Sungguh, hidup ini banyak jalan dan kemudahan, maka kenapa tidak kita ringankan. Karena dibalik kesulitan pasti ada kemudahan, ini apa kata Al Quran
TIDAKLAH seseorang keluar dari masalahnya kecuali akan datang permasalahan baru. Tidaklah seseorang lepas dari kekawatiran, kecuali akan berganti dengan kekawatiran berbeda. Dan tidaklah seseorang terbebas dari jerat ujian, melainkan akan datang ujian yang lebih sulit.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS: Al -Ankabuut: 2-3)
Kehidupan manusia mustahil terbebas dari ujian, laki-laki, perempuan, kaya raya, miskin, tua, muda, lemah dan gagah perkasa, semua akan diuji.
Tidaklah Allah Ta’ala menguji hamba-hambaNya kecuali hendak memuliakannya dan agar ia berpaling kepadaNya dengan membawa segudang permasalahan, seraya bermunajat dengan beruraikan airmata disertai ketundukan, patuh serta rasa takut.
Imam Syafi’i berkata: “Apakah engkau mengejek dan meremehkan doa?, kau tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh doa?”
Sungguh, tidak akan kita dapati selain Allah Ta‟ala, sang Maha Penyantun, Maha Hidup yang mengatur segala urusan setiap makhlukNya kecuali Ia akan mendengarkan, mengawasi, memperhatikan dan memperkenankan doa doa.
Adakah Allah Ta’ala menelantarkan hambaNya, sekali kali tidak!
Adakah Allah Ta’ala menghinakan hambaNya, sekali kali tidak!
Adakah Allah Ta’ala menghendaki keburukan kepada hambaNya, sekali kali tidak!
Allah Ta’ala Maha Tahu akan kondisi keimanan hamba-hambaNya, diantara mereka ada yang dimuliakan dengan beragam kemudahan, banyak materi dan kedudukan, kemudian ia bersyukur kepadaNya, maka baginya kebaikan. Namun diantara manusia lain ada yang dimuliakan dengan kesempitan dan kesulitan, iapun terus bersabar hingga datang sebuah solusi dan pada akhirnya ia sangat berbahagia karena mengetahui hikmah berupa kebaikan akan urusan agamaNya. Inilah maksud dari ujian sebenarnya yaitu la‟allahum yarji‟un atau kembali kepadaNya.
Dalam sebuah hadist perihal keutamaan bersabar, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573).
Perbaikilah hubungan kita dengan Allah Ta‟ala, berbaik sangkalah kepadaNya atas segala kejadian yang menimpa, karena Ia sebagaimana prasangka hamba kepadaNya dan teruslah bersabar dengan kesabaran yang indah nan manis seindah bunga-bunga yang bermekaran kala musim semi menyapa dan semanis madu bahkan lebih manis lagi.
Tidakkah kita mengetahui bahwa balasan kebaikan bagi orang yang bersabar bukan puluhan, ratusan atau ribuan kali lipat, melainkan akan diganjar tanpa batas kelipatan atas kesabaran yang telah mereka perbuat.
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az Zumar : 10)
Besarnya ujian seseorang, jika dihadapi dengan penuh kesabaran, maka akan semakin besar pula ganjarannya sesuai dengan porsi ujian yang diterima dan sebagai bukti kualitas keimanannya, minimalnya tidak takut menghadapi derasnya arus kehidupan dunia dan tidak pula bersedih hati akan masa lalunya.
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran : 139)
Imam Ar-Razi meriwayatkan dari Fathul Mausuli, bahwasanya ia mengatakan: “Kita dahulu merupakan kaum penghuni surga, kemudian kita ditawan Iblis ke dunia. Maka tiada yang kita miliki (rasakan) selain kesulitan dan kesedihan sampai kita dikembalikan ke tempat yang dahulu kita dikeluarkan darinya (Surga).”
Inilah keniscayaan hidup di dunia yang sejatinya diliputi kesulitan maupun kesedihan, Allah Ta’ala berfirman;
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah..” (QS. Al Balad: 4).
Perkataan yang diriwayatkan Imam Ar Razi senada dengan firman Allah Ta’ala yang menyiratkan bahwa kebahagiaan hakiki hanya diperoleh ketika seorang hamba menginjakkan kakinya ke dalam surga untuk kali pertama dan tidaklah Allah Ta’ala menyebut kata bahagia melainkan berada di satu tempat.
وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ عَطَاء غَيْرَ مَجْذُوذٍ
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud: 108).*
Guntara Nugraha Adiana Poetra, pengasuh halaman komunitas ISCO (Islamic Studies Center Online)
sumber: Hidayatullah