Ini Akibat Makanan Haram terhadap Anak

DOA orangtua adalah salah satu doa yang diijabahi Allah. Namun mengapa ada doa orangtua yang tertolak, hingga seakan tak berpengaruh sama sekali untuk anak? Berikut ini kisah dan penjelasan tertolaknya doa orang tua akibat makanan.

“Saya sudah mendoakan anak saya untuk sekian lama, ustaz. Selesai salat fardhu, selesai salat malam. Tapi anak saya tetap nakal. Tidak ada perubahan sama sekali. Doa saya seperti tidak mempan,” kata seorang ibu menceritakan kondisi anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah.

Sang ustaz diam sejenak. Ia mencoba mencerna keseluruhan cerita ibu tadi. Dengan nada berhati-hati ia mencoba menggali pertanyaan. “Mohon maaf apakah Ibu pernah memberikan makanan dari hasil syubhat atau haram kepada anak ibu?”

Mendengar pertanyaan itu, sang ibu terdiam. Air mukanya menyiratkan kegundahan dan perlahan matanya berkaca-kaca.

“Iya, ustaz. Kalau dari uang syubhat sering. Suami saya sering mendapatkan uang yang tidak jelas. Kadang sebagai bentuk terima kasih customer yang telah dilayaninya. Kadang pemberian pimpinan yang nggak jelas dari mana. Kadang juga ada rekayasa laporan di tempat kerjanya.”

“Nah, itu Bu. Ketika anak-anak mendapatkan asupan makanan yang haram atau syubhat, salah satu efeknya ia bisa terhijab dari doa. Apalagi orangtuanya juga memakan makanan haram. Semakin tidak nyambung itu doanya. Allah tidak berkenan mengabulkan doa orangtua tersebut”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk sama seperti yang diperintahkan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dia juga berfirman yang artinya, Hai orang-orang mukmin, makanlah makanan yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu. Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh hingga rambutnya kusut dan kotor, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, Ya Rabb, ya Rabb. Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadis ini, para ulama menerangkan bahwa laki-laki tersebut telah memenuhi empat hal yang semestinya membuat doanya terkabul yakni ia seorang musafir, ia lelah, ia menengadahkan dua tangan dan sangat berharap kepada Allah. Namun karena ia menggunakan barang haram, doanya tertolak. Sebab makanan haram, minuman haram dan pakaian haram adalah penghalang terkabulnya doa.

Para orangtua muslim, mari kita menjaga diri dari makanan dan hal-hal yang haram. Kita jaga pula anak-anak kita dari makanan dan hal-hal yang haram. Dengan demikian, semoga tak ada penghalang antara doa kita dan ijabah Allah. Semoga tak ada penghalang terkabulnya doa kita untuk kebaikan anak-anak kita. [bersamadakwah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341311/ini-akibat-makanan-haram-terhadap-anak#sthash.k4bTrCs3.dpuf

Ibadah Sosial

Dalam Islam, ada dua kategori ibadah, yaitu ibadah shirah (ibadah individual) dan ibadah muta’adiyah (ibadah sosial). Ibadah shirah adalah ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya, seperti ibadah shalat, puasa, dan haji.

Sedangkan ibadah muta’adiyah adalah ibadah yang manfaatnya dirasakan oleh pelakunya dan dirasakan pula oleh orang lain, seperti mengeluarkan zakat, menyantuni anak yatim, dan menyedekahkan harta kepada fakir miskin.

Ibadah shirah pahalanya akan berakhir atau terputus dengan berhentinya sang pelaku dari melaksanakan ibadah tersebut. Sedangkan ibadah muta’adiyah, selama orang lain terus menerus dan merasakan manfaat, pahalanya akan tetap mengalir walaupun sang pelaku sudah tidak lagi melaksanakan ibadah tersebut, bahkan walaupun sang pelaku sudah meninggal dunia.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).

Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan mendidik anak agar menjadi anak saleh merupakan 3 (tiga) bentuk ibadah yang termasuk ibadah muta’adiyah. Maka itu, pahala sang pelaku ibadah tersebut tidak akan terputus karena orang lain terus-menerus merasakan manfaat darinya. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada kita untuk melaksanakan ibadah muta’adiyah selain melaksanakan ibadah shirah.

Selain tiga bentuk ibadah di atas, masih ada lagi ibadah lain yang termasuk kategori ibadah muta’adiyah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal dan kebaikan yang terus mengiringi seseorang ketika meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat, anak yang dididik agar menjadi orang saleh, mewakafkan Alquran, membangun masjid, membangun tempat penginapan bagi para musafir, membuat irigasi, dan bersedekah.” (HR Ibn Majah).

Dari hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa ibadah-ibadah apa pun itu bentuknya selama manfaatnya bisa dirasakan oleh orang lain, maka hal tersebut termasuk ibadah muta’adiyah, dan pelakunya akan terus mendapatkan pahala dari ibadah tersebut.

Alangkah bahagianya jika dalam hidup ini kita bisa melaksanakan ibadah yang memberikan manfaat atau bermanfaat bagi orang lain, karena orang seperti itulah yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai sebaik-baiknya manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi orang lain.” (HR ath-Thabrani).

 

Oleh: Asep Suhaldi

sumber: Republika Online

Anak jangan Jalan dan Duduk Mendahului Orangtua

ISLAM mengatur segala aspek kehidupan ini dengan begitu indah. Begitu pula bagaimana Islam mengatur hubungan anak dengan orangtuanya. Anak mempunyai kewajiban untuk selalu menjaga dan menghormati kedua orangtuanya.

Banyak hal yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang mengenai bagaimana bersikap kepada orangtuanya. Seringkali seorang anak tidak memperhatikan bagaimana seharusnya ia bersikap baik. Padahal Islam telah mengaturnya dengan begitu indah. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu Suni bahwa, “Abu Hurairah melihat dua lelaki, lalu ia bertanya, Apa hubungan orang ini dengan dirimu? Jawabnya, Bapakku Lalu Abu Hurairah berkata, Janganlah kamu memanggil dia dengan nama terangnya, janganlah kamu berjalan di depannya, dan janganlah kamu duduk sebelumnya.”

Adapun maksud hadis di atas adalah bila pada waktu yang sama dan di tempat yang sama anak bersama dengan orangtuanya, maka hendaklah anak tidak duduk sebelum ibu atau bapaknya duduk lebih dulu. Bila anak memanggil orangtuanya, ia tidak boleh memanggil dengan nama terangnya. Dan bila anak berjalan bersama orangtuanya, maka hendaklah ia tidak berjalan mendahului mereka.

Mendahulukan orangtua mengambil tempat duduk adalah hak orangtua yang harus dijunjung tinggi oleh anak di manapun orangtua dan anak berada. Perlakuan semacam ini adalah bagian dari hak orangtua untuk memperoleh perlakuan hormat dan sikap anak merendahkan diri di hadapan orangtuanya.

Seringkali anak memang tidak menyadari bahwa duduk mendahului orangtua adalah perbuatan durhaka. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan anak mengenai perilaku baik terhadap orangtua.

Apabila anak terlanjur melakukan kedurhakaan tersebut, maka yang harus diperbuatnya yaitu ia segera minta maaf kepada kedua orangtuanya. Anakpun hendaknya tidak mengulangi kesalahan itu dengan sengaja di kemudian hari agar tidak mengundang kemurkaan Allah SWT.

Adapun orangtua yang mendapati anaknya telah meminta maaf atas kesalahan terhadap dirinya hendaklah memberikan maaf kepadanya. Selanjutnya agar anak tidak mengulangi kesalahan yang sama, tugas orangtua adalah membimbing anaknya menjadi anak yang saleh. []

Sumber: Islampost dari “20 Perilaku Durhaka Anak terhadap Orang Tua/Karya: Drs.M.Thalib/Penerbit: Irsyad Baitus Salam

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338993/anak-jangan-jalan-dan-duduk-mendahului-orangtua#sthash.sq6PdTCi.dpuf

Subhanallah, Doa Orangtua Mustajab untuk Anaknya

“Anakmu pintar sekali ya. Masih kecil tapi rajin ke masjid ikut salat jemaah. Antum mengajaknya tiap hari?” kata seorang ikhwan kepada temannya sesama kader dakwah.

“Alhamdulillah, dia berangkat sendiri tanpa disuruh.”

“Hebat. Gimana tipsnya?”

“Wallahu alam. Ana nggak merasa ada tips khusus. Hanya saja, sejak sebelum menikah aku selalu berdoa: Rabbijalni muqimash shalati wa min dzurriyati, rabbana wa taqabbal dua.”

Masya Allah Doa yang dimaksud ikhwan tersebut adalah

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami dan anak cucu kami orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ya Tuhan kami, perkenankan doa kami.” (Q.S. Ibrahim: 40)

***

“Dulu waktu masih SMA, ia jarang pulang. Ikut genk yang nggak jelas. Salatnya juga malas,” seorang ibu bercerita tentang anaknya yang kini telah menikah, “Lalu aku berdoa setiap selesai salat fardhu dan salat malam. Agar ia jadi anak yang salih”

Setelah sekian lama mendawamkan doa, keajaiban mulai terlihat.

“Dini hari itu, setelah tahajud dan berdoa aku tertidur,” lanjut ibu itu, “aku bermimpi tubuh anakku dipenuhi ulat. Lalu aku mengambilnya satu per satu.”

Tak lama setelah mimpi itu, sang anak perlahan berubah. Sedikit demi sedikit ia menjaga jarak dengan genk-nya. Jika tak ada perlu ia berada di rumah, belajar. Di bangku kuliah, akhlaknya kian membaik, salat lima waktu dipenuhinya dan ia meraih 10 besar IPK di fakultasnya.

***

Saudaraku, kadang sebagai orangtua kita melupakan senjata utama; doa. Kita lupa, di saat ada masalah dengan anak kita, di saat mereka jauh dari harapan kita, kita melupakan doa. Bukankah anak-anak kita sesungguhnya adalah milik Allah? Bukankah yang menggenggam hati mereka adalah Allah? Dan bukankah yang kuasa untuk mengubah dan memperbaiki mereka adalah Allah? Lalu mengapa kita tidak berdoa dan berdoa memohon kepada-Nya?

Uduunii astajib lakum. Allah sudah berfirman, berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan. Maka jika kita ingin akan kita shalih, anak kita taat, anak kita dekat dengan Allah, jalan utamanya adalah berdoa. Mintalah kepada Allah. Siapapun mukmin yang berdoa kepada Allah, Dia akan mengabulkannya. Apalagi jika yang berdoa adalah orang tua dan yang didoakan adalah anaknya.

Dalam sejumlah hadis, Rasulullah menegaskan bahwa doa orang tua untuk anaknya adalah doa yang akan dikabulkan. Doa yang tidak akan ditolak oleh Allah Azza wa Jalla.

“Tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa musafir dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud; hasan)

“Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi; shahih)

Maka mulai malam ini, berdoalah untuk anak-anak kita. Doakanlah mereka, lalu perhatikan keajaiban yang akan terjadi. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342367/subhanallah-doa-orangtua-mustajab-untuk-anaknya#sthash.fAONp9qT.dpuf

Hari Jumat, Hadiah Tepat untuk Umat Muhammad

ALLAH Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.” (QS. an-Nahl: 124).

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini,

Allah menentukan setiap penganut agama untuk memilih satu hari istimewa dalam sepekan. Hari untuk berkumpul bersama dalam rangka melakukan ibadah. Allah syariatkan untuk umat ini (umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam) agar mereka memuliakan hari jumat. Karena itu hari keenam, di mana Allah sempurnakan makhluk-Nya. Dan itu nikmat sempurna bagi mereka.

Selanjutnya Ibnu Katsir menyebutkan keterangan sebagian ahli tafsir,

Ada yang menyatakan bahwa Allah mensyariatkan kepada bani israil melalui Musa untuk memuliakan hari jumat. Namun mereka menolaknya dan memilih hari sabtu. Mereka meyakini, di hari sabtu, Allah tidak menciptakan makhluk apapun, karena telah Allah sempurnakan di hari jumat. Akhirnya Allah tetapkan ibadah hari sabtu itu sebagai kewajiban untuk mereka dalam taurat. Allah wasiatkan agar mereka komitmen dengan hari sabtu dan berusaha menjaganya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).

Demikian pula dengan nasrani. Al-Hafdiz Ibnu Katsir melajutkan keterangannya,

Mereka terus konsisten dengan ibadah hari sabtu, sampai Allah mengutus Isa bin Maryam. Selanjutnya ada banyak versi di sana. Ada yang mengatakan, Allah memindahkannya kepada hari ahad. Ada yang mengatakan, mereka tidak meninggalkan syariat taurat, selain beberapa hukum yang dihapus dengan injil. Mereka terus konsisten dengan hari sabtu, hingga Allah mengangkat Isa. Kemudian, oleh orang nasrani, itu diubah menjadi hari ahad di zaman kerajaan Konstatinopel. Agar berbeda dengan orang yahudi. Mereka juga melakukan salat menghadap ke timur, ke arah batu di timur al-Aqsha. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).

Karena itulah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat membanggakan adanya hari jumat. Karena berarti kita benar. Kita memuliakan hari jumat, dan itu sesuai dengan apa yang Allah pilihkan. Sementara pilihan yahudi dan nasrani meleset.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menceritakan, Ketika hari jumat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengingatkan,

“Kita adalah umat terakhir namun pertama di hari kiamat. Kitalahlah yang pertama kali masuk surga. Meskipun mereka mendapatkan kitab suci sebelum kita dan kita mendapatkan kitab suci setelah mereka. Lalu mereka menyimpang dan kita ditunjukkan Allah kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan. Inilah hari mereka yang mereka menyimpang darinya dan Allah tunjukkan kepada kita. Beliau bersabda lagi: Hari jumat adalah hari kita dan esoknya hari Yahudi dan setelah besok adalah hari nasrani.” (HR Muslim 2017).

Sudah selayaknya kaum muslimin bersyukur dengan dijadikannya hari jumat sebagai hari besar untuk mereka dalam setiap pekan. Saatnya memuliakan hari jumat. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342894/hari-jumat-hadiah-tepat-untuk-umat-muhammad#sthash.2UxJsz8w.dpuf

Sejak Kecil Katya Kotova Sudah Hafal Doa-Doa Islam

Bagi Katya Kotova, Islam bukanlah agama yang asing. Gadis Rusia itu mengenang, pertama kali masuk masjid ketika usianya menginjak tiga tahun.

Saat itu, sang nenek hendak memperkenalkan Katya dengan kebudayaan etnis warga setempat, Bashkortostan.
Aku masih mengingat pemandangan itu dengan jelas. Para perempuan shalat di lantai dua masjid. Aku berdiri dekat tangga, sambil melihat ke bawah, di mana para pria shalat di lantai dasar, kata perempuan 23 tahun ini seperti dikutip dari laman Russia Beyond the Headlines, belum lama ini.

Hampir 50 persen Bashkortostan merupakan Muslim. Namun, kekuasaan Uni Soviet yang berpaham ateis membuat cukup banyak orang beradaptasi. Orang tua Katya, misalnya, menganut paham sekuler.

Ayahnya seorang Kristen Ortodoks Rusia, sedangkan ibunya Muslim Tatar. Tidak ada satu pun yang taat. Bagi Katya kecil, doa-doa Islami bahkan sudah dihafalkannya.

Namun, itu bercampur dengan ajaran Kristen Ortodoks yang disampaikan sang nenek dari pihak ayah. Saat itu, Katya belum memahami bahwa Islam dan Kristen adalah dua agama yang berbeda.

Memasuki usia 13 tahun, Katya dibaptis menjadi Kristen Ortodoks. Ia menjalaninya sebagai sebuah kebiasaan umumnya orang Rusia.

Berpuluh tahun kemudian, tepatnya pada sore hari, 30 Maret 2016, Katya kembali menyambangi masjid. Kali ini, tempatnya adalah Masjid Agung Moskwa. Tujuannya, sepenuh hati memeluk Islam.

Ketertarikan Katya kepada Islam bermula sejak ia menetap di Moskwa, untuk kali pertama. Katya yang ketika itu berumur 18 tahun, berkuliah di Universitas Negeri Rusia, mengambil jurusan hukum.

Perempuan yang bercita-cita menjadi pengacara itu berbagi tempat tinggal dengan kawannya, seorang mahasiswi Muslim. Keduanya sering kali bertukar pikiran mengenai agama.

Sejak saat itu, Katya tertarik mempelajari lebih dalam agama sendiri, Kristen Ortodoks, dan agama sahabatnya itu, Islam. Seiring bergulirnya waktu, rasa ingin tahunya terhadap Islam menguat.

 

sumber: Republika ONline

Islam Menjawab Kegelisahan Katya Kotova

Katya Kotova, Perempuan Rusia yang berumur 23 tahun ini mengaku tak asing dengan Islam. Ketika usianya tiga tahun, Katya pernah menginjakkan kaki di masjid itu.

Ia mengenang, saat itu neneknya mengajaknya ikut sekadar menyaksikan shalat berjamaah. Suasana itu masih jelas dalam ingatannya. Aku masih mengingat pemandangan itu dengan jelas. Para perempuan shalat di lantai dua masjid.

“Aku berdiri dekat tangga, sambil melihat ke bawah, di mana para pria shalat di lantai dasar,”kata Katya Kotova seperti dikutip dari laman Russia Beyond the Headlines, belum lama ini.

Hampir 50 persen orang Bashkortostan merupakan Muslim. Namun, kekuasaan Uni Soviet yang berpaham ateis membuat cukup banyak orang beradaptasi. Orang tua Katya, misalnya, menganut paham sekuler. Ayahnya seorang Kristen Ortodoks Rusia, sedangkan ibunya Muslim Tatar. Tidak seorang pun dari mereka yang taat pada kepercayaan masing-masing.

Namun, generasi di atas orang tua Katya lebih religius. Nenek Katya, misalnya, tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dari sang nenek, Katya pertama kali mengenal ibadah tersebut.

Selain itu, ia sering pula mendengar suara sang nenek ketika sedang berdoa dalam bahasa Arab. Saat itu, tentu saja Katya belum memahami artinya.

“Sewaktu aku masih kecil, kapan pun merasa takut, aku mengucapkan doa-doa Islami itu, meskipun tak paham betul artinya,” kata dia. Di sisi lain, buyut Katya dari pihak ayah merupakan penganut Kristen Ortodoks.

Saat berusia 13 tahun, Katya telah dibaptis menjadi seorang Kristen Ortodoks. Dengan begitu, di sekolah Katya merasa sudah seperti orang Rusia pada umumnya. Dia mengenakan kalung salib dan mulai meninggalkan kebiasaan merapalkan doa berbahasa Arab.

Katya begitu dekat dengan kakaknya. Berbeda dengan Katya, kakaknya itu penganut Kristen Ortodoks yang taat. Memasuki usia 18 tahun, Katya pindah ke Moskow.

Di ibu kota itu, ia belajar ilmu hukum di Universitas Negeri Rusia. Ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan pejuang keadilan. Saat menjadi mahasiswi, Katya tinggal sekamar dengan seorang kawan yang Muslimah.

Di sela-sela waktu belajar, mereka berdua kerap bertukar pikiran soal agama. Katya mulai serius mendalami agama sendiri, Kristen Ortodoks. Selain itu, agar bisa memahami perspektif kawannya, Katya juga membaca buku-buku mengenai Islam.

Seiring waktu, kenang dia, ketertarikannya meningkat terhadap Islam. Ia bahkan kemudian ingin pindah ke agama tauhid tersebut. Beberapa bulan sebelum wisuda, Katya telah menyelesaikan magang di Komite Investigatif, Moskow. Ia memang berniat menempuh karier di lembaga itu. Saat itu, hasratnya berpindah agama kian besar. Ia merasakan, jiwanya tersentuh dengan kesan-kesan yang didapatnya dari Islam.

Segala pertanyaan mengenai eksistensi diri, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup. Semua kegelisahan itu dirasakannya dan ia menemukan jawabannya dalam Islam. Katya akhirnya memeluk agama Islam.

Pada 30 Maret 2016 lalu, ia mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Agung Moskow. Seluruh koleganya di Komite Investigatif terkejut begitu mendengar kabar itu. Tidak menunggu waktu lama, Katya lantas memutuskan konsisten berhijab.

Sejak saat itulah, suasana kerja di Komite dirasakannya kurang kondusif lagi. Karena itu, pelan-pelan Katya mencari pekerjaan baru, sekalipun tak ada hubungannya dengan dunia hukum. Meskipun keluar dari Komite, Katya tetap menjalin pertemanan dengan sejumlah koleganya.

Ia berhijrah ke Dagestan. Katya menjalani pekerjaan baru sebagai pelayan di sebuah kafe halal di sana sampai kini. Sebagai informasi, Dagestan merupakan negara bagian yang terletak sekitar 2.000 kilometer di selatan Moskow. Tepatnya di tepi Laut Kaspia. Negara bagian Dagestan memiliki populasi Muslim terbesar ketiga.

Saat ditanya apakah Katya menyesali masuk Islam di mana harus meninggalkan karier yang dicita-citakan dan bekerja hanya sebagai pelayan kafe, ia tak menyesalinya.

Dia mengaku terinspirasi kisah seorang perempuan yang teguh pendirian. Namanya Irena Sendler. Katya menceritakan, Irena merupakan sosok Muslimah yang tercatat dalam sejarah berhasil menyelamatkan sekitar 2.500 anak dari kekejaman Perang Dunia II di Warsawa, Polandia.

Selain itu, Katya juga mengambil semangat dari Valentina Tereshkova, perempuan Uni Soviet pertama yang menjadi kosmonaut. Sampai yang paling kontemporer, Katya tergugah dengan keteguhan seorang aktivis HAM Pakistan, Malala Yousafzai.

Lantaran itu, Katya masih menyimpan bara semangat kembali membaktikan diri di dunia aktivis keadilan. Ia tidak ingin berpangku tangan terhadap penderitaan anak-anak dan perempuan, khususnya di Rusia.

Adalah rahasia umum di Rusia bahwa Anda jangan pernah terlihat mencuci pakaian kotor Anda. Maksudnya, masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah sesuatu yang biasa ditampilkan ke publik. Ini persoalan perempuan, yang biasa dihadapinya sendirian. Nah, saya percaya, solusi datang dari kedua sisi (ranah privat dan publik), ujarnya menjelaskan. ed: nashih nashrullah.

Bagaimana Islam memandang perempuan? Katya menilai, agama ini sejatinya membebaskan perempuan. Namun, begitu banyak stigma yang dilekatkan kepada seorang Muslimah. Menurut Katya, tidak benar bahwa Islam mengajarkan pengasingan perempuan dari ranah publik. Ada beberapa stigma atas Muslimah. Misalnya, bahwa perempuan Islami haruslah dikekang bagaikan burung di dalam sangkar oleh orang tua atau kemudian suami.

Faktanya, lanjut Katya, seorang Muslimah boleh dan bisa saja bekerja di luar rumah kapan pun Muslimah itu menghendakinya. Jika pekerjaannya itu semata-mata halal, sang suami tidak bisa menghalang-halangi.

Setiap orang memiliki potensi berbuat kebaikan bagi masyarakat. Menurutku, tujuan kita menjadi perempuan adalah membawa perdamaian dan ketenteraman, terutama bagi keluarga sendiri, simpulnya.

Karena itu, Katya merasa bersyukur memiliki keluarga yang mendukung keputusannya. Kedua orang tuanya tidak melarang Katya mengenakan hijab. Mereka malah menghormatinya. Sebagai bentuk bakti kepada orang tua, Katya merasa wajib menjaga nama baik keluarga.

Orang tuaku paham keputusanku memeluk agama Islam. Demikian pula dengan keputusanku konsisten mengenakan hijab, yang kira-kira mirip perempuan dari suku Tatar pada umumnya, ujar Katya.

Dalam beberapa hari ke depan, Katya akan menghabiskan waktu liburan tahun baru bersama keluarga tercinta.

 

 

sumber: Reublika Online

Anda Menabur Bunga di Kubur? Ini Hukumnya!

PERBUATAN ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.

Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.

Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bidah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Taliq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).

Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallam,

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Said bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa 5/109).

Ibnu Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Maani wal Asaanid 6/80).

Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Abbas radliallahu anhuma. (HR Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin Abdillah radliallahu anhu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diazab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafaatku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (HR Muslim: 3012).

Hadis Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafaat nabi shallallahu alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.

Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Taala, “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS Al Israa: 44).

Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqiah al-ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).

Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah taala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman, “(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (QS Al Jinn: 26-27).

Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (suuzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah taala saat mengkaji kitab Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syariat kita.

Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyariatkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyariatan sebuah amalan.

[Referensi: ikhwanmuslim]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343928/anda-menabur-bunga-di-kubur-ini-hukumnya#sthash.CPjrlxWP.dpuf

Kenapa Uang Cepat Sekali Habisnya?

SUATU hari istri seorang ustaz yang begitu saleh mengeluhkan persediaan uang untuk kebutuhan rumah tangga yang tinggal sedikit. Ustaz ini pun menjawabnya dengan tenang.

“Santai aja ibu, duit kalo tinggal dikit artinya mau datang lagi,” ujarnya.

Subhanallah. Ungkapan yang sangat singkat, namun padat. Begitulah kelebihan yang Allah berikan kepada para ulama, sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair,

“Sebaik-baik perkataan adalah yang sedikit dan argumentatif”

Ungkapan di atas mengajarkan kita bahwa uang itu mengisi tempat yang kosong. Oleh karenanya, jika Allah ingin kembali mengisi dompet kita, kosongkanlah sebagiannya untuk membantu sesama.

Uang itu bagaikan air yang di dalam gelas. Jika belum kita minum, maka air di dalam botol tak akan bisa mengisinya.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343984/kenapa-uang-cepat-sekali-habisnya#sthash.ymZnQfWk.dpuf

Anda Enggan Rapatkan Mata Kaki Ketika Salat?

YANG harus diikuti dalam meluruskan shaf adalah merapatkan mata kaki dengan mata kaki orang yang di samping, bukan kepala jari-jari kaki. Demikian itu karena badan ini disangga oleh mata kaki, sedangkan jari kaki satu dengan yang lain berbeda-beda, ada kaki yang panjang dan ada kaki yang pendek, sehingga tidak mungkin untuk mengukur kelurusan shaf secara tepat kecuali dengan mata kaki.

Sedangkan merapatkan mata kaki satu dengan mata kaki lain dalam salat, tidak diragukan lagi, diriwayatkan dalam hadis dari para shahabat radhiallahu anhum bahwa mereka meluruskan barisan dengan merapatkan mata kaki satu dengan mata kaki yang lain. Atau setiap orang dari mereka merapatkan mata kakinya dengan mata kaki orang yang ada di sampingnya untuk memastikan kelurusan shaf.

Sebenarnya tindakan itu bukan maksud itu sendiri, tetapi sesuatu yang dilakukan untuk maksud lain, seperti yang dikatakan oleh ahlul ilmi. Maka dari itu, jika shaf telah dibentuk dan manusia berdiri, maka setiap orang harus merapatkan mata kakinya dengan mata kaki teman di sampingnya agar kelurusan shaf benar-benar terpenuhi. Namun, ini bukan berarti bahwa kita harus selalu merapatkan mata kaki di semua aktivitas salat.

Sebagian manusia ada yang berlebih-lebihan dalam melakukan hal ini, lalu merapatkan mata kakinya dengan mata kaki orang di sampingnya, membuka kakinya lebar-lebar, sehingga terbuka celah yang lebar antara betis dengan betis orang di sampingnya. Hal itu bertentangan dengan sunah, karena tujuannya adalah agar betis dan mata kaki rapat dan lurus.

[Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343930/anda-enggan-rapatkan-mata-kaki-ketika-salat#sthash.hJJySKnU.dpuf