Rahmat Allah SWT Bagi Wanita Berjilbab

Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend` dan biasa kita dengar adalah “Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka `ngerumpi` berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati! lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.

Syubhat lainnya lagi adalah “Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ??

Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta`ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini.

Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah disekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana.

Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak(zDahir) dalam diri orang itu.

Lalu bagaimana pendapatmu ketika anda melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah anda bisa menebak wanita itu muslimah ataukah tidak? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non muslimah lainnya.Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu “ala llah` artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.

Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam) begitupula istri-istri sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna (lihat QS: 24 ayat 31 :

Surat An-Nur ayat 31

Artinya : “ Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” ( Surat An-Nur Ayat 31 )

dan QS: 33 ayat 59

Surat Al-Ahzab ayat 59

Artinya :” Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Ta`ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya. ” ( Surat Al-Ahzab ayar 59 ).

Tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Taala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya.

Jangan Bersedih, Allah Bersamamu

Janganlah bersedih.

Hadapkanlah dirimu kepada Allah sembari berdoa kepada-Nya, baik dalam kemudahan atau kesulitan. Dalam kebahagiaan atau kesedihan. Kembalilah kepada-Nya. Memohon kemudahan dari setiap musibah, tunduk kepada-Nya ketika tertimpa bencana. Dia-lah yang menyelamatkan dari tenggelam, mengembalikan yang hilang, memudahkan yang tertimpa musibah, menolong yang didzalimi, memberi petunjuk orang yang tersesat, menyembuhkan orang yang sakit, dan menyelamatkan manusia dari bencana.

Janganlah bersedih selama Allah bersamamu.

Ketahuilah bahwa dalam kesulitan ada kemudahan. Setelah kesempitan ada keluasan. Setelah kesedihan ada kebahagiaan. Setelah takut ada aman. Setelah khawatir ada ketentraman.

Lihatlah laut tidak menenggelamkan Nabi Musa, karena ada suara jujur berdoa, “Sekali-kali tidak akan tersusul : sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. As Syu`araa [26]: 30).

Lihatlah ketika api tidak dapat membakar nabi Ibrahim karena ia bertawakkal kepada Allah, maka terbukalah perlindungan Allah, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. Al Anbiyaa`[21]: 69).

Lihatlah Nabi Muhammad Saw. ketika kaum musyrikin tidak menemukannya karena lisannya berdoa, “Janganlah bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.”

***


Sumber: Buku La Tahzan for Women, Penulis: Nabil bin Muhammad Mahmud

 

sumber: Abatasa

La Tahzan, Jangan Bersedih Menghadapi Masa Sulit

Larut dalam kesedihan tidak akan membawa perubahan apa pun. Kesedihan tak bisa mengubah keadaan. Kegelisahan tidak akan menaikkan nilai tukar rupiah. Duka tidak akan mampu mengurangi jumlah PHK.

Kesedihan hanya membuat jiwa merana. Gelisah hanya membuat pikiran tertekan. Kekhawatiran yang tak beralasan hanya mengundang sakit dan kelemahan.

La tahzan. Jangan bersedih. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di setiap masa sulit, Allah pasti menyediakan pertolongan; bagi hambaNya yang senantiasa berdoa dan giat berusaha.

Daripada waktu tersita untuk bersedih, hamparkan sajadah dan tunaikan shalat sunnah. Ikhlaskan niat menghambakan diri kepadaNya dan akan kau rasakan lapangnya dada dan luasnya rahmat Allah Azza wa Jalla. Hayati setiap takbir yang terucap, bahwa Allah Maha Besar. Segala masalah di dunia tak ada yang besar bagiNya. Bahkan dunia itu sendiri bukan sesuatu yang besar di hadapan kekuasaan-Nya.

Bawa seluruh jiwa berdialog melalui ayat-ayatNya. Hadirkan rasa ketika melafalkan seluruh tasbih, tahmid dan lafadz-lafadz doa. Nikmati ketundukan dalam ruku’ tanpa keterpaksaan. Pasrahkan diri dalam sujud dan letakkan segala beban yang kau rasakan. Seperti bumi yang mampu menyerap air hujan, penyerahan diri akan mengosongkanmu dari segala jerih-letih.

Duduklah bersimpuh menghadapNya, tundukkan hati dan kepala, tengadahkan tangan dan panjatkan doa. Kau tidak sedang memberitahu Yang Maha Tahu, namun kau mengadukan segala yang tak kau mampu. Bermunajatlah memohon pertolongan-Nya, bisikkan segala yang kau pinta.

La tahzan. Jangan bersedih. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di setiap masa sulit, Allah pasti menyediakan pertolongan; bagi hambaNya yang senantiasa berdoa dan giat berusaha.

Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kau nyalakan sebuah pelita. Daripada bersedih, lebih baik kau berusaha. Tatap dunia bahwa dengan izinNya mereka akan mendatangimu. Sebab rezeki telah digariskan dan takkan pernah tertukar. Takkan berakhir usia seorang hamba sebelum seluruh rezekiNya tunai terdistribusikan. Jika demikian, mengapa harus bersedih soal rezeki dan nasib diri?

Tumbuhkan rasa optimis dalam dada. Kembangkan bibir membentuk senyuman. Buka sorot mata penuh harapan. Berbahagialah… menyongsong masa depan.

Lihat setiap peluang, amati setiap kesempatan. Allah takkan membiarkan masalah tanpa memberikan solusinya. Sebagaimana Dia tidak membiarkan ada penyakit melainkan menurunkan obatnya. Allah takkan membiarkan hambaNya yang telah beriman mengadu-meminta lalu bermujahadah dalam ikhtiar, melainkan akan memberinya pertolongan dan kemudahan; dengan cara yang tampak biasa-biasa saja hingga dari arah yang tak pernah disangka-sangka.

 

[Muchlisin BK/Bersamadakwah]

Janganlah Bersedih

Allah yang menciptakan kebahagiaan dan Kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi

Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Kesedihannya semu.

Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki. Di sanalah tempat istirahat dan bersenang-senang yang hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmad dan kenikmatan. Atau kesengsaraan hakiki, di nereka yang panas membara. Tempat kembali orang-orang durhaka kepada Sang Pencipta.

Teringat olehku perkataan yang tersimpan dalam kalbu. Di mana seorang pernah menasehatkan, “Ketahulilah yang selamat hanyalah sedikit. Sesungguhnya tipuan dunia akan hilang. Semua kenikmatan selain surga akan sirna. Dan semua kesusahan selain neraka adalah keselamatan.”

Pembaca yang kami muliakan. Perlu kita sadari bahwa kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Tuhan semesta alam. Apakah menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah daarul ibtilaa’ (negeri tempat ujian dan cobaan). Allah ‘azzawajalla berfirman,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali” (QS. Al-Anbiya: 35).

Ikrimah –rahimahullah– pernah mengatakan,

ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبر

“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”

Senang dan duka adalah sunatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan Kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti. Jangankan kita, generasi terbaik umat ini, para wali Allah, yakni para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun pernah dirundung kesedihan. Allah menceritakan keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang uhud.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah ingin memberi bukti kebenaran kepada beriman (dengan orang-orang kafir) dan menjadikan sebagian diantara kalian sebagai syuhada’. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Ali Imran: 140).

Allah yang menciptakan kebahagiaan dan Kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya Kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Tuhan yang maha rahmat dan mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah. Merendah merengek di hadapan Allah. Bersimpuh pasrah kepada Tuhan yang maha penyayang. Seperti aduannya Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercinta; Yusuf ‘alaihimas sasalam

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku” (QS. Yusuf: 86).

Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah yang maha hakim (bijaksana) itu.

وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ

“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43).

Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman.

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَهُوَ الْمُؤْمِنُ

“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman” (HR. Tirmidzi).

Atau seorang merasa sedih saat tertinggal shalat jamaah di masjid, menyia-nyiakan waktu, tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari sholat tahajud, ini suatu hal yang terpuji. Ini tanda adanya cahaya iman dalam hatinya.

Yang tercela adalah saat seorang larut dalam sedihnya. Hingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, kesedihan yang menghancurkan harapan. Sampai membuatnya tidak mau bergerak, tidak ada ikhtiyar untuk mengubah keadaannya untuk menjadi insan yang bahagia.

Yang tercela kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah. Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia. Betapa banyak orang-orang yang tergelincir dari jalan Allah karena larut dalam kesedihan. Oleh karenanya, Nabishallallahu’alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari rasa sedih. Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi adalah,

اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ..

// Allahumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazani…//

“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari gundah gulana dan rasa sedih…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidak perlu berlama-lama memendam kesedihan dalam hatimu. Banyak yang tak menyadari, ternyata setan senang melihat seorang mukmin bersedih. Ia amat menginginkan kesedihan itu ada pada orang-orang beriman. Allah ‘azzawajalla mengabarkan dalam firmanNya,

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang-orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang-orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal” (QS. Al-Mujadilah: 10).

Tahukah anda wahai pembaca sekalian. Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Al-Qurán tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya Madaarijus Saalikiin.

Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 139).

وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka” (QS. An-Nahl: 127). Beberapa ayat juga berbunyi senada.

Kemudian firman Allah ta’ala,

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ

“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita” (QS. At-Taubah: 40)

Adapun dalam konteks kalimat negatif (peniadaan) misalnya firman Allah ta’ala,

لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah: 38)

Apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan,

وسر ذلك أن الحزن موقف غير مسير، ولا مصلحة فيه للقلب، وأحب شيء إلى الشيطان :أن يحزن العبد ليقطعه عن سيره ويوقفه عن سلوكه، قال الله تعالى : {إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا }

Rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, tidak ada maslahat bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا

“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita” ([QS. Al-Mujadalah: 10].  Madaarijus Saalikiin hal: 1285).

Islam Menginginkanmu Bahagia

Bersyukurlah anda atas nikmat Islam. Karena Islam adalah agama yang menginginkan anda untuk senantiasa bahagia. Allah ‘azza wa jalla. Sang Pembuat Syariat ini tak ingin melihat hamba-Nya bersedih hati. Oleh karenanya, Islam diturunkan untuk membawa kebahagiaan bagi segenap makhluk, bukan untuk menyusahkan. Dalam surat Thaha Allah berfirman,

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ

“Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah” (QS. Thaha: 2). Artinya, Islam diturunkan untuk membuatmu bahagia.

Bahkan, saat seorang jauh dari Islam, saat Itulah kesedihan hakiki akan menghampirinya, dia memang pantas untuk mendapat kesedihan,

Bila kita perhatikan sebuah hadis Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka kita bisa memyimpulkan sebuah kesimpulan yang indah. Di mana Nabi shallallahu’alaihi wa sallampernah bersabda,

إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى رَجُلَانِ دُونَ الْآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ

“Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara/berbisik bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih” (HR. Bukhori no. 6290 dan Muslim no. 2184).

Sekedar berbisik bila membuat saudaranya sedih saja dilarang. Ini menunjukkan bahwa Islam begitu menjaga perasaan penganutnya dan amat menginginkan kebahagiaan dalam hati setiap insan. Bahkan Allah senang melihat tanda-tanda bahagia, itu tampak dalam diri kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada seorang hamba” (HR. Tirmidzi dan An Nasai).

Maka betapa indahnya Islam, agama yang mencintai kebahagiaan pada dirimu, dan mengenyahkanmu dari duka cita, di dunia dan di akhirat. Wahai saudara ku usirlah kesedihan dari hatimu. Jangan biarkan setan memanfaatkannya. Karena setan selalu mengintai setiap gerak-gerik kita. Sebagaimana Rasulullah kabarkan,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ، حَتَّى يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ

“Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam setiap keadaan kalian. Sampai setan ikut hadir di makanan kalian” (HR. Muslim).

Terakhir sebagai penutup tulisan ini, kami ingin katakan, “Anda seorang muslim? Berbahagialah!”

Wallahu ta’ala a’laa wa a’lam.

________

Kota Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, 9 Dzulqo’dah 1436 / 24-08-2015

Ditulis Oleh : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim. Or.id

Hakikat Sabar

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

  1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
  2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
  3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala,“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.”(HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allahtabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’alamembuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

 

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Pelaut Muslim Pertama yang Berkeliling Dunia

Lebih dari enam ratus tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 Juli 1405, sebanya 317 kapal yang diawaki oleh lebih dari 28 ribu awak kapal memulai perjalanan mereka yang bernama “Ekspedisi Harta Karun” yang ditujukan untuk menunjukkan kekuatan Kekaisaran Cina kepada dunia.

Eksepedisi itu di bawah komando seorang Muslim berpangkat laksamana bernama Cheng Ho. Armada kapal itu mengelilingi Asia dan sekitarnya, tepatnya di Palembang. Bahkan pasukan Cheng Ho membantai habis kawanan bajak laut.

Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya India dan sampai di wilayah Asia Tenggara, yakni Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Vietnam hingga Srilanka.

Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi dengan cara barter untuk mendapatkan perbekalan perjalanan.

Matt Rosenberg, seorang ahli geografi terkemuka dunia mengungkapkan, kapal laut yang digunakan Cheng Ho mengelilingi hampir seluruh samudra di dunia di sampai 87 tahun. Bahkan, kata Matt Sosenberg, kapal laut yang dimiliki Cheng Ho lebih dulu berlayar daripada kapal laut milik pelaut kebanggaan Barat, Christopher Columbus.

 

sumber: Republika Online

Jeane Ester Adeilaida: Allah Meridhai Islam sebagai Agama Saya

Jeanne Ester Adelaida Kaunang awalnya mengakui Nabi Isa sebagai Tuhan. Namun, video biarawati yang memaparkan kebenaran Islam mengubah jalan hidupnya.

“Ketika itu ada seseorang yang bertanya kepada saya untuk membuktikan Tuhan itu ada dalam Katolik. Lalu saya lihat video tersebut, saya terguncang,” kata dia kepada Republika belum lama ini.

Zaenab Ester Adelaida, demikian namanya setelah menjadi Muslim, kemudian bertanya kepada kakaknya,  John Jaiz Boudewijn Kaunang. Kebetulan, kakaknya tengah belajar tentang Islam. “Kakak saya waktu itu mengaku belum menjadi Muslim. Padahal sebenarnya sudah bersyahadat lebih dulu,” kata dia.

Melalui kakaknya, ia pelajari sifat Ketuhanan dalam Islam. Ia juga ikuti pengajian yang dihadiri sang kakak. Dari pengajian itu, Zaenab memahami bahwa Tuhan itu berbeda dengan mahluknya. Tuhan tidak mengenal awal dan akhir. Sementara manusia, memiliki awal dan akhir.

“Logika ini sangat masuk akal. Ini sekaligus membantah doktrin yang saya pahami saat itu,” ucapnya.

Nabi Isa misalnya, adalah ciptaan Tuhan. Ia memiliki mukjizat yang merupakan pemberian Tuhan. Jadi, keliru bila meyakini Nabi Isa sebagai Tuhan. “Dalam ajaran agama saya yang lama, fakta itu ditutupi dengan ayat yang mengatakan berbahagialah kepada mereka yang percaya tapi tidak melihat. Ketika saya bertanya soal Tuhan, pasti jawabannya mentoknya ya ayat itu,” kata dia.

Setelah mempelajari Islam cukup lama, hidayah mendatangi Zaenab. Pada tahun 2013, ia bersyahadat.  Setelah bersyahadat ia terus pelajari Islam. Termasuk, kerasulan Muhammad SAW.  “Beliau manusia yang amanah dan cerdas. Sifat ini juga dimiliki Nabi Isa. Saya pun semakin yakin Islam agama yang saya cari, agama yang telah diridhai Allah untuk saya peluk,” kata lulusan Sastra Cina UI ini.

Sebelumnya, Zaenah hanya memahami Rasulullah sebagai pembawa wahyu. Derajatnya dibawah Nabi Isa yang merupakan anak Tuhan. “Padahal Rasulullah manusia mulia, Nabi Penutup. Nabi yang membawa ajaran tauhid yang juga diajarkan Nabi-nabi terdahulu,” kata dia.

Pemahaman tentang Islam yang kian mantap mempermudah Zaena mengamalkan ajaran Islam.  Karena itu, apabila ada ajaran Islam yang tidak dipahaminya, ia tak malu untuk bertanya kepada siapapun. Semisal, bagaimana seorang Muslim dalam bertransaksi.

“Prinsipnya begini, tidak ada yang tahu kapan dipanggil Allah. Jadi, saya terus manfaatkan kesempatan untuk belajar dan mengimplementasikannya,” kata dia.

 

sumber: Republika Online

Ini Pengaruh Al-Farghani di Eropa

Al-Farghani juga dikenal sebagai ahli teknik sipil. Selama periode yang ia habiskan di Mesir, ia menciptakan Nilometer Kairo di al-Fustat (Kairo tua). Nilometer adalah alat untuk mengukur ketinggian air Sungai Nil.

Alat ini menjadi penemuan dengan nilai ilmiah yang masih bertahan sampai sekarang. Bangunan tersebut selesai dibuat pada 861 M, tahun yang sama di mana Khalifah al-Mutawakkil yang memerintahkan pembangunannya meninggal dunia.

Namun, teknik sipil bukanlah hasrat al-Farghani, seperti tertuang dalam kisah berikut. Khalifah al-Mutawakkil memercayakan pengawasan penggalian kanal al-Ja’fari pada dua anak Musa bin Shakir; Muhammad dan Ahmad. Mereka mendelegasikan pekerjaan tersebut kepada al-Farghani.

Kanal tersebut dibangun agar melewati kota yang baru, al-Ja’fariyya. Kota tersebut dibangun al-Mutawakkil di dekat Samarra di Tigris. Namun, al-Farghani melakukan kesalahan besar. Ia membuat awal kanal lebih dalam daripada yang lain sehingga air tidak bisa mengalir di sepanjang kanal, kecuali saat Sungai Tigris sedang tinggi.

Kebijakan al-Farghani ini kemudian didengar oleh sang khalifah dan membuatnya marah. Namun, hitungan al-Farghani kemudian dibenarkan seorang pakar teknik lainnya yang berpengaruh, Sind Ibn Ali. Paling tidak ini membuat khalifah menerima kebijakan tersebut.

Pengaruh Sang Astronom

Fihrist yang ditulis Ibnu al-Nadim pada 987 M  hanya mencakup dua karya al-Farghani. Pertama, Kitab Bab yang merupakan ringkasan dari Almagest (Kitab al-fusul, Ikhtiyar al-Majisti). Kedua, Buku tentang Pembangunan Jam Matahari (Kitab Amal al-Rukhamat).

Elemen Astronomi adalah karya al-Farghani yang  paling terkenal dan paling berpengaruh. Abd al-Aziz al-Qabisi menulis komentar di dalamnya, yang diawetkan dalam manuskrip Istanbul. Dua terjemahan Latin muncul di abad ke-12.

Terjemahan dalam bahasa Ibrani ditulis Jacob Anatoli dipublikasikan pada 1590 M. Terjemahan ini berfungsi sebagai dasar pembuatan versi Latin yang ketiga. Sedangkan pada 1669 M,  Jacob Golius menerbitkan naskah Latinnya bersama naskah aslinya dalam bahasa Arab.

Pengaruh Elemen Astronomi pada abad pertengahan di Eropa jelas dibuktikan dengan kehadiran naskah Latin yang tak terhitung banyaknya di perpustakaan Eropa. Referensi dari penulis abad pertengahan sangat banyak.

Karena karyanya, al-Farghani menjadi orang yang paling bertanggung jawab menyebarkan  pengetahuan tentang astronomi Ptolemaic, setidaknya sampai peran ini diambil alih Sphere Sacrobosco karya Johannes de Sacrobosco, astronom Inggris abad ke-13.

Setelah Sphere Sacrobosco terbit, buku al-Farghani terus digunakan. Sacrobosco justru merujuk pada buku karya al-Farghani. Dua risalah tentang astrolabe (ditulis sekitar 857) oleh al-Farghani pun mampu bertahan. Astrolabe menjelaskan teori matematika dalam astronomi dan mengoreksi konstruksi geometrikal yang salah tentang titik pusat bumi.

Al-Farghani, Astronom Penentu Ukuran Planet

Astronomi adalah bagian penting bagi kehidupan Muslim. Ada kebutuhan praktis mempelajari astronomi untuk mengetahui waktu shalat sepanjang tahun. Penentuannya berdasarkan posisi Matahari.

Kajian dalam astronomi membuat Muslim mengetahui arah Ka’bah secara geografis yang bisa diketahui berdasarkan posisi Matahari dan Bulan. Kalender umat Muslim adalah kalender lunar yang dibuat dengan melihat fase dan posisi Bulan. Hal ini sangat penting terutama saat bulan suci Ramadan.

Salah satu ahli astronomi Muslim yang pemikirannya bertahan selama berabad-abad adalah Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Kathir al-Farghani. Ia lahir di Farghana, Transoxiana, Uzbekistan dan meninggal di Mesir pada 833 M.

Ia adalah salah satu astronom terkemuka saat pemerintahan al-Ma’mun dan penerusnya. Alfraganus adalah nama populernya di dunia Barat. Al-Farghani adalah salah satu ilmuwan Pleiad yang menjadi anggota Akademi Kebijaksanaan (House of Wisdom) yang didirikan Khalifah al-Ma’mun pada abad ke-9. Dewan Kebijaksanaan  juga dikenal pada waktu itu sebagai Akademi al-Ma’mun.

Pusat ilmu pengetahuan ini menjadi yang pertama di Mery, kemudian di Baghdad. Al-Ma’mun mengundang ilmuwan dari Khoresm, Sogdiana, Shash, Farab, dan Khurasan untuk melakukan pekerjaan ilmiah.

Ada dua observatorium yang dilengkapi dengan peralatan paling modern pada saat itu. Di sanalah astronom dari Akademi al-Ma’mun menghitung lingkar Bumi, panjang derajat meridian Bumi, menyelidiki bintang-bintang, menyusun zibjes (tabel), dan menulis laporan ilmiah.

Al-Farghani menulis Kitab fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum (Elemen Astronomi) antara 833 M dan 857 M. Kitab tersebut adalah buku tentang gerak benda langit dan ilmu menyeluruh bintang-bintang. Terdapat 30 bab di dalamnya, termasuk yang menjelaskan mengenai bagian bumi yang dihuni manusia, ukurannya, jarak benda-benda langit dari bumi, ukurannya dan fenomena lain. Penjelasan mengenai perbedaan kalender Mesir, Yunani, Roma, Rusia, dan Arab juga tercantum di dalamnya.

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dan memberikan pengaruh besar astronomi Eropa sebelum Regiomontanus. Regiomontanus adalah astronom dari Jerman  (6 Juni 1436 – 6 Juli 1476 M).

Ia menyetujui teori Ptolemy dan nilai presesi. Menurutnya, dua hal itu memengaruhi tidak hanya bintang tetapi juga planet. Dialah orang yang menentukan bumi memiliki diameter 6.500 mil atau sekitar 1.500 kilometer. Dia juga yang menemukan jarak terbesar dan diameter planet.

 

Sumber: Pusat Data Republika/Ani Nursalikah