Khair al-Usrah

Oleh: Ustaz H Hasan Basri Tanjung, MA

Pendidikan dalam Islam bukan hanya dimulai dari anak usia dini, tetapi selagi masih dalam kandungan, bahkan sewaktu memilih pasangan hidup pun telah berproses hingga akhir hayat.

Proses pembelajaran anak  ditopang  oleh  empat pilar pendidikan yakni : Pertama; al-madrasah al-uula (sekolah pertama dan utama), yakni keluarga. Kedua; al-madrasah al-tsaaniah (sekolah kedua) yakni lembaga pendidikan formal (sekolah).

Ketiga; al-madrasah al-tsaalitsah (sekolah ketiga) yakni lembaga-lembaga sosial, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, politisi, artis. Keempat; al-madrasah al-raabi’ah (sekolah keempat) yakni media massa dalam segala jenisnya.

Pilar paling penting dalam pendidikan adalah lembaga keluarga (usrah). Oleh karena itulah agama menekankan pentingnya menata keluarga yang utuh dan kuat agar menjadi keluarga terbaik (khair al-usrah).

Khair al-usrah hanya mungkin terbentuk jika ayah dan ibu juga pribadi-pribadi terbaik (khair al-bariyyah, [QS.98:7-8]).

Dua insan terbaik itulah berpadu dalam ikatan cinta yang berakar pada tauhid, berbatang dahan pada syariat, berdaun dan berbuah pada akhlak (adab). Kedua orang tualah yang akan menjadi pemimpin sekaligus Guru kehidupan bagi anak-anak.

Allah SWT memberikan otoritas kepada orang tua membentuk anak sesuai kemauannya. “Setiap anak itu dilahirkan fitrah (suci, bersih). Lalu, kedua orang tua yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Jangan sampai salah asuh, salah didik, salah sekolah dan salah teman. Bibit yang unggul sekali pun, jika ditanam di atas tanah gersang, tak disirami air dan pupuk, tak dijaga dan dirawat, akan tumbuh kerdil. Kewajiban orang tua menjaganya dari segala petaka dan derita (neraka), baik duniawi maupun ukhrawi (QS.66:6)

Anak itu juga dipengaruh oleh lingkungan. Jika temannya baik ia ikut baik. Jika temannya buruk, ia pun ikut buruk. Tidak sedikit yang terjerat narkoba, tawuran, pornografi, seks bebas, dan kekerasan seksual, karena pengaruh teman.

Kekerasan seksual terhadap 20 anak di bawah umur di Jakarta Utara pekan lalu harus jadi i’tibar. Pelakunya ternyata pernah menjadi korban sodomi. Nabi SAW.  mengingatkan; “al-mar`u ‘ala diini khaliilhi, fa al-yandzuru ahadukum man yukhaalil” Artinya, seseorang itu akan mengikuti agama temannya, maka hendaklah memperhatikan siapa teman bergaulnya. (HR. Abu Daud).

Setiap musim Haji dan Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan pada napak tilas keluarga Nabi Ibrahim as (QS.3:33). Khalilullah yang berjuang mencari Tuhan ini (QS.6:75-79) adalah nenek moyang Nabi Muhammad SAW dari anaknya Ismail as. dan Nabi-Nabi Bani Israil dari anaknya Ishak as.

Keluarga Nabi Ibrahim as adalah model keluarga yang dibangun dalam bingkai tauhid dan kecintaan kepada Allah SWT. Figur ayah dan ibu (Siti Hajar) yang beriman, sabar dan tawakkal, telah melahirkan anak yang saleh dan sabar pula, yakni Nabi Ismail As. (QS,37:100-102).

Itulah peran seorang pendidik sejati dalam menanamkan akidah tauhid, syariat dan berbakti kepada orang tua dan mencintai sesama manusia (akhlak karimah).

Ibrahim as. pun mewasiatkan Islam kepada anak turunannya (QS.2:130133). Hatta, keluarga Ibrahim as  disandingkan dengan kemuliaan keluarga Nabi Muhammad SAW dalam shalawat Nabi.

Sejatinya, orang tua bekerja keras mencai nafkah untuk membangun keluarga berkualitas dalam iman, ilmu, amal dan adab (khair al usrah). Nabi SAW berpesan, “khairukum khairukum li ahlihi, wa anaa khairukum li ahlii Artinya, sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Aku adalah orang terbaik diantara kalian terhadap keluargaku. (HR. At-Tirmidzi).

Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, dalam sebuah tulisan Refleksi diRepublika (7/6/2015), menekankan perlunya keluarga dikokohkan dengan Al-Quran.

Keluarga bukan sekadar tempat berkumpulnya orang-orang yang terikat pernikahan maupun keturunan, tetapi mempunyai fungsi yang luas termasuk internalisasi nilai-nilai positif.

Keluarga adalah pondasi masyarakat dan negara.  Kalau begitu, back to family (kembali kepada keluarga), agar rumah kita menjadi surga duniawi (baitii jannatii). Insya Allah. Allahu a’lam bish-shawab.

 

sumber: Republika Online

Arab Rayakan Idul Adha 24 September 2015

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Arab Saudi mengumumkan bahwa Idul Adha 1436 hijriah jatuh pada Kamis (24/9) waktu setempat.

Dikutip dari laman Al Arabiya, Senin (14/9), pengumuman tersebut dibuat setelah pejabat berwenang Arab Saudi yang mengamati bulan Dzulhijjah telah melihat penampakan tubuh bulan. Setelah bulan dapat terlihat, maka diputuskanlah waktu masuknya bulan Dzulhijjah yang juga merupakan bulan ke-12 dalam kalender Islam.

Idul Adha merupakan simbol menghormati kesediaan dan ikhlasnya Nabi Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Ismail, untuk disembelih. Namun Allah SWT menggantinya dengan kambing.

Hari Raya Idul Adha dirayakan umat Islam setiap tanggal 10 Dzulhijjah sesudah para jamaah haji wukuf di Padang Arafah dan melaksanakan rangkaian prosesi ibadah hajinya.

Tiga Hari yang Menentukan

Oleh: Ach Nurcholis Majid  

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim sungguhlah sulit. Di saat bahagia memiliki seorang putra belum selesai ia rasakan dengan sempurna, perintah menyembelih Ismail datang dengan tergesa. Terlebih perintah itu datang hanya lewat mimpi.

Inilah yang membuat Nabi Ibrahim diuji seberapa bijak menghadapi masalah, akankah berusaha dengan sekuat tenaga atau malah putus asa dan menyalahkan Allah.

Karena itu, butuh tiga hari baginya untuk menentukan sikap. Tiga hari yang biasa disebut yaumu tarwiyah, yaumu arafah, dan yaumu nahr.

Tiga hari ini yang menentukan Ibrahim sebagai khalilullah atau bukan. Hari pertama adalah hari yang disebut yaumu tarwiyah. Di hari ini, awal Ibrahim mendapat mimpi yang begitu menggelisahkan hatinya. Ia ragu dan gelisah, akankah mimpi itu setan ataukah Tuhan.

Karena itu, nama hari ini disebut sebagai hari tarwiyah. Hari yang menjadi suatu perenungan Nabi Ibrahim terhadap apa yang datang dalam mimpinya. Sehingga itu, juga di hari ini, Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk merenungi diri akan apa yang telah dilakukan, benarkah telah sesuai dengan yang diperintahkan atau malah menyimpang.

Setelah hari pertama itu, kemudian barulah Nabi Ibrahim sampai pada suatu pengetahuan (arafa) tentang masa lalu, yang kemudian ia tahu bahwa itulah motif dari perintah yang menyuruhnya menyembelih putra kesayangan bernama Ismail.

Di hari kedua ini, Nabi Ibrahim pada akhirnya tahu bahwa memanglah benar ia pernah berjanji akan pula menyembelih putranya seandainya diberi keturunan, asal dengannya bisa membuat lebih dekat kepada Allah.

Sebenarnya, di hari kedua ini lebih pada pengujian amanah Nabi Ibrahim, seberapa beliau menjadi seorang yang amanah dan tepat janji. Karena, tidak mungkin seorang diangkat menjadi khalilullah jika tidak amanah dan tidak tepat janji, bahkan ketika secara naluri manusiawi hal itu sangat tidak beralasan. Amanah ini pula yang menjadi ujung tombak munculnya spirit pemimpin progresif yang membawa perubahan positif.

Sedangkan di hari ketiga yang disebut yaumu nahr, Nabi Ibrahim akhirnya berada pada suatu keyakinan bahwa beliau harus tepat janji dan menjalankan amanah untuk tadhhiyah (menyembelih) yang diperintahkan, walaupun itu perintah yang datang di dalam mimpi.

Sehingga itu, akhirnya Nabi Ibrahim menjadi seorang khalilullah yang amanah dengan suatu proses yang tidak mudah, mulai dari perenungan panjang, pemantapan keyakinan, dan eksekusi terhadap perintah yang begitu berat.

Demikianlah tiga hari yang menentukan sehingga menjadi sejarah dan menjadi suatu sunah untuk merenung di hari arafah. Wallahu a’lam.

4 Cerita inspiratif tentang ‘si miskin’ yang berkurban

Hampir setiap tahun ada hikmah yang dapat dipetik dari penyelenggaraan ibadah kurban. Tahun kemarin saja, beberapa orang muncul membawa inspirasi dan cerita mengharukan tentang nikmatnya berkurban. Betapa tidak di tengah keterbatasan secara finasial, mereka bertekad ingin berkurban.

Receh demi receh mereka kumpulkan tiap harinya untuk dapat berkurban. Mereka sadar bahwa kurban ini menjadi kendaraan mereka nanti di hari akhir. Kemunculan mereka seolah kontras dengan kaum borjuis yang lebih suka menimbun kekayaan daripada membeli hewan kurban.

Hasil pengorbanan si miskin ini pun berbalas, banyak di antara mereka mendulang rezeki. Pemulung Mak Yati misalnya dapat durian runtuh berupa rumah dari pemerintah atau si miskin lainnya yang derajat menjadi terpandang di mata publik.

Menyambut hari raya Idul Adha merdeka.com merangkum sosok si miskin yang ikhlas berkurban. Berikut sosok-sosok tersebut.

 

1. Mak Yati
 Yati (60), seorang nenek yang tinggal di Tebet,Jakarta Selatan ini bukan orang kantoran atau tinggal di rumah gedongan. Yati hanya seorang pemulung, tiap hari mencari sampah untuk mengais rizki yang halal.

Meski pendapatannya tak seberapa, hanya Rp 25 ribu per hari, Yati punya tekad kuat untuk bisa berkurban di Hari Raya Idul Adha. Niatnya itu akhirnya bisa tercapai.

“Saya nabung tiga tahun untuk beli dua ekor kambing. Yang besar itu saya beli Rp 2 juta, yang kecil Rp 1 juta,” kata Yati saat berbincang dengan merdeka.com di rumahnya 2012 lalu.

Yati tiap hari dibantu Maman (35). Kadang untuk menambah penghasilan, Maman ikut menarik sampah di sekitar Tebet. “Penghasilan sehari tak tentu. Seringnya dapat Rp 25 ribu. Dihemat untuk hidup dan ditabung buat beli dua kambing itu,” kisah Yati.

Yati mengaku sudah seumur hidup ingin berkurban. Wanita tua asal Madura itu malu terus mengantre daging kurban. Keinginan ini terus menguat, saat bulan Ramadan. Yati makin giat menabung.

“Saya ingin sekali saja, seumur hidup memberikan daging kurban. Ada kepuasaan, rasanya tebal sekali di dada. Harapan saya semoga ini bukan yang terakhir,” jelasnya.

Yati membeli dua kambing itu di Pancoran. Maman yang mengambil dua kambing itu dengan bajaj dan memberikannya ke panitia kurban di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Saat Maman menyerahkan dua kambing untuk kurban itu, jemaah masjid megah tersebut meneteskan air mata haru.

Yati sehari-hari tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet. Tak ada barang berharga di pondok 3×4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.

Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu. “Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? ya numpang hidup saja,” katanya ramah.

Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.

“Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo,” akunya.

2. Iwan Lutfi
Cerita mengharukan juga datang dari Iwan Lutfi. Profesinya juga bukan orang kantoran atau bos besar di perusahaan. Iwan hanya orang biasa. Dia sehari-hari bekerja sebagai pemulung. Pemulung ini sejak lama juga ingin berkurban seperti orang berpunya. Niatnya itu tahun ini akhirnya kesampaian.

“Hari Senin malam ada kenalan yang datang ke rumah. Mereka memberi tahu kalau ada seorang dermawan yang akan membelikan kambing kurban. Saya pikir itu kambing kurban untuk disembelih di sini. Ternyata saya dibelikan kambing untuk berkurban,” kata Iwan, yang biasa disapa dengan Acoy.

Setelah mendapat hewan kurban, hati dan pikiran Acoy setengah tidak percaya. Keinginannya bertahun-tahun akhirnya terwujud.

“Saya enggak tahu tiba-tiba dibawain kambing. Kambingnya besar, di atas dua jutaan saya kira,” katanya. Acoy tak habis pikir bagaimana Allah menggerakkan hati dermawan untuk memberi rezeki kurban pada keluarganya.

“Saya ingat benar Minggu malam itu saya nonton sinetron tentang haji. Istri saya nanya, Abi kapan kita naik haji? Terus kapan kita kurban? Malam itu istri saya tahajud katanya pengin kurban. Saya hanya bisa minta istri berdoa. Pagi harinya istri saya bilang tangannya gatal, katanya mungkin mau dapat rezeki. Eh nggak nyangka malamnya langsung dikabulkan,” jelasnya.

Acoy tinggal di daerah kumuh dekat pasar kembang Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sehari-hari Acoy bekerja sebagai pemulung. Namun Acoy tidak hanya memulung, dengan kemampuannya, Acoy mengubah triplek bekas menjadi miniatur rumah dan kendaraan. “Kami memang kurang tapi pantang mengemis. Saya berusaha hidup lebih baik untuk anak-anak,” ujarnya.

3. Yu Timah
  Yu Timah, nenek berusia 50 tahun ini membuat banyak orang malu dan berkaca. Nenek yang tinggal sendiri di rumah belantai tanah dan berdinding anyaman bambu mampu membeli seokor kambing untuk kurban. Yu Timah rupanya sudah bertekad keras untuk berkurban, padahal dirinya hanyalah seorang penjual nasi bungkus.

Keterbatasan ini tak menghalanginya,setiap menerima Bantuan Langsung Tunai Yu Timah selalu menyimpan uang itu di bank. Uang itu dia kumpulkan sedikit demi sedikit hingga mencapai Rp 600 ribu. Suatu kali Yu Timah yang merasa uangnya sudah cukup, pun lekas ke bank untuk menggambil uang.

“Saya mau beli kambing kurban, Pak! Kalau 600 ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.” ujar dia kepada pegawai bank seperti yang dikutip dari laman dompet dhuafa, Jumat (3/10).

Sayang, saat itu bank telah tutup. Pegawai pun iseng bertanya untuk apa uang itu. Dengan malu, Yu Timah mengatakan hendak berkurban.

“Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar 600 ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?” tanya pegawai tersebut.

Lantas dengan wajah berseri, Yu Timah mengatakan, “Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”

4. Bambang
Rasa haru menyelimuti kota Purworejo saat Bambang, penarik becak memberi sapi untuk dijadikan kurban pada Idul Adha tahun lalu. Selama 5 tahun, Bambang mengumpulkan uang dari mengayuh becak untuk membeli sapi seharga Rp 13 juta. Uang itu dikumpulkan hari demi hari di jok becak miliknya.

“Alhamduillah, kulo tiyang mboten gadah, tesih saget kurban (Saya orang miskin masih bisa kurban),” kata Bambang, saat ditemui di rumahnya, Senin (14/10/2013) siang.

Bahkan hasil dari menarik becak ini pun tak seberapa, biasanya dia mendapat hasil sebanyak Rp 20.000-Rp 50.000. Namun dengan kesungguhan uang untuk membeli hewan kurban pun kesampaian.

Kegembiraan juga turut dirasakan tetangga Banbang. Beramai-ramai tetangga Bambang mengarak sapi yang dibeli Bambang dari menarik becak.

Islam Mulai Mengakar di Masyarakat Jepang

Tahun demi tahun, Islam semakin kuat mengakar di tengah masyarakat Jepang. Kendati berorientasi ekonomi, kebijakan menggenjot aspek wisata syariah ini membuka celah penyebaran Islam. Kepentingan Jepang menarik lebih banyak wisatawan Muslim merupakan arus baru yang mengakrabkan Islam kepada rakyat Negeri Sakura.

Mengandalkan zona ramah untuk Muslim (Muslim friendly zone), berbagai fasilitas dibangun bagi para wisatawan Muslim. “Masyarakat Jepang sangat toleran soal agama. Kadang, mereka bertanya-tanya tentang Islam. Saya pun kalau minta izin kerja yang berkaitan dengan ibadah, misal Idul Fitri atau shalat Jumat, mereka tidak banyak komentar,” ujar warga negara Indonesia (WNI), Arif Ahmad, yang tinggal di Tokyo kepada ROL.

Setelah setahun tinggal di Jepang, alumnus FIB UGM ini mulai banyak terlibat dalam agenda komunitas Muslim. Termasuk, aktif membantu pelaksanaan agenda-agenda komunitas Muslim selama Ramadhan kemarin.

Japan Travel Guide for Muslim Visitor yang disusun Japan Tourism Agency dan Japan National Tourism Organization menyebutkan, tak kurang dari 60 masjid dan tempat ibadah sudah berdiri di seluruh Jepang. Yang paling terkenal Masjid Jamii Tokyo dan Masjid Kobe. Kemudian, ada pula Masjid Sapporo di Hokkaido, Masjid Sendai di Miyagi, Masjid Nagoya di Aichi, Osaka Ibaraki Mosque di Osaka, dan Masjid Fukuoka di Fukuoka.

Pemerintah juga mulai menyediakan tempat ibadah untuk Muslim di stasiun, bandara, dan ruang-ruang publik. Aspek kenyamanan para wisatawan Muslim menjadi prioritas utama pemerintah. Kendati, di Jepang tidak ada azan yang saling bersahutan layaknya negara-negara Muslim. Azan tidak boleh diperdengarkan keluar lewat speaker, tapi hanya terdengar di area masjid.

Seiring pemenuhan tempat ibadah, kuliner yang menjadi kebutuhan utama wisatawan mendapat perhatian khusus. Seorang Muslim tidak bisa sembarangan soal makanan. Setiap orang Jepang bisa makan makanan Muslim, tapi tidak setiap Muslim bisa makan makanan orang Jepang.

Karena itu, sekarang mulai banyak produk bahan pangan yang berlogo halal. Restoran halal di Jepang meningkat dari waktu ke waktu. Ada restoran yang menyajikan kuliner halal bercita rasa Malaysia, India, Pakistan, Turki, Mesir, Cina, dan Maroko. Mereka tersebar di kota-kota besar, seperti Tokyo, Kobe, Osaka, Nagoya, dan Kyoto.

 

sumber: Republika Online

Puasa Arafah Sudah Ada Sebelum Ada Wukuf?

Ada yang bertanya tentang benar tidaknya pandangan bahwa puasa Arafah sudah ada sebelum adanya wukuf di arafah. Untuk pertanyaan itu, Ustadz Ammi Nur Baits menjawab sbb:

Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa puasa arafah sudah ada sebelum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukan wukuf di Arafah.

Diantaranya, hadis riwayat Nasai dari salah satu istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

“Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis. (HR. Nasai 2429 dan dishahihkan al-Albani).

Kemudian, dalam hadis dari Maimunah Radhiyallahu anha, beliau menceritakan,

“Manusia ragu apakah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa ketika hari Arafah. Kemudian aku membawakan segelas susu ke tempat beliau wukuf. Lalu beliau meminumnya dan orang-orang melihatnya. (HR. Bukhari 1989 & Muslim 2692).

Keterangan:

Para sahabat ragu apakah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa ataukah tidak puasa, karena mereka meyakini bahwa hari itu adalah hari untuk puasa sunah Arafah. Sehingga mereka bertanya-tanya, apakah beliau ketika wukuf itu puasa ataukah tidak. Kemudian oleh Maimunah ditunjukkan bahwa beliau tidak puasa.

Seperti yang kita tahu dalam buku sejarah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan haji di tahun 10 Hijriyah, sementara beliau wafat bulan Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah. Artinya, bulan Dzulhijjah tahun 10 H, adalah Dzulhijjah terakhir yang beliau jumpai. Karena di tahun 11 H, beliau meninggal di awal tahun, di bulan ketiga (Rabiul Awal).

Sehingga para ulama memahami, hadis riwayat Nasai yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam rutin melakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, itu terjadi sebelum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan haji wada.

Keberangkatan Haji Pertama dalam Islam

Di bulan Dzulqadah (bulan ke-11) tahun 6 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersama para sahabat datang ke Mekah untuk melakukan Umrah. Namun dihalangi orang musyrikin dan beliau dilarang masuk kota Mekah. Hingga terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Dengan salah satu poin perjanjian, kaum muslimin harus kembali tahun itu, dan baru boleh datang tahun depan untuk hanya tinggal di Mekah selama 3 hari.

Di tahun 7 Hijriyah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam balik ke Mekah untuk melakukan Umrah qadha. Mengqadha umrah tahun sebelumnya digagalkan oleh orang musyrikin Quraisy. Beliau memerintahkan semua yang umrahnya gagal, untuk turut serta.

Kemudian di tahun 8 Hijriyah tepatnya bulan Ramadhan (bulan ke-9), terjadilah penaklukan kota Mekah (fathu Mekah). Selanjutnya, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam disibukkan dengan perang Hunain, dan perang thaif. Kemudian setelah masuk bulan Dzulqadah (th. 8 H) dari Thaif beliau mengambil miqat di Jiranah dan melakukan umrah. Setelah itu beliau balik ke Madinah.

Bulan Rajab, 9 hijriyah, beliau melakukan penyerangan ke Tabuk untuk menaklukan sebagian wilayah romawi. Setelah kembali ke Madinah, di bulan Dzulqadah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar sebagai amirul haj (pemimpin haji). Beliau berangkat bersama 300 kaum muslimin. Dan inilah haji pertama dalam islam. Selama di Mekah dan awal dakwah di Madinah, kaum muslimin tidak melakukan haji. Kaum muslimin baru bisa melaksanakan haji, setelah kota Mekah ditaklukkan.

Puasa Arafah sudah ada sebelum adanya wukuf?

Kami tidak bisa memastikan hal ini, karena kita tidak tahu kapan tepatnya adanya anjuran puasa Arafah? Dan apakah haji yang dipimpin Abu Bakar as-Shidiq juga melakukan wukuf di Arafah?

Hanya saja, ada penggalan hadis yang bisa kita garis bawahi, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah. Kalimat ini menunjukkan bahwa puasa arafah termasuk rutinitas beliau. Dan sesuatu iti disebut rutinitas jika dilakukan beberapa kali.

Bulan Dzulhijjah tahun 9 H, Abu Bakr berhaji, dan pada Dzulhijjah tahun 10 H, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berangkat haji.

Andai puasa arafah harus dilakukan bertepatan dengan kegiatan wukuf di arafah, dan kita menganggap bahwa haji yang dilakukan Abu Bakr juga ada wukuf di Arafah, berarti puasa Arafah yang dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam baru SEKALI. Tepatnya, ketika hajinya Abu Bakr Radhiyallahu anhu. Dan semacam ini tidak tepat jika disebut kebiasaan.

Terlebih, jika wukuf di Arafah pertama terjadi ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukan haji wada. Berarti Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan puasa Arafah, sekalipun belum ada kegiatan wukuf di Arafah.

Bisa jadi orang musyrik telah melakukan wukuf?

Kita tidak tahu bagaimana tata cara haji mereka. Dan andaipun mereka melakukan wukuf, tentu wukuf mereka tidak dianggap karena mereka orang musyrik. Lebih dari itu, kita tidak pernah mendapat riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam maupun para sahabat berusaha mencari tahu kapan hari wukufnya orang musyrikin, sehingga mereka jadikan acuan untuk pelaksanaan puasa Arafah. Sehingga puasa arafah yang dilaksanakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat di Madinah, tidak dibarengi dengan kegiatan wukuf di Arafah.

Karena itu, kami berpendapat, bahwa puasa arafah adalah puasa di tanggal 9 Dzulhijjah sesuai daerah masing-masing. Sekalipun tidak bertepatan dengan kegiatan wukuf di Arafah. Karena puasa arafah tidak ada kaitannya dengan kegiatan wukuf di Arafah.Allahu alam.[ ]

Sumber Ustadz Ammi Nur Baits/konsultasisyariah –

 

See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2239478/puasa-arafah-sudah-ada-sebelum-ada-wukuf#sthash.rbcU1twq.dpuf

Bacaan Doa Niat dan Tata Cara Shalat Idul Fitri dan Idul Adha Sebagai Makmum

Bacaan doa niat salat Id disertai dengan tata cara shalat Idul Fitri dan Idul Adha sebagai makmum menjadi persiapan tersendiri bagi kita menjelang momen istimewa hari ini, 1 Syawal 1436 Hijriyah. Pada hari ini yang bertepatan dengan Jumat, 17 Juli 2015, umat Islam berbondong-bondong mengerjakan salat sunnah Ied, demi menyambut hari kemenangan setelah sebulan penuh mengerjakan puasa Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah,  “Nabi saw. memerintahkan pada saat shalat ‘ied (Idul Fitri ataupun Idul Adha) agar kami mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haih untuk menjauhi tempat salat (tidak turut mengerjakan salat.” (H.R. Muslim).

Bverdasarkan riwayat tersebut, salat Idul Fitri menjadi salah satu yang menyempurnakan kegiatan kita yang dimulai dengan puasa sepanjang Ramadhan. Umat Islam baik lelaki maupun perempuan dianjurkan mendatangi masjid atau tanah lapang untuk mengerjakan salat dua rakaat, lantas mendengarkan khutbah Shalat Ied. Pengerjaan Shalat Ied diutamakan di tanah lapang seperti riwayat Abu Said Al-Khudri, “Rasulullah saw. biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.”

Adapun waktu pelaksanaan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, memiliki perbedaan. Shalat Idul Fitri diakhirkan untuk berjaga-jaga jika ada umat Islam yang belum membayarkan zakat fitrah. Akan halnya Shalat Idul Adha lebih didahulukan. Setelahnya, umat Islam biasanya menyembelih hewan kurban, meskipun penyembelihan ini bisa dilakukan hingga tiga hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi saw. biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”

Bagaimana dengan tata cara shalat ied? Semua rangkaian shalat sama seperti shalat sunnah dua rakaat biasa, kecuali pada bagian takbir.  Diriwayatkan Aisyah, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku.” (H.R Abu Dawud). Pada setiap kali imam bertakbir, makmum dianjurkan membaca “subhanallah walhamdulillah laa ilaaha ila llahu Allahu Akbar.”

Bagi kita yang hendak mengerjakan shalat Ied, niat adalah bagian penting. Niat dalam hati dapat menggunakan bahasa Indonesia saja. Namun bagi merek yang  ingin melafalkan dengan bahasa Arab, kita bisa mengucap “usholli sunnatal ‘idil fitri rok’ataini mustaqbilal qiblati ma-muman lillahi ta’ala” yang artinya “Saya sholat sunnah Idul Fitri dua rokaat menghadap qiblat menjadi makmum karena Allah ta’ala.”

Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha

Bagaimanakah panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha?

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.

Hukum Shalat ‘Ied

Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.

Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar  yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]

Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,

نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.[22]

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.[23]

Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

Subhanallah wal hamdulillah wa  laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,

كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammembuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]

Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]

Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya”. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin  mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan:

Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]

Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal sholih, 7 Dzulhijah 1430 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://rumaysho.com

Bekal Alquran Terjemahan

Panggilan ke Tanah Suci adalah suatu anugerah. Sering kali, seseorang yang tanpa memiliki bekal persiapan apa pun, tiba-tiba mendapat panggilan untuk menunaikan ibadah haji. Untuk itu, Allah tidak memilih-milih. Mereka yang mendapat panggilan ke Tanah Suci, belum tentu orang yang memang sudah taat menjalankan tuntunan Islam. Mereka yang shalat wajibnya masih bolong-bolong atau membaca Alquran pun belum lancar atau bahkan belum bisa, kadang juga mendapat ‘panggilan’ untuk menunaikan ibadah haji.

Namun, bila hidayah sudah diberikan, biasanya orang yang tidak memiliki bekal apa pun tetap akan memenuhi panggilan tersebut. Lantas, persiapan apa saja yang harus dipersiapkan bagi haji yang belum memiliki ‘bekal’ semacam itu?

Yang pertama, adalah persiapkan hati. Caranya, dengan melatih sikap sabar, tawakal, dan berpasrah diri. Soal pelaksanaan tata-cara ibadah haji, ikuti saja pembimbing haji yang biasanya akan mendampingi para jamaah. Bagi yang memiliki kesempatan untuk manasik, manfaatkan waktu manasik tersebut untuk mempelajari rangkaian prosesi haji yang harus dilakukan.

Namun, bagi yang tidak memiliki kesempatan manasik, sebaiknya sering-sering membaca buku panduan haji yang banyak dijual di toko buku. Tentunya, harus disertai dengan banyak bertanya kepada orang-orang yang sudah lebih dulu menunaikan ibadah haji. Karena banyak istilah dan tempat dalam prosesi haji yang kadang kurang gamblang dijelaskan dalam buku-buku panduan tersebut.

Selanjutnya, bekal penting yang harus dibawa ke Tanah Suci adalah Alquran yang ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Alquran ini sangat bermanfaat karena di Arab Saudi akan sulit menemukan Alquran yang ada terjemahan bahasa Indonesia.

Di masjid Nabawi Kota Madinah atau di Masjidil Haram Kota Makkah, memang disediakan ribuan kitab Alquran dalam berbagai ukuran. Ada yang ukuran besar maupun ukuran sedang. Namun, Alquran yang disediakan di masjid-masjid ini tak ada yang mencantumkan terjemahan dalam lain bahasa. Termasuk juga, terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Untuk itu, jika membawa bekal Alquran yang ada terjemahannya, bekal itu akan sangat bermanfaat. Termasuk juga, bagi jamaah yang sudah bisa membaca Alquran, tetapi tidak bisa berbahasa Arab.

Bagi jamaah yang sudah bisa membaca Alquran, tetapi tidak berbahasa Arab, usaha memahami makna ayat-ayat suci Alquran bisa dilakukan. Tidak hanya sekadar membaca Alquran tanpa mengerti artinya. Sedangkan bagi yang tidak bisa membaca tulisan Alquran, paling tidak bisa membaca terjemahannya saja.

Dengan demikian, kegiatan sehari-hari di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram di luar waktu tawaf , tak hanya diisi dengan melaksanakan shalat wajib atau shalat sunah. Akan tetapi, juga bisa diisi dengan kegiatan membaca Alquran, baik dalam huruf hijaiyah atau huruf Arabnya, maupun terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Membawa Alquran dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia ini juga sangat bermanfaat saat pelaksanakan wukuf di Arafah dan mabit di Mina. Saat pelaksanaan wukuf yang berlangsung sejak matahari terbit hingga matahari tergelincir di atas kepala, jamaah bisa mengisi waktu tersebut dengan mendengar khutbah, beriktikaf, melaksanakan shalat sunah, maupun membaca Alquran yang ada terjemahannya.

Demikian juga saat melaksanakan mabit di Mina. Selama tinggal di tenda-tenda kawasan Mina ini, jamaah bisa mengisi waktu-waktu luangnya dengan membaca Alquran yang ada terjemahan bahasa Indonesia. Dengan demikian, bagi jamaah yang tidak bisa membaca Alquran sekalipun, bisa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang bermanfaat.

Sumber: Pusat Data Republika

Redaktur : Agung Sasongko

Keutamaan Puasa Arafah

Puasa Arafah merupakan salah satu puasa yang sangat dianjurkan. Hukumnya sunnah muakkad. Sunnah yang sangat dianjurkan.

Puasa Arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah, sehari sebelum Idul Adha. Pada saat jamaah haji melakukan wukuf di Arafah, kaum muslimin yang tidak sedang haji disunnahkan untuk melakukan puasa Arafah.

Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa, lebih besar dari pada puasa Asyura. Jika puasa asyura dapat menghapus dosa setahun sebelumnya, keutamaan puasa Arafah bisa menghapus dosa selama dua tahun; satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya.

“Rasulullah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya” (HR. Muslim)

: :

“Dari Abi Qatadah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, seorang laki-laki bertanya kepada beliau, “Bagaimanakah puasa arafah?” Beliau menjawab, “Ia dicatat di sisi Allah dapat menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR. Ahmad)

Masya Allah demikianlah keutamaan besar puasa Arafah. Semoga kita termotivasi untuk mengerjakannya dan Allah memberikan kepada kita kemudahan serta ridhaNya.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2239614/keutamaan-puasa-arafah#sthash.Dz1O7Mjy.dpuf