Larangan Zhalim Terhadap Binatang

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa”.

Islam melarang perbuatan zhalim. Dan kezhaliman itu bisa terjadi tidak hanya kepada manusia, namun juga kepada hewan. Dan ini pun terlarang dalam Islam. Banyak sekali hadits-hadits yang membahas hal ini, diantaranya hadits berikut ini.

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6/441) :

حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ , قالَ : أَخْبَرَنَا أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ عُتْبَةَ السُّلَمِيُّ , عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَسٍ , عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ , عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : ” لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ , لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا “

Haitsam bin Kharijah telah menuturkan kepadaku, ia berkata, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah As Sulami mengabarkan kepadaku, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, dari Abu Idris, dari Abu Ad Darda, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa”.

Derajat Hadits

Derajat hadits ini hasan, karena semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah Ad Dimasyqi Ad Darani. Statusnya diperselisihkan para ulama,

  • Imam Ahmad berkata: “saya tidak mengenalnya”
  • Ibnu Ma’in berkata: “laa syai’a
  • Ibnu Hajar berkata: “shaduq namun memiliki beberapa riwayat gharib”
  • Adz Dzahabi berkata: “shaduq”
  • Al Haitsam bin Kharijah berkata: “tsiqah”
  • Duhaim Ad Dimasyqi berkata: “tsiqah, beberapa masyaikh meriwayatkan darinya”
  • Hisyam bin ‘Ammar Ad Dimasyqi: “tsiqah”
  • Abu Hatim Ar Razi: “laysa bihi ba’s, ia terpuji di kalangan ulama Damaskus”

Syaikh Al Albani menjelaskan: “Selain karena yang men-tsiqah-kan lebih banyak, mereka yang men-tsiqah-kan juga sama-sama penduduk Damaskus sebagaimana orang yang dibahas (Sulaiman bin ‘Utbah). Maka mereka lebih mengenai keadaan Sulaiman bin ‘Utbah daripada orang lain yang di luar negerinya”. Dengan demikian Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah statusnya tsiqah insya Allah.

Namun ada sedikit masalah, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam Zawaid-nya terhadap Musnad Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang sama namun mauquf dari Abu Ad Darda’ radhiallahuanhu. Ditambah lagi dengan keterangan Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (3/290) :

رواه أحمد والبيهقي مرفوعا هكذا ورواه عبد الله في زياداته موقوفا على أبي الدرداء وإسناده أصح وهو أشبه

“hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dan Al Baihaqi secara marfu’, dan diriwayatkan juga oleh Abdullah bin Ahmad dalam Ziyadah-nya secara mauquf dari Abu Ad Darda’, dan sanadnya lebih shahih karena ia semisal ayahnya”

Syaikh Al Albani menyatakan: “demikian yang dikatakannya, dan ini adalah pernyataan yang aneh. Karena sanad yang dikatakan mauquf itu sama dengan sanad yang marfu’. Perbedaannya hanya terletak pada (orang yang mengeluarkan hadits, yaitu) Imam Ahmad dan anaknya. Jika memang harus men-tarjih, maka riwayat dari Imam Ahmad tentu lebih rajih, karena Imam Ahmad ahfazh (lebih tinggi tingkatan dhabt-nya) daripada anaknya, sebagaimana telah saya katakan. Namun menurut saya tidak perlu di-tarjih, karena masih mungkin untuk di jama’sebagaimana telah saya jelaskan”. Metode jama’ yang beliau maksud adalah: “yang nampak bagi saya, bahwa Haitsam menyampaikan hadits kepada Imam Ahmad secara marfu’, namun menyampaikan hadits kepada Abdullah secara mauquf. Dan setiap mereka menghafal apa yang mereka dapatkan”.

Lebih lagi, Imam Ahmad di-mutaba’ah oleh ‘Abbas bin Muhammad Ad Duwari dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman :

أنا أحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ يَحْيَى الأَدَمِيُّ ، ثنا عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ ، ثنا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ عُتْبَةَ ، عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَسٍ ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلانِيِّ ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا “

Ahmad bin ‘Utsman bin Yahya Al Adami mengabarkan kepadaku, ‘Abbas bin Muhammad Ad Duwari menuturkan kepadaku, Al Haitsam bin Kharijah telah menuturkan kepadaku, ia berkata, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah As Sulami mengabarkan kepadaku, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, dari Abu Idris, dari Abu Ad Darda, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa”.

‘Abbas bin Muhammad Ad Duwari sebagai taabi’ terhadap Imam Ahmad statusnya tsiqah hafidz. Dengan demikian hilanglah permasalahannya.Walhamdulillah.

Faidah Hadits

  1. Al Munawi menjelaskan makna hadits: “’Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni’ maksudnya perbuatan memukul, menganiaya, dan memberi beban yang berlebihan. maka kalian itu sungguh banyak diampuni maksudnya banyak sekali dosa yang diampuni. Datang hadits ini adalah peringatan untuk tidak memberi gangguan pada binatang. Juga untuk tidak memberi beban yang terlalu berlebihan yang tidak sanggup diterimanya secara terus-menerus. Juga anjuran untuk tidak memukul binatang, lebih-lebih pada wajah, atau menyiksanya dengan senjata. Juga peringatan untuk tidak membiarkan mereka tidak makan dan tidak minum. Dan juga peringatan untuk tidak lalai dalam mengurusnya” (Faidhul Qadir, 5/321)

  2. Syaikh Al Albani juga menerangkan makna hadits ini: “maknanya larangan dan peringatan terhadap perbuatan zhalim pada hewan. Jadi, andaikan si pemilik binatang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap binatangnya itu dosanya diampuni, maka ketika itu sungguh telah diampuni dosa yang banyak. Karena ia tidak berkasih sayang pada hewannya tersebut

    منْ لا يَرحمْ لا يُرحمْ

    Barangsiapa tidak penyayang, ia pun tidak akan mendapat rahmat‘”
    (rekaman Silsilah Huda Wan Nuur, rekaman no.209, pertanyaan no.15)

  3. Berbuat zhalim terhadap binatang pun termasuk perbuatan dosa

  4. Dosa yang disebabkan karena menyakiti binatang itu porsinya besar, sehingga jika dosa tersebut diampuni maka telah diampuni banyak porsi dari dosa seseorang.

[banyak mengambil faedah dari kitab Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah]

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: Muslim.or.id

Larangan Pembakaran Hutan

Kebakaran hutan yang melanda Riau, Jambi, Kalimantan belakangan ini, setidaknya bisa memberikan penyadaran kepada khalayak akan arti penting melindungi hutan. Karena efek negatif pembakaran hutan tersebut tidak hanya dipikul oleh beberapa orang, tetapi sebagian besar masyarakat Sumatera dan Kalimantan pun merasakan imbasnya.

Hingga saat ini, warga Sumatera masih menghirup asap kotor dan tidak bisa melakukan aktivitas harian secara maksimal. Anak-anak sekolah diliburkan dan beberapa warga memilih migrasi ke wilayah lain. Bahkan di antara mereka ada yang terjakit penyakit kronis dan meninggal dunia.

Sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Maliki, penulis kitab Al-Muntaqa Syarah al-Muwatta`, menjelaskan sebagai berikut.

أَنَّ ضَرَرَ الْفُرْنِ وَالْحَمَّامِ بِالْجِيرَانِ بِالدُّخَانِ الَّذِي يَدْخُلُ فِي دُورِهِمْ وَيَضُرُّ بِهِمْ وَهُوَ مِنْ الضَّرَرِ الْكَثِيرِ الْمُسْتَدَامِ وَمَا كَانَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ مُنِعَ إحْدَاثُهُ عَلَى مَنْ يَسْتَضِرُّ بِهِ

“Dilarang menyalakan tungku dan membuat kamar mandi yang asap (dan baunya) bisa menganggu dan membahayakan tetangga secara permanen. Melakukan aktivitas pembakaran, yang mana asapnya bisa menganggu dan membahayakan para tetangga, merupakan aktivitas terlarang meskipun membawa maslahat untuk segelintir orang.

Sebab menolak mudharat yang mengancam kehidupan banyak orang lebih diutamakan ketimbang mengambil manfaatnya.

Pada prinsipnya segala aktivitas ‘ugal-ugalan’ yang karenanya mengakibatkan gangguan atau mudharat bagi masyarakat luas, tidak diperkenankan agama.

Larangan ini tentu sangat relevan untuk kasus pembakaran hutan. Kalau membakar kayu di tungku saja termasuk perbuatan yang dikecam, apalagi membakar hutan yang bisa membahayakan kehidupan orang banyak. Karena bahaya asap yang ditimbulkannya jauh lebih besar ketimbang hanya menyalakan api di tungku. Wallahu A’lam.

 

 

sumber: Akhlakul Karimah

MUI Keluarkan Fatwa Pembakaran Hutan Haram

Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa tentang pembakaran hutan. Fatwa ini sendiri merupakan permintaan mendesak dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada enam ketentuan hukum yang berupa fatwa MUI, terkait pembakaran hutan berikut ini:

1. Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan dan dampak buruk lain, hukumnya haram.

2. Memfasilitasi, membiarkan, dan atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada angka satu, hukumnya haram.

3. Melakukan pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada angka satu, merupakan kejahatan dan pelakunua dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat kerusakan hutan dan lahan yang ditimbulkannya.

4. Pendendalian kebakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum hukumnya wajib.

5. Pemanfaatan hutan dan lahan pada prinsipnya boleh dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memperoleh hak yang sah untuk pemanfaatan
b. Mendapatkan izin pemanfaatan dari pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
c. Ditujukan untuk kemaslahatan
d. Tidak menimbulkan kerusakan dan dampak buruk, termasuk pencemaran lingkungan

6. Pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud pada angka lima, hukumnya haram.

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Huzaimah Tohido Yanggo, membenarkan hukum yang mengatur pembakaran hutan di Indonesia sendiri memang sudah ada dan tertuang dalam UU. Maka itu, ia menekankan fatwa MUI ini akan menjadi ketentuan hukum tambahan yang diambil dari sisi moral, yang penentuannya didasarkan atas Alquran dan hadits.

“Fatwa MUI ini akan mengikat dari sisi moral, dan tentu didapati dari pertimbangan Alquran dan hadits,” kata Prof Huzaimah di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (13/9).

 

sumber: Republika Online

Tiga Fakta Langka Seputar Muharam dan Kalender Hijriyah

Hari ini, 1 Muharram ( 2/10/2016), umat Islam memasuki tahun baru 1438 dalam sistem penanggalan Hijriyah.

Muharram merupakan salah satu bulan yang istimewa. Keutamaan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriyah ini, terekam di sejumlah dalil Alquran ataupun hadis.

Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram, termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.

Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”

Ada sejumlah fakta penting yang jarang terungkap di hadapan kita, terkait Muharraam dan penanggalan Hijriyah. Apa sajakah fakta tersebut? Redaksi merangkum beberapa fakta itu sebagai berikut:

Sejak Kapan Muharram Dikenal Sebagai Bulan?

Penamaan Muharram, pertama kali muncul sebagai hasil konsensus dari Bangsa Arab ketika itu, di bawah kepemimpinan Kilab bin Murrah, buyut Rasulullah SAW.

Peristiwa tersebut berlangsung pada 412 M atau 150 tahun sebelum risalah kenabian Muhammad SAW turun.

Tradisi yang berlaku di Arab ketika itu, nama-nama bulan ditentukan oleh masing-masing suku. Misalnya, orang arab mengenal beberapa nama bulan misalnya bulan Mu’tamar dan bulan Tajir.

Sedangkan tahunnya mereka mengorelasikannya dengan kejadian-kejadian penting, seperti Tahun Gajah (Aam Fil), saat pasukan gajah Abrahah menyerang Ka’bah.

Setelah konsensus tersebut disepakati, tercetuslah 12 nama bulanMuharram dan seterusnya yang merujuk pada peredaran bulan. Selama setahun terdapat 354 hari dan tiap bulannya ada 29 dan atau 30 hari.

Dinamakan Muharram, karena sepanjang bulan ini, mereka, Bangsa Arab mengharamkan pertikaian dan pertumpahan darah selama sebulan penuh.

 

Rasulullah SAW Penentu Penanggalan Hijrah Bukan Umar RA

Imam as-Suyuthi dalam as-Syamarikh fi Ilmi at-Tarikh, mengemukakan fakta mencengangkan tentang siapakah yang pertama kali memopulerkan penggunaan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan.

Menurut murid ulama bermazhab Hanafi terkenal , Taqiyuddin as-Subki itu, Umar bin Khatab bukanlah sosok yang pertama kali menyerukan penggunaan peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah sebagai acuan penanggalan.

Akan tetapi, Rasulullah SAW-lah yang paling awal menyerukan penggunaannya.

Informasi itu ia peroleh secara langsung dari sang guru, Bulqaini. Riwayat secara lisan itu menyambung hingga Ibnu Syihab az-Zuhri.

Dituturkannya, bahwa, konon Rasulullah Saw pernah memerintahkan penanggalan.

Ibnu Asakir membenarkan fakta tersebut. Menurutnya, riwayat inilah yang paling kuat.

Sementara, informasi yang selama ini beredar yang memerintahkan penggunaan momentum hijrah adalah Umar bin Khatab. Fakta itu salah. Ibnu Asakir menukil pernyataan Ibnu Shalah.

Ibnu Shalah yang merupakan pakar hadis itu memperoleh data yang menyatakan fakta bukan umar pertama kali yang menyerukan dari Kitab Fi as-Syuruth, karangan Abu Thahir Ibnu Mahmasy (Az Ziyadi).

Dalam kitab itu disebutkan, bahwa Rasulullah pernah menulis surat ke umat Nasrani di Najran.

Untuk penulisannya, Nabi Saw memerintahkan Ali untuk menuliskan dalam surat tersebut kalimat  “Surat ini ditulis pada hari kelima sejak hijrah”.

Dengan yakin, As Syuthi menegaskan, penyeru penggunaan hijrah sebagai pedoman penanggalan Islam, bukan Umar bin Khatab.

“Jelas yang pertama Rasulullah, Umar hanya mengikuti,”tulisnya.

Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat lain, misalnya riwayat di Kitabat- Tarikh as-Shaghir, karya imam al-Bukhari.

Bahwa, saat Umar Bin Khatab hendak menetapkan sistem penanggalan, ia mengumpulkan para sahabat dan meminta saran mereka.

Ibnu al-Munayyir menyebutkan, peristiwa itu terjadi ketika masa pemerintahannya berjalan dua setengah tahun.

Setelah mendapatkan masukan, ia pun memilih pendapat Ali bin Abi Thalib, bahwa acuannya ialah peristiwa hijrah.

 

Mengapa Tahun Hijriyah Dimulai dari Muharram?

Fakta menarik berikutnya adalah, mengapa sistem penanggalan Hijriyah diawali dengan Muharram?

Padahal peristiwa Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah, berlangsung bukan pada Muharram, melainkan Rabi’ul Awwal, tepatnya pada 22 Rabi’ul Awwal (24 September 622 M)?

Muharram dipilih sebagai awal tahun Hijriyah, menurut Imam as-Suyuthi dalam as-Syamarikh fi Ilmi at-Tarikh, karena sejumlah alasan dan ketetapan ini adalah murni ijtihad Umar bin al-Khatab yang diamini oleh para sahabat.

Alasan pertama, ditetapkan Muharram, karena bulan ini menjadi waktu kembalinya para jamaah haji setelah menjalankan ritual haji.

Di samping itu pula, alasan keduanya adalah, dengan menetapkan Muharram, lebih memudahkan urutan tiga bulan terlarang (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram) dalam urutan yang saling berdampingan.

Sementara alasan yang kedua, Hijrah memang berlangsung pada Rabi’ul Awwal, tapi embrio peristiwa bersejarah itu, sudah muncul dan berlangsung sejak Muharram, sehingga, saling melengkapi esensi dan subtansi Hijrah.

 

sumber: Republika Online

Puasa Muharam Mulai Hari ini, Apa Hukumnya?

Muharram, merupakan salah satu bulan yang istimewa. Keutamaan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriyah ini, terekam di sejumlah dalil Alquran ataupun hadis.

Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram, termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Tak sedikit Muslim yang memutuskan untuk berpuasa penuh sepanjang bulan Suro dalam tradisi Jawa tersebut. Apa hukumnya?

Jalal bin Ali Hamdan as-Sulami menjawab pertanyaan ini dalam makalahnya yang berjudul Dirasat Ushuliyyah Haditsiyya li Shaum ‘Asyura’. Ia mengungkapkan, para ulama sepakat boleh berpuasa sepanjang Muharram, dan hukumnya sunat. Bukan wajib. Pandangan ini disampaikan oleh Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.

Pernyataan ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, ialah puasa pada Muharram. Penekanan anjuran bertambah pada hari kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas di bulan yang sama.

Dalam riwayat lain, memang Rasul juga dikisahkan tak pernah melewatkan puasa Sya’ban. Tetapi, Imam Nawawi menjelaskan, mengapa Rasul lebih tampak berpuasa Sya’ban dibandingkan Muharam. Menurut Nawawi, bisa jadi ini karena beberapa faktor, misalnya keutamaan puasa Muharam itu terungkap di akhir hayatnya hingga Rasul belum sempat berpuasa atau karena ada uzur, seperti bepergian ataupun sakit.

Dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali mengemukakan hadis riwayat Muslim di atas, secara tegas menguatkan fakta bahwa puasa sunat setelah berpuasa wajib Ramadhhan, adalah puasa di empat bulan yang diutamakan. Kemungkinan, puasa yang dimaksud adalah berpuasa selama sebulan penuh.

Secara terpisah, anggota Dewan Ulama Senior Kerajaan Arab Saudi Syekh Muhammad Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi mengatakan puasa yang utama setelah Ramadhan ialah berpuasa di bulan-bulan yang diharamkan asyhur al-hurum, terutama Muharram. “Dalilnya adalah riwayat Muslim,”ungkapnya.

Ia menambahkan, boleh hukumnya berpuasa sebulan penuh, atau selang-seling (sehari berpuasa sehari berikutnya tidak), atau berpuasa separuh bulan tersebut. Penekannya ialah pada hari kesepuluh (asyura) dan kesembilan. Anjuran berpuasa di kedua hari tersebut, landasannya sangat kuat.

Syekh as-Syanqithi tidak setuju dengan penolakan sejumlah kalangan atas berpuasa sebulan penuh sepanjang Muharram oleh sebagian kalangan. Sebab, Rasul menganjurkan berpuasa di bulan itu. “Penolakan itu tidak tepat,”katanya.

Maka barang siapa yang berpuasa sebulan penuh, tak boleh dikecam dan dituding macam-macam. Sebaliknya, ia akan mendapatkan pahala. Pendapat ini juga menjadi ketetapan fatwa yang dikeluarkan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi.

 

Puasa asyura

Syekh Jalal kembali menguraikan persoalan berikutnya, yakni perihal hukum berpuasa di hari kesepuluh, atau lebih sering dikenal dengan istilah ’asyura. Para ulama sepakat, hukum berpuasa ‘asyura ialah sunat. Ini seperti dinukilkan oleh Ibnu Rusyd dalam mahakaryanya,Bidayat al-Mujtahid.

Pandangan ini disandarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah. Hadis itu menyebutkan, rententan pahala puasa tersebut, yakni menghapus dosa kecil setahun yang lewat.

Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan, hukum berpuasa ‘asyura wajib sebagaimana penegasan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari.

Hanya saja, kata Qadi ‘Iyadh dalam kitab al-Ikmal, opsi ini tak lagi populis, bahkan pengusungnya dipastikan sudah tidak ada lagi karena pascaturunnya perintah berpuasa wajib Ramadhan, kewajibannya telah teralihkan.

Lalu, bolehkah berpuasa tunggal di hari asyura saja? Menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’i, makruh hukumnya bila berpuasa ‘asyura saja. Sekalipun yang bersangkutan tetap berhak atas pahala. Ini merujuk pada riwayat Abu Qatadah di atas. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Maliki dan Hanbali, tidak ada unsur makruh di sana.

Karena itulah, lanjut Syekh Jalal, dianjurkan berpuasa di hari kesembilan Muharram. Para ulama, seperti ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh Muhadzab. Anjuran berpuasa hari kesembilan atau sering disebut dengan tasu’a itu mengacu pada hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas.

Rasul menyerukan imbauan itu agar tidak sama dengan tradisi Kaum Yahudi. Demikian halnya, anjuran agar berpuasa pula di hari ke-11 Muharram.

Para ulama tak berselisih pandang menyoal hukum berpuasa di hari tersebut. Menurut mereka, selain berfaedah untuk membedakan dengan tradisi Yahudi, juga sebagai langkah antisipasi ketidaktepatan akibat penanggalan yang tak sesuai.

 

sumber: Republika Online

Keutamaan dan Kemuliaan bulan Muharram (2)

lanjutan dari Artikel Pertama

 

Karakteristik bulan Muharram

Karakteristik Pertama:  Menguatkan Kembali Semangat Hijrah

Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Besok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Kita ini hanya terikat oleh tiga masa. Masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi nilainya bagi agama dan umat Islam.

Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).

Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang  angat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya, kuat dan disegani.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik.

Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.”

Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa

Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari ‘asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.

Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah صلى الله عليه و سلم  tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah صلى الله عليه و سلم  bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa. “Rasulullah صلى الله عليه و سلم  bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR. Abu Daud).

Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa  bulan Ramadhan.

Rasululllah صلى الله عليه و سلم  bersabda: Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’i ).

Puasa pada bulan Muharram yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘asyuura.

Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa ‘asyuura, ia menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah   صلى الله عليه و سلم  puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharram.” (HR Muslim).

Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari  ‘Asyura(10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.

Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم  ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR. Muslim).

Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum  ‘Asyuraya itu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه و سلم  yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya) :

Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah صلى الله عليه و سلم  melakukan puasa ‘asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani.

Maka Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).

Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari : 9, 10, 11 Muharram.

Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Puasalah pada hari ‘asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharram. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/406)./bersambung Panduang Amalan di Bulan Muharram

 

oleh: Shalih Hasyim

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Keutamaan dan Kemuliaan bulan Muharram (1)

BULAN Muharram atau yang lebih dikenal masyarakat Jawa dengan nama bulan Syuro adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah. Tahun ini bulan Muharram jatuh pada tanggal 05 November 2013. Bulan Muharram memiliki keagungan yang sangat tinggi dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, bukanlah bulan yang mendatangkan bala (bencana) atau bulan sial, sebagaimana dipahami masyarakat awam.

Bulan ini adalah bulan di mana Allah muliakan dan Rasulullah serta para sahabatnya mengagungkannya. Sepatutnya juga kita mengagungkan bulan ini dengan meningkatkan  ibadah dan amal shalih, baik secara kuantitas dan kualitas.

Di dalam syariat Islam telah dijelaskan kemuliaan/keagungan bulan Muharram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. AT Taubah: 36)

Empat bulan suci tersebut adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaiman sabda Rasulullah yang artinya :

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3 bulan berturut-turut, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang berada di antara bulan jumada dan sya’ban.” (HR. Bukhari no 2958).

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Di namakan bulan haram Karena ada 2 alasan.Pertama,  karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaiman hal ini juga diyakini orang jahiliyyah. Kedua, karena pelanggaran untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy).

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tentang firman Allah surah at-taubah ayat 36 di atas, “Allah menghusukan 4 bulan yang haram dan menegaskan keharamnnya. Allah juga menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar. demikian pula pahala amal saleh pada bulan tersebut juga menjadi lebih besar.

Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin masih percaya dengan berbagi mitos tentang bulan suro. misalnya, masih banyak yang takut mengadakan acara pernikahan di bulan suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti perceraian, dililit utang, atau yang lain. ada yang takut bepergian jauh di bulan suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti kecelakan, kematian, kerugian, atau yang lain. mereka menunda aktivitasnya ke bulan yang lainnya.

Semua ahli tafsir sepakat bahwa empat bulan yang tersebut dalam ayat di atas adalah Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharram dan Rajab.

Ketika haji wada’ Rasulallah bersabda : Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharram dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).

Dalam hadist di atas Nabi SAW hanya menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesucian, ada Lailatul Qadar (malam kemuliaan), juga dinamakan dengan bulan rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.

Ibnu Rajab al-Hambali ( 736 – 795 H ) mengatakan, Muharram disebut dengan syahrullah(bulan Allah) karena memiliki dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah SWT dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram.*/bersambung Karakteristik bulan Muharram

 

 

oleh: Shalih Hasyim

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus Jawa Tengah

Lahirnya Umat Terbaik

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Dari hijrah, Rasulullah SAW bisa membangun masyarakat baru di Kota Madinah.

Masyarakat yang terformulasikan dalam bentuk persaudaraan ukhuwah yang sangat kental antara orang-orang yang berhijrah dari Makkah atau kaum Muhajirin dan penduduk Kota Madinah yang membantu mereka atau lebih dikenal kaum Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk hijrah dari meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. “Dan berbuat dosa tinggalkanlah.” (QS al Muddatstsir [74]: 5).

Hijrah adalah satu peristiwa penting yang harus selalu melekat dalam benak kaum Muslim. Hijrah adalah perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau ke Madinah untuk menyongsong kehidupan bernegara yang berdaulat dan berdiri sendiri serta terbebas dari penguasaan negara-negara lain.

Hijrah itulah yang dijadikan sebagai awal penanggalan dalam Islam, awal munculnya sebuah umat dalam sejarah dunia, yaitu umat Islam yang dikatakan oleh Allah sebagai umat terbaik yang lahir ke dunia.

Sekarang sudah memasuki tahun ke-1437 H, umat Islam telah eksis di belantara kehidupan hampir satu setengah milenium. Suatu umur yang amat panjang sehingga amat wajar jika umat ini telah melewati segala pahit-manis, susah-senang, maju-mundur sebagai umat dan peradaban.

Umat ini pernah melalui masa-masa gemilang yang tidak ada tandingannya dalam sejarah. Menaungi kemanusiaan dengan keadilan dan kesejahteraan sebab Islam bukan hanya rahmat bagi umat Muslim, melainkan juga rahmat bagi seluruh alam, seluruh manusia. Bukankah Allah SWT telah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiyaa[21]: 107).

Namun, sayang, sekarang ini umat Islam sedang terbelenggu oleh penguasaan negara-negara kafir. Harta mereka dikuasai, tenaga mereka dikuras, dan mereka hidup dalam kehidupan yang sempit. Semua ini disebabkan oleh umat ini telah berpaling dari mengingat Allah, mengingat aturan-aturan-Nya, dan menerapkannya dalam kehidupan seperti yang difirmankan-Nya dalam ayat 124 surah Thaha: “Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”

Imam Ibnul Qoyyim dalam Risalah Tabukiyah menyatakan hijrah yang hukumnya fardhu ain adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah.” (QS adz-Dzariyaat [51]: 50).

Hijrah ini meliputi dari dan menuju: Dari perbuatan syirik menuju tauhid, dari jahiliyah menuju Islamiyah, dari mungkar menuju makruf, dari maksiat menuju taat. Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya.

Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat la ilaha illallah. Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama.

Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36).

Pada akhirnya, hijrah adalah keberanian untuk tampil beda. Berani menolak suap ketika tradisi suap sudah membudaya. Berani menutup aurat ketika sebayanya ramai-ramai membuka aurat. Berani mengatakan yang benar, ketika yang lain justru menutup kebenaran. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Suparman Jassin

sumber: Republika Online

Hijrah, Jalan Para Muhajirin

Imam Al-Asfahani mendefinisikan hijrah sebagai perpisahan atau perpindahan. Hijrah dari suatu tempat berarti memisahkan diri secara jarak darinya. Demikian juga hijrah dari perbuatan buruk berarti ia tak mau lagi berniat dan melakukan perbuatan tersebut. Jasad dan hatinya benar-benar terpisah dari apa yang ia tinggalkan.

Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF mengatakan, pemaknaan hijrah perlu diluaskan menurut makna aslinya, yakni perpindahan. Tidak hanya perpindahan tempat sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW. Berpindah bisa jadi dari hal-hal negatif kepada positif.

“Hijrah bisa kita maknai dengan perpindahan kepada kondisi yang lebih baik. Cakupannya baik dalam segala hal, baik dalam keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” jelasnya kepada ROL, belum lama ini.

Menurutnya, hijrah sangat diperlukan dari hal-hal yang sekecil-kecilnya sampai masalah terbesar seperti urusan bernegara. Karena hijrah adalah jalan para Muhajirin. Hijrah ke arah yang lebih baik bisa diikuti kalangan elite politik yang punya tanggung jawab besar membawa bangsa ke arah lebih baik.

“Kita harapkan mereka yang mempimpin bangsa ini, baik dari elite politik, mau bermuhasabah. Tahun-tahun sebelumnya kondisi bangsa ini banyak yang harus diperbaiki. Contohnya dari segi kebijakan. Jika kebijakan kurang baik, ya hijrah,” jelasnya.

Hasanuddin menegaskan, kalau saja para pemimpin mau bermuhasabah secara jujur, sebenarnya banyak yang perlu diperbaiki dari bangsa ini. Dari segi ekonomi, penegakan hukum, dan sebagainya masih banyak yang kurang.

“Yang kurang harus segera diperbaiki. Harus bisa membawa bangsa ini hijrah ke arah yang lebih baik. Kalau tidak, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur itu tidak akan ada,” ujarnya.

 

sumber:Republika Online

Dua Makna Bulan Haram

Dalam Islam, dikenal istilah bulan haram. Dinamakan demikian, karena pada bulan tersebut Allah SWT melarang seluruh hamba-Nya berbuat dosa atau melakukan hal yang dinilai haram secara syariat Islam.

Menurut Al-Qodhi Abu Ya’la, ada dua alasan dan dua makna mengapa Allah SWT menamakannya bulan haram. Pertama, pada bulan itu diharamkan berbagai pembunuhan atau perbuatan keji lainnya.

Kedua, pada bulan itu pula diharamkan melakukan tindakan dan perbuatan haram. Perintah ini lebih ditekankan daripada bulan lainnya, karena kemuliaan bulan tersebut. Sebaliknya, pada bulan haram, dianjurkan untuk lebih memperbanyak perbuatan baik dengan melakukan amalan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Terdapat sebuah ayat yang menerangkan perihal eksistensi bulan haram. Hal ini tertuang dalam surah at-Taubah ayat 36, yang berbunyi, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat tersebut, Allah SWT telah menjelaskan pada kita bahwa bulan yang ada pada kehidupan manusia di dunia ini  berjumlah 12. Di antara 12 bulan tersebut, ada empat bulan yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai bulan-bulan haram.

 

sumbe: Republka ONline