Pada Suatu Masa Umat Islam Jatuh Terpuruk?

AL Islamu yalu wa laa yula alaih. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Namun, umat Islam tidak demikian.

Satu masa umat Islam berada di masa kejayaan dan penuh kemuliaan. Di masa yang lain umat Islam bisa jatuh terpuruk diliputi kehinaan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menunjukkan sebuah rumus, jika empat hal telah dilakukan oleh umat Islam, maka mereka akan diliputi kehinaan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara inah, berpegang pada ekor lembu, puas dengan cocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan meliputi kalian dengan kehinaan yang mana Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Dawud; shahih lighairihi).

Jual beli dengan cara inah

Dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib dijelaskan bahwa inah adalah sistem riba; seseorang menjual barangnya dengan harga tertentu kepada pembeli secara kredit, kemudian ia membeli kembali barang itu secara tunai dengan harga yang lebih murah.

Secara umum, inah juga berarti semua bentuk riba. Jika demikian, kita jadi khawatir mengapa umat Islam saat ini meskipun jumlahnya sangat banyak -mencapai 1,7 milyar- tapi dihinakan di sana sini. Dicabik-cabik, diadu domba, berpecah belah, bahkan dijajah. Rupanya riba telah begitu luas melanda.

Berpegang pada ekor lembu

Ketika mayoritas umat Islam membangga-banggakan hewan ternak, mengandalkan dan bergantung padanya atau pada harta, pada saat itulah kehinaan akan menyelimuti umat Islam. Hati mereka terpaut pada harta; demikian sibuk mencari harta hingga meninggalkan ibadah. Demikian sibuk mengumpulkan harta hingga menjauh dari Allah. Padahal Allah-lah Yang Mahakaya. Allah yang Maha Pemberi rezeki.

Puas dengan cocok tanam

Selain bergantung pada harta, umat Islam juga merasa puas dengan mata pencaharian mereka. Kepuasan yang membuat terlena. Kepuasan yang tidak mengundang syukur saat kaya dan justru membangkitkan sombong di saat jaya. Jika ini terjadi, Allah akan menyelimuti umat Islam dengan kehinaan.

Meninggalkan jihad

Tiga hal di atas biasanya akan melahirkan hal keempat ini. Di saat manusia menghalalkan segala cara, bergantung pada harta dan terlena pada kekayaan, saat itu muncul cinta dunia. Ketika cinta dunia, orang tidak akan siap berjihad. Sebab berjihad, risikonya adalah mati.

Dalam konteks ke-kini-an dan ke-di sini-an, jihad tidak harus berkonotasi perang. Merujuk Fikih Jihad Syaikh Yusuf Qardhawi, jihad adalah membela agama Allah dengan beragam cara; mulai dengan lisan hingga dengan senjata. Maka dakwah adalah jihad. Namun, seperti jihad lainnya, banyak orang meninggalkan dakwah. Asyik dengan dunia dan tak ada lagi komitmen untuk berdakwah.

Di akhir hadis ini Rasulullah menunjukkan solusinya. Bahwa jika kita ingin kehinaan itu diangkat oleh Allah dan digantiNya dengan kemuliaan, umat Islam harus meninggalkan riba, tak lagi bergantung pada harta dan tak terlena oleh kekayaan. Dakwah harus kembali dihidupkan. Dan jika dihadapkan pada kafir harbi seperti yang dilakukan Israel atas Palestina, umat Islam harus berjihad menghadapinya. Wallahu alam bish shawab. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343980/pada-suatu-masa-umat-islam-jatuh-terpuruk#sthash.KKOi6WI2.dpuf

Untuk Mendidik Seorang Anak, Butuh Orang Sekampung

Kehidupan tanpa kematian, kesenangan tanpa penderitaan, kekayaan tanpa kemiskinan, kesempurnaan tanpa cacat, kebahagiaan tanpa kesedihan, kehormatan tanpa kerendahan, dan pengetahuan tanpa kealfaan.

Itulah tujuh elemen surga yang akan abadi dan tidak akan pernah hilang. Karena surga sangat bernilai, tentu tak akan mudah untuk mendapatkannya. Diperlukan kesungguhan, kesabaran, kesyukuran, dan ilmu sebagai bekal.

Hal tersebut dikemukakan oleh Ida S Widayanti, praktisi pendidikan dan parenting dalam acara Seminar Parenting bertema “Anak dari Surga Menuju Surga” di Gedung Remaja Kuring, Tangerang, Banten, Sabtu (26/11/2016) lalu.

“Persoalan, kesulitan, dan sekian masalah dalam mendidik anak adalah tantangan sekaligus investasi orangtua untuk meraih surga,” ujar Ida, penulis tetap rubrik Jendela Keluarga di Majalah Suara Hidayatullah.

“Karena surga tempat asal anak-anak kita, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah membekali anak-anak kita dengan potensi untuk meraihnya, berupa kejujuran, ketulusan, kelembutan, kesucian, sifat pemaaf, serta fitrah kesucian,” kata penulis buku-buku parenting ini.

Tantangan Teknologi Informasi

Menurut konsultan di beberapa sekolah ini, untuk meraih surga jelas banyak tantangannya, di antaranya teknologi informasi.

Banyak orang tua yang membolehkan atau membiarkan anak-anaknya bermain gadget, game online, internet, dan nonton televisi tanpa pendampingan. Sehingga anak menjadi kecanduan perangkat berlayar tersebut.

“Padahal, anak tersebut masih usia dini dan belum memahami atau mengerti apa yang ditontonnya. Lebih banyak dampak negatifnya daripada sisi positifnya,” katanya.

Oleh karena itu, kata Ida, rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar harus mendukung perkembangan anak ke arah positif. Dengan kata lain, butuh orang sekampung untuk mendidik satu orang anak.

Di sinilah peran orangtua sangat diperlukan, baik ayah maupun ibu.Terutama ayah.

Sebab, kata Ida, yang merujuk salah satu penelitian, ada 17 dialog tematik di dalam al-Qur`an pada 9 surat: 14 dialog antara ayah dengan anaknya, 2 dialog antara ibu dan anaknya, dan 1 dialog antara orangtua tanpa nama.

“Jadi, yang banyak berdialog atau berkomunikasi dengan anak itu justru ayah. Karena itu, sesibuk apapun ayah harus meluangkan waktunya berkomunikasi dengan anak.

Jangan menyerahkan tanggung jawab mendidik anak itu semuanya kepada ibunya (istri), apalagi kepada emba-nya (asisten). Anak butuh perhatian, bimbingan, dan kasih sayang,” ujar Ida.

Harus Optimistis

Meski banyak ujian dan tantangan dalam mendidik buah hati, kata Ida, orangtua harus tetap optimistis dan berprasangka baik kepada Allah Taala.

Kemudian Ida memberi beberapa tips mendidik anak. Di antaranya; ridha Allah (masuk surga) menjadi cita-cita tertinggi, mendidik anak bukan pekerjaan sampingan, jadikan al-Qur`an sebagai pedoman, ikhlas, dan sungguh-sungguh.

“Yang tak kalah penting setelah kita berikhtiar adalah banyak berdoa kepada Sang Pemilik Kehidupan, Allah Subhanahu wa Taala, dengan khusyuk dan penuh harap (roja), ” pungkas Ida, dengan mengutip al-Qur`an Surat Al-Mukmin ayat 60, yang artinya, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”

Acara Seminar Parenting yang dihadiri 300 peserta itu diselenggarakan oleh Sekolah Al-Amanah, Tangerang.*

 

 

sumber: Hidayatullah

Berdoa Selama 20 Tahun, Belum Dikabulkan tapi Tak Putus Asa

MURIQ AL IJLI ahli ibadah yang meriwayatkan hadis dari beberapa shahabat, seperti Abu Dzar, Umar, Ab Darda dan lainnya. Periwayatannya terdapat pada Kutub As Sittah.

Ahli ibadah dari Bashrah ini suatu saat pernah menyampaikan,”Aku berdoa untuk sebuah hajat selama 20 tahun, dan hajat itu belum terkabulkan. Namun aku sama sekali tidak putus asa.” (Al Kawakib Ad Durriyah, 1/461)

40 Tahun Takbir Bersama Imam namun Merasa Sebagai Pendosa

SULAIMAN BIN MIHRAN merupakan seorang ulama ahli ibadah di kalangan sufi. Ia sendiri selama 40 tahun selalu mengikuti shalat berjama’ah dan melakukan takbiratul ihram bersama imam.

Meski melakukan banyak amalan shalih, namun Sulaiman bin Mihran melihat dirinya sebagai manusia kotor, dimana ia berpesan,”Jika aku meninggal, maka bawahlah diriku dengan tanpa diketahui manusia. Lalu campakkanlah ke liang lahat. Sesungguhnya diriku tidak pantas jika ada orang yang berjalan di belakang jenazahku. Demi Allah, jika ruhku ada digenggamanku, maka sudah aku campakkan ia ke tempat manusia membuang hajat.” (Al Kawakib Ad Durriyah, 1/316)

 

sumber: Hidayatullah

Aksi Damai Bela Islam Jilid III Jelang 212, Kami Rindu Romantisme Ulama dan Umara!

ULAMA dan Umara, para ahli ilmu agama dan para pemimpin. Sebagian orang berpikir ulama yang baik adalah ulama yang menyalahkan para pemimpin di mimbar-mimbar atau yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan seorang pemimpin. Artinya, pemimpin berada pada satu wilayah, ulama berada pada wilayah yang lain. Terdapat pembatas yang memisahkan keduanya.

Sekilas kita akan merasa bahwa ulama yang baik adalah ulama yang jauh dari para pemimpin. Ini mungkin benar dari satu sisi: kalau ulama tersebut takut tergoda fitnah dunia dan kekuasaan yang bisa masuk ke dalam dirinya kemudian merusak agamanya.

Pada sisi yang lebih besar dari itu, kita mendapatkan jauhnya jarak antara ulama dan umara adalah tanda-tanda yang tidak baik bagi kehidupan beragama dan dunia kita. Bahkan pemisahan tersebut bisa menjadi bagian dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan agama.

Para ulama sibuk berceramah dan memberikan pencerahan di masjid-masjid, para pemimpin mengeluarkan aturan dan mengadakan kegiatan yang melanggar syariat. Seorang pemimpin mengadakan program-program pemerintahannya, para ulama berdiri di garis terdepan menjadi penentangnya. Saya dan anda pasti sepakat bahwa ini adalah pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.

 

Perpaduan dahsyat antara ulama dan umara

Mari kita lihat sebaliknya: bersamanya ulama dan umara. Seorang alim ulama mengadakan program dan kegiatan keagamaan, umara mendukung dan menjadi tiang penopangnya. Pada saat seorang pemimpin mengeluarkan keputusannya, ada seorang alim di sisinya yang memberikan pandangan dan masukan, agar keputusan itu tidak melanggar hukum syariat. Betapa indahnya ulama dan umara bersatu dan bersama untuk kebaikan umat! Saya yakin, kita tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.

Islam hadir dengan seorang pemimpin agama dan pemimpin negara pada diri satu orang, Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Begitulah Negara Islam pertama kali, kepemimpinan agama dan dunia menyatu. Masa khulafaur rasyidin-pun masih mengikuti rel yang sama. Para khalifah pemimpin kaum muslimin, mereka adalah ulama sekaligus umara pada waktu yang sama. Dari sini kita dapat memahami, bahwa kepemimpinan Islam pada dasarnya menyatukan ulama dan umara, keduanya menjadi pemimpin dan pembimbing umat kepada kebaikan.

 

Taatilah ulil amri!

Ketika Allah Taala memerintahkan untuk menaati ulil amri, kedua kelompok tersebut masuk ke dalamnya. Allah Taala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisaa : 59)

Syaikh As Sadi berkata, “Allah Taala memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri. Ulil Amri adalah orang yang memimpin, mereka terdiri dari para pemimpin dan ulama. Sesungguhnya urusan-urusan umat tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengikuti perintah dan arahan mereka, dan itu merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Taala selama mereka tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan” (Tafsir As Sadi hal. 183)

 

Ulama dan umara dalam bingkai realita

Setelah perjalanan sejarah menjauh dari masa kenabian, kehidupan manusia semakin kompleks dan permasalahan umat semakin banyak, terjadi pemisahan dalam kepemimpinan umat. Umara (raja, gubernur, dll) bukan lagi seorang ulama, dan seorang ulama biasanya hanya menjadi seorang mufti, hakim, dan urusan-urusan yang terfokus pada permasalahan agama dan ilmu agama. Tapi kita akan mendapatkan tinta sejarah mencatat bahwa para pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki nama-nama besar, mereka tidak terpisahkan dari Ulama, seperti Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih.

Masa sekarang, kita dapatkan masih banyak dari pemimpin negara dan kerajaan Islam, yang memiliki kedekatan dan hubungan yang sangat baik dengan para ulama. Bahkan, seperti Kerajaan Saudi Arabia, keputusan-keputusan penting Kerajaan harus disetujui oleh ulama. Lebih dari itu, pengambilan keputusan itu sendiri melibatkan para ulama, yang mereka merupakan bagian terpenting dari kepemimpinan Raja Saudi Arabia.

 

video_syiar_islam

 

Di sebagian negara yang umat Islamnya mayoritas, kita mendapatkan hal yang berbeda, ulama dan umara berada sisi yang saling berseberangan. Para pemimpin suatu negara atau pemerintah menjadi rintangan dan tantangan terbesar bagi Ulama dan gerakan Islam dalam menyebarkan dakwah. Ini adalah hal yang sangat-sangat tidak kita inginkan. Sekali lagi, saya ingin menekankan satu perkara, bahwa ulama dan umara harus saling berdekatan dan bahu-membahu membangun umat dan menyebarkan kebaikan kepada umat manusia.

 

Saling melengkapi dan menasihati

Mungkin muncul pertanyaan: Bagaimana dengan yang namanya Ulama su (ulama yang jelek-red)? atau Ulama yang mengembek di balik para jas para pejabat? Benar salah yang dilakukan si pemilik jabatan, ia menjadi pendukung. Lebih dari itu, dengan ilmu agama yang ia miliki, maka ia mencari dalil pembenaran bagi perbuatan seorang pemimpin yang salah. Saya katakan: “Itu salah besar, dan sangat disesalkan”.

Yang kita inginkan adalah kedekatan ulama di sisi umara, menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi penasihat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan. Di sini ada dua sisi penting, memberi dukungan dan menasihati. Yang pertama mudah kita pahami, adapun yang kedua, maka kita perlu sedikit mendalami : Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajari umatnya dalam menasihati pemimpin mereka?

 

Ketika Nabi Musa menasihati Firaun

Sebelumnya, mari kita perhatikan dengan baik ayat Alquran berikut ini. Allah Taala berfirman memerintahkan dua Nabi-Nya, Musa dan Harun alaihis salam (yang artinya), “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, Sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Dua orang utusan Allah Taala datang kepada raja yang paling zalim, bahkan telah melewati batas dengan mengaku diri sebagai tuhan. Kita mendapatkan pelajaran yang sangat penting dari ayat ini, seburuk-buruk manusia walaupun ia serupa Firaun, maka kita harus tetap mengunakan adab dan cara yang baik dalam mendakwahi dan menasihatinya.

 

Beginilah Nabi mengajarkan cara menasihati pemimpin

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara dan adab dalam menasihati seorang pemimpin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menasihati seorang Sultan (pemimpin) pada sebuah perkara, janganlah ia menasihatinya secara terang-terangan (di depan umum), akan tetapi hendaklah ia berdua dengannya. Apabila nasehitnya diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, maka ia telah melakukan kewajibannya untuk menasihati.” (HR. Ahmad, no. 15.333)

Imam Ibnu Muflih mengatakan, “Seseorang yang menasihati Sultan, tidak boleh menasihatinya kecuali dengan cara: menasihatinya, menakutinya, atau mengingatkannya akan akibat buruk dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Itulah yang seharusnya dan tidak boleh selainnya.” (Al Adab As Syariyah, 1/175)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Menyebutkan keburukan para pemimpin sehingga menjadi santapan umum, atau mengangkatnya di atas mimbar-mimbar, bukan merupakan cara para ulama salaf. Karena hal itu bisa menyebabkan kekacaun dan munculnya sifat tidak taat kepada pemimpin pada perkara yang baik, dan juga membawa pada perdebatan yang tidak membawa kebaikan, bahkan membawa keburukan.

Adapun cara para salaf adalah dengan menasihati seorang pemimpin secara langsung, atau mengirim surat kepadanya, atau menghubungi ulama yang punya hubungan dengan pemimpin tersebut, agar memberikan nasihat kepadanya.” (Majmu Fatawa Bin Baz, 8/210)

Semoga ulama dan umara kita bersatu selangkah membangun umat ini, dan seiya sekata dalam menyuarakan kebenaran. Aamiin. [Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf, MA (Dosen STDI Imam Syafii Jember)]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342591/jelang-212-kami-rindu-romantisme-ulama-umara#sthash.4QV3O24o.dpuf

Benarkah Einstein Seorang Muslim?

Albert Einstein sejak lama diduga menganut Judaisme, agama kaum Yahudi. Namun, ada klaim yang menyatakan ilmuwan nyentrik itu sebenarnya adalah Muslim. Mana yang benar?

Klaim yang beredar di blog-blog Tanah Air ini menyebutkan adanya dokumen rahasia yang berisi surat-surat Einsten. Surat tersebut menunjukkan, ilmuwan kelahiran Jerman penemu teori relativitas ini, menganut Islam Syiah Imamiyah.

Berdasarkan laporan situs mouood.org, pada 1954, Einstein menyurati marji besar Syiah kala itu, Ayatollah Al Udzma Sayid Hossein Boroujerdi. “Setelah berkorespondensi dengan anda, saya menerima agama Islam dan mazhab Syiah 12 Imam,” tulis Einstein.

Einstein menjelaskan, Islam lebih utama ketimbang agama lain. Serta menyebutnya paling sempurna dan rasional. Ia bahkan menyatakan seluruh dunia takkan mampu membuatnya kecewa terhadap Islam maupun meragukannya.

Dalam makalah terakhirnya, Die Erklarung (Deklarasi) yang ditulis pada tahun tersebut di Amerika Serikat (AS), Einstein dalam bahasa Jerman menelaah teori relativitas dalam ayat-ayat Al Quran dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah.

Einstein menyebut penjelasan Imam Ali tentang mimpi perjalanan Miraj jasmani Nabi Muhammad ke langit dan alam malaikat yang hanya dilakukan dalam beberapa detik, sebagai penjelasan Imam Ali yang paling bernilai.

Ada sebuah hadis yang disadur Einstein dan menjadi andalannya. Yakni diriwayatkan oleh Allamah Majlisi tentang Miraj jasmani Rasulullah SAW. “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi menyentuh sebuah berisi air yang menyebabkan air tumpah.”

“Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman, beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.” Einstein melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang berharga.

Terutama karena menjelaskan keilmuan para Imam Syiah dalam relativitas waktu. Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani, berbanding terbalik dengan formula terkenal relativitas materi dan energi. Yakni E=M.C >> M=E:C.

Artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi ia dapat kembali hidup seperti semula. Naskah asli risalah ini tersembunyi dalam safety box rahasia di London, Inggris, di tempat penyimpanan Prof. Ibrahim Mahdavi, dengan alasan keamanan.

Risalah ini dibeli Mahdavi seharga US$3 juta dari pedagang Yahudi. Ia juga dibantu seseorang yang bekerja di pabrik mobil Mercedes Benz. Tulisan tangan Einstein di buku kecil itu telah dicek lewat komputer dan dibuktikan keasilannya oleh pakar manuskrip.

Perdebatan agama Einstein telah sekian lama dipelajari karena pernyataan sang ilmuwan sendiri juga sering ambigu. Ia dikabarkan mempercayai Judaisme, agama yang berakar dari filsuf Belanda Baruch de Spinoza. Namun, tak menganut konsep Tuhan yang Maha Esa.

Adapun pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam. Baginya, Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan memiliki bentuk, yakni seluruh alam jasmaniah. Aliran ini disebut panteisme-monistik.

Terkait keyakinan yang dianutnya, Einstein sempat mengatakan, “Saya tak mempercayai Tuhan secara personal dan selalu menyatakan hal ini dengan jelas. Jika ada sesuatu dalam saya yang bisa dibilang relijius, maka itu kekaguman saya terhadap struktur dunia yang sejauh ini bisa diungkap sains,” tegasnya.

Jadi, sudah bisa ditarik kesimpulannya bukan? [ast]

– See more at: http://dunia.inilah.com/read/detail/1790685/benarkah-einstein-seorang-muslim#sthash.wubAkzNx.dpuf

Kehormatan Ala Albert Einstein

ALBERT Einstein, orang cerdas yang paling terkenal itu, tidak hanya ahli dalam otak-atik rumus fisika yang hanya bisa dibaca oleh para ahli fisika. Beliau adalah juga ahli tatabbur alam, perenung fenomena alam yang luar biasa.

Ada banyak kata mutiara yang beliau sampaikan kepada khalayak yang merupakan hasil perenungannya dalam menangkap pesan dan pelajaran dari alam itu. Apa yang disampaikannya mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa alam sekitar kita ini sesungguhnya penuh dengan pesan dan pelajaran yang “muwafiq” atau sesuai dengan ajaran agama. Alam atau ilmu alam (science) tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama.

Ketika Einstein mengamati atom yang dikelilingi oleh proton dan neutron secara rapi, dengan takjub beliau berkata: “Ini pasti karena Dzat Yang Maha Hadir dan Maha Kuasa.” Bukankah ini ungkapan tauhid yang luar biasa?

Pernahkah tauhid kita memunculkan kekaguman sebagaimana kekaguman yang dirasa oleh Albert Einstein? Lalu, bagaimanakah sesungguhnya bentuk dan posisi tauhid kita? Sekadar ungkapan lisan? InsyaAllah tidak. Munculkan kekaguman kita kepada Allah Yang Maha dalam segala-galanya.

Saat ini ingin saya sampaikan satu lagi kalimat pendek nan bernas dari beliau yang menurut saya memang layak diabadikan sejarah. Andai dituliskan dalam bahasa Arab, saya yakin banyak yang menganggapnya sebagai dawuh ulama besar. Beliau berkata: “Tak akan mati seseorang karena kehilangan orang yang dicinta. Namun, hidup akan terasa mati jika seseorang kehilangan kehormatannya.” Kehormatan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa kehormatan, manusia kehilangan nilai diri.

Kehormatan itu ada saat kita melaksanakan apa yang memang wajib dilakukan dan menjauhi apa yang memang dilarang. Sehebat apapun seseorang dalam berbagai bidangnya bukanlah seorang yang terhormat jika apa yang digapai dan dimilikinya adalah dengan jalan yang tak benar dan tak baik.

Buanglah rasa malu karena tak punya apa-apa dan tak menjadi siapa-siapa, yang penting kita berada di jalan yang disuka Allah. Malulah untuk pamer apa-apa yang kita miliki jika semuanya berasal dari yang tak disuka Allah. Salam, AIM. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342741/kehormatan-ala-albert-einstein#sthash.GLVYW7Dk.dpuf

Rasulullah Mencintai Sahabat Berwajah Jelek Ini

JULAIBIB adalah seorang sahabat Anshar yang sangat dicintai Nabi SAW walau ia tidak diketahui nasabnya dengan jelas, keadaannya-pun fakir dan wajahnya juga buruk.

Tentu saja kecintaan beliau kepadanya ini adalah karena kualitas keimanan dan ketakwaannya, juga karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian ia belum menikah karena kebanyakan orang enggan mengambilnya sebagai menantu karena keadaan lahiriahnya tersebut.

Para sahabat Anshar mempunyai kebiasaan, jika memiliki anak perempuan atau anggota keluarga perempuan yang belum menikah, baik gadis atau janda, mereka akan “menunjukkannya” kepada Rasulullah SAW. Jika beliau telah mengetahui dan tidak memintanya atau memintanya untuk orang lain yang dikehendaki beliau, barulah mereka menikahkannya dengan orang lain yang dikehendakinya.

Bahkan tak jarang para wanita tersebut, atau melalui walinya, “menyodorkan” diri untuk dinikahi beliau, atau orang lain yang dipilih oleh beliau. Sungguh kecintaan para sahabat Anshar kepada Nabi SAW sangat luar biasa.

Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan salah seorang sahabat Anshar dan bersabda, “Aku melamar putrimu!!” “Baik, ya Rasulullah,” Kata sahabat tersebut, “Ini suatu kehormatan besar dan sangat membanggakan!!”

“Tetapi aku tidak menginginkannya untuk diriku sendiri!!” Kata Nabi SAW.

“Untuk siapa ya, Rasulullah?” Kata sahabat tersebut.

“Untuk Julaibib…!!”

Sahabat tersebut tampak terkejut, tetapi kemudian berkata, “Kalau begitu saya akan bermusyawarah dahulu dengan ibunya!!”

Nabi SAW mengijinkannya, kemudian sahabat tersebut berlalu pulang. Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melamar putrimu!!”

“Baik, sungguh ini sangat menyenangkan!!” Kata istrinya dengan gembira.

“Beliau tidak melamar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Julaibib!!”

Seketika kegembiraan di wajah istrinya menghilang, dan berkata, “Untuk Julaibib?? Tidak, demi Allah kita tidak akan mengawinkannya dengan Julaibib!!”

Tampaknya kehebohan yang terjadi antara kedua orang tuanya menyebabkan sang gadis menghampiri mereka dan meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Sang ibu menjelaskan permintaan Nabi SAW dan sikap yang diambilnya, maka si gadis berkata, “Apakah kalian akan menolak urusan Rasulullah SAW? Pertemukanlah (nikahkanlah) aku dengan dia, sungguh dia tidak akan menyia-nyiakan aku!!”

Tentu tidak ada pertimbangan lain dari sang gadis kecuali ketaatan dan kecintaan kepada Nabi SAW. Ia meyakini, di balik semua kekurangan yang ada pada Julaibib yang memang sudah diketahui banyak orang, tentu ia memiliki banyak kelebihan lainnya yang membuatnya mendapat kedudukan yang baik di sisi Rasulullah SAW.

Sahabat Anshar tersebut kembali kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau lebih berhak berurusan dengan anak gadisku!!”

Nabi SAW memanggil Julaibib dan menikahkannya dengan putri sahabat Anshar tersebut.

Julaibib hampir tidak pernah absen dalam medan pertempuran bersama Rasulullah SAW. Suatu ketika setelah berakhirnya suatu pertempuran, Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tidak kehilangan seseorang?”

“Tidak, ya Rasulullah!!” Kata mereka.

“Tetapi aku kehilangan Julaibib,” Kata Nabi SAW, “Carilah dia!!”

Mereka menyebar, dan akhirnya salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, inilah dia orangnya, ia tertutup di antara tujuh orang musuh yang dibunuhnya, dan ia juga terbunuh oleh mereka!”

Nabi SAW mendatangi tempat Julaibib tewas. Beliau memangku jenazahnya dan menyuruh beberapa sahabat menggali lobang untuk kuburnya. Sambil bercucuran air mata, beliau bersabda, “Dia ini bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya”

Setelah lubang kuburnya siap, beliau mengangkat sendiri jenazahnya dan membaringkannya di dalam kubur. Tidak ada tikar atau kain lainnya untuk menutup jenazahnya, sehingga langsung dikuburkan begitu saja. Tetapi semua itu tidak berarti mengurangi kemuliaan dan ketinggian derajadnya di sisi Allah dan Rasul-Nya, bahkan meningkatkannya karena tangan Nabi SAW sendiri yang memakamkannya. [ ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343708/rasulullah-mencintai-sahabat-berwajah-jelek-ini#sthash.NAdQbIoQ.dpuf

3 Komitmen al-Ghazali

Saat sedang berziarah di makam Nabi Ibrahim, Imam Ghazali menyatakan tiga hal sebagai komitmen pribadi. Pertama, tidak akan lagi mengunjungi pengadilan. Kedua, tidak akan lagi menerima hadiah dari kalangan kerajaan. Ketiga, tidak akan lagi mendebat orang.

Imam Ghazali kemudian memutuskan pergi berhaji. Selama 10 tahun, ia mencari ketenangan batin. Ia menjelajahi padang gurun, hutan, perkotaan, dan pegunungan. Dalam pada itu, ia juga menulis banyak buku.


Setelah sekian lama itu, Imam Ghazali akhirnya kembali ke Baghdad. Dia diterima dengan sukacita oleh pemerintah dan masyarakat Kota Baghdaddan kemudian Nishapur. Di sinilah ia menulis karya akbarnya, Ihya Ulumu ad-Din. Namun, Imam Ghazali hanya mengajar tidak lama di Nizamiyya Nishapur. Ia kemudian kembali ke kampung halamannya, Tabran, di mana ia mendirikan sekolah sendiri dan mengajar.

Baca juga: Pemikiran Wasathiyah Al Ghazali pada Kaum Muslimah

Imam Ghazali wafat pada 505 Hijriah (1111 Masehi) dalam usia 53 tahun. Saudaranya, Ahmad Ghazali, menyaksikan saat-saat terakhir Imam Ghazali. Katanya, Pada Senin pagi, Imam (Ghazali) bangun dan mengambil wudhu. Kemudian, ia shalat sunah Fajar. Lalu, ia meminta serbannya dan sambil menciumnya ia menjelaskan, ‘Aku menerima Allah sebagai Tuhanku’. Kemudian, Imam Ghazali wafat

 

sumber: Republik Online

al-Ghazali: Kebahagiaan di Akhirat takkan Bisa Tanpa Takwa

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di Tus, Persia, pada 450 Hijriyah (1058 Masehi). Pada masa mudanya, al-Ghazali belajar pada imam Masjid al-Haram, al-Juwayni. Kemudian, bakat al-Ghazali menarik perhatian Nizam al-Mulk, yakni wazir Kesultanan Seljuk sekaligus pendiri sekolah Nizamiyyah.

Nizam al-Mulk menunjuk al-Ghazali untuk menjadi kepala sekolah Nizamiyyah di Baghdad. Memasuki usia 33 tahun, al-Ghazali sudah menjadi cendekiawan yang terhormat di ibu kota kerajaan.

Demikian disarikan dari Pembukaan buku The Faith and Practice of al-Ghazali karya Montgomery Watt. Empat tahun kemudian, al-Ghazali mengalami kegelisahan intelektual. Dia meninggalkan Baghdad untuk melakukan pencarian spiritual. Ia wafat di Tus pada 505 Hijriyah.

Imam Ghazali digelari Hujjatul Islam karena taraf keilmuannya yang tinggi. Pendidikan dini Ghazali muda dimulai dari guru-guru sekitar rumahnya. Ia kemudian pindah ke Jurjan dan berada di bawah bimbingan Imam Abu Nasr Ismaili.

Metode pengajarannya ialah guru menerangkan, sementara para murid mencatat apa yang disimaknya. Ghazali muda merupakan murid yang unggul dan dapat memahami apa yang diajarkan gurunya dengan mudah.

Saat itu, pusat-pusat pendidikan Islam tersebar merata ke seluruh negeri. Tetapi, hanya Nishapur dan Baghdad yang paling terkemuka. Imam Ghazali memutuskan hijrah belajar ke Nishapur lantaran itulah yang paling dekat dengan daerah asal.

Di Nishapur, Imam Ghazali belajar pada Imam Masjidil Haram, al-Juwayni. Selain guru besar, Imam al-Juwayni juga dekat dengan raja. Reputasinya diakui hampir semua kalangan.

Di antara para murid Imam al-Juwayni, al-Ghazali termasuk yang paling brilian. Kemudian, Imam Ghazali ditunjuk menjadi asisten Imam al-Juwayni. Saat itulah Imam Ghazali mulai menulis sejumlah karya atas dorongan gurunya.

Imam al-Juwayni wafat pada 475 Hijriyah (1086 Masehi). Karena itu, Imam Ghazali memutuskan meninggalkan Nishapur dan bertolak menuju Baghdad.

Saat itu, Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang paling unggul. Di Baghdad, Imam Ghazali belajar di bawah bimbingan Nizam al-Mulk, yang tersohor sebagai pendiri sekolah Nizamiyyah.

Tak membutuhkan waktu lama, Imam Ghazali ditunjuk menjadi guru di institusi terhormat itu. Sosok yang bernama lengkap Abu Ali Hasan ibn Ali Tusi ini merupakan pakar hukum Islam yang disegani. Ruang kerjanya lebih mirip wahana debat antarsarjana hukum Islam. Para pemula begitu bersemangat mengasah kemampuan dan ilmunya dalam lingkungan demikian. Demikian pula dengan Imam Ghazali. Sisi geniusnya mulai tampak dari ajang ini.

Pada usia 33 tahun, Imam Ghazali diamanahi sebagai kepala Universitas Nizamiyya di Baghdad. Dia menjadi sosok yang berpengaruh. Bahkan, kalangan kerajaan banyak meminta saran darinya. Inilah puncak karier Imam Ghazali berkat kerja kerasnya menuntut ilmu. Filsafat merupakan salah satu kajian favoritnya. Tetapi, posisinya yang dalam puncak kemapanan justru memunculkan kegelisahan batin. Ia lantas memutuskan meninggalkan Baghdad dan berkelana mencari ketenangan spiritual.

Imam Ghazali menulis, “Dalam enam bulan saya dalam keadaan yang dirundung cemas luar biasa, sampai-sampai saya tak bisa bicara, makan, atau mengajar.”

“Saya sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan di akhirat takkan bisa tanpa takwa, mengendalikan hawa nafsu. Dan semua ini hanya bisa tercapai bila kecintaan terhadap dunia disudahi. Sampai kita mengabaikan dunia dan merindukan akhirat. Saat memikirkan diri sendiri, saya merasa begitu dekat dengan dunia. Saat saya mempelajari alasan saya mengajar, saya merasa itu semata-mata karena saya mengejar status. Saya yakin berada di pinggir jurang bahaya.”

Imam Ghazali meninggalkan Baghdad dan menuju Suriah pada 488 Hijriyah (1096 Masehi). Dari keputusan itulah, perjalanan spiritual dan intelektualnya kian terasah.

Di Damaskus, Imam Ghazali hidup sendirian dan menghabiskan hari-hari dengan beribadah. Dia akan menyusuri tangga naik di menara MasjidAgung Umawiyah. Di sana, ia seharian merenung dan beribadah.

Di masjid yang sama, ia juga mengajar beberapa murid. Dua tahun kemudian, Imam Ghazali bertolak ke Yerussalem dan tinggal di Kubah Batu. Lantas, ia berjalan ke Kota Khaleef di Tepi Barat.

 

sumber: Republika Online