Jangan Biarkan Puasamu Sia-sia

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Di bulan Ramadhan ini setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan puasa dengan menahan lapar dan dahaga mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Namun ada di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, dia tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja yang menghinggapi tenggorokannya. Inilah yang disabdakan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur lagi membawa berita yang benar,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya).

Apa di balik ini semua? Mengapa amalan puasa orang tersebut tidak teranggap, padahal dia telah susah payah menahan dahaga mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari?

Saudaraku, agar engkau mendapatkan jawabannya, simaklah pembahasan berikut mengenai beberapa hal yang membuat amalan puasa seseorang menjadi sia-sia –semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menjauhi hal-hal ini-.

1. Berkata Dusta (az zuur)

Inilah perkataan yang membuat puasa seorang muslim bisa sia-sia, hanya merasakan lapar dan dahaga saja.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Apa yang dimaksud dengan az zuur? As Suyuthi mengatakan bahwa az zuur adalah berkata dusta dan menfitnah (buhtan). Sedangkan mengamalkannya berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan konsekuensinya yang telah Allah larang. (Syarh Sunan Ibnu Majah, 1/121, Maktabah Syamilah)

2. Berkata lagwu (sia-sia) dan rofats (kata-kata porno)

Amalan yang kedua yang membuat amalan puasa seseorang menjadi sia-sia adalah perkataan lagwu dan rofats.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Apa yang dimaksud dengan lagwu? Dalam Fathul Bari (3/346), Al Akhfasy mengatakan,

اللَّغْو الْكَلَام الَّذِي لَا أَصْل لَهُ مِنْ الْبَاطِل وَشَبَهه

Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.”
Lalu apa yang dimaksudkan dengan rofats? Dalam Fathul Bari (5/157), Ibnu Hajar mengatakan,

وَيُطْلَق عَلَى التَّعْرِيض بِهِ وَعَلَى الْفُحْش فِي الْقَوْل

“Istilah Rofats digunakan dalam pengertian ‘kiasan untuk hubungan badan’ dan semua perkataan keji.”

Al Azhari mengatakan,

الرَّفَث اِسْم جَامِع لِكُلِّ مَا يُرِيدهُ الرَّجُل مِنْ الْمَرْأَة

“Istilah rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.” Atau dengan kata lain rofats adalah kata-kata porno.
Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.

3. Melakukan Berbagai Macam Maksiat

Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram. Perhatikanlah saudaraku petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rojab Al Hambali berikut :
“Ketahuilah, amalan taqorub (mendekatkan diri) pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar puasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri, pen) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus :
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,

أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ

Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.

Apakah dengan Berkata Dusta dan Melakukan Maksiat, Puasa Seseorang Menjadi Batal?

Untuk menjelaskan hal ini, perhatikanlah perkataan Ibnu Rojab berikut :
“Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu dia mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang semacam ini tetap dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqodho’) puasanya. Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.”

Ibnu Hajar dalam Al Fath (6/129) juga mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya :
“Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (berhubungan suami istri).”
Mala ‘Ali Al Qori dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih (6/308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”

Kesimpulannya : Seseorang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, menfitnah, dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal puasa, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah. –Semoga kita dijauhkan dari melakukan hal-hal semacam ini-

Ingatlah Suadaraku Ada Pahala yang Tak Terhingga Di Balik Puasa Kalian

Saudaraku, janganlah kita sia-siakan puasa kita dengan hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Marilah kita menjauhi berbagai hal yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa kita. Sungguh sangat merugi orang yang melewatkan ganjaran yang begitu melimpah dari puasa yang dia lakukan. Seberapa besarkah pahala yang melimpah tersebut? Mari kita renungkan bersama hadits berikut ini.
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)

Lihatlah saudaraku, untuk amalan lain selain puasa akan diganjar dengan 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Namun, lihatlah pada amalan puasa, khusus untuk amalan ini Allah sendiri yang akan membalasnya. Lalu seberapa besar balasan untuk amalan puasa? Agar lebih memahami maksud hadits di atas, perhatikanlah penjelasan Ibnu Rojab berikut ini.
“Hadits di atas adalah mengenai pengecualian puasa dari amalan yang dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan hingga 700 kebaikan yang semisal. Khusus untuk puasa, tak terbatas lipatan ganjarannya dalam bilangan-bilangan tadi. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla akan melipatgandakan pahala orang yang berpuasa hingga bilangan yang tak terhingga. Alasannya karena puasa itu mirip dengan sabar. Mengenai ganjaran sabar, Allah berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS. Az Zumar [39] : 10). Bulan Ramadhan juga dinamakan dengan bulan sabar. Juga dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah setengah dari kesabaran.” (HR. Tirmidzi*).
[* Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir no. 2658 mengatakan bahwa hadits ini dho’if , pen]
Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam menjalani ketaatan, sabar dalam menjauhi larangan dan sabar dalam menghadapi taqdir Allah yang terasa menyakitkan. Dan dalam puasa terdapat tiga jenis kesabaran ini. Di dalamnya terdapat sabar dalam melakukan ketaatan, juga terdapat sabar dalam menjauhi larangan Allah yaitu menjauhi berbagai macam syahwat. Dalam puasa juga terdapat bentuk sabar terhadap rasa lapar, dahaga, jiwa dan badan yang terasa lemas. Inilah rasa sakit yang diderita oleh orang yang melakukan amalan taat, maka dia pantas mendapatkan ganjaran sebagaimana firman Allah,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At Taubah [9] : 120).” –Demikianlah penjelasan Ibnu Rojab (dalam Latho’if Al Ma’arif, 1/168) yang mengungkap rahasia bagaimana puasa seseorang bisa mendapatkan ganjaran tak terhingga, yaitu karena di dalam puasa tersebut terdapat sikap sabar.-

Saudaraku, sekali lagi janganlah engkau sia-siakan puasamu. Janganlah sampai engkau hanya mendapat lapar dan dahaga saja, lalu engkau lepaskan pahala yang begitu melimpah dan tak terhingga di sisi Allah dari amalan puasamu tersebut.

Isilah hari-harimu di bulan suci ini dengan amalan yang bermanfaat, bukan dengan perbuatan yang sia-sia atau bahkan mengandung maksiat. Janganlah engkau berpikiran bahwa  karena takut berbuat maksiat dan perkara yang sia-sia, maka lebih baik diisi dengan tidur. Lihatlah suri tauladan kita memberi contoh kepada kita dengan melakukan banyak kebaikan seperti banyak berderma, membaca Al Qur’an, banyak berdzikir dan i’tikaf di bulan Ramadhan. Manfaatkanlah waktumu di bulan yang penuh berkah ini dengan berbagai macam kebaikan dan jauhilah berbagai macam maksiat.

Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, kemampuan untuk menjauhi yang larang dan diberikan rasa kecukupan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber: rumaysho

6 Hal yang Merusak Amal Kebaikan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling dinantikan kedatangannya oleh seluruh umat muslim di dunia. Sedikitnya, ada 4 keistimewaan bulan Ramadhan, di antaranya: Adanya malam Lailatul Qodar, bulan diturunkannya AlQuran, dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka, dan yang paling penting adalah dilipatgandakannya setiap ibadah yang kita lakukan.

Namun, janganlah sampai semua pahala puasa yang kita capai itu harus leyap dengan perbuatan-perbuatan buruk sekecil apa pun. Karena hakikatnya Puasa Ramadhan yang kita lakukan selama satu bulan itu harus berdampak pada kehidupan kita sebelas bulan kemudian.

Coba kita simak tausiah Ustadz Bulkis, S.Th.I, MHI ini,…

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sittatu asy-yaa tukhbitul a’mala.”

“Enam perkara yang bisa merusak amal kebaikan: sibuk mencari keburukan/aib orang lain, keras hati, terlalu cinta dunia, sedikit rasa malu, panjang angan-angan, dan kedhaliman yang tidak pernah berhenti.”

(Hadis Riwayat Ad-Dailami dari Adi bin Hatim)
1. Istighalu Bi ‘uyubil Khalqi. Sibuk mengurus kesalahan orang lain.
Rasullullah SAW melarang kepada kita mencari-cari keburukan orang lain, karena hal itu secara tidak langsung telah membuka sesuatu yang seharusnya ditutupi, kecuali kalau memang tujuannya untuk menegakkan keadilan .

Nabi bersabda: “Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.”
Dalam hadis lain Nabi bersabda : “Betapa bahagianya orang yang tersibukkan mencari aib dan kekurangan dirinya jauh dari mencari aib dan kekurangan orang lain.”
Semua kesalahan orang lain, sekecil apa pun, diketahui. Tapi kesalahan sendiri, sebesar apa pun, dilupakan. Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak, kata peribahasa. Akibatnya, seseorang atau setiap orang sibuk mencari, mencatat, menggugat dan mempermasalahkan kesalahan orang lain. Sehingga persoalan tak beres-beres. Apalagi jika orang yang bersalah itu tidak mau menerima koreksi dari orang lain yang dianggapnya sama-sama punya kesalahan.
2. Qaswatul Qolbi, keras hati.
Keras hati biasanya akibat dihinggapi anasir-anasir riya, ujub, takabbur, dan hasud. Pemilik hati yang berpenyakit itu, sangat menganggu keharmonisan hidup bersama. Sebab selalu ingin menonjolkan diri ingin mendapat pujian (riya), menganggap remeh orang lain (takabbur), merasa hebat sendiri tanpa memerlukan orang lain (ujub), tak suka melihat orang lain punya kelebihan (hasud).
3. Hubbud Dunya, cinta dunia.
Cinta dunia boleh, tapi jangan berlebihan. Karena kita tahu bahwa dunia bukanlah segala-galanya. Islam tidak melarang orang untuk menjadi kaya, bahkan Islam menghendaki umatnya menjadi makmur. Malah dikatakan bahwa: “Beramallah engkau untuk duniamu seolah engkau akan hidup selamanya, dan beramallah engkau untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok .”

Sangat mementingkan materi, tanpa memedulikan urusan halal dan haram. Yang penting banyak uang, banyak kekayaan. Tanggung jawab di akhirat, bagaimana nanti. Yang penting, ambisi-ambisi duniawi terpenuhi. Sudah kaya raya, ingin mempunyai jabatan pula. Sudah meraih jabatan, ingin berkuasa pula. Begitu terus tak ada ujungnya.

4. Qillatul Haya, tak punya rasa malu.
Rasullullah SAW merupakan satu sosok suri tauladan yang sangat besar rasa malunya. Dan malu di sini bukan malu berbuat kebaikan atau amar ma’ruf nahi munkar, tapi malu untuk berbuat dosa/kesalahan .

Sabda Nabi :
“Malu itu sebagian dari Iman.” Dalam sabda lainya berkata, Nabi berkata: “Malu dan Iman adalah bersatu, maka apabila dicabut salah satunya, maka akan tercabut yang lainnya.” ( HR Abu Nuaim )
Berbuat apa saja, termasuk melanggar hukum dan norma, acuh tak acuh saja. Korupsi, kolusi, nepotisme, dilakukan terang-terangan. Berbohong, manipulasi, menyembunyikan kebenaran, sudah menjadi kebiasaan. Berbuat mesum dan merusak etika tata krama, tanpa tedeng aling-aling. Berbagai alasan disediakan untuk melegitimasi hal-hal itu. Tapi semuanya tetap mengacu kepada ketiadaan rasa malu.
5. Thulul amal, panjang angan-angan.
Allah SWT menganjurkan kepada kita supaya banyak berpikir, tapi berpikir dan berharap tentang sesuatu yang logis disertai dengan usaha. Bukan berpikir dan berharap tapi tidak mau berusaha. Karena betapa hebatnya suatu ide/gagasan kalau tanpa direalisasikan maka hanya akan menjadi sebuah lamunan.”

Mengumbar ambisi dan rencana tanpa ditunjang kesiapan perangkat yang memadai. Hanya mengandalkan fantasi dan untung-untungan. Siapa tahu ada keajaiban  yang tiba-tiba datang mengulurkan bantuan untuk mewujudkan semua khayalan. Di tengah situasi dan kondisi hukum yang rancu, keadilan tidak merata, dan kejujuran hanya sebatas omong kosong, mungkin saja perilaku judi dapat mendatangkan hasil di luar dugaan.
6. Dzalimu laa Yantahi, berbuat zalim tanpa henti.
Dzalimu li nafsi (zalim kepada diri sendiri), yaitu merusak hak dan kewajiban diri sendiri sebagai hamba Allah SWT yang harus taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dzalimu lil insan, zalim kepada sesama manusia, selalu berbuat hal-hal yang merugikan orang lain.

Dzalimu lillahi ta’ala, zalim kepada Allah SWT, membangkang kepada segala perintah-Nya untuk berbuat baik dan benar, serta melanggar larangan-Nya untuk menjauhi segala yang diharamkan. Sikap zalim terus-menerus ini, akan menjadi sumber bencana kehancuran tatanan hidup manusia dan kemanusiaan yang menyeluruh. QS Yunus:13 menyatakan, kehancuran umat terdahulu disebabkan mereka terbiasa berbuat zalim.
Pembaca yang budiman demikanlah enam perkara yang apabila salah-satu atau semuanya terdapat pada diri kita, maka rusaklah amalan.

Beramal tapi tidak mendapat pahala dari Allah SWT. Menipu diri sendiri, merasa amalan sudah banyak, tapi tiada nilai di sisi Allah SWT. Na’udzubillahi min dzalik!

 

 

sumber: Alfalahku.com

Hukum Berkumur-kumur saat Berpuasa

Pertanyaan :
Bolehkah berkumur kumur saat Ramadan?

 

Jawaban :

Sahabat, untuk kehati-hatian banyak yang tidak berkumur saat berwudhu agar tidak membatalkan puasa, karena khawatir air yang tertinggal di dalam mulut dapat tertelan.
Akan tetapi, bagaimana sebenarnya hukum berkumur-kumur saat berwudhu? Apakah bisa membatalkan puasa?

Tentu saja, jika diniatkan agar bisa meminum air kumur tersebut dengan menyengaja, tidak perlu dipertanyakan bahwa berkumur-kumur dengan niat demikian pasti membatalkan puasa.

Namun demikian, hukum kumur-kumur yang sesungguhnya (tanpa ada maksud menelan air), adalah mubah atau boleh, dan hal ini tidak membatalkan puasa, demikian juga jika bersiwak atau menyikat gigi ketika berpuasa.

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra. bahwa beliau memandang tidak mengapa seorang yang puasa bersiwak. (HR Abu Syaibah dengan sanad yang shahih 3/35)

Dari Laqith bin Shabrah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sempurnakanlah wudhu’, dan basahi sela jari-jari, perbanyaklah dalam istinjak (memasukkan air ke hidung), kecuali bila sedang berpuasa.” (HR Arba’ah dan Ibnu Khuzaemah menshahihkannya).

Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk menyempurnakan wudhu, kemudian beliau perintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq (mengirup air ke dalam hidung), kecuali ketika puasa.

Ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa boleh berkumur dan mengirup air ke dalam hidung, namun tidak boleh terlalu keras karena dikhawatirkan air masuk ke kerongkongannya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

 

sumber: SindoNews

Perbuatan yang Membatalkan Pahala Puasa

Inilah beberapa perbuatan yang tanpa kita sadari bisa membatalkan pahala puasa Ramadan kita.

  1. Mengucapkan kata-kata dusta atau bohong;
  2. Mengucapkan kata-kata yang tidak membawa manfaat;
  3. Berbuat hasut (dengki) yang dapat merugikan orang lain;
  4. Mengucapkan kata-kata kotor atau keji, sumpah serapah, ungkapan kotor akibat marah;
  5. Menggunjing (membicarakan kejelekan orang lain), adu domba dsb;
  6. Ucapan lantang (teriakan), adu mulut dalam pertikaian;
  7. Memberi kesaksian tidak benar (palsu);
  8. Melihat perempuan lalu timbul nafsu;
  9. Mencium perempuan bukan muhrimnya;
  10. Melakukan pencurian dan sebagainya

sumber: SindoNews

7 Pembatal Puasa yang Disepakati Ulama

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Berikut tujuh pembatal puasa yang disepakati para ulama 4 madzhab atau berdasarkan keterangan para ulama ahli tahqiq,

 

1. Makan

2. Minum

3. Hubungan badan

Dalilnya adalah firman Allah,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..(QS. Al-Baqarah: 187).

Makan, minum, dan hubungan badan dihalalkan ketika malam hari ramadhan. Kemudian Allah perintahkan agar kaum muslimin menyempurnakan puasa sampai malam, meruakan dalil bahwa tiga perbuatan itu dilarang ketika siang hari ramadhan.

Ibnul Mundzir mengatakan,

لم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم الرفث وهو الجماع والأكل والشرب

“Tidak terdapat perbedaan di kalangan para ulama bahwa Allah mengharamkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan rafats yaitu jimak, makan, dan minum di siang hari.” (Al-ijma’, Ibnul Mundzir, hlm. 59)

Ibnu Qudamah mengatakan,

يفطر بالأكل والشرب بالإجماع، وبدلالة الكتاب والسنة

“Orang yang berpuasa menjadi batal karena makan dan minum dengan sepakat ulama, dan berdasarkan dalil Al-Quran dan sunah.” (Al-Mughni, 3/119).

Beliau juga mengatakan,

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من جامع في الفرج فأنزل، أو لم ينزل، أو دون الفرج فأنزل، أنه يفسد صومه

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ulama bahwa orang yang melakukan hubungan badan sampai keluar mani, maupun tidak sampai keluar mani, atau di selain kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal.” (Al-Mughni, 3/134)

Pernyataan ijma juga disampaikan Syaikhul islam Ibn Taimiyah,

ما يفطر بالنصٍّ والإجماع وهو: الأكل والشرب والجماع

“Sesuatu yang bisa membatalkan puasa berdasarkan dalil dan sepakat ulama: makan, minum, dan hubungan badan.” (25/219)

4. Haid

5. Nifas

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah ketika wanita sedang haid dia tidak boleh shalat dan puasa..” (HR. Bukhari 304).

Ibnu Qudamah mengatakan,

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم، وأنهما يفطران رمضان ويقضيان، وأنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم

“Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Mereka harus berbuka ketika ramadhan dan mengqadha di hari yang lain. Dan jika ada wanita haid dan nifas yang nekat puasa maka puasanya tidak sah.” (Al-Mughni, 3/152).

Syaikhul Islam juga menegaskan adanya ijma’,

وكذلك ثبت بالسنة واتفاق المسلمين أنّ دم الحيض ينافي الصوم، فلا تصوم الحائض، لكن تقضي الصوم

“Demikiann pula terdapat dalil sunah dan sepakat kaum muslimin, bahwa keluarnya darah haid, menyebabkan puasa batal. Karena itu, wanita haid tidak boleh puasa, namun wajib mengqadha puasanya.” (Majmu’ Fatawa, 25/220).

Di tempat lain dalam Majmu’ Fatawa, beliau juga menegaskan,

وخروج دم الحيض والنفاس يفطر باتفاق العلماء

“Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa dengan sepakat ulama.” (Majmu’ Fatawa, 25/267)

6. Murtad

Allah berfirman,

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (islam), lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217)

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من ارتد عن الإسلام في أثناء الصوم أنه يفسد صومه، وعليه قضاء ذلك إذا عاد إلى الإسلام، سواءٌ أسلم في أثناء اليوم أو بعد انقضائه…

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang murtad dari agama islam ketika sedang puasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha pusanya di hari itu, jika dia kembali masuk islam. Baik masuk islam di hari murtadnya atau di hari yang lain…” (Al-Mughni, 3/133)

7. Muntah dengan Sengaja

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Siapa yang muntah tidak sengaja dan dia sedang puasa maka tidak perlu dia qadha. Namun barangsiapa yang sengaja muntah maka dia harus mengqadha.” (HR. Abu Daud 2380 dan dishahihkan Al-Albani).

Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ mengatakan,

وأجمعوا على إبطال صوم من استقاء عامداً

“Para ulama sepakat bahwa puasa orang yang muntah dengan sengaja statusnya batal.” (Al-Ijma’, 49).

Inilah pendapat ulama 4 madzhab, hanya saja mereka berbeda pendapat tantang rincian muntah yang membatalkan puasa. Berapa ukuran muntah yang bisa menyebabkan puasa seseorang batal.

Menurut Abu Yusuf, muntah yang membatalkan adalah muntah yang ukurannya sepenuh mulut. Jika kurang dari itu, puasanya tidak batal, karena tidak dianggap muntah. (Al-Hidayah, 1/120).

Sementara dari Imam Ahmad, ada 3 riwayat yang berbeda,

Muntah dengan sengaja membatalkan puasa baik sedikit maupun banyak

Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika sepenuh mulut.

Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika banyaknya setengah mulut

Riwayat pertama yang lebih kuat, berdasarkan makna umum dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

[simak Al-Mughni, 3/132]

Allahu a’lam

 

 

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/19268-7-pembatal-puasa-yang-disepakati-ulama.html

Kupas Tuntas Enam Pembatal Puasa

Sebagaimana ibadah yang lainnya, puasa pun dapat menjadi batal karena suatu hal. Apa saja yang termasuk pembatal puasa? Berikut ini adalah rincian beberapa hal yang dapat membatalkan puasa.

1. Makan dan Minum dengan Sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.[1] Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khamr, rokok,[2] racun dan lainnya) atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat (seperti potongan kayu, kertas dan lainnya).[3] Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ.

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Qs Al-Baqarah 187).

Namun, jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa untuk makan dan minum, puasanya tidaklah batal. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللّٰهُ وَسَقَاهُ.

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.[4]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللّٰهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.

Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.[5]

Yang juga termasuk kategori makan dan minum (yang dapat membatalkan puasa) adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqadha’ puasanya, tanpa ada kaffarah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]

Catatan Penting:

Meskipun telah disinggung di atas, dalam beberapa referensi disebutkan pembahasan dan pedebatan para ulama terkait dengan sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut, kerongkongan dan lambung saat berpuasa. Apakah sesuatu yang masuk ke dalam lambung otomatis membatalkan puasa ataukah dipersyaratkan yang masuk adalah makanan sehingga masuk dalam kategori pembatal puasa?

Para ulama dalam masalah ini berselisih pendapat. Sebab perselisihan yang ada mengenai qiyas makanan dengan selain makanan. Yang dapat dipahami secara tekstual dari dalil hanyalah masuknya makanan ke dalam perut yang bisa membatalkan puasa.

Jika dilogikakan (ma’qul), maka tidak bisa diqiyaskan makanan tadi dengan selain makanan. Namun jika ada yang menganggap bahwa pembahasan ini tidak bisa dilogikakan (ghairu ma’qul), maka yang dimaksud larangan makan ketika puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang masuk ke dalam tubuh baik yang masuk berupa makanan atau benda lainnya. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Dari penjelasan di atas, untuk permasalahan ini intinya ada dua pendapat ulama:

Pendapat pertama, mayoritas ulama terdahulu dan saat ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam perut membatalkan puasa walaupun yang masuk bukan berupa makanan, tidak bisa larut dan tidak bisa mencair. Seandainya ada sepotong besi atau batu masuk dengan sengaja ke dalam tubuh, maka puasanya batal. Demikian pendapat mazhab Abu Hanifah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.

Alasan mereka, bahwa:

  1. Nabi g Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghindari celak mata yang bisa masuk melalui mata hingga kerongkongan. Padahal celak mata bukanlah makanan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak disyaratkan yang masuk ke dalam tubuh berupa makanan yang dianggap sebagai pembatal puasa.
  2. Puasa adalah menahan diri (imsak) dari memasukkan segala sesuatu ke dalam tubuh. Jika seseorang memasukkan non makanan, itu berarti tidak menahan diri (imsak). Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa orang yang makan tanah atau batu tetap disebut makan.
  3. Ibnu ‘Abbas q pernah berkata,

إِنَّمَا الْفَطَرَ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ.

“Pembatal puasa adalah segala sesuatu yang masuk dan bukan yang keluar.[8]

Namun, ketiga alasan di atas disanggah oleh ulama lainnya, dengan sanggahan bahwa:

  1. Hadits yang membicarakan masalah celak sebagai pembatal puasa adalah hadits dhaif(lemah). Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah (di antaranya) celak mata tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para shahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana ajaran Islam lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shahih, dhaif, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dhaif (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.”[9]
  2. Penyebutan makan disebutkan oleh mayoritas pakar bahasa dikaitkan dengan makanan seperti dalam Lisanul ‘Arab disebutkan,

أَكَلْتُ الْطَعَامُ أَكْلاً وَمَأْكُلاً

“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”

Ar-Ramaani dalam Al-Mishbahul Munir berkata,

اَلْأَكْلُ حَقِيْقَةً بَلْعُ الْطَعَامُ بَعْدَ مُضْغِهِ فَبَلْعُ الْحَصَاةُ لَيْسَ بِأَكْلِ حَقَيْقَةً

“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”

Dalam Al-Mufrodhaat Al-Ashfahani disebutkan,

اَلْأَكْلُ تَنَاوَلُ الْمُطْعَمِ

“Makan adalah mencerna makanan.”

Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Puasa itu meninggalkan makanan dan minuman.[10]

  1. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa mengenai hal ini terdapat khilaf (perselisihan pendapat) apakah setiap yang masuk ke dalam tubuh itu membatalkan puasa atau hanyalah dikhususkan makanan. Lagi pula tidak setiap yang keluar itu tidak membatalkan puasa. Buktinya saja, darah haid jika keluar dan muntah dengan sengaja membatalkan puasa padahal itu adalah sesuatu yang keluar. Sehingga perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya tidak bisa jadi dalil pendukung.

Pendapat kedua, yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hasan bin Shalih, sebagian ulama Malikiyah dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang kuat, puasa tidaklah batal dengan menggunakan celak mata, injeksi pada saluran kemaluan dan tidak batal pula dengan memasukkan sesuatu yang bukan makanan.” [11]

Alasan mereka, bahwa:

  1. Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf.”
  2. 2. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak” [12]. Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.

Pendapat Terkuat

Pendapat yang lebih mendekati dalil adalah pendapat kedua. Namun karena memperhatikan khilaf (mura’atul khilaf), maka kami memilih pendapat pertama karena kehati-hatian. Wallahu a’lam.

2. Muntah dengan Sengaja.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ.

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya [13]. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.[14]

3. Haid dan Nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haid atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, maka puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama”[15] .

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ. قُلْنَ بَلَى. قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

Bukankah kalau wanita tersebut haid, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.[16]

Jika wanita haid dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah radhiyallahu anha, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat [17].” Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas wajib mengqadha’ puasanya ketika ia suci.[18]

4. Keluarnya Mani dengan Sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium dan lainnya. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqadha’, tanpa menunaikan kaffarah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”[19].

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[20]

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[21]

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal [22]. Alasannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللّٰهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” Wallahu A’lam.

5. Berniat Membatalkan Puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, ia telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan” [23].

Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[24]Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqadha’ puasanya di hari lainnya.[25]

6. Jima’ (Bersetubuh) di Siang Hari.

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqadha’ dan menunaikan kaffarah. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat:

(1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.

Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qadha’ dan tidak ada kaffarah.[26]

Kaffarah

Apakah kaffarah atau tebusan yang harus dibayarkan oleh orang seperti ini? Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[27]

Berdasarkan hadits di atas, maka kaffarah dalam hal ini adalah sebagai berikut:

  1. Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
  2. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut
  3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud makanan.[28]

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja[29] dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kaffarah. Apakah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini.

Namun yang jadi perbedaan di antara para ulama, apakah kaffarah ini dibebankan kepada laki-laki dan perempuan secara bersama-sama, atau hanya dibebankan kepada laki-laki saja.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kaffarah dan yang menanggung kaffarah adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kaffarah sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kaffarah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kaffarah adalah hak harta. Oleh karena itu, kaffarah dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[30]

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kaffarah di atas, kaffarah tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An- Nawawi Rahimahullah.[31]

Adapun hadits di atas tidaklah menafikan adanya kaffarah. Bahkan dalam hadits tersebut menunjukkan masih tetap ada kewajiban kaffarah bagi laki-laki tersebut. Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberitakan bahwa orang tersebut tidak dapat memenuhi ketiga bentuk kaffarah di atas. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat hadiah kurma dan memerintahkan kepada orang tadi untuk menggunakannya sebagai kaffarah. Seandainya kaffarah tersebut gugur karena tidak mampu, maka tentu saja orang tadi tidak memiliki kewajiban apa-apa dan tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk bersedekah dengan kurma tersebut. Hal ini menunjukkan tentang masih adanya kewajiban kaffarah bagi orang tersebut.[32] 

[AW/Tutorial Ramadhan]

 

sumber: PanjiMas

___________________________

 

 

 

 

[1]         Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267

[2]         Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab Ash-Shiyam, 17/148

[3]         Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48

[4]         HR Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155

[5]         HR Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[6]         Lihat Shifat Shaum Nabi, hal. 72

[7]         Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/105

[8]         HR Al-Baihaqi dan dihasankan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 6: 327

[9]         Majmu’ Al-Fatawa, 25: 234

[10]       HR Bukhari no. 1903

[11]       Majmu’ Al-Fatawa, 20: 528

[12]       Majmu’ Al-Fatawa, 25: 245

[13]       Maksudnya, tidak menjadikan puasanya batal sehingga tidak wajib mengqadha’

[14]       HR Abu Daud no. 2380. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[15]       Majmu’ Al-Fatawa, 25/266

[16]       HR Bukhari no. 304

[17]       HR Muslim no. 335

[18]       Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 2/9917

[19]       HR Bukhari no. 1894

[20]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52

[21]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54

[22]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/54

[23]       HR Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al-Khattab

[24]       Al-Muhalla, 6/174

[25]       Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106

[26]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/68.

[27]       HR Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111

[28]       Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 4/97, Asy-Syamilah.

[29]       Tidak termasuk di dalamnya jika dalam keadaan lupa. Khusus untuk hal ini yakni hukum orang yang berjima’ namun terlupa bahwa ia sedang berpuasa, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam hal ini terdapat tiga pendapat: pertama, tidak ada kewajiban qadha’ ataupun kaffarah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan jumhur ulama. Kedua, wajib atasnya qadha’ tanpa ada kewajiban membayar kaffarah. Ini pendapat Malik. Ketiga, wajib mengqadha’ dan membayar kaffarah. Ini pendapat yang paling popular dari Imam Ahmad. Maka pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.” (Lihat Kitab Haqiqatu Ash-Shiyam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Wallahu a’lam.

[30]       Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah 2/9957 dan Shahih Fiqih Sunnah, 2/108

[31]       Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224

[32]       Inilah yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 4/97- Pendapat inilah yang dipilih oleh An-Nawawi sebagaimana judul bab yang beliau bawakan dalam Shahih Muslim.

Memurnikan Makna Jihad di Bulan Suci

Jihad menjadi kata yang sering kali disamakan dengan teror. Media-media barat kerap menyebut teroris sebagai ‘jihadis.’ Fenomena Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang memenggal kepala manusia kian mengukuhkan persepsi itu. Sejak serangan 9/11 hingga konflik Suriah, istilah jihad kian mengalami penyusutan makna.

Hanya, jihad memiliki makna berbeda bagi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Muhammad Rudi. Dia mengartikan jihad sebagai bahasa membantu sesama. Rudi menjadi satu dari tiga relawan BSMI yang berangkat ke Suriah untuk mengirimkan bantuan logistik. Dia menjadi saksi perang saudara di Suriah yang berkobar sejak 2013 lalu. 

Rudi berangkat bersama dokter dan perawat dari Jakarta pada Maret 2013. Mereka pergi melewati Istanbul, Hatay. kemudian gerbang Babulhawa menuju Kota Aleppo. Rudi menghabiskan dua pekan di Aleppo untuk membantu korban yang membutuhkan tenaga medis di Rumah Sakit Zabir. Ketika itu, BSMI bekerja sama dengan Aleppo City Medical Council (ACMC) untuk menyalurkan bantuan. 

“Kami membawa 12 tas berisi alat operasi, obat-obatan anestesi, untuk luka terbuka dan peralatan ortopedi serta obat-obatan umum untuk pengungsian,” kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (8/6).

Ketika itu, Aleppo telah menjadi kota mati. Rudi harus melewati jalan pedesaan karena jalan utama hancur ditembaki tentara Suriah. Dentuman bom dan bisingnya tembakan jadi pemandangan sehari-hari Rudi dan kawan-kawan.

Situasi bertambah pelik saat warga sipil mulai mempersenjatai diri. Mereka khawatir diserang secara tiba-tiba. Bantuan pun diberikan secara diam-diam pada malam hari. Ketika itu, tentara dan Pemerintah Suriah melarang bantuan dari luar negeri.

“Jika ketahuan, kami akan dalam bahaya karena setelah masuk Suriah, kami tidak lagi dikawal oleh tentara Turki. Kami harus bisa menjaga diri dan dilarang berfoto-foto,” ujar dia.

Rudi memaknai kenangan manisnya itu sebagai jihad kemanusiaan. Di tengah dua kubu yang berperang, Rudi menjelaskan, BSMI tidak bisa memilah. Dia menjelaskan, lembaga kemanusian tidak boleh membela siapa pun di tengah perang. Ketika melihat korban terluka, mereka wajib menolongnya.

Syekh Al Azhar Ahmad ath-Thayyib mengatakan, konsep jihad sering diselewengkan oleh kelompok-kelompok bersenjata, ekstrem, dan sektarian. Beberapa kelompok tersebut menganggap bahwa membunuh siapa saja yang mereka kehendaki adalah jihad. Syekh menyebut, hal itu merupakan salah satu kesalahan terbesar dalam memahami syariat Islam.

Menurut Syekh Al-Azhar, jihad dalam Islam disyariatkan untuk melindungi jiwa, agama, dan negara. Ia sendiri masih ingat betul pada masa kecilnya, ketika gurunya mengajarkan bahwa sebab yang membolehkan membunuh orang lain adalah tindakan menyerang, bukan karena persoalan “kafir.” Namun, pelaku teror tersebut memahami bahwa yang kafir wajib dibunuh.

Dalam sejarah Islam, Ramadhan pun sering kali lekat dengan maknajihad. Misalnya saja jihad melawan hawa nafsu, rasa ingin makan, dan bersenggama. Semangat jihad juga relevan untuk menaklukkan rasa dendam dan benci kepada orang lain, tanpa kecuali. Jihad ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam Fathu Makkah. Sebuah penaklukan kota yang dihuni para pembenci Islam dan Muhammad.

Penaklukan itu terjadi pada Ramadhan pada tahun ke-8 Hijriyah. Sekitar 10 ribu pasukan Muslimin bersenjata lengkap mengepung Makkah. Namun, apakah mereka membunuh kafir Quraisy yang sudah membantai keluarga nabi dan para sahabat? Sejarah membuktikan tidak. Rasulullah justru memberi pengampunan massal kepada warga Makkah.

Rasulullah pun mengucapkan pidato singkat yang dikenang hingga saat ini. “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”

sumber: Republika Online

Ini Alasan Mengapa Manusia Butuh Agama

Anggota DPD RI Nofi Candra mengatakan, banyak bukti orang-orang sukses ternyata tidak hanya memiliki kecerdasan spiritual yang bagus. Banyak pula yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi tapi tidak bisa mencapai sukses sebab keseimbangan kecerdasan spiritual dan intelektual sangat menentukanlah menentukan masa depan seseorang.

“Cara pandang di atas akhirnya memang membuktikan fitrah manusia membutuhkan kehadiran ajaran agama. Agama menjadi pengendalian dari kecerdasan akal yang memang membutuhkan tali kekang,” kata Nofi, Sabtu, (4/6).

Seperti dikatakan Buya Hamka agama laksana tali kekang kuda bagi manusia. Dimana ajaran-ajaran agama dan ibadah yang mesti dilaksanakan menjadi alat bantu agar manusia tidak menggunakan akal untuk merusak kemanusiaannya.

Akal berkembang liar, nalar bisa cerdas menggali potensi dunia, bisa rakus jika bersanding dan bekerja sama dengan dengan hawa nafsu. Bisa membunuh dan merusak alam melebihi apapun juga. “Karena potensi akal memang bisa melakukan itu. Kehadiran agama, menjadi penjaga liarnya nalar,” ujar Nofi.

Ibadah puasa, sebagai ibadah wajib kaum beriman, satu dari sekian banyak ibadah yang membuat akal, hawa nafsu, bisa ditundukkan dengan sikap tawaddu, pengendalian diri dari hal-hal yang merusak ibadah. Ini ibadah yang membangun pondasi kejujuran luar biasa.

Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan yang setiap tahun dirindukan kedatangannya, tempat kita mengasah kecerdasan spiritual. Agar kita terjaga untuk membangun nilai-nilai luhur kemanusiaan, meningkatkan kebajikan atas kehidupan di sekitar kita.

Pengalaman di bidang bisnis, terang dia,  di mana tempat adu strategi berbisnis membutuhkan segala kecerdasan, tidak hanya kecerdasan intelektual dan  kecerdasan emosional semata. Tetapi juga harus dilengkapi dengan kecerdasan spiritual.

“Orang-orang bisnis yang sukses, senyatanya memang memiliki tiga kecerdasan itu secara baik dan seimbang. Banyak yang tersungkur karena tidak seimbangnya tiga hal tersebut, atau hanya mengedepan satu dari padanya,” ujar Nofi.

 

 

sumber: Republika Online

Muhammad Ali: Allah The Greatest!

‘’Cassius Clay itu nama budak!’’ Sumpah serapah ini pernah dilontarkan salah satu petinju terbesar di dunia, Muhammad Ali, saat ditanya wartawan mengenai perubahan namanya pada paruh akhir tahun 1960-an. Ali gusar karena para wartawan yang ke mana dia pergi selalu merubungnya dan selalu menanyakan soal nama barunya setelah memeluk Islam itu.

‘’Nama saya Ali, Muhammad Ali. Saya the Greatest,’’ katanya lagi yang nama kecil lengkapnya bernama Cassius Marcellus Clay Jr (lahir 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika). Saluran berita televisiCNN baru saja menyatakan Ali meninggal dunia setelah berjuang selama 30 tahun melawan penyakit parkinson yang diidapnya. “Boxing legend Muhammad Ali Dead At 74,’’ tulis CNN dalam siaran beritanya pagi ini (Sabtu 4/6).

Meski dikenal jagoan baku pukul, semenjak kecil Ali dikenal sebagai pribadi yang baik dan menyenangkan. Dia penurut, tak pernah terlibat perkara kriminal seperti misalnya si petinju leher beton Mike Tyson yang suka berkelahi semenjak kecil.

Teman-teman kecilnya menyebut Ali yang merupakan putra tukang cuci pakaian ini sebagai teman yang menyenangkan. Kebugaran dan kekuatan fisiknya sudah ditempanya semenjak masa sekolah dasar. Ketika teman-teman pergi ke sekolah menumpang bus, dia memilih berlari ke sekolah meski seorang diri.

“Kalau kami naik bus ke sekolah, Ali malah memilih berlari ke sekolah yang jarak dari rumah sekitar enam kilometer. Hebatnya, dia selalu lebih dulu sampai di sekolah daripada kami yang pergi menumpang bus,” cerita seorang tetangga perempuan Ali, di Louisville, beberapa tahun silam.

Jerry Icenberg, kolumnis senior Newark Star-Ledger menyatakan, Ali seorang nice guy atau punya kepribadian yang menyenangkan. Dia mampu menyebarkan semangat kemanusiaan dan menjadi penerang bagi dunia. “Ali seorang genuine Muslim (pribadi Muslim yang utuh),’’ kata Icenberg.

I love Muhammad Ali. Dia seorang legenda dan juara sejati bagi keseluruhan umat manusia. Muhammad Ali memang the Greatest sekaligus juara yang sejati,’’ kata promotor tinju kondang Don King.

 

Menjadi Muslim dan Perjuangkan Hak Kaum Negro

Mengenai soal pergantian namanya dalam buku otobiografinya, Ali mengaku pilihan dirinya menjadi Muslim itu dilakukan setelah merengkuh gelar juara dunia tinju pertamanya atas Sony Liston pada tahun 1964, serta masuknya dia dalam kelompok Nation of Islam (NOI) yang kontroversial. Namun, pada buku biografi Ali yang diluncurkan pada tahun 2004, Ali mengaku sudah tidak bergabung dengan NOI, tetapi bergabung dengan jamaah Islam Sunni pada tahun 1975.

Dan memang, semenjak pertengahan 1960-an, di Amerika timbul gerakan antiperang yang melahirkan sebutan lahirnya “generasi bunga”. Generasi ini sangat menentang perang dan anti terhadap perbedaan ras.

Salah satu isu yang penting saat itu adalah soal perang Vietnam dan tersisihnya hak orang kulit hitam di Amerika. Saking kesalnya atas perlakukan rasial itu, Ali seraya berseloroh sering mengatakan kaum kulit putih di Amerika menganggap dirinya seperti seorang Tarzan, “Orang kulit putih yang hidup sendirian di dalam rimba belantara.” Selain itu, sebagai protes atas rasialisme di Amerika Serikat, Ali pun pada tahun 1960 membuang medali emas Olimpiadenya ke Sungai Ohio di Kentucky.

Sebagai puncak perlawanan atas rasialisme dan meluasnya peperangan, maka Ali pada saat itu pun menolak mengikuti wajib militer yang mengharuskannya menjadi tentara. Ia menolak karena memang tak sudi ikut berperang ke Vietnam. Ia menyatakan tak pernah punya urusan atau masalah dengan orang Vietnam. Apalagi Vietkong (tentara pengikut panglima tentara Vietnam Ho Chi Minh) tak pernah membunuh atau menyebut dirinya sebagai seorang negro.

“Tidak ada Vietcong yang menyerang saya. Tidak ada Vietkong yang pernah menelepon lalu menyebut saya dengan panggilan negro,” kata Ali.

Selain itu Ali mengatakan, “Musuhku itu orang kulit putih, bukan Vietkong, Cina, atau Jepang. Kalian kulit putih menghalangiku mendapatkan kebebasanku, menghalangiku mendapatkan keadilan. Bahkan kalian kulit putih tak mau mendukungku untuk melakukan apa yang diperintahkan agamaku, kalian malah menyuruhku pergi dan menyuruhku bertarung padahal kalian tak pernah mendukungku saat di rumah.”

Sikap menolak tetap dia pegang meski kemudian lisensi tinjunya terancam dicabut, masuk penjara, dan kehilangan gelar sebagai juara dunia. Situasi vakum bertinju ini berlangsung empat tahun dari tahun 1967-1971 atau baru berakhir ketika Mahkamah Agung AS memenangkan kasusnya.

 

Menjadi ‘The Greatest’ Dalam Pertarungan di Tengah Rimba Afrika

Setelah memenangi kasus hukumnya, Ali kemudian bertinju kembali. Lawan pertamanya Oscar Bonavena di Madison Square Garden pada bulan Desember 1971. Ia berhasil menang TKO di babak ke-15. Berkat kemenangan ini, Ali kini menjadi pesaing utama yang akan melawan juara dunia kelas berat yang pada saat itu dipegang Joe Frazier. Namun sayang, meski kemudian Jao Frazier berhasil dikalahkan (pada pertarungan kedua), gelar dunia keburu melayang kepada si Beruang Besar George Foreman.

Maka, promotor tinju nomor wahid dunia saat itu, Don King, kemudian mengatur pertarungan antara Ali melawan George Foreman di Kinshasa, Zaire, pada 30 Oktober 1974. Don King menamai gelanggang adu jotos ini “The Rumble in the Jungle ” (Pertarungan di Tengah Rimba).

Ali sendiri mengaku pertarungan melawan Foreman adalah salah satu pertarungan terberat (selain itu, dia mengaku peraturangan terberatnya melawan Frazier dan Ken Norton). Saat itu, Foreman adalah sosok petinju menakutkan: tinggi, besar, dan sangat kuat. Semua musuhnya dilibas dengan KO atau TKO. Frazier, misalnya, dipukul oleh Foreman dengan pukulan stright sampai kakinya melayang atau terangkat setinggi 5 cm.

Namun, meski merasa jeri dengan reputasi Foreman, Ali menutupi rasa itu dengan banyak memprovokasi dengan melakukan perang urat syaraf melalui perang pernyataan. Ali pun berusaha mencari dukungan dari penduduk lokal dengan melakukan jogging keliling Kinshaha.

Di negara yang berada di tengah Benua Afrika itu tentu saja Ali dielu-elukan:’’Ali Bumaye… Ali Bumaye,’’ begitu teriakan warga Kinshaha ketika menjumpai Ali yang tengah berlatih di pagi hari.

Dan, hasilnya luar biasa. Ali ternyata berhasil menganvaskan Foreman pada ronde ke delapan meski sebelum ronde itu dia dibombardir tinju Foreman habis-habisan. Selama itu, mulai ronde awal hingga keenam ia terus bertahan dan terus berlindung di balikdouble cover kedua tangannya. Tak hanya itu, dia pun bergelantungan di tali ring (melakukan teknik bertinju rope a dope) sembari terus berteriak di telinga Foreman: “Mana pukulan terkerasmu? Apa hanya segini pukulanmu?” Foreman membalas teriakan Ali dengan terus memukul dan memukul seperti beruang besar yang mengamuk.

Taktik memukul tanpa henti ternyata membuat Foreman frustrasi dan kelelahan. Keadaan itu dilihat Ali. Maka, mulai ronde keenam, Ali balik menyerang sembari merangkul, berlari berkeliling, dan memukul keras kepala Foreman melalui pukulan jabnya yang dahsyat (dikatakan Ali seperti terbang bagai kupu-kupu, menyengat seperti lebah). Tak ayal lagi, Foreman terjungkal secara tragis. Saking sedihnya, setelah kekalahan ini, Foreman pun menyatakan diri pensiun dari ring tinju dan menjalani profesi baru sebagai pendeta.

Ali pun meraih juara dunianya yang kedua. Ali mengukuhkan diri sebagai jawara dan menyebut dirinya: “I am the Greatest!”

 

Ali: Allah Yang Terbesar!

Setelah menaklukkan Foreman, Ali pun kebanjiran job bertinju di berbagai belahan dunia. Olahraga tinju profesional yang saat itu seolah tak punya harga berubah menjadi olahraga gemerlap yang berbayar sangat mahal. Ali menikmati kejayaan itu dan baru turun dari takhtanya setelah dikalahkan petinju asal Inggris pada akhir September 1978, Leon Spink.

Namun, gelar ini tak lama kemudian direbutnya kembali. Dan baru pada 10 Februari 1980 Ali benar-benar kehilangan sabuk juara tinjunya setelah dikalahkan mantan “anak asuhnya”, Larry Holmes. Setelah itu, Ali pensiun dan malah kemudian terkena penyakit parkinson sampai dia meninggal pada Sabtu ini (4/6).

Indonesia pun sempat menyaksikan aksi Muhammad Ali melawan petinju asal Belanda, Rudi Lubbers pada 14 Oktober tahun 1973 di Jakarta. Dalam pertarungan yang dipromotori Raden Sumantri itu, mantan wartawan senior Republika, Puwadi, yang saat itu menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat sempat mewawancarai Ali yang menginap di Hotel Sahid, Jakarta. Menurut dia, Ali orang yang sangat ramah dan murah senyum.

Uniknya, pertarungan di Jakarta saat itu dipilih menjadi representasi orang Indonesia melawan kolonialisme Belanda yang dilambangkan dengan sosok Rudi Lubber. Sebanyak 45 ribu orang mendatangi Istora Senayan untuk melihat pertarungan itu meski harus membeli karcis dengan harga yang saat itu terasa cukup mahal, antara Rp 1.000 hingga Rp 27 ribu.

“Saya kaget ketika pintu kamar terbuka dan di sana ada Muhammad Ali. Orangnya tinggi besar. Dan saya pun gemetar ketika hendak memotretnya. Syukurlah dia kemudian memanggil saya dan mengajak berfoto sembari tersenyum sehingga grogi saya hilang seketika,” tutur Purwadi ketika menceritakan pertemuannya denganMuhammad Ali yang saat itu pun sempat diarak keliling Kota Jakarta.

Bahkan, tak hanya sewaktu Ali bertanding di Jakarta, bilamana ada pertandingan Ali, seluruh orang Indonesia sepertinya berada di depan televisi. Jalanan sepi. Kantor dan sekolahan “diliburkan” sejenak. Semua terbius Ali, baik ketika dia kalah maupun menang. Teriakan “Ali… Ali… Ali…” selalu terdengar dari depan televisi hitam putih sederhana. Sejenak, rakyat Indonesia melepaskan emosi dan melupakan belitan amuk kemiskinan yang sehari-hari dirasakannya.

Di masa tua, Ali pun lebih banyak berkutat dengan lembaga amal. Putrinya, Laila Ali, melanjutkan keemasan namanya dengan menjadi juara tinju wanita.

Uniknya, beberapa tahun setelah lama gantung sarung tinju dan kemudian ditanya apakah masih menyebut dirinya sebagai the Greatest, Ali pun menjawabnya sembari tersenyum dan mengangkat tangan dengan menunjukkan jari telunjuk ke atas: “Allah is the Greatest!”

Dan dalam talkshow di sebuah televisi di Inggris Ali yang berbincang bersama Freizer, Foreman, menyatakan tak percaya bila dirinya yang terbesar. Dia malah menyebut Joe Freizer yang duduk di sampingnya  lebih berhak menyandang sebutan itu.

 

sumber: Republika Online