانَ بطَشَتْهَا يداهُ مَعَ المَاءِ أَوْ مَعَ آخِر قَطْرِ الماءِ، فَإِذا غَسلَ رِجَليْهِ، خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتها رِجلاه مَعَ الماءِ أَوْ مَع آخرِ قَطرِ الماءِ، حَتَّى يخرُجَ نَقِيًّا مِن الذُّنُوبِ 

”Jika seorang hamba Muslim atau Mukmin melakukan wudhu, kemudian membasuh wajahnya, maka dosa-dosa yang dilakukan oleh mata akan keluar bersama air yang mengalir hingga tetesan terakhirnya. Jika ia membasuh kedua tangannya, maka dosa-dosa yang dikerjakan oleh tangan akan keluar bersama air yang mengalir hingga tetesan terakhirnya. Jika membasuh kedua kakinya, maka dosa-dosa yang dilakukan oleh kaki akan keluar bersama air yang mengalir hingga tetesan terakhirnya. Sehingga, keluarlah semua noda dosa sang hamba.”

Sebagai umat Muhammad, marilah kita mendawamkan wudhu sebagai ittiba’ kepadanya, sekaligus untuk menjaga kesucian diri serta penghapus dosa. Juga diharapkan akan menjelma menjadi mental kehidupan Muslim dan Mukmin dalam kehidupan kesehariannya yang senantiasa menjaga kesucian pergaulannya berupa akhlak mulia. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Alasan Mengapa Air Bekas Wudhu Jangan Dikeringkan Dulu

Dalam sejumlah riwayat Rasulullah menganjurkan tak mengusap air wudhu.

Wudhu mempunyai banyak keutamaan, tak terkecuali dengan air yang dipergunakan bersuci, hendaknya tidak diusap dalam kondisi tertentu usia berwudhu. 

Lalu bolehkah kita mengeringkan air bekas wudhu kita? Dalam buku “Panduan Shalat An-Nisaa” karya Abdul Qadir Muhammad Manshur dijelaskan, ulama-ulama kalangan mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa tidak apa-apa mengeringkan dan mengusap air dengan sapu tangan atau sepotong kain setelah wudhu dan mandi.  

Ibnu Mundzir meriwayatkan dibolehkannya pengeringan dari Utsman bin Affan, Husain bin Ali, Anas bin Malik, Bisyr bin Abu Mas’ud, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqamah, Aswad, Masruq, Dhahhak, ats-Tsuri, dan Ishaq.

Mereka yang membolehkan pengeringan ini bersandar pada hadits-hadits Rasulullah SAW. Adapun hadits-hadis yang disandarkan adalah hadits riwayat Tirmidzi berbunyi, “Aku melihat Nabi Muhammad SAW mengusap wajah beliau dengan ujung pakaian beliau ketika berwudhu.”

Hadits ini menyebut mengeringkan air setelah wudhu dibolehkan, namun kadar haditsnya dhaif. Sedangkan hadits lainnya riwayat Imam an- Nasa’i berbunyi, “Abu Maryam Iyas bin Ja’far meriwayatkan dari seorang sahabat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sapu tangan atau sepotong kain untuk mengusap wajah beliau ketika berwudhu.” 

Hadits ini memiliki kadar hadits yang sahih. Adapun kemakruhan mengeringkan air dalam wudhu (bukan dalam mandi) diriwayatkan Ibnu Abbas. Sedangkan Jabir bin Abdullah meriwayatkan larangan untuk mengeringkan itu.

Kemakruhan mengeringkan air didasarkan pada argumentasi-argumentasi beragam. Pertama, air wudhu akan ditimbang pada hari kiamat sehingga dimakruhkan menghilangkan nya dengan pengeringan. Hal ini juga disandar kan pada hadits yang diriwayatkan az-Zuhri.  

Namun, Abdul Qadir Muhammad Manshur berpendapat, yang dimaksud air yang digunakan dalam wudhu akan ditimbang itu bukan air yang tersisa pada anggota wudhu. Para ulama juga sepakat bahwa air wudhu merupakan cahaya pada hari kiamat kelak.  

Hukum makruh mengeringkan air wudhu disamakan sebagai menghilangkan sisa ibadah. Ulama yang sepakat menjatuhi makruh dalam perkara ini berpendapat, air bertasbih selama menempel pada anggota wudhu. Namun, al-Qari berkata tidak bertasbihnya air wudhu ketika dikeringkan membutuhkan dalil naqli yang sahih.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan, Rasulullah  tidak mengambil kain yang diberikan kepada beliau, lalu beliau beranjak sambil mengibaskan kedua tangan beliau.” 

Wudhu dan Terompah Bilal di Surga

Friday, 01 May 2020 08:51 WIB

Wudhu dan Terompah Bilal di Surga

Rasulullah mengetahui wajah mereka dari bekas wudhuRed: A.Syalaby IchsanRepublika.co.id

Waktu-Waktu yang Dianjurkan untuk Berwudhu.

Waktu-Waktu yang Dianjurkan untuk Berwudhu.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada satu waktu, Rasulullah SAW keluar menuju mereka dan menceritakan kenikmatan surga. Nabi SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah.

“Ceritakanlah kepadaku perbuatan terbaik apa yang kau lakukan di Islam karena aku mendengar suara terompahmu di surga,” Bilal menjawab, “aku tidak melakukan apa-apa hanya saja aku tidak pernah berwudhu kecuali sesudahnya aku melaksanakan shalat (sunah berwudhu).” Begitu mulai para mukminin yang menjaga wudhunya. Sampai-sampai, Allah SWT mengangkat derajat Bilal bin Rabah bersama terompahnya.

Wudhu menjadi kewajiban seseorang yang hendak melaksanakan sholat. Dalam Alquran, Allah SWT menjelaskan, dengan perinci bagaimana rukun wudhu itu. “Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka mu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sempai dengan kedua mata kaki,” (QS al-Maidah: 6).

Shaleh al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kunci shalat adalah bersuci karena hadas itu menghalangi shalat. Bersuci itu seperti kunci yang diletakkan kepada orang yang berhadas. Jika ia berwudhu, otomatis kunci itu pun terbuka.

Imam Ahmad, dalam riwayatnya, mengungkapkan, Uqbah bin Amir pernah berkata, “Dahulu kami bergilir menggembalakan unta hingga tibalah giliranku maka aku pun menggiringnya. Tiba-tiba, aku menjumpai Rasulullah sedang bersabda di hadapan orang ramai. Aku pun mendengar sabdanya yang berbunyi, “Barang siapa di antara kalian yang ber wudhu dengan sempurna kemudian melaksanakan shalat dua rakaat dengan khusyuk, niscaya dia akan masuk surga dan akan diampuni. ‘Aku berkata, alangkah bagusnya itu.

‘Tiba-tiba berkata seseorang di de katku. Wahai Uqbah, ada yang lebih bagus darinya.’ Aku menoleh, ternyata orang itu adalah Umar ibnul Khaththab. Kuka takan kepadanya, apakah itu wahai Abu Hafshah? Ia menjawab, sesungguhnya Ra sulullah bersabda sebelum kedatanganmu. Barang siapa di antara kalian yang ber wudhu dengan sempurna kemudian mengucapkan, ‘Asyhadu alla ilaa ha illallah, wahdahuu laa syarika lahu, wa anna Muhammadan Abduhu wa rasuluhu,’ niscaya akan dibukakan untuknya kedelapan pintu surga, dia masuk dari mana dia suka.’

Syeikh Aidh al Qarni mengungkapkan, selamat atas orang-orang yang berwudhu. Rasulullah mengetahui wajah mereka dari bekas wudhu yang indah dipandang pada hari berkumpul nanti. Abu Hurairah seperti diriwayatkan Imam Muslim, menjelaskan, Rasulullah mendatangi kuburan dan bersabda, ‘Se lamat atas kalian tempat kaum mukmin dan kami insya Allah menyertai kalian.

Aku senang kita telah melihat saudara-saudara kita. ‘Mereka berkata, ‘Wahai Ra sulullah, bukankah kami juga saudarasaudaramu? Beliau menjawab, ‘Kalian sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang belum lahir.’ Mereka berkata, ‘wahai Rasulullah, bagaimana engkau mengetahui umatmu yang belum lahir nanti? Beliau menjawab, ‘Apa pendapatmu kalau seseorang memiliki kuda dengan warna putih di tubuhnya di antara sekumpulan kuda hitam, legam. Tidakkah dia mengetahui kudanya?

Mereka berkata, ‘Iya benar’. Beliau bersabda, Mereka akan datang dengan warna putih di tubuhnya akibat dari bekas wudhu dan aku menuntun mereka ke kolam. Begitulah Rasulullah mengetahui umatnya dari kaum-kaum lainnya, seperti kaum Nabi Musa, Isa, Nuh, dan Ibrahim.

KHAZANAH REPUBLIKA

Menyiram Kemaluan Usai Berwudhu, Apa Hukumnya?

Ada sebagian ulama lagi yang membedakan antara menyentuh dengan sengaja dengan lupa

Banyak hal yang membatalkan wudhu. Hal paling lumrah adalah bersentuhan antara orang yang bukan muhrim, kentut, hingga buang air kecil maupun besar. Lantas bagaimana hukum menyiram kemaluan usai mengambil wudhu?

Usamah bin Zaid meriwayatkan bahwa Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dan mengajarkan wudhu kepada beliau. Ketika telah selesai wudhu, Jibril mengambil sepenuh telapak tangan dan menyiramkannya pada kemaluan. Rasulullah pun menyiram kemaluan beliau setelah berwudhu. Hal ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebutkan, menyentuh kemaluan usai berwudhu dilihat dari kadar kondisinya. Ulama membedakan sentuhan yang terasa nikmat dan tidak. Jika terasa nikmat maka sentuhan itu membatalkan wudhu, begitu pun sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Madzhab Imam Malik.

Ada sebagian ulama lagi yang membedakan antara menyentuh dengan sengaja dengan lupa. Mereka mewajibkan wudhu kepada orang yang menyentuh kemaluan dengan sengaja, bukan kepada orang yang memang lupa. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.

Adapun perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menyentuh kemaluan usai berwudhu sebab adanya hadis Rasulullah SAW. Hadisnya berupa hadis dengan jalur sanad Busrah yang menyatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Idza massa ahadukum dzakarahu, falyatawadha’,”. Yang artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluan, hendaklah ia berwudhu,”.

Inilah hadis yang paling masyhur di antara hadis-hadis lain yang menerangkan kewajiban berwudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan. Hadis ini ditakhrij oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha dan hadisnya dinilai shahih.

Dalam buku Panduan Shalat An-Nisaa karya Abdul Qadir Muhammad Manshur dijelaskan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menyiram kemaluan dengan air setelah berwudhu. Meski demikian, ulama-ulama kalangan Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa tidak apa-apa mengeringkan dan mengusap air dengan sapu tangan atau sepotong kain setelah wudhu dan mandi.

Ibnu Mundzir meriwayatkan dibolehkannya pengeringan dari Utsman bin Affan, Husain bin Ali, Anas bin Malik, Bisyr bin Abu Mas’ud, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqamah, Aswad, Masruq, Dhahhak, Ats-Tsuri, dan Ishaq. Mereka yang membolehkan pengeringan ini bersandar pada hadis-hadis Rasulullah SAW.

Adapun hadis-hadis yang disandarkan adalah haid riwayat Tirmidzi berbunyi: “Aku melihat Nabi Muhammad SAW mengusap wajah beliau dengan ujung pakaian beliau ketika berwudhu,”. Hadis ini menyebut mengeringkan air setelah wudhu dibolehkan, namun kadar hadisnya dhaif.

Sedangkan hadis lainnya riwayat Imam An-Nasa’i berbunyi: “Abu Maryam Iyas bin Ja’far meriwayatkan dari seorang sahabat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sapu tangan atau sepotong kain untuk mengusap wajah beliau ketika berwudhu,”. Hadis ini memiliki kadar hadis yang shahih. Adapun kemakruhan mengeringkan air dalam wudhu (bukan dalam mandi) diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan Jabir bin Abdullah meriwayatkan larangan untuk mengeringkan itu.

Kemakruhan mengeringkan air didasarkan pada argumentasi-argumentasi beragam. Pertama, air wudhu akan ditimbang pada hari Kiamat sehingga dimakruhkan menghilangkannya dengan pengeringan. Hal ini juga disandarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri.

Namun demikian Abdul Qadir Muhammad Manshur berpendapat, yang dimaksud bahwa air yang digunakan dalam wudhu akan ditimbang itu bukan air yang tersisa pada anggota wudhu. Para ulama juga sepakat bahwa air wudhu merupakan cahaya pada hari Kiamat kelak.

Hukum makruh mengeringkan air wudhu disamakan sebagai menghilangkan sisa ibadah. Ulama yang sepakat menjatuhi makruh dalam perkara ini berpendapat, air bertasbih selama menempel pada anggota wudhu. Tetapi Al-Qari berkata bahwa tidak bertasbihnya air wudhu ketika dikeringkan membutuhkan dalil naqli yang sahih. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Aku mengulurkan kain kepada beliau, tetapi beliau tidak mengambilnya. Lalu beliau beranjak sambil mengibaskan kedua tangan beliau,”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Waktu-Waktu yang Dianjurkan untuk Berwudhu

Wudhu adalah salah satu dari dua jenis thaharah dengan air dalam syariat. Wudhu dinamakan dengan thaharah (bersuci) kecil atau thaharah dari hadats kecil.

Pensyariatan wudhu ditetapkan dalam Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, siapa saja yang meragukan pensyariatan wudhu, maka diai ditetapkan sebagai orang kafir.

Wudhu adalah syarat sahnya shalat dan tawaf di sekitar Ka’bah, berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang menyentuh mushaf tanpa wudhu. Sebagian membolehkannya dan sebagian tidak membolehkannya. Mereka juga terbagi ke dalam dua pendapat tentang boleh tidaknya sujud syukur tanpa wudhu.

Lantas, kapan waktu yang didalamnya dianjurkan berwudhu? Berikut ini waktu yang dianjurkan untuk wudhu dikutip dari buku Panduan Shalat an-Nisaa Menurut Empat Mazhab oleh Abdul Qadir Muhammad Manshur.

  1. Setelah menyalami orang musyrik
  2. Setelah mengusung mayit
  3. Untuk mengulangi persetubuhan
  4. Ketika marah
  5. Ketika makanan dihidangkan dan diangkat
  6. Setelah menyentuh orang yang berpenyakit kusta
  7. Ketika mengalirkan (mengeluarkan) darah
  8. Setiap kali hendak shalat
  9. Setiap kali berhadats
  10. Karena muntah
  11. Sebelum mandi
  12. Sebelum makan dan sebelum tidur ketika junub
  13. Ketika hendak menyebut nama Allah SWT
  14. Ketika hendak tidur
  15. Karena memakan sesuatu yang tersentuh api.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 1)

Wudhu merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Wudhu merupakan sebab kecintaan Allah Ta’ala kepada kita, sebab terhapusnya dosa, dan juga di antara sebab masuk ke dalam surga-Nya. Dan juga termasuk keutamaan wudhu adalah bahwa orang-orang yang rutin berwudhu ketika di dunia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil.

Ciri khas umat Muhammad adalah memiliki ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat

Di antara ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat adalah memiliki ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ حَوْضِي أَبْعَدُ مِنْ أَيْلَةَ مِنْ عَدَنٍ لَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ، وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ بِاللَّبَنِ، وَلَآنِيَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ النُّجُومِ وَإِنِّي لَأَصُدُّ النَّاسَ عَنْهُ، كَمَا يَصُدُّ الرَّجُلُ إِبِلَ النَّاسِ عَنْ حَوْضِهِ ؛ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَعْرِفُنَا يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ مِنَ الْأُمَمِ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا، مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ

“Sesungguhya telagaku lebih jauh daripada jarak kota A`ilah dengan kota ‘Adn. Sungguh ia lebih putih daripada salju, dan lebih manis daripada madu yang dicampur susu. Dan sungguh, cangkir-cangkirnya lebih banyak daripada jumlah bintang. Dan sungguh, aku menghalau manusia darinya sebagaimana seorang laki-laki menghalau unta orang lain dari telaganya.”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Engkau mengenal kami pada waktu itu?”

Beliau menjawab, “Ya, aku mengenal. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat lain. Kalian muncul dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil disebabkan bekas air wudhu.” (HR. Muslim no. 247)

Berdasarkan hadits di atas, para ulama berselisih pendapat tentang manakah yang menjadi ciri khas umat Muhammad, apakah syariat wudhu ataukah adanya ghurrah dan tahjiil?

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

وقد استدل جماعة من أهل العلم بهذا الحديث على أن الوضوء من خصائص هذه الأمة زادها الله تعالى شرفا وقال آخرون ليس الوضوء مختصا وإنما الذي اختصت به هذه الأمة الغرة والتحجيل

“Sejumlah ulama berdalil berdasarkan hadits ini bahwa (syariat) wudhu merupakan kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Ta’ala tambahkan sebagai kemuliaan umat ini (atas umat sebelumnya, pen.). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat Muhammad. Yang menjadi kekhususan umat Muhammad adalah ghurrah dan tahjiil.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 135-136)

Pendapat ke dua adalah pendapat yang lebih tepat karena terdapat riwayat bahwa wudhu telah disyariatkan pada umat-umat sebelumnya, sehingga bukanlah menjadi kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana diriwayatkan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam ketika hijrah bersama Sarah, kemudian memasuki suatu kampung yang dipimpin oleh raja yang bengis. Dalam hadits yang panjang tersebut dikisahkan,

فَأَرْسَلَ بِهَا إِلَيْهِ فَقَامَ إِلَيْهَا، فَقَامَتْ تَوَضَّأُ وَتُصَلِّي، فَقَالَتْ: اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ آمَنْتُ بِكَ وَبِرَسُولِكَ، وَأَحْصَنْتُ فَرْجِي، إِلَّا عَلَى زَوْجِي فَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيَّ الكَافِرَ

“ … Kemudian Sarah dibawa menghadap raja untuk hidup bersamanya. Maka Sarah berwudhu lalu shalat seraya berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu dan aku memelihara kemaluanku, kecuali untuk suamiku maka janganlah Engkau satukan aku dengan orang kafir ini … ” (HR. Bukhari no. 2217)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وفيه أن الوضوء لا يختص بهذه الأمة خلافا لمن زعم ذلك وإنما الذي يختص بها الغرة والتحجيل في الآخرة وقد تقدم في قصة إبراهيم أيضا مثل ذلك في خبر سارة مع الجبار والله أعلم

“Dalam hadits ini terkandung faidah bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat ini, berbeda dengan orang-orang yang menyangka demikian. Yang menjadi kekhususan umat ini hanyalah ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat. Telah lewat dalam kisah Ibrahim semisal ini, yaitu tentang kisah Sarah bersama raja yang bengis, wallahu a’lam.” (Fathul Baari, 6: 483)

Lalu, apa itu ghurrah dan tahjiil?

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال أهل اللغة الغرة بياض في جبهة الفرس والتحجيل بياض في يديها ورجليها قال العلماء سمي النور الذي يكون على مواضع الوضوء يوم القيامة غرة وتحجيلا تشبيها بغرة الفرس

“Ahli bahasa berkata, “Ghurrah adalah tanda putih di dahi kuda. Sedangkan tahjiil adalah tanda putih di kedua tangan dan kaki kuda.” Para ulama berkata, “Cahaya yang terdapat pada anggota wudhu pada hari kiamat disebut ghurrah dan tahjiil, karena menyerupai ghurrah yang dimiliki kuda.”” (Syarh Shahih Muslim, 3: 135)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وأصل الغرة لمعة بيضاء تكون في جبهة الفرس

“Makna asal dari ghurrah adalah tanda berwarna putih yang terdapat di dahi kuda.” (Fathul Baari, 1: 236)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah juga berkata,

والمراد بها هنا النور الكائن في وجوه أمة محمد صلى الله عليه وسلم

“Yang dimaksud (dengan ghurrah) adalah cahaya putih yang terdapat pada wajah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Baari, 1: 236)

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa ghurrah dan tahjiil adalah cahaya putih pada wajah, tangan, dan kaki (anggota wudhu), dan merupakan ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak dimiliki oleh umat-umat sebelumnya. Yang dimaksud dengan “umat Muhammad” di sini adalah ummatul ijaabah, yaitu umat Muhammad yang menerima dakwah beliau dan beriman kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan umat beliau yang kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّكُمْ تَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ

“Sesungguhnya kalian akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil karena bekas air wudhu.”

Ini adalah sufat (ciri) orang-orang yang mendirikan shalat. Lalu, orang-orang mukallaf selain mereka, yaitu orang yang meninggalkan shalat dan anak-anak kecil, dapat dikenali dengan ciri apa?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، هَذَا الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ إنَّمَا يُعْرَفُ مَنْ كَانَ أَغَرَّ مُحَجَّلًا وَهُمْ الَّذِينَ يَتَوَضَّؤُونَ لِلصَّلَاةِ. وَأَمَّا الْأَطْفَالُ فَهُمْ تَبَعٌ لِلرَّجُلِ. وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ قَطُّ وَلَمْ يُصَلِّ: فَإِنَّهُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يُعْرَفُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Hadits ini adalah dalil bahwa yang dikenali hanyalah yang memiliki ghurrah dan tahjiil, yaitu orang-orang yang berwudhu untuk mendirikan shalat. Adapun anak-anak kecil, maka mereka mengikuti laki-laki dewasa. Sedangkan orang-orang yang tidak berwudhu sama sekali dan tidak shalat sama sekali, maka hadits ini dalil bahwa mereka tidak akan dikenali pada hari kiamat.” (Majmu’ Al-Fataawa, 21: 171)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50753-ciri-khas-umat-muhammad-pada-hari-kiamat-ghurrah-dan-tahjiil-bag-1.html

Fikih Tata Cara Wudhu dengan Benar

Tata Cara Wudhu

Sebelum shalat kita wajib berwudhu, tanpa berwudhu shalat kita tidak sah.

Dalil Disyariatkan wudhu

Dalil disyariatkan wudhu ada dalam Alquran, As Sunnah dan Ijma’. Dalam Alquran, di surat Al Maa’idah: 6, sedangkan dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Sedangkan dalam ijma’ adalah karena kaum muslimin dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang telah sepakat tentang disyariatkannya wudhu.

Keutamaan Wudhu

Banyak hadis-hadis yang menerangkan  tentang keutamaan wudhu, di antaranya sbb:

Dari Abdullah Ash Shunaabihiy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba berwudhu lalu berkumur-kumur, maka akan keluar dosa-dosa dari mulutnya. Jika ia menghembuskan air dari hidung, maka akan keluar dosa-dosa dari hidungnya. Ketika ia membasuh mukanya, maka akan keluar dosa-dosa dari mukanya sampai keluar dari pinggir kelopak mata. Ketika ia membasuh kedua tangannya, maka akan keluar dosa-dosanya dari kedua tangannya sampai keluar dari bawah kuku tangannya. Ketika ia mengusap kepala, maka akan keluar dosa-dosa dari atas kepalanya sampai keluar dari kedua telinganya. Ketika ia membasuh kedua kakinya, maka akan keluar dosa-dosanya dari kedua kakinya sampai keluar dari bawah kuku kakinya. Kemudian dengan berjalannya menuju masjid dan shalat yang dilakukannya sebagai tambahan untuknya.” (HR. Malik, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim)

Dan dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan perbuatan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab: “Ya, mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu saat keadaan tidak menyenangkan, banyak melangkahkan kaki menuju masjid dan menunggu shalat yang berikutnya setelah melaksanakan suatu shalat; itulah Ar Ribaath.” (HR. Malik, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i)

Ribaath artinya menjaga perbatasan dari serangan musuh dan berjihad fii sabiilillah, yakni bahwa senantiasa menjaga kesucian dan menekuni ibadah seperti jihad fii sabiilillah.

Keutamaan lainnya adalah bahwa dengan berwudhu, muka, tangan dan kakinya akan bercahaya pada hari kiamat sehingga dapat diketahui bahwa mereka adalah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana dalam hadis riwayat Muslim).

Tata Cara Wudhu

Dari Humran Maula (budak yang dimerdekakan) Utsman, bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah meminta dibawakan air wudhu, ia pun berwudhu, membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidung, dan membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali, yang kiri juga seperti itu. Kemudian ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kaki kiri pun sama seperti itu. Setelah itu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu berdiri shalat dua rak’at dengan khusyu’, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Ibnu Syihab berkata, “Para ulama kami berkata, “Wudhu ini merupakan wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang ketika hendak shalat.” (HR. Bukhari, Muslim (ini adalah lafaznya), Abu Dawud dan Nasa’i)

Penjelasan Hadis di atas:

– Di dalam hadis di atas tidak diterangkan berapa kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, namun dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur, menghirup air ke hidung dan menghembuskannya dengan telapak tangan kiri, Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. Dalam hadis Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung melakukannya dengan satu telapak tangan.

Dari sini diketahui, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara berkumur-kumur dengan menghirup air ke hidung dalam sekali cidukan dengan satu telapak tangan, dan pada saat menghembuskan air dari hidung Beliau menggunakan telapak tangan kirinya.

– Tentang membasuh tangan sampai siku, Ishaq bin Rahawaih berkata, “Kata “sampai” dalam ayat (seperti sampai siku, sampai mata kaki) bisa berarti batas akhirnya, dan bisa artinya “ma’a” (beserta), namun As Sunnah menerangkan bahwa “sampai” tersebut berarti “beserta”.”

Oleh karena itu, dalam berwudhu, kita harus meyertakan membasuh sikut ketika membasuh tangan dan menyertakan mata kaki ketika membasuh kaki.

– Tentang membasuh kepala, apakah kita membasuh hanya sebagian atau seluruhnya? Yang raajih –insya Allah- adalah membasuh seluruhnya sebagaimana diterangkan dalam hadis Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan lainnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembasuh kepalanya, dimulai dari bagian depan kepala lalu menjalankan ke belakang kepala (tengkuk), kemudian mengembalikan lagi ke depan.

JIka ada yang berkata, “Bukankah dalam hadis Mughirah diterangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap rambut bagian depannya bersama sorbannya?” maka jawabannya, “Beliau pernah mengusap bagian depan kepalanya, namun Beliau juga mengusap sorban yang menutupi bagian kepalanya yang lain sehingga menunjukkan seluruh kepalanya diusap. Oleh karena itu, wajib hukumnya mengusap seluruh kepala, jika kepalanya tertutup sorban, maka ia bisa mengusap sorbannya saja, atau jika sorban hanya menutupi sebagian kepalanya, maka ia usap bagian kepalanya yang tidak tertutup sorban, demikian juga sorban yang menutupi kepalanya.

Dalam hadis Ali yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i dengan isnad yang shahih dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya hanya sekali. Namun tidak mengapa sampai tiga kali berdasarkan hadis Utsman yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari dua jalan yang salah satunya dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

– Dalam hadis Humran di atas tidak disebutkan mengusap telinga, namun kata-kata mengusap kepala sebenarnya sudah menunjukkan demikian, karena telinga bagian dari kepala. Di hadis Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah diterangkan cara mengusap telinga, yaitu dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam telinga dan mengusap bagian luar telinga dengan ibu jari. Mengusap kepala dan telinga adalah sama, yakni cukup sekali saja. Dalam mengusap telinga ini, boleh menggunakan air sisa mengusap kepala dan boleh juga mengambil lagi air yang baru.

– Sedangkan tentang membasuh kaki sudah cukup jelas berdasarkan hadis di atas.

Syarat Sah Wudhu

Agar wudhu kita sah, ada beberapa syaratnya sbb:

–   Niat, yakni keinginan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan karena mengharap keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya. Niat tempatnya di hati, bukan di lisan, melafazkannya adalah bid’ah. Dalil wajibnya niat adalah hadis “Innamal a’maalu bin niyyat” (sesungguhnya amal itu tergantung niat).

–   Mengucapkan basmalah (Bismillah), dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اِسْمَ اَللَّهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya (waktu memulai wudhu).” (Hasan, HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

–   Muwaalaah (tidak memutuskan dengan perbuatan lain).

Oleh karena itu, jika ketika berwudhu, di sela-selahi dengan perbuatan yang lain. Misalnya makan, minum dsb, maka wudhunya hendaknya diulangi. Kecuali jika perbuatan itu berkaitan dengan wudhu/bersuci. Misalnya di tangan atau kakinya ada bekas lilin yang menempel, lalu ia kerik dan melanjutkan wudhunya, maka wudhunya sah. Demikian juga sah wudhunya jika pindah ke kran yang satunya lagi, jika kran pertama tidak keluar air atau habis dsb.

Fardhu Wudhu

Fardhu wudhu di sini adalah rukun wudhu, di mana Jika tidak dilakukan, maka dianggap belum berwudhu. Berikut fardhu wudhu:

  1. Membasuh muka sekali, yakni mengalirkan air ke atasnya, karena arti membasuh adalah mengalirkan air. Batas muka, panjangnya dari atas dahi hingga bawah janggut dan lebarnya dari syahmah (lentik) telinga yang satu ke telinga yang satunya lagi.
  2. Membasuh kedua tangan sampai sikut, yakni sikut pun harus kena.
  3. Mengusap kepala. Mengusap di sini artinya adalah membasahkan kepala.
  4. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki, beserta kedua mata kakinya juga dibasuh.

Dalil no. 1 sampai 4 ada di surat Al Maa’idah: 6.

Kebanyakan ulama menambahkan “tertib” (dilakukan secara berurutan) ke dalam fardhu wudhu, memang demikian asalnya. Namun karena ada hadis Miqdam bin Ma’diikarib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibawakan air wudhu, lalu Beliau berwudhu, memulainya dengan membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, membasuh mukanya tiga kali, membasuh dua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur dan menghembuskan air dari hidungnya, kemudian Beliau mengusap kepala dan kedua telinganya…dst.” (Shahih Abu Dawud 112) maka berdasarkan hadis di atas “tertib” tidak termasuk ke dalam fardhu’ wudhu, wallahu a’lam.

Sunnah-sunnah Wudhu

  • Bersiwak, berdasarkan hadis berikut:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ

“Jika sekiranya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Shahih, HR. Ahmad)

  • Membasuh kedua telapak tangan tiga kali di awal wudhu, lih. hadis Humran di atas.
  • Menggabung berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung dalam sekali cidukan dengan satu telapak tangan sebanyak tiga kali, berdasarkan hadis Abdullah bin zaid radhiyallahu ‘anhu.
  • Menghirup air ke hidung secara mendalam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِى اْلإِسْتِنْشَاقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Sela-selahilah jari-jari dan lebih dalamlah dalam menghirup air ke hidung, kecuali jika kamu sedang berpuasa.” (Shahih, HR. Abu Dawud)

  • Menyela-nyela janggut, berdasarkan hadis Utsman radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela janggutnya. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, serta ia menshahihkannya)

Janggut ada yang tipis dan tebal. Jika tipis yang tidak menutupi kulit, maka wajib dibasuh beserta bagian bawahnya, karena bagian bawah jika nampak, masuk ke bagian wajah. Sedangkan janggut yang tebal, yakni yang menutupi kulit, maka dalam hal ini yang wajib adalah membasuh bagian luarnya. Dan dianjurkan menyela-nyela janggut, cara menyela-nyela janggut ada dua cara:

–   Diambil air setelapak tangan, lalu ditempatkan di bawah janggut, lalu disela-sela janggut dengannya.

–   Diambil air setelapak tangan, lalu di sela-sela janggutnya dengan jarinya seakan-akan jarinya seperti sisir. (lih. Asy Syarhul Mumti’ 1/140 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

  • Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki, dalilnya sudah disebutkan pada no. 4. Dalam hadis Mustawrid bin Syaddad dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela jari kakinya dengan menggunakan jari kelingking (HR. Lima orang selain Ahmad).

Ada riwayat yang menerangkan anjuran menggeser cincin, termasuk juga gelang ketika membasuh tangan, hanya riwayat tersebut tidak mencapai derajat shahih, namun dianjurkan dilakukan, karena masuk ke dalam keumuman perintah menyempurnakan wudhu.

  • Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membasuh dua kali-dua kali atau sekali-sekali.
  • Mendahulukan bagian kanan.
  • Menggosok-gosok, hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Zaid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan air yang hanya 2/3 mud, lalu Beliau menggosok-gosok tangannya (shahih, HR. Ibnu Khuzaimah).
  • Mengusap kedua telinga, namun di antara ulama ada yang memasukkan “mengusap dua telinga” ke dalam fardhu wudhu dengan alasan, karena kedua telinga bagian dari kepala yang wajib dibasuh.
  • Hemat dalam menggunakan air, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa akan ada pada ummatnya orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
  • Berdoa setelah wudhu, yaitu dengan doa berikut:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه مسلم)

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ (صحيح رواه الترمذي )

  • Melakukan shalat sunat setelahnya, berdasarkan hadis Humran di atas dan hadis Bilal radhiyallahu ‘anhu.

Tentang Berdoa di Tengah-tengah Wudhu

Tidak ada satu pun hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan doa ketika tengah berwudhu selain hadis Abu Musa Al Asy’ari, di mana ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berwudhu berdoa dengan doa, “Ya Allah, ampunilah dosaku, luaskanlah tempatku dan berilah berkah pada rezkiku.” (HR. Nasa’i dan Ibnus Sunniy dengan isnad yang shahih), akan tetapi Nasa’i memasukkan doa tersebut ke dalam doa setelah wudhu, sedangkan Ibnus Sunniy memasukkan doa itu saat tengah berwudhu. Imam Nawawi berkata: “Kedua-duanya masih mengandung kemungkinan.”

Akan tetapi, doa yang dilakukan oleh sebagian orang, seperti ketika membasuk muka, ia membaca, “Allahumma bayidh…dst”, ketika membasuh tangan ia membaca, “Allahumma a’thini kitaabiy…dst” serta doa ketika membasuh anggota badan tertentu. Hal ni sama sekali tidak ada hadis yang shahih, bahkan hadis yang menerangkan demikian adalah dha’if jiddan (sangat lemah). Wallahu a’lam.

Oleh: Marwan bin Musa

Read more https://yufidia.com/3536-fikih-tata-cara-wudhu-dengan-benar.html

Hukum Wudhu dengan Botol Spray

Wudhu dengan Semprotan Botol Spray

Bagaimana keabsahan para Jama’ah haji atau umroh yang berwudhu dengan menyemprotkan air dari botol?
Apakah sudah masuk kategori membasuh?

Jawaban:

Alhamdulillah, was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Sebelum melakukan wudhu dengan cara ini, perlu kita perhatikan teknis pensucian anggota wudhu ada dua macam:

[1] Membasuh (al-ghuslu).

[2] Mengusap (al- Mashu).

Allah ‘azza wajalla telah terangkan dalam Al-Qur’an,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Ma’idah : 6)

Anggota wudhu yang wajib dibasuh adalah: wajah, tangan sampai siku dan kaki sampai ke mata kaki.

Adapun yang wajib diusap adalah: kepala, termasuk juga telinga.

Selain empat anggota wudhu di atas, membasuh atau mengusapnya, hukumnya sunah menurut mayoritas ulama (Jumhur).

Selengkapnya bisa anda pelajari di :

Fikih Tata Cara Wudhu dengan Benar (simk artikel selanjutnya)

Sekian, Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori

Read more https://konsultasisyariah.com/35459-hukum-wudhu-dengan-botol-spray.html

Wudhu Mengaktifkan Titik-Titik Energi

Dalam berbagai penelitian, sejumlah pakar kesehatan telah mengungkapkan bahwa wudhu mampu merangsang irama energi yang ada dalam tubuh jika dilakukan secara benar oleh umat Islam. Selain itu, berwudhu juga dapat melancarkan peredaran darah.

Asisten di sebuah lembaga Kesehatan Umum dan Ekologi di Dagestan State Medical Academy, Dr Magomedov, menyimpulkan bahwa dengan berwudhu seluruh peredaran darah yang terkena wudhu akan menjadi lancar.

Menurut dia, rangsangan yang terjadi saat berwudhu akan muncul pada seluruh tubuh, khususnya pada area yang disebut biological active spot (BASes) atau titik-titik aktif biologis. Menurut penelitian ini, BASes mirip dengan titik-titik refleksiologi Cina.

Magomedov menjelaskan, sekitar 61 dari 65 titik refleksi Cina adalah bagian tubuh yang dibasuh air wudhu. Lima lainnya terletak antara tumit dan lutut. Buku Sehat dengan Wudhu ini mengungkapkan beberapa manfaat yang diperoleh dari wudhu dengan cara menekan atau mengusap bagian-bagian anggota wudhu, seperti wajah, telinga, kepala, hidung, tangan, sela-sela jari, dan kaki.

Dalam membasuh bagian wajah, misalnya, Syahruddin El-Fikri menjelaskan bahwa kulit wajah akan semakin kencang dan akan tampak bercahaya jika dilakukan dengan benar. Ketika berwudhu, disarankan agar membasuh wajah disertai dengan sedikit pijatan atau penekanan, sehingga akan memberikan efek positif pada usus, ginjal, dan sistem saraf maupun reproduksi.

Membasuh wajah dengan air bersih ketika berwudhu dapat merangsang titik-titik akupuntur (saraf) di bagian wajah yang efeknya sangat bermanfaat untuk kesehatan. Rangsangan yang ditimbulkan berfungsi sesuai dengan terapi akupuntur sebagaimana dijelaskan dalam buku ini.

Pada anggota tubuh yang dibersihkan dengan berwudhu, terdapat sekitar 493 titik akupuntur yang bisa digu na kan untuk menyembuhkan dan men cegah penyakit. Pada wajah ada 84 titik energi, tangan 95 titik, kepala 64 titik, telinga 125 titik, dan kaki 125 titik energi.

Setidaknya, wudhu menggabungkan empat teknik pengobatan dari metode klasik hingga modern, mulai dari akupuntur, refleksi, emotional freedom tech nique (EFT), hingga spiritual emotional freedom technique (SEFT).

KHZANAH REPUBLIKA

Haruskah Berwudu sebelum Memegang Al-Quran?

PARA ulama berbeda pendapat dalam masalah keharusan berwudu untuk menyentuh mushaf. Sebagian ulama mensyaratkan namun sebagian lainnya tidak mensyaratkannya.

1. Yang Mengharuskannya. Di antara ulama yang mengharuskan berwudu sebelum menyentuh mushaf adalah Al-Imam Abu Hanifa, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.
2. Yang Tidak Mengharuskannya. Sedangkan para ulama dari kalangan mahzab Zhahiri tidak mengharuskan berwudu untuk menyentuh mushaf.

Sebenarnya kedua kelompok yang berbeda pendapat ini sama-sama menggunakan dalil ayat Quran yang satu juga, yaitu: “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (QS. Al-Waqiah: 79)

Namun metode pendekatan masing-masing saling berbeda. Kelompok yang mengharuskan wudhu’ menafsirkan kata al-muthahharun (mereka yang disucikan) di dalam ayat di atas sebagai manusia. Dan lafadz laa yamassuhu bernilai larangan bukan sekedar kabar atau pemberitahuan belaka. Jadi kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran kecuali bila telah disucikan. Dan makna disucikan adalah bahwa orang itu sudah berwudhu.

Kelompok yang tidak mewajibkan wudhu’ menafsirkan kata al-muthahharun di dalam ayat di atas sebagai malaikat. Sehingga tidak ada kewajiban bagi manusia untuk berwudhu’ ketika menyentuh mushaf Al-Quran. Selain itu lafadz laa yammassuhu (tidak menyentuh Al-Quran) menurut mereka tidak bernilai larangan melainkan bernilai khabar (pemberitahuan) bahwa tidak ada yang menyentuh Al-Quran selain para malaikat. Maka tidak ada larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan suci.

Namun sumber perbedaan di antara keduanya memang bukan semata-mata perbedaan dalam memahami ayat di atas saja, tetapi memang ada dalil lainnya yang digunakan untuk menguatkan argumentasi masing-masing. Misalnya, mereka yang mengharuskan wudhu menambahi hujjah mereka dengan hadits berikut ini: “Dari Amru bin Hazm bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuliskan: Tidaklah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci.” (HR Malik 1/199, Abdurrazzaq 1/341, Al-Baihaqi 1/87 dan Ad-Daruquthuni 1/121). Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh para ulama. Namun sebagian orang tidak menerima hadits ini lantaran diriwayatkan lewat tulisan (mushahhafah).

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah apakah mushaf yang ada terjemahannya itu terbilang sebagai mushaf juga atau bukan? Ada sebagian dari ulama yang memandang bahwa ketika sebuah mushaf tidak hanya terdiri dari lafadz Al-Quran, tetapi juga dilengkapi dengan terjemahan atau penjelasan-penjelasan lainnya, maka dinilai sudah bukan termasuk mushaf secara hukum. Namun umumnya ulama tetap tidak membedakan antara keduanya, meski telah dilengkapi dengan terjemahan, tetap saja ada lafadz arabnya. Sehingga identitas ke-mushafan-nya tetap lekat tidak bisa dipisahkan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]