Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Siapa yang bertanggung jawab menjadikan anak-anak menjadi anak yang shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih

Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).

Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sesunguhnya Allah ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surge. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad: 10618. Hasan).

Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).

Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,

تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها وزجرتهم عنها

“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim4/502).

Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,

أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك

“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).

Tanggung Jawab Orang Tua

Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak.

Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).

Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).

Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).

Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!

“Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah ta’ala, “

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤)

“Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74).

Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfah al Maudud hal. 123).

Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri.

Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini,

كيف استقم الظل و عوده أعوج

“Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?”

Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus.

Allah ta’ala berfirman,

ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34).

Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula.

Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)

“Adapun dinding rumah itu  adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82).

Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa yang dimaksud ” وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi.

Kelak di surga, Allah ta’ala pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)

“Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21).

Maka disini, Allah ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalehan kedua orang tuanya.

Betapa pentingnya hal ini, yaitu menjadikan pribadi kita, yaitu orang tua, menjadi pribadi yang shalih, sampai-sampai salah seorang yang shalih pernah mengatakan,

يا بني إني لأستكثر من الصلاة لأجلك

“Wahai anakku, sesungguhnya aku memperbanyak shalat karenamu (dengan harapan Allah akan menjagamu).”

Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah juga pernah berkata,

إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي

“Ada kalanya ketika aku shalat, aku teringat akan anakku, maka aku pun menambah shalatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allah ta’ala).”

Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan harapan nantinya Allah ta’ala menjaga dan memelihara anak-anak kita.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel Muslim.Or.Id

Isi Penjelasan Kemenag Soal Anggaran Wakaf

Direktur Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama, Hamka membantah jika anggaran yang diberikan kementerian agama berbeda di setiap lokasinya. Ia mengatakan setiap lokasi mendapatkan anggaran dua juta rupiah tanpa memandang lebar tanah dan provinsi. Kecuali provinsi papua dan papua barat sebesar 10 juta per lokasi.

“Dalam satu tahun anggaran yang dimiliki kementerian agama untuk melakukan sertifikasi tanah wakaf sebanyak lima miliar rupiah. Sehingga dalam satu tahun hanya bisa  mensertifikat 2.500 lokasi dengan anggaran satu lokasinya dua juta rupiah,” kata dia, Selasa (9/6).

Untuk tahun ini terdapat enam provinsi yang tidak memperoleh bantuan anggaran untuk sertifikasi tanah wakaf yakni Kalteng, sulawesi Tenggara, NTT, Maluku Utara, Bangka Belitung dan Papua barat. Ini dikarenakan pemberian dana tergantung permohonan dan pengajuan masing-masing kantor kementerian agama tingkat provinsi.

Provinsi yang tidak memperoleh bantuan artinya tidak mengajukan permohonan.  Untuk tahun ini, semua dana sudah disitribusikan ke setiap provinsi yang mengajukan.

 

sumber: Republika Online

Hindari Sikap Mencela Anak

DALAM ungkapan bijak disebutkan, sesungguhnya banyak melakukan celaan terhadap anak akan mengakibatkan penyesalan. Teguran dan celaan yang berlebihan akan berakibat anak makin berani melakukan tindakan keburukan dan hal-hal tercela.

Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallamadalah orang yang paling menghindari hal tersebut. Beliau tidak banyak melakukan teguran terhadap anak dan tidak pula banyak mencela sikap apa pun yang dilakukan oleh anak. Tidaklah sekali-kali Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallammengambil sikap ini, termasuk dalam menanamkan perasaan punya malu serta menumbuhkan keutamaan sikap mawas diri dan ketelitian yang berkaitan erat dengan akhlak mulia.

Semua sentuhan pendidikan yang begitu tinggi dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah dialami Anas r.a yang pernah melayani Rasulullah, sebagaimana diungkapkan melalui hadits berikut:

“Aku telah melayani Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan: `Mengapa engkau lakukan?’ Dan pula tidak pernah mengatakan: ‘Mengapa tidak engkau lakukan?’” (Bukhari, Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Tidaklah sekali-kali beliau memerintahkan sesuatu kepadaku, kemudian aku menangguhkan pelaksanaannya atau menyia-nyiakannya, lalu beliau mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, justru beliau membelaku: ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan terjadi, pastilah akan terjadi.’” (Ahmad)

Sehubungan dengan hal ini, barangkali seseorang akan mengatakan, “Seandainya kita bersikap lemah-lembut dan banyak toleran, tentulah anak akan bertambah berani melakukan pelanggaran dan kita tidak bisa mengarahkan atau membimbingnya lagi.” Untuk ini penulis katakan, “Mengapa tidak berbuat kurang ajar, baik Anas, Ibnu `Abbas, Zaid Ibnu Haritsah, dan putranya Usamah Ibnu Zaid, anak-anak Ja`far, anak-anak pamannya, Al-‘Abbas, maupun anak-anak lainnya, yang pendidikan mereka ditangani oleh NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam sehingga mereka menjadi tokoh dan para imam pemberi petunjuk?

Orang yang tidak menyukai metoda pendidikan yang dilakukan oleh NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam atau memandang bahwa selain metoda NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam ada metoda yang lebih baik, atau ada upaya melakukan perbaikan atau modifikasi atas metoda NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam, tentulah anak seperti Ibnu ‘Abbas tidak akan menjadi seorang Ibnu ‘Abbas bila dididik olehnya, tetapi akan menjadi seorang yang paling buruk perangainya. Demikian pula akan terjadi kegagalan dalam mendidik Usamah atau Anas.

Dalam memberikan pendidikan, NabiShalallaahu ‘Alahi Wasallam telah pula berinteraksi dengan sejumlah pemuda berwatak aneh. Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah berinteraksi dengan seorang pemuda yang datang kepadanya meminta izin untuk berzina, maka beliau memperlakukannya dengan lembut dan cara yang bijaksana sehingga mampu mengganti langkah pemuda itu menuju jalan keselamatan dan tobat.

Beliau pernah berinteraksi dengan para pemuda yang suka membuat keonaran, yaitu mereka yang suka melempari pohon kurma milik orang lain untuk mengambil buahnya yang sudah masak. Demikian pula beliau pernah berinteraksi dengan pemuda Nasrani yang pada saat-saat terakhir dari usia sang pemuda beliau menyerunya untuk masuk Islam. Akhirnya, sang pemuda mau masuk Islam setelah meminta izin kepada orang tuanya yang beragama Nasrani melalui isyarat matanya.

Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam pernah berinteraksi dengan sejumlah orang yang suka berbuat kesalahan, kemaksiatan, dan suka minum khamr, namun pada akhirnya mereka keluar keadaan sadar dan kembali ke jalan yang benar. Hal ini dinyatakan berdasarkan pengakuan mereka sendiri bahwa mereka belum pernah melihat seorang mu’allim (pengajar) pun yang lebih lembut dan lebih baik pengajarannya selain beliau. Masing-masing dari mereka diperlakukan oleh Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dengan sikap yang lembut dan bijaksana, sehingga hasilnya benar-benar 100% sangat positif.

Akan tetapi memang benar, perbedaannya ialah kita terlalu cepat mengambil keputusan dan sangat tergesa-gesa untuk meraih hasil, tanpa mau bersikap sabar dan telaten, padahal Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam sering berpesan kepada kita untuk bersabar, sebagaimana beliau bersabar dalam mendidik ketiga anak perempuannya dengan telaten dan memperlakukan mereka dengan baik.

Nasihat Al-Ghazali

Al-Imam Al-Ghazali mempunyai nasihat yang sangat berharga untuk para murabbi. Ia mengatakan: “Jangan Anda banyak mengarahkan anak didik Anda dengan celaan setiap saat, karena sesungguhnya yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Akhirnya, ia akan bertambah berani melakukan keburukan, dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu bersikap menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak didiknya. Untuk itu, janganlah ia sering mencelanya, kecuali hanya sesekali saja, dan hendaknya sang ibu membantu anaknya hormat pada ayahnya serta membantu sang ayah mencegah sang anak dari melakukan keburukan.” (Ihya `Ulumuddin juz 3).*

Dari buku Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallamkarya Jamaal ‘Abdur Rahman.

Rep: Admin Hidcom

Editor: Syaiful Irwan

sumber: Hidayatullah.com

4 Golongan Manusia Menurut Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Ghazali, manusia yang paling buruk ia selalu merasa mengerti, padahal ia tidak tahu apa-apa

ADALAH Syeikh Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Sang Hujjatul Islam (julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah) ini sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam.

Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat (4) golongan;

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya Tahu).

Orang ini bisa disebut ‘alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat hati.

“Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,” ujarnya.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu).

Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu).

Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang Tidak Tahu (tidak berilmu), dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu).

Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing, di kelompak manakah kita berada. Semoga Bermanfaat.*/Kholili Hasib

sumber: Hidayatullah

9 Tanda Orang Berakal Menurut Buya Hamka

“Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri,” ujar Buya Hamka

SATU bukti Islam sebagai agama yang menghargai akal dapat dibuktikan dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun tersirat memerintahkan umatnya untuk berpikir dengan memperhatikan apa saja yang ada di dunia ini, bahkan di dalam diri manusia itu sendiri.

Sebagaimana firman-Nya:

وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 21).

Dengan demikian, sungguh beruntung umat Islam, karena kitab sucinya justru mendorongnya untuk mempergunakan akalnya secara maksimal guna mengetahui hingga haqqul yaqin kebenaran ajaran Islam. Oleh karena itu seorang Muslim itu idealnya adalah orang yang benar-benar memanfaatkan akalnya.

Menurut Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Falsafah Hidup orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.

Pertama, orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Jadi, akhirat lebih utama bagi mereka dibanding dunia.

Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.

Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.

Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya. Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu.”

Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya. Buya Hamka menulis, “Diterimanya apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”

Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.

Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan.

“Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”

Kedelapan, orang yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”

Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan. Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat buat dirinya sendiri.”

Demikianlah sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.

Subhanallah, uraian Buya Hamka ini sangat berfaedah buat kita semua untuk mengukur diri, apakah selama ini telah memanfaatkan akal sebaik-baiknya, atau justru sebaliknya. Tetapi, apapun yang telah berlalu, sekarang adalah saatnya kita meningkatkan iman dan taqwa dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Wallahu a’lam.*

Rep: Imam Nawawi

Editor: Cholis Akbar

Hartawan Ini Hibahkan Kekayaan Rp 426 T karena Surat Ad-Dhuha

Hartanya sebesar US$ 32 miliar akan dihibahkan seluruhnya.

Pangeran Arab Saudi Alwaleed bin Talal membuat keputusan mengejutkan. Orang terkaya Saudi ini berjanji akan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya yang mencapai US$ 32 miliar, atau lebih dari Rp 426 triliun, untuk berbagai kegiatan amal.

Mengutip Arabian Business.com, Alwaleed mengungkapkan mengapa dia menyedekahkan seluruh harta kekayaannya itu.

Orang terkaya ke-34 versi Majalah Forbes ini mengungkapkan komitmennya itu di bulan Ramadan tahun ini. Pangeran Alwaleed mengatakan sedekahnya ini akan disalurkan melalui lembaga amalnya, Alwaleed Philanthropies, selama beberapa tahun ke depan.

Alwaleed Philanthropies akan menggunakan hartanya untuk meningkatkan pemahaman antar kebudayaan dan membantu masyarakat miskin, melalui bantuan pendidikan, kesehatan, pencegahan penyakit, penyediaan listrik dan rumah, pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta pembangunan gedung untuk anak yatim dan sekolah.

Lembaga amal milik Alwaleed itu juga akan memberikan bantuan bencana alam dan menciptakan dunia yang lebih toleran dan penuh penerimaan.

“Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa saya melakukan ini? Tanggapan saya adalah bahwa semua orang pasti melalui situasi yang mengubah hidupnya di satu titik yang memiliki pengaruh besar di masa depannya,” katanya seperti dikutip Dream, Sabtu, 11 Juli 2015.

“Saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan, dengan mata kepala sendiri, kondisi yang menantang masyarakat di seluruh dunia. Saya telah berdiri di antara mereka yang menderita dan membutuhkan bantuan besar. Saya juga belajar dari hambatan luar biasa melalui pertemuan dengan para pemimpin negara dan masyarakat di seluruh dunia.”

Pangeran Alwaleed menambahkan, mengingat kondisi ekonomi dan sosial dunia saat ini, dan dampak menghancurkan dari perang dan bencana alam di seluruh dunia, maka dibutuhkan lebih banyak upaya kolaboratif dari semua pihak yang mampu untuk berdiri dalam upaya mengentaskan kemiskinan di masyarakat yang paling kekurangan, dan untuk memajukan serta membangun masyarakat dunia.

Pangeran Alwaleed mengatakan langkah yang ditempuhnya ini karena mengikuti perintah Allah dalam Alquran Surat Ad-Dhuha.

“Seperti yang sudah saya lihat, sudah tiba saatnya bagi saya untuk berbagi semua yang saya miliki untuk mendukung masyarakat melalui yayasan saya, Alwaleed Philanthropies,” katanya.

Pahala Puasa 6 Hari di Bulan Syawal Setara Setahun

Namun puasa enam hari di bulan Syawal ini tidak bleh dimulai pada tanggal 1 Syawal. Sebab, pada hari itu, umat Muslim diharamkan berpuasa.

Puasa enam hari di bulan Syawal sunah hukumnya. Namun, puasa ini memiliki sejumlah keutamaan. Dalam hadis, Nabi Muhammad bersabda puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan puasa satu tahun penuh.

“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh.” (H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Praktik berpuasa enam hari pada bulan Syawal sama dengan berpuasa di bulan Ramadhan, boleh bersahur dan berhenti sahur saat waktu imsak. Bedanya, saat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, boleh dilakukan secara berurutan atau berselang hari, yang penting masih di bulan Syawal.

Namun puasa enam hari di bulan Syawal ini tidak bleh dimulai pada tanggal 1 Syawal. Sebab, pada hari itu, umat Muslim diharamkan berpuasa. Sehingga boleh dimulai pada hari ke-2 Syawal.

Bagi kaum perempuan yang berutang puasa saat Ramadan, puasa enam hari di bulan Syawal bisa dikerjakan setelah membayar utang itu. Atau bisa juga berpuasa Syawal dulu baru membayar utang puasa Ramadan pada bulan-bulan berikutnya, sebelum Ramadan berikutnya.

sumber: Dream.co.id

Kapan Mulai Puasa Syawal?

Kapan mulai puasa Syawal? Apakah di awal Syawal ataukah boleh diakhirkan?

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menurut ulama Syafi’iyah, puasa enam hari di bulan Syawal disunnahkan berdasarkan hadits di atas. Disunnahkan melakukannya secara berturut-turut di awal Syawal. Jika tidak berturut-turut atau tidak dilakukan di awal Syawal, maka itu boleh. Seperti itu sudah dinamakan melakukan puasa Syawal sesuai yang dianjurkan dalam hadits. Sunnah ini tidak diperselisihkan di antara ulama Syafi’iyah, begitu pula hal ini menjadi pendapat Imam Ahmad dan Daud.” (Al Majmu’, 6: 276)

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa puasa Syawal boleh dilakukan sejak awal Syawal. Boleh juga diakhirkan. Baca pula artikel Rumaysho.Com: Mulai Puasa Syawal Sejak Tanggal 2 Syawal.

Semoga bermanfaat.

Disusun di Panggang, Gunungkidul, 2 Syawal 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Tata Cara Puasa Syawal

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal? Keutamaan Puasa Syawal Kita tahu bersama bahwa

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawirahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebihshahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 2 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [3]

Sambungan artikel KEDUA

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

Kesembilan, orang yang menangisi kesalahan yang dilakukannya

Siapakah manusia yang bebas dari kesalahan? Tidak satu orang pun yang lepas dari jerat-jerat kesalahan dan kekhilafan. Disengaja atau tidak, manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Manusia tempatnya salah dan lupa. Dua sifat ini selalu berada pada diri manusia. Tinggal bagaimana seseorang berhati-hati agar tidak jatuh dalam kesalahan dan segera bertaubat sembari menangisi kesalahan yang sudah ia lakukan.

Seorang ulama, Syaqiq Al-Balakhi pernah berkata, “Tanda taubat adalah menangisi perbuatan dosa di masa lalu, takut terjatuh ke dalam perbuatan dosa, meninggalkan teman-teman yang buruk, dan selalu membersamai orang-orang shalih.”

Menangisi kesalahan termasuk tanda kebahagiaan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang menangisi kesalahannya.” (HR. Thabrani).

Kesepuluh, orang yang sibuk dengan sib sendiri

‘Aib adalah bentuk masdar dari kata kerja `Aaba, Ya`iibu, `Aib artinya cacat, cela, rusak, buruk, salah, dan lemah. Sayidina Umar bin Khattab RA pernah berdoa, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib-aibku kepadaku.” Ketika Salman mengunjunginya, beliau berkata, “Coba sebutkan perilakuku yang tidak kausukai.” Salman menolak dengan halus, namun beliau terus mendesak. Akhirnya Salman berkata, “Kudengar kaumakan dengan dua lauk, dan memiliki dua pakaian, satu kaukenakan di siang hari dan satu lagi kaukenakan di malam hari.”

“Selain itu, adakah hal lain yang tidak kausukai?,” Tanya sahabat Umar lebih lanjut. “Tidak.”

“Sesunguhnya dua perbuatan yang kausebutkan tadi telah kutinggalkan, ucap beliau.”

Di waktu lain, beliau juga pernah bertanya kepada Hudzaifah, Engkau adalah Shahibus Sirri (orang yang mengetahui berbagai rahasia) Rasulullah saw yang dapat mengenali orang munafik. Apakah kaumelihat tanda-tanda kemunafikan pada diriku?

Kisah Sayidina Umar menjadi pelajaran berharga tentang sikap seorang arif dan bijaksana dalam mengenali serta menyadari kekurangan pada diri sendiri. Sebuah sikap yang menggambarkan betapa beliau sibuk dengan kecacatan dan kelemahan diri, tanpa melihat kecacatan dan cela pada diri orang lain.

Sikap ini harus menjadi alur kehidupan kita sehari-hari. Jangan sampai kita menjadi seperti bunyi peribahasa, Kuman di seberang lautan, tampak. Sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Contoh nyata dari sikap sibuk dengan aib sendiri, antara lain, meninggalkan tayangan infotaiment yang mengumbar aib orang lain, terkait perselingkuhan, perceraian, pengkhianatan dan sebagainya.

Siapa yang sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak melihat aib pada diri orang lain adalah sikap orang yang bahagia. “Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib sendiri daripada menyibukkan diri dengan aib orang lain,” sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Dailami.

Kesebelas, orang yang rendah hati

Sikap rendah hati adalah lawan sikap takabbur (sombong). Sombong merupakan sikap tercela, sementara rendah hati adalah sikap terpuji. Rendah hati yang dalam bahasa arab disebut tawadhu` menjadi hiasan para salafus shalih. Mereka bersikap baik kepada siapa saja, baik kepada orang kaya atau miskin.

Sikap tawadhu` itu tercermin, salah satunya pada diri Sayidina Hasan putra Ali bin Abi Thalib. Suatu saat beliau menaiki kuda lalu melewati sekelompok orang miskin yang akan makan. Beliau diundang tiba-tiba. Diajak untuk makan bersama yang tentunya dengan sangat sederhana. Tanpa banyak pikir lagi, Sayidina Hasan langsung memenuhi undangan mereka tanpa memandang status sosialnya.
Usai makan, beliau mengundang orang-orang miskin datang ke rumahnya pada keesokan hari.

Keesokan harinya, beliau menjamu orang-orang miskin ini dengan jamuan yang sangat lezat sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.

Setali tiga uang, Umar bin Abdul Aziz yang kala itu telah menjadi Amirul Mukminin pernah suatu malam didatangi seorang tamu. Saat itu beliau sedang menulis sesuatu. Lampu minyak yang beliau gunakan sebagai penerang nyaris meredup. Si tamu berkata, “Izinkan saya untuk memperbaikinya.”
Umar berkata, “Tidaklah termasuk dari kemuliaan seseorang jika ia membiarkan tamunya bekerja membantu.” “Kalau begitu, saya panggilkan pembantu saja.” Jawab Umar, “Jangan engkau bangunkan. Ia sedang tidur setelah lama tidak beristirahat.”

Kata tamu, “Berarti, engkau sendiri yang akan mengerjakannya, wahai Amirul Mukminin?” Umar mengatakan, “Ketika aku keluar rumah, aku adalah Umar. Ketika aku kembali ke rumah, aku juga tetap Umar seperti ini. Tidak ada sesuatu pun yang berkurang dari diriku. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bersikap rendah diri di hadapan Allah.”

Berbahagialah orang yang bersikap rendah hati. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,“Berbahagialah orang yang rendah hati bukan karena kekurangan..” (HR. Bukhari).

Itulah golongan orang-orang yang beruntung. Mereka terdiri dari berbagai kalangan sesuai amal perbuatannya. Bahagia atau tidak, beruntung atau tidak, tidak diukur dari harta, tahta, dan jabatan serta seabrek aksesoris materi yang nisbi. Orang-orang yang bahagia, pada intinya, orang-orang yang dekat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.*

Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah